Sabtu, 25 Oktober 2008

Kartunama Putih


Judul buku: Kartunama Putih
Penulis: Kurnia Effendi
Penerbit: Biduk, Bandung
Cetakan: I, 1997
Tebal: xiv + 95 hlm.

Kurnia Effendi sebagai cerpenis, itu sudah lama saya tahu. Sejak dua puluh tahun yang lalu di era generasi Anita Cemerlang. Tetapi bahwa ia juga seorang penyair, baru belakangan ini saya mengetahuinya. Dan diam-diam, oh…tepatnya sih saya yang kurang informasi, ia telah pernah menerbitkan puisi-puisinya itu dalam satu buku : Kartunama Putih. Buku tersebut lahir 11 tahun silam.

Kerena usianya yang sudah cukup “tua” untuk ukuran sebuah buku, tidaklah mengherankan jika kita sudah tidak akan menemukannya lagi di rak-rak toko buku. Namun, beruntunglah saya yang berkat persahabatan saya dengan penulisnya, masih bisa menikmati jejak kepenyairan Kurnia Effendi atau yang kerap disapa dengan nama akrabnya, Kef, ini. Sepekan lalu, pada sebuah siang yang menyengat, ia menghadiahi saya buku kumpulan puisinya itu.

Kartunama Putih memuat 86 biji sajak yang bertema atau berkisah ihwal nama-nama orang yang oleh saya akan saya bedakan menjadi dua bagian. Pertama adalah puisi-puisi yang melibatkan atau diperuntukkan bagi orang-orang terdekat Kef. Misalnya, istri, anak-anaknya, keluarga, keponakan, kakek, sahabat, atau bisa jadi sejumlah mantan kekasih di masa remaja. Bagian kedua merupakan puisi-puisi persembahan atau ungkapan kekaguman Kef kepada para tokoh. Baik nasional ataupun internasional. Di sana akan kita temukan nama-nama seperti Mega, Udin, Benyamin Netanyahu, Slobodan Milosevic, dan lain-lain.

Dari kedua pembagian ini, saya bisa merasakan perbedaannya. Maksud saya, saya merasakan kesan yang berbeda dari keduanya.

Pada bagian untuk orang-orang terdekatnya, puisi-puisi yang ditulisnya terasa lebih “bunyi”. Barangkali karena ia benar-benar menuliskannya dari hati. Dari jarak yang dekat dengan subjeknya. Benar-benar merupakan ungkapan perasaan yang personal; yang umumnya hanya bisa dipahami oleh yang bersangkutan. Tetapi tidak demikian halnya dengan sajak-sajak Kef di buku ini. Meskipun puisi tersebut sangat personal sifatnya dan bukan ditujukan untuk kita (baca : saya), tapi kita (baca: saya) dapat ikut merasakan getarannya. Dengan kata lain, sampai ke hati. Baik maknanya maupun keindahannya. Atau saya lebih suka menyebutnya sebagai puisi-pusi yang bikin cemburu; lantaran tatkala membacanya saya membayangkan tentu pribadi-pribadi kepada siapa Kef menujukan sajak-sajaknya ini merasa tersanjung dan senang sekali. Sebab hal yang sama pernah saya rasakan pula.

Untuk jelasnya, baiklah, saya petikkan satu contohnya :


R.A.

Tinggal wangi bajumu, menyapu udara, ketika
Kereta bertolak ke utara. Tanganmu lepas dari
Genggaman. Jarak pun berkali lipat menawarkan sunyi
Di bumi yang selalu basah ini kutunggu kabar:
Kapan engkau kembali? Hujan terus turun, mencuci
Jarak pertemuan yang sengaja kunamai kenangan
Dingin peron merayap ke lantai kamar. Tempat
Sepasang kakiku terhenti. Menopang kerinduan
Yang tiba-tiba sangat berat.

Ingin kularutkan dalam mimpi: seluruh percakapan
Tentang harapan dan kecemasan. Juga tahun-tahun
Yang kupertaruhkan. Menunggu bulan turun
Ke pangkuan, alangkah panjang pengembaraan
Di malam yang kelewat basah, terus kupagut
Wangi bajumu. Terus kupagut

Puisi yang berangka tahun 1989 ini, jelas sekali merupakan puisi persembahan cinta untuk kekasih yang kini menjadi istrinya : R.A. Kependekan dari Ratu Ade. Tentu waktu itu mereka masih berstatus pacaran.

Walaupun “R.A.” sajak yang sangat personal bagi penulisnya, namun kita bisa meminjamnya untuk merayu kekasih kita. Apa lagi bila peristiwa atau situasi yang kita hadapi memiliki kemiripan dengan sajak tersebut.

Atau sajak yang ini :

KANGEN
: Ageng-Erda

Benarkah hanya jarak memisahkan kita
(Bukan karena orang ketiga, atau matirasa?)
Waktu telah lancang menghimpun seluruh
Perasaan yang diam-diam kutabung untukmu

Bahwa suatu ketika kado ini kubuka
Persis di depan bolamatamu
Yang menyembunyikan sejumlah gemerlap,
adalah tentang kangen semata

Ini juga milikku
Satu kangen yang tak bergeser
dari alamatmu.

Saya tentu tak kenal Ageng dan Erda. Dan saya memang tak perlu mengenal mereka lebih dahulu untuk bisa menikmati sajak ini; untuk dapat ikut serta merasakan kerinduan seorang kekasih di dalamnya. Bahkan saya berniat, kapan-kapan jikalau saya sedang kangen pada kekasih saya (kalau pas lagi punya kekasih), saya akan ungkapkan rindu saya dengan sajak ini.

Nah, kini mari kita bandingkan dengan sajak-sajaknya di “bagian kedua”. Langsung saja saya ambil satu sampel :

MEGA

Ketika bibirmu tersenyum
Beribu-ribu hati bijak turut tersiram sejuk
Tanganmu yang mengepal: menanamkan tunas
semangat kepada kebun massa di sekelilingmu

Engkau duduk pada kursi yang mula-mula
disiapkan untuk memimpin komunitas luluh-lantak
Babak kondisional dalam peta sosial politik,
dielu-elu dengan saputangan basah
Lorong panjang masa silam kembali diteropong
Darah orator mengalir kuat di jantungmu

Ketika bibirmu tersenyum
Seharusnya untuk 1993 sampai 1998
Namun dramatisasi dalam sandiwara negeri ini diperlukan
Untuk mengecoh para penulis sejarah masa depan
Akankah tangan-tangan kita perlu berlumur darah lagi?

Engkau kini duduk di kursi goyah
Sedang mata dunia tengah bersama-sama menatap
dari segala penjuru. Mungkin berjuta lembar skenario
harus ditimbang-tinbang, sebelum diterbitkan
dengan tinta cetak kepalsuan
Akankah tangan-tangan kita perlu berlumur darah lagi?

Sajak ini ditulis tahun 1996. Sudah pasti bermaksud mengenang peristiwa bersejarah 27 Juli 1996 yang berupaya menumbangkan Megawati dari kursi ketua DPP PDI. Zaman itu, ketika pemerintahan masih dijalankan oleh rezim Orde Baru yang otoriter, sosok Megawati dan PDI-nya menjadi simbol perlawanan. Megawati yang didzalimi, telah menumbuhkan banyak simpati di hati banyak orang di negeri ini. Mungkin termasuk Kurnia Effendi, sehingga terciptalah puisi ini.

Perhatikan diksi yang dipilih Kef dalam sajak ini. Sangat berbeda dengan yang ia pakai dalam sajak-sajak cintanya yang lembut dan romantis. Pada sajak “Mega” ini, saya seperti sedang membaca pamflet. Ada aroma politik, kekerasan, bau amis darah, kemarahan, serta sarat gugatan di sana. Demikian pula pada sajak “Literatur Kematian Udin” (hlm.16), “Kepada Ny. Hillary Clinton” (hlm.38), dan “Slobodan Milosevic” (hlm.24)

Tetapi itu masih lumayan. Masih lumayan ngerti, maksud saya. Sosok Megawati, Udin, Ny. Clinton, dan Milosevic bukanlah sosok asing. Namun, ketika sampai pada Peter Brook, Eva Johnson, Narrowsky, Oodgeroo Noonuccal, atau Hikotaro Yazaki, lantaran dangkalnya ilmu yang saya punyai, terpaksa kudu tanya si Google dulu untuk mengulik pengetahuan ihwal nama-nama tersebut. Akibatnya, saya merasakan ada jarak antara saya dengan puisi-puisi tentang mereka. Tidak senikmat saat saya membaca puisi-puisi di “bagian pertama”. Ah, mudah-mudahan Kef menulis sajak-sajak di “bagian kedua” ini bukan sekadar sebagai sebuah upaya gagah-gagahan.

Lalu, mana sajak “Kartunama Putih” yang dipakai untuk judul buku ini? Ia terletak di halaman xi (pembuka) dan 95 (penutup) :

Kartunama itu putih saja
Tak ada huruf kecuali warna kain kafan
Kartunama itu : putih saja

Namun, agaknya kartunama itu tak putih lagi. Di dalamnya, Kef telah mengukir nama-nama, puisi-puisi…***

Selasa, 14 Oktober 2008

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels


Judul buku: Jalan Raya Pos, Jalan Daendles.
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Editor: Daniel Mahendra dan Astuti Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Cetakan: I, 2005
Tebal: 148 hlm.

Telah satu windu lebih setiap hari saya melakoni perjalanan pergi pulang Jakarta-Puncak setiap hari. Ya, setiap hari, karena kantor saya terletak nun di negeri awan dengan selendang kabut yang melayang-layang di pagi hari : Puncak. Anda tentu tahu perkebunan teh yang membentang di kiri kanan Jalan Raya Puncak mulai dari desa Tugu Selatan dan berakhir di sekitar restoran Rindu Alam? Nah, di situlah saya ngantor setiap harinya. Enam hari dalam sepekan. Nama perkebunan itu adalah Gunung Mas yang merupakan salah satu “warisan” peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

Oh, saya melantur. Sebaiknya saya segera kembali ke niat semula membincang ihwal riwayat Jalan Raya Pos atau yang lebih populer lagi dengan sebutan Jalan Daendels (atau beken juga dengan nama Anyer-Panarukan). Kiranya salah sepotong jalan yang memiliki panjang keseluruhan seribu kilometer itu adalah Jalan Raya Puncak yang selama delapan tahun mondar-mandir saya lalui setiap hari.

Sebetulnya saya sudah sedikit mengetahui fakta tersebut. Namun, selama ini saya tidak pernah memberikan perhatian khusus pada jalan raya yang dalam sejarah pembuatannya telah menelan ribuan korban jiwa (menurut data pemerintah Inggris, sekitar 12.000) rakyat Indonesia. Barulah setelah membaca buku nonfiksi karya sastrawan aktivis Lekra, Pramoedya Ananta Toer, perhatian saya tergugah sepenuhnya.

Kini, jika tidak tertidur di angkot, setiap kali melintasi jalur Puncak tersebut, saya membayangkan betapa sengsaranya para kuli pribumi saat menjalani kerja rodi membangun jalan ini. Membabat hutan, memangkas bukit. Membelahnya hingga menjadi sebatang jalan yang menembus memanjang hingga ke ujung timur Pulau Jawa. Dengan teknologi dan peralatan yang tentu masih sangat sederhana, tak mengherankan jika banyak jatuh korban dalam upaya pembikinan jalan ini. Terlebih lagi mereka bekerja secara paksa di bawah tekanan penjajahan yang dipimpin oleh Sang Tuan Besar Guntur, Mr. Herman Willem Daendels. Tanpa upah dan kerap tak diberi makan.

Pramoedya, sastrawan yang banyak melahirkan roman sejarah, kali inipun menuliskan riwayat Jalan Daendels ini dengan cara bertutur, mengawinkan fakta sejarah dengan pengalaman pribadinya dengan kota-kota yang dilewati jalan raya “maut” ini.

Ia memulai kisahnya dari Lasem, Jawa Tengah. Kota yang dekat dengan tanah kelahirannya : Blora. Kemudian meloncat ke ujung barat Jawa: Anyer, tempat “mandor” Daendels pertama kali menginjakkan kaki di bumi Jawa (5 Januari 1808).

Dari Anyer, ia lantas mengurutnya ke Cilegon, Banten, Serang Tangerang, dan Batavia. Semua daerah itu ada di garis pantai utara Jawa. Dari Batavia Jalan Raya Pos ini membelok ke Depok, berlanjut ke jalur mudik selatan: Bogor (waktu itu namanya masih Buitenzorg), Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, dan berakhir di Karang Sembung sebelum kembali menuju pantura (jalur mudik yang senantiasa macet dan rawan kecelakaan) yang berawal di Cirebon.

Dari Kota Udang ini, Meneer Daendels memerintahkan untuk melanjutkan pembuatan jalan terus ke timur, melewati sederetan kota sebagai berikut: Losari, Brebes, Tegal, Pekalongan, Batang, Waleri, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Juwana, dan stop di Rembang yang merupakan perbatasan Jawa Tengah dan Oosthoek (Jawa Timur).

Apakah jalan itu buntu di kota tepi pantai ini? Tentu tidak, sebab kita tahu dari sejarah, jalan “berdarah” ini berujung di Panarukan, Jawa Timur. Maka, dari Rembang jalan menyambung ke Tuban, Gresik, Surabaya, Wonokromo, Sidoarjo, Porong, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Besuki, dan tamat di Panarukan yang pada masanya pernah menjadi pelabuhan terpenting di bagian paling timur pantai utara Jawa.

Jika hanya menuliskan barisan kota-kota tadi, pastilah terbayang di benak Anda (dan saya sebelum membaca) alangkah membosankannya buku ini. Tetapi bukan Pram namanya jika ia tak pandai menyiasati “sejarah”.

Maka, Pram mengakali penulisan sejarah Jalan Raya Pos ini melalui penuturan yang sangat personal; mengaitkannya dengan pengalaman dan kenang-kenangannya terhadap barisan kota yang dilalui jalan raya itu plus sejarah kota-kota tersebut sembari sesekali melontarkan kritik dan kecaman terhadap penguasa. Bahkan kejadian-kejadian lucu yang sempat dialaminya tak luput diuraikan pula.

Misalnya, pengalaman harus mengantre selama dua harmal (dua hari dua malam) di Semarang untuk memperoleh karcis kereta api cepat jurusan Jakarta. Atau pengalaman “menjijikan” ketika ia menginap di markas Laskar Rakyat di Cirebon pada pertengahan 1946. Pada tengah malam, mendadak Pram muda terserang sakit perut ingin buang air besar. Karena tidak ada penerangan, di dalam kakus, ia tak dapat melihat apapun di sekitarnya.

“Kaki menggerayangi takhta kakus. Begitu mendapatkan ketinggian langsung nongkrong. Aneh, barang buangan itu jatuh memantulkan bunyi minor. Membersihkan diri pun tangan gerayangan mencari sumur. Dan waktu membasuh itu korek logam jatuh dari kantong celana. Curiga pada suara minor aku kembali ke kakus. Sinar api korek itu? Masya Allah, ternyata yang kuberaki bukan takhta kakus tapi tungku dapur. Dan kotoranku jatuh ke dalam periuk rendah yang masih ada sisa singkong rebus” (hlm. 79).

Sudah pasti, paparan demikian tak akan kita temukan dalam buku teks sejarah. Oleh karenanya, melalui buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini sejarah jadi terasa menarik dan nikmat untuk diikuti. Dengan ketekunan seorang sejarawan, Pram mencangkuli, menggali, setiap data dan detail sebuah peristiwa untuk kemudian dicatat dan dituliskan kembali sebagai sebuah upaya melawan lupa.

Tahun ini, tepat 200 tahun usia Jalan Raya Daendels. Pada masanya, jalan ini pernah menjadi jalan terpanjang di dunia. Sama dengan jalan raya yang menghubungkan Amsterdam-Paris. Jalan yang ternyata tidak sepenuhnya hasil karya Daendels (jalan aslinya sebagian sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya, ia hanya melebarkannya menjadi 7 meter) ini, menjadi saksi dan bukti pembantaian manusia-manusia pribumi. Kisah di balik pembuatannya hanya salah satu dari banyak tragedi kerja paksa yang pernah berlangsung di Hindia Belanda. Di bawah Jalan Daendels ini terhimpun ribuan mayat petani dan orang-orang kecil tak berdaya.

Dan, oops! “Kuburan” itulah yang selama sewindu setiap hari saya lintasi. Masya Allah….***