Judul buku: 168 Jam Dalam Sandera
Penulis: Meutya Hafid
Penyunting: Hermawan Aksan
Penerbit: Hikmah
Tebal: xviii + 280 hlm
Kita tentu masih ingat peristiwa penculikan yang menimpa dua orang jurnalis Metro TV, Meutya Hafid (reporter) dan Budiyanto (juru kamera), oleh Kelompok Mujahidin Irak (Jaish al Mujahideen) pada 15 Februari 2005. Selama 168 jam mereka disandera di sebuah gua di tengah gurun pasir Ramadi. Tak kurang dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono turut mengupayakan pembebasan bagi keduanya.
Bagi Meutya, peristiwa penyanderaan dirinya itu merupakan sebuah pengalaman berharga dalam sepanjang hidupnya. Sudah lama ia berniat untuk menuliskannya. Namun, karena kesibukan dan lain-lain, baru terwujud dua tahun setelahnya. Buku yang diberi judul 168 Jam dalam Sandera itu, akhirnya diluncurkan pada Jumat, 28 September 2007 di Ruang Prambanan Hotel Sahid Jaya, Jakarta.
Lewat buku tersebut, Meutya hendak berbagi cerita kepada masyarakat, khususnya para wartawan di negeri ini, bahwa akhirnya tidak ada berita yang nilainya lebih dari nyawa. Di saat-saat yang dirasanya begitu dekat dengan kematian, ia baru menyadari betapa nyawa amatlah berharga dibandingkan berita sepenting apapun dan tak ada sesiapa yang dapat menolongnya kecuali atas kehendak Tuhan. Peristiwa selama 168 jam itu telah membuatnya belajar tentang kepasrahan total kepada Yang Maha Kuasa.
Selain itu, Meutya juga ingin mempersembahkan buku ini bagi perjuangan rakyat Irak serta para penyanderanya, Jaish Al Mujahideen, sebagai pemenuhan janjinya untuk memberitakan (peristiwa penculikan itu) secara berimbang. Lewat buku ini, Meutya juga menaruh harapan agar bangsa ini bisa lebih menghargai lagi profesi jurnalis yang kerap mesti mempertaruhkan nyawa bagi dua menit berita di televisi atau satu kolom kecil tulisan di koran.
Buku ini merekam secara filmis (dan emosional) adegan demi adegan yang dialami Meutya dan Budi sejak diculik di sebuah pompa bensin di Ramadi hingga disekap di gua dan kemudian dibebaskan tanpa tuntutan apapun. Sebagai sebuah memoar, buku ini cukup "jujur", personal, dan menarik karena dituturkan dengan gaya bercerita orang pertama (aku) dengan plot layaknya sebuah novel. Guna lebih menghidupkan cerita, Meutya juga mengisahkan secuil riwayat hidupnya semasa kecil hingga peristiwa tersebut terjadi. Mungkin bakal asyik juga kalau diangkat ke layar lebar.
Pujian bagi rancangan covernya yang menampilkan gambar "bersejarah" itu (Meutya dan Budiyanto di bawah ancaman senjata api dua orang penculiknya dari Kelompok Mujahidin Irak). Gambar tersebut bersumber dari para penculik yang lantas menyebarluaskannya ke seluruh jagad melalui jaringan siaran televisi.
Wanita cantik kelahiran 29 tahun silam itu semula tidak pernah bercita-cita bekerja sebagai jurnalis. Ia yang lulusan Teknik Industri Universitas New South Wales, Australia ini, mengaku kariernya sebagai reporter televisi bermula dari rasa ketertarikannya pada konsep televisi berita 24 jam di Metro TV. Acara pertama yang dibawakannya di stasiun tivi tersebut adalah e-Lifestyle sebelum akhirnya menjadi pembaca berita seperti sekarang ini.
Pada pengujung Januari 2005, Meutya tak dapat berkelit dari tugas yang diberikan atasannya untuk pergi meliput secara langsung pemilihan umum (pemilu) di Irak. Padahal, ia baru saja kembali dari tugas liputan pascatsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pemilu di Irak tersebut menjadi penting sebab itulah pemilu bebas pertama yang diselenggarakan setelah tergulingnya Saddam Husein.
Sebagai wartawan tivi dengan jam terbang lima tahun, Meutya telah cukup banyak mengantungi pengalaman meliput daerah-daerah "rawan" dan berbahaya. Ketika menerima penugasannya ke Irak, Meutya sadar bahwa ia akan terjun meliput ke sebuah wilayah konflik bersenjata yang setiap saat berisiko terhadap keselamatan jiwanya. Namun, tentu ia tak pernah bermimpi jika akhirnya ia benar-benar berada pada sebuah situasi riil yang mengancam keselamatannya. Ia diculik. Sungguh-sungguh diculik! Dan lima hari kemudian, ia yang biasa mewartakan berita kepada dunia, kini berbalik menjadi objek yang diberitakan.
Selain Meutya, penulisan buku ini juga melibatkan tim penulis pendamping yang terdiri dari Mauluddin Anwar, A.Latief Siregar, dan Ninok Leksono serta Hermawan Aksan (cerpenis/novelis) selaku editor.***
Endah Sulwesi 7/10
Penulis: Meutya Hafid
Penyunting: Hermawan Aksan
Penerbit: Hikmah
Tebal: xviii + 280 hlm
Kita tentu masih ingat peristiwa penculikan yang menimpa dua orang jurnalis Metro TV, Meutya Hafid (reporter) dan Budiyanto (juru kamera), oleh Kelompok Mujahidin Irak (Jaish al Mujahideen) pada 15 Februari 2005. Selama 168 jam mereka disandera di sebuah gua di tengah gurun pasir Ramadi. Tak kurang dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono turut mengupayakan pembebasan bagi keduanya.
Bagi Meutya, peristiwa penyanderaan dirinya itu merupakan sebuah pengalaman berharga dalam sepanjang hidupnya. Sudah lama ia berniat untuk menuliskannya. Namun, karena kesibukan dan lain-lain, baru terwujud dua tahun setelahnya. Buku yang diberi judul 168 Jam dalam Sandera itu, akhirnya diluncurkan pada Jumat, 28 September 2007 di Ruang Prambanan Hotel Sahid Jaya, Jakarta.
Lewat buku tersebut, Meutya hendak berbagi cerita kepada masyarakat, khususnya para wartawan di negeri ini, bahwa akhirnya tidak ada berita yang nilainya lebih dari nyawa. Di saat-saat yang dirasanya begitu dekat dengan kematian, ia baru menyadari betapa nyawa amatlah berharga dibandingkan berita sepenting apapun dan tak ada sesiapa yang dapat menolongnya kecuali atas kehendak Tuhan. Peristiwa selama 168 jam itu telah membuatnya belajar tentang kepasrahan total kepada Yang Maha Kuasa.
Selain itu, Meutya juga ingin mempersembahkan buku ini bagi perjuangan rakyat Irak serta para penyanderanya, Jaish Al Mujahideen, sebagai pemenuhan janjinya untuk memberitakan (peristiwa penculikan itu) secara berimbang. Lewat buku ini, Meutya juga menaruh harapan agar bangsa ini bisa lebih menghargai lagi profesi jurnalis yang kerap mesti mempertaruhkan nyawa bagi dua menit berita di televisi atau satu kolom kecil tulisan di koran.
Buku ini merekam secara filmis (dan emosional) adegan demi adegan yang dialami Meutya dan Budi sejak diculik di sebuah pompa bensin di Ramadi hingga disekap di gua dan kemudian dibebaskan tanpa tuntutan apapun. Sebagai sebuah memoar, buku ini cukup "jujur", personal, dan menarik karena dituturkan dengan gaya bercerita orang pertama (aku) dengan plot layaknya sebuah novel. Guna lebih menghidupkan cerita, Meutya juga mengisahkan secuil riwayat hidupnya semasa kecil hingga peristiwa tersebut terjadi. Mungkin bakal asyik juga kalau diangkat ke layar lebar.
Pujian bagi rancangan covernya yang menampilkan gambar "bersejarah" itu (Meutya dan Budiyanto di bawah ancaman senjata api dua orang penculiknya dari Kelompok Mujahidin Irak). Gambar tersebut bersumber dari para penculik yang lantas menyebarluaskannya ke seluruh jagad melalui jaringan siaran televisi.
Wanita cantik kelahiran 29 tahun silam itu semula tidak pernah bercita-cita bekerja sebagai jurnalis. Ia yang lulusan Teknik Industri Universitas New South Wales, Australia ini, mengaku kariernya sebagai reporter televisi bermula dari rasa ketertarikannya pada konsep televisi berita 24 jam di Metro TV. Acara pertama yang dibawakannya di stasiun tivi tersebut adalah e-Lifestyle sebelum akhirnya menjadi pembaca berita seperti sekarang ini.
Pada pengujung Januari 2005, Meutya tak dapat berkelit dari tugas yang diberikan atasannya untuk pergi meliput secara langsung pemilihan umum (pemilu) di Irak. Padahal, ia baru saja kembali dari tugas liputan pascatsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pemilu di Irak tersebut menjadi penting sebab itulah pemilu bebas pertama yang diselenggarakan setelah tergulingnya Saddam Husein.
Sebagai wartawan tivi dengan jam terbang lima tahun, Meutya telah cukup banyak mengantungi pengalaman meliput daerah-daerah "rawan" dan berbahaya. Ketika menerima penugasannya ke Irak, Meutya sadar bahwa ia akan terjun meliput ke sebuah wilayah konflik bersenjata yang setiap saat berisiko terhadap keselamatan jiwanya. Namun, tentu ia tak pernah bermimpi jika akhirnya ia benar-benar berada pada sebuah situasi riil yang mengancam keselamatannya. Ia diculik. Sungguh-sungguh diculik! Dan lima hari kemudian, ia yang biasa mewartakan berita kepada dunia, kini berbalik menjadi objek yang diberitakan.
Selain Meutya, penulisan buku ini juga melibatkan tim penulis pendamping yang terdiri dari Mauluddin Anwar, A.Latief Siregar, dan Ninok Leksono serta Hermawan Aksan (cerpenis/novelis) selaku editor.***
Endah Sulwesi 7/10
2 komentar:
sukses selalu buat mbak mut,,,,
saya akan selalu menjadi penggemar yang setia sampai saya lelah di hidup ini dan hingga akhirnya saya menutup mata saya untuk melihat semua yang ada di dunia fana ini dan menutup telinga ini agar tidak mengetahui dan mendengar bahwa mbak mut tidak menginginkan saya menjadi orang yang bisa lebih dekat dengan mu mbak,,,,
terima kasih atas semua inspirasi mu mbak,,,,
I 99 by your 9 that you from 9 been crying for 99
Posting Komentar