Judul buku: Pemakaman Langit
Judul asli: Sky Burial
Penulis: Xinran
Penerjemah: Ken Nadya
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Agustus 2007
Tebal: 288 hlm.
Dahulu kala, di Tibet ada sebuah tradisi pemakaman yang sangat sakral. Orang-orang di sana menyebutnya pemakaman langit. Ritualnya dimulai dengan memandikan jenazah, kemudian mencukur habis seluruh rambut dan bulu di sekujur tubuh sampai bersih. Setelah dibalut kain putih, jenazah diletakkan dalam posisi duduk dengan kepala menunduk di atas lutut. Pada hari yang dianggap baik, jenazah digotong ke altar yang sudah disiapkan. Para lama dan orang-orang suci diundang untuk membacakan naskah-naskah suci sebagai upaya pembebasan dosa bagi roh si mati.
Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang yang disebut “guru” pemakaman langit. Pada hari itu ia akan meniup terompet dari tanduk, menyulut api murbei untuk mengundang kawanan burung nasar, memotong-motong jenazah, serta meremukkan tulang belulangnya dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Semua harus dilakukan dengan benar, sebab jika salah mereka percaya iblis-iblis akan datang merebut arwah si mati. Supaya seluruh jasad si mati habis dimangsa burung-burung nasar itu berikut tulang-tulangnya, dipakailah mentega yak sebagai pencampurnya. Agaknya kandungan zat dalam mentega yak ini disukai burung-burung bangkai tersebut.
Begitulah, tradisi tersebut bisa jadi masih berlangsung hingga kini di Negeri Atap Langit itu.
Kira-kira setengah abad yang lampau, terjadi sebuah peristiwa yang berhubungan dengan tradisi pemakaman langit ini. Sang jenazah adalah seorang dokter warga negara Cina yang mati dalam misi pembebasan rakyat di Tibet. Kejun, demikian nama dokter itu, baru saja menikahi Shu Wen sebelum berangkat ke Tibet.Pasangan pengantin baru itu terpaksa berpisah demi tugas negara.
Hanya tak kurang dari seratus hari kemudian, Shu Wen menerima sepucuk surat dari Dinas Militer Suzhou yang memeberitahukan, bahwa Kejun telah tewas dalam sebuah insiden di Tibet bagian Timur. Kabar tersebut sangat mengagetkan Shu Wen. Ia tak percaya suaminya yang tangguh dan senantiasa memancarkan gairah hidup itu telah meninggalkan dia selamanya. Lagi pula seorang dokter tentara tak akan terjun langsung ke arena pertempuran. Insiden apakah yang telah menyebabkan suaminya tercinta menemui ajal? Staf dinas militer yang seharusnya bertanggungjawab tak dapat memberikan keterangan memuaskan.
Aku tak bisa meninggalkannya sendirian di Tibet, demikian Wen bergumam sedih dalam hati untuk sang suami tercinta yang tak jelas nasibnya. Maka, berbekal rasa cintanya, Wen bertekad menemukan sendiri sang kekasih hati di Tibet yang ganas dan “primitif” itu. Wen sungguh tak mengira ini akan jadi perjalanan paling panjang yang menghabiskan separuh sisa umurnya.
Kisah pencarian Wen inilah yang dituturkan Xinran, penulis Cina yang sebelumnya bekerja sebagai wartawan dan penyiar radio di Nanjing dan sejak 1997mukim di London menekuni karier sebagai penulis. Pada 1994, Xinran bertemu Shu Wen yang baru kembali dari Tibet. Kepada Xinran, Wen membagi ceritanya. Untuk lebih menyelami dan menghayati perjalanan Shu Wen, setahun kemudian (1995), Xinran melakukan napak tilas, mengikuti “jalur” Wen. Sepuluh tahun berikutnya, terbitlah novel ini.
Hidup di tengah-tengah daerah dan orang-orang asing yang sama sekali berbeda kepercayaan, budaya, dan kebiasaannya, pastilah membutuhkan kekuatan dan keberanian tersendiri. Apa lagi buat seorang perempuan kota seperti Wen yang telah terbiasa hidup enak dan berkecukupan. Di Tibet, Wen harus beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orangnya yang menakjubkan. Mereka hidup secara nomadik, berpindah-pindah tempat mengandalkan naluri, pergantian musim, serta tradisi leluhur. “Pada musim semi pergilah ke ladang-ladang rumput di tepi air; pada musim panas ke pegunungan; pada musim gugur pergilah ke padang-padang rumput di lereng tinggi; pada musim dingin ke dataran-dataran rendah di mana banyak tempat bernaung” (hlm 133)
Membaca novel “sederhana” ini, saya nyaris tidak percaya pada apa yang telah dialami dan dilakukan Wen demi sebuah keyakinan dan cinta. Bukan keganasan dan keliaran alam Tibet beserta tradisi penduduknya yang memukau saya benar, tetapi kekerasan tekad seorang perempuan yang membawa sekeping cinta di hatinya hingga mampu menaklukkan segala rintangan itulah yang memesona saya. Seperti Xinran, saya pun tergetar oleh kisah cinta Wen ini. Tanpa gembar-gembor, Wen telah membuktikan bahwa kekuatan cinta itu ada dan sangatlah besar. Tadinya saya kira hanya kasih seorang ibu terhadap anaknyalah yang sanggup melakukan apa yang telah diperbuat Wen.
Agaknya benar apa yang pernah ditulis Gibran dalam salah satu puisinya: “Ketika cinta memanggilmu, ikutlah dengannya, meskipun jalan yang harus kautempuh keras dan terjal.”
Endah Sulwesi 30/9
Judul asli: Sky Burial
Penulis: Xinran
Penerjemah: Ken Nadya
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Agustus 2007
Tebal: 288 hlm.
Dahulu kala, di Tibet ada sebuah tradisi pemakaman yang sangat sakral. Orang-orang di sana menyebutnya pemakaman langit. Ritualnya dimulai dengan memandikan jenazah, kemudian mencukur habis seluruh rambut dan bulu di sekujur tubuh sampai bersih. Setelah dibalut kain putih, jenazah diletakkan dalam posisi duduk dengan kepala menunduk di atas lutut. Pada hari yang dianggap baik, jenazah digotong ke altar yang sudah disiapkan. Para lama dan orang-orang suci diundang untuk membacakan naskah-naskah suci sebagai upaya pembebasan dosa bagi roh si mati.
Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang yang disebut “guru” pemakaman langit. Pada hari itu ia akan meniup terompet dari tanduk, menyulut api murbei untuk mengundang kawanan burung nasar, memotong-motong jenazah, serta meremukkan tulang belulangnya dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Semua harus dilakukan dengan benar, sebab jika salah mereka percaya iblis-iblis akan datang merebut arwah si mati. Supaya seluruh jasad si mati habis dimangsa burung-burung nasar itu berikut tulang-tulangnya, dipakailah mentega yak sebagai pencampurnya. Agaknya kandungan zat dalam mentega yak ini disukai burung-burung bangkai tersebut.
Begitulah, tradisi tersebut bisa jadi masih berlangsung hingga kini di Negeri Atap Langit itu.
Kira-kira setengah abad yang lampau, terjadi sebuah peristiwa yang berhubungan dengan tradisi pemakaman langit ini. Sang jenazah adalah seorang dokter warga negara Cina yang mati dalam misi pembebasan rakyat di Tibet. Kejun, demikian nama dokter itu, baru saja menikahi Shu Wen sebelum berangkat ke Tibet.Pasangan pengantin baru itu terpaksa berpisah demi tugas negara.
Hanya tak kurang dari seratus hari kemudian, Shu Wen menerima sepucuk surat dari Dinas Militer Suzhou yang memeberitahukan, bahwa Kejun telah tewas dalam sebuah insiden di Tibet bagian Timur. Kabar tersebut sangat mengagetkan Shu Wen. Ia tak percaya suaminya yang tangguh dan senantiasa memancarkan gairah hidup itu telah meninggalkan dia selamanya. Lagi pula seorang dokter tentara tak akan terjun langsung ke arena pertempuran. Insiden apakah yang telah menyebabkan suaminya tercinta menemui ajal? Staf dinas militer yang seharusnya bertanggungjawab tak dapat memberikan keterangan memuaskan.
Aku tak bisa meninggalkannya sendirian di Tibet, demikian Wen bergumam sedih dalam hati untuk sang suami tercinta yang tak jelas nasibnya. Maka, berbekal rasa cintanya, Wen bertekad menemukan sendiri sang kekasih hati di Tibet yang ganas dan “primitif” itu. Wen sungguh tak mengira ini akan jadi perjalanan paling panjang yang menghabiskan separuh sisa umurnya.
Kisah pencarian Wen inilah yang dituturkan Xinran, penulis Cina yang sebelumnya bekerja sebagai wartawan dan penyiar radio di Nanjing dan sejak 1997mukim di London menekuni karier sebagai penulis. Pada 1994, Xinran bertemu Shu Wen yang baru kembali dari Tibet. Kepada Xinran, Wen membagi ceritanya. Untuk lebih menyelami dan menghayati perjalanan Shu Wen, setahun kemudian (1995), Xinran melakukan napak tilas, mengikuti “jalur” Wen. Sepuluh tahun berikutnya, terbitlah novel ini.
Hidup di tengah-tengah daerah dan orang-orang asing yang sama sekali berbeda kepercayaan, budaya, dan kebiasaannya, pastilah membutuhkan kekuatan dan keberanian tersendiri. Apa lagi buat seorang perempuan kota seperti Wen yang telah terbiasa hidup enak dan berkecukupan. Di Tibet, Wen harus beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orangnya yang menakjubkan. Mereka hidup secara nomadik, berpindah-pindah tempat mengandalkan naluri, pergantian musim, serta tradisi leluhur. “Pada musim semi pergilah ke ladang-ladang rumput di tepi air; pada musim panas ke pegunungan; pada musim gugur pergilah ke padang-padang rumput di lereng tinggi; pada musim dingin ke dataran-dataran rendah di mana banyak tempat bernaung” (hlm 133)
Membaca novel “sederhana” ini, saya nyaris tidak percaya pada apa yang telah dialami dan dilakukan Wen demi sebuah keyakinan dan cinta. Bukan keganasan dan keliaran alam Tibet beserta tradisi penduduknya yang memukau saya benar, tetapi kekerasan tekad seorang perempuan yang membawa sekeping cinta di hatinya hingga mampu menaklukkan segala rintangan itulah yang memesona saya. Seperti Xinran, saya pun tergetar oleh kisah cinta Wen ini. Tanpa gembar-gembor, Wen telah membuktikan bahwa kekuatan cinta itu ada dan sangatlah besar. Tadinya saya kira hanya kasih seorang ibu terhadap anaknyalah yang sanggup melakukan apa yang telah diperbuat Wen.
Agaknya benar apa yang pernah ditulis Gibran dalam salah satu puisinya: “Ketika cinta memanggilmu, ikutlah dengannya, meskipun jalan yang harus kautempuh keras dan terjal.”
Endah Sulwesi 30/9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar