Judul buku: Dunia Adin
Penulis: Sundea
Penyunting: Andy Romdani
Ilustrator: Triyadi Guntur W.
Penerbit: Read! (Kelompok Mizan)
Cetakan: I, September 2007
Tebal: 261 hlm.
Saya mempunyai kenalan seorang gadis kecil berumur enam tahun. Adin namanya. Wajahnya sangat imut, pipinya tembam, dan rambutnya hitam tebal. Dia sangat suka bermain dan menggambar di tembok kamarnya. Saya suka bermain dengannya karena cara berpikir dia yang mengejutkan dan jenaka.
Demikianlah buku cerita anak Dunia Adin dibuka. Pembukaan yang konvensional. Selanjutnya, kisah tertuang dalam bab-bab yang kadang-kadang tidak berhubungan satu dengan lainnya. Lebih sering tiap bab itu berisi kisah yang berdiri sendiri. Tapi tetap tokohnya Adin. Ya..mirip catatan harian mengamati gerak-gerik dan aktivitas Adin sehari-hari.
Umpamanya saja, ketika Adin dan mamim–demikian Adin menyebut ibunya–terjebak kemacetan di salah satu ruas jalan di Bandung. Atau saat Adin dan sahabatnya, Coki, bersedih hati karena ikan mas peliharaan mereka mati. Hal-hal semacam itulah yang tertulis di buku karya Sundea ini. Untuk menambah daya tarik, buku ini dilengkapi oleh gambar-gambar lucu sebagai ilustrasi hasil torehan kuas Triyadi Guntur W. Ilustrasi ini, bagi pembaca anak-anak, sangat membantu mereka untuk lebih memahami jalan cerita.
Secara fisik, tampilan buku Dunia Adin ini sudah sangat memadai sebagai bacaan anak-anak. Selian tampilan ilustrasi tadi, ukuran hurufnya pun dibuat cukup besar untuk memudahkan membacanya.
Ceritanya sendiri lumayan menarik. Memungut kejadian sehari-hari yang dialami bocah perempuan kelas I SD, penulisnya berupaya menyajikan kisah yang diharapkan akrab dengan pembacanya. Pesan yang disampaikan cukup efektif tanpa berkesan menggurui, meskipun ada satu yang saya kurang setuju, yakni perihal si papip (ayah Adin) yang memanggil putri tunggalnya itu dengan julukan Si Gembul.
Menurut saya, tidak seharusnya seorang ayah menyebut putrinya yang cantik dengan panggilan kesayangan seperti itu. Panggillah anak kita dengan nama-nama yang cantik atau julukan yang baik yang akan menambah kepercayaan diri anak dan bukan malah membuatnya minder.
Menurut penulisnya seperti yang dapat dibaca diblog miliknya, untuk memperoleh pemahaman yang sebenarnya mengenai dunia anak-anak, ia menyempatkan diri melakukan observasi dengan terjun langsung bermain dan bergaul bersama bocah-bocah cilik itu di SDK Yahya dan Sanggar Kreativitas Bumi Limas, Bandung. Dan dari sana cewek lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran itu mendapatkan realita yang mengejutkan. Ternyata anak-anak itu jauh lebih cerdas dari yang ia kira.
“Mereka menangkap macam-macam isu, bahkan isu politik yang sedang berkembang, lalu secara menakjubkan mampu menghubungkannya dengan keseharian”, tutur Dea lebih lanjut, “Mereka bisa membangun konsep Tuhan melalui cara berpikir yang sederhana tapi ternyata filosofis”, tambah gadis berusia 26 tahun ini lagi.
Lantaran itulah, penulis yang bernama lengkap Ardea Rhema Sikhar ini tak ragu menggunakan kosa-kata dan kalimat-kalimat liris plus metafor-metafor dalam buku keduanya tersebut. Dea, begitu ia biasa disapa, percaya dengan caranya sendiri anak-anak itu akan dapat mengartikannya.
Akan tetapi, buku ini tentu belum bisa dikatakan mewakili seluruh kenyataan yang ada di dunia atau untuk skup lebih sempit lagi, Indonesia (Kalau mau lebih kecil lagi : Bandung). Dea hanya mengambil sampel anak-anak dari kelas sosial menengah ke atas yang nota bene tak mengalami kesulitan ekonomi sebagaimana terjadi pada anak-anak di keluarga miskin. Jangan lagi untuk sekolah, buat sekadar makan pun susah. Bagi mereka, masa kanak-kanak bukanlah masa yang manis penuh gula. Setiap saat mereka dituntut untuk bekerja agar tetap bisa survive. Sejak dilahirkan , hidup sudah kejam pada mereka.
Penulis: Sundea
Penyunting: Andy Romdani
Ilustrator: Triyadi Guntur W.
Penerbit: Read! (Kelompok Mizan)
Cetakan: I, September 2007
Tebal: 261 hlm.
Saya mempunyai kenalan seorang gadis kecil berumur enam tahun. Adin namanya. Wajahnya sangat imut, pipinya tembam, dan rambutnya hitam tebal. Dia sangat suka bermain dan menggambar di tembok kamarnya. Saya suka bermain dengannya karena cara berpikir dia yang mengejutkan dan jenaka.
Demikianlah buku cerita anak Dunia Adin dibuka. Pembukaan yang konvensional. Selanjutnya, kisah tertuang dalam bab-bab yang kadang-kadang tidak berhubungan satu dengan lainnya. Lebih sering tiap bab itu berisi kisah yang berdiri sendiri. Tapi tetap tokohnya Adin. Ya..mirip catatan harian mengamati gerak-gerik dan aktivitas Adin sehari-hari.
Umpamanya saja, ketika Adin dan mamim–demikian Adin menyebut ibunya–terjebak kemacetan di salah satu ruas jalan di Bandung. Atau saat Adin dan sahabatnya, Coki, bersedih hati karena ikan mas peliharaan mereka mati. Hal-hal semacam itulah yang tertulis di buku karya Sundea ini. Untuk menambah daya tarik, buku ini dilengkapi oleh gambar-gambar lucu sebagai ilustrasi hasil torehan kuas Triyadi Guntur W. Ilustrasi ini, bagi pembaca anak-anak, sangat membantu mereka untuk lebih memahami jalan cerita.
Secara fisik, tampilan buku Dunia Adin ini sudah sangat memadai sebagai bacaan anak-anak. Selian tampilan ilustrasi tadi, ukuran hurufnya pun dibuat cukup besar untuk memudahkan membacanya.
Ceritanya sendiri lumayan menarik. Memungut kejadian sehari-hari yang dialami bocah perempuan kelas I SD, penulisnya berupaya menyajikan kisah yang diharapkan akrab dengan pembacanya. Pesan yang disampaikan cukup efektif tanpa berkesan menggurui, meskipun ada satu yang saya kurang setuju, yakni perihal si papip (ayah Adin) yang memanggil putri tunggalnya itu dengan julukan Si Gembul.
Menurut saya, tidak seharusnya seorang ayah menyebut putrinya yang cantik dengan panggilan kesayangan seperti itu. Panggillah anak kita dengan nama-nama yang cantik atau julukan yang baik yang akan menambah kepercayaan diri anak dan bukan malah membuatnya minder.
Menurut penulisnya seperti yang dapat dibaca diblog miliknya, untuk memperoleh pemahaman yang sebenarnya mengenai dunia anak-anak, ia menyempatkan diri melakukan observasi dengan terjun langsung bermain dan bergaul bersama bocah-bocah cilik itu di SDK Yahya dan Sanggar Kreativitas Bumi Limas, Bandung. Dan dari sana cewek lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran itu mendapatkan realita yang mengejutkan. Ternyata anak-anak itu jauh lebih cerdas dari yang ia kira.
“Mereka menangkap macam-macam isu, bahkan isu politik yang sedang berkembang, lalu secara menakjubkan mampu menghubungkannya dengan keseharian”, tutur Dea lebih lanjut, “Mereka bisa membangun konsep Tuhan melalui cara berpikir yang sederhana tapi ternyata filosofis”, tambah gadis berusia 26 tahun ini lagi.
Lantaran itulah, penulis yang bernama lengkap Ardea Rhema Sikhar ini tak ragu menggunakan kosa-kata dan kalimat-kalimat liris plus metafor-metafor dalam buku keduanya tersebut. Dea, begitu ia biasa disapa, percaya dengan caranya sendiri anak-anak itu akan dapat mengartikannya.
Akan tetapi, buku ini tentu belum bisa dikatakan mewakili seluruh kenyataan yang ada di dunia atau untuk skup lebih sempit lagi, Indonesia (Kalau mau lebih kecil lagi : Bandung). Dea hanya mengambil sampel anak-anak dari kelas sosial menengah ke atas yang nota bene tak mengalami kesulitan ekonomi sebagaimana terjadi pada anak-anak di keluarga miskin. Jangan lagi untuk sekolah, buat sekadar makan pun susah. Bagi mereka, masa kanak-kanak bukanlah masa yang manis penuh gula. Setiap saat mereka dituntut untuk bekerja agar tetap bisa survive. Sejak dilahirkan , hidup sudah kejam pada mereka.
Namun, baiklah. Mari sebaiknya kita berharap agar anak-anak kita kelak bisa hidup lebih baik lagi. Seperti Adin dan Coki.
Endah Sulwesi 4/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar