Judul buku: Mahasati
Penulis: Qaris Tajudin
Editor: Aries R.Prima
Penerbit: AKOER
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: 392 hlm
Mahasati adalah nama sebuah patung (di India), dibangun untuk mengenang perempuan-perempuan Hindu yang bunuh diri menceburkan tubuh ke dalam api perabuan suami mereka sebagai bukti kesetiaan seorang istri. Tradisi kuno ini dikenal dengan nama “Sati”. Dengan turut mati, para istri ini berharap dapat terus bersama sang suami di alam baka. Sati, dalam bahasa Sanskerta bermakna istri sejati. Dan Sati–dipenggal dari Larasati–adalah juga nama tokoh utama di novel Mahasati ini.
Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan, bahwa lebih gampang menulis sesuatu yang akrab dengan kita. Kita bisa menuturkannya secara lengkap dan terperinci dengan penjiwaan yang lebih terhayati sebab kita mengenal dan mengetahui setiap detailnya dengan baik.
Berjejak dari pengalaman pribadinya selaku wartawan, Qaris lalu “menciptakan” Andi Djatmika, seorang jurnalis muda keluaran sebuah pesantren di Jawa, sebagai karakter utama dalam Mahasati. Kemudian, secara flash back melalui narasi Andi, Qaris membawa kita bertualang ke Tunisia dan Afganistan.
Bermula di sebuah kompleks pemakaman. Mereka, Andi dan Sati, dipertemukan kembali oleh kematian Item, seorang sahabat dari masa kanak-kanak, setelah enam belas tahun terpisah. Dari sini, terjalin kembali hubungan cinta Sati dan Andi yang sempat terputus oleh jarak dan waktu.
Sati kecil yang tomboy itu telah menjelma seorang perempuan matang berprofesi model sekaligus perancang busana. Sedikit agak mengherankan jika mengingat ia digambarkan sebagai anak perempuan yang kelaki-lakian, tak pandai (dan tak suka) menari, tak suka berkain kebaya, tak suka berdandan, lebih suka layang-layang atau balap sepeda (dan menang) melawan Item dari pada main boneka.
Tetapi agaknya keterdesakan ekonomilah yang membuat Sati memilih berkarier di bidang modeling tersebut. Parasnya yang rupawan dengan mudah memberinya jalan cepat mencari uang di Jakarta, tempatnya melarikan diri dari rumah lantaran berkonflik dengan ayahnya (tak disebutkan konfliknya apa).
Kehidupan sebagai model di kota besar yang serbagemerlap melarutkan Sati ke dalam pergaulan yang cenderung bebas. Saat berjumpa kembali dengan Andi, Sati telah memiliki seorang anak perempuan, Rania, tanpa pernah menikah.
Bagi Andi, kehadiran Rania, tak mengubah apapun. Ia tetap mencintai Sati sebagaimana dahulu ketika masih sama-sama remaja kampung. Namun, malang tak bisa ditolak. Sati meninggal dunia di kala cinta lama mereka tengah di puncak mekar. Sati menemui ajal lantaran menenggak valium dalam dosis tinggi.
Sebenarnya, jiwa Sati bisa diselamatkan seandainya ia tidak–“sekonyong-konyong”–“divonis” mengidap kelainan jantung sejak kecil (Sekonyong-konyong, sebab sebelumnya tak pernah disinggung soal penyakit Sati ini. Malah ia digambarkan sebagai seorang anak perempuan yang sehat dan kuat secara fisik, terbukti menang balap sepeda melawan Item)
Maka, sang kekasih pun patah hati dan lantas “kabur” ke Tunisia demi menenangkan diri.
Alih-alih memperoleh ketenangan, Andi justru berhadapan dengan masalah baru. Ia terlibat dalam huru-hara mahasiswa yang menentang pemerintahan diktator Tunisia. Dalam salah satu aksi pengeboman, nama Andi dikait-kaitkan sebagai tersangka pelaku. Andi harus menyelamatkan diri.
Afganistan, ke sanalah ia pergi sampai akhirnya tertangkap tentara Amerika Serikat dan dijebloskan ke sel di Guantanamo, tempat ratusan tawanan perang asal Afganistan ditahan. Di sana, ia harus menjalani interogasi melelahkan yang dilakukan seorang perwira wanita AS keturunan Cina. Kepadanyalah kisah ini dituturkan.
Kisah roman yang lumayan menarik, terutama pada bagian petualangan Andi di Tunisia dan Afganistan. Qaris yang pernah mengemban tugas sebagai reporter rubrik Internasional di Tempo, sempat meliput serbuan Amerika Serikat di Kabul, ibukota Afganistan, pada pengujung 2001.
Pengalaman berharga tersebut tentu berperan penting dalam penulisan novel dengan latar (sebagian di) Afganistan ini. Ditambah lagi pengalamannya tinggal di Kairo selama menjadi mahasiswa Al Azhar, Mesir, membuatnya cukup fasih menghadirkan suasana gurun, kebudayaan, adat istiadat, dan situasi perang di Timur Tengah. Adapun untuk efek romantisnya, Qaris mengutip sejumlah puisi dari para penyair idolanya, seperti Rendra, Goenawan Mohammad, Abdul Hadi WM, ataupun Nizar Qabbani, dalam beberapa dialognya. Upayanya cukup berhasil. Kelihatan betul ia seorang yang menggandrungi puisi (bisa dijenguk pula di blog miliknya: http://www.cerminretak.blogdrive.com/)
Tunisia dan Afganistan terasa eksotis sebagai setting cerita. Rasanya belum banyak penulis kita yang mengambil kedua negeri tersebut sebagai latar novel atau pun cerpen. Qaris cukup banyak memberikan informasi menarik mengenainya. Misalnya saja tentang perilaku (adat istiadat) masyarakat nomaden di Afganistan yang hidup dari menggembala ternak (kambing/domba) secara berpindah-pindah. Rumah mereka adalah tenda-tenda beratapkan langit dan berlantai tanah. Untuk mengawal dan menjaga keamanan, mereka menyewa para pemuda bersenjata yang akan melindungi dari para begal ataupun serangan tentara Taliban.
Hal menarik lainnya dari Mahasati adalah cara penceritaannya yang mengambil dua perspektif : Andi dan si wanita perwira, Lucia Wong, yang menginterogasinya. Ketika Andi sebagai narator, kita berhadapan dengan “aku” yang mengisahkan dirinya. Sementara dari sudut pandang si perwira, Andi berubah menjadi “dia” (orang ketiga).
Celakanya, novel ini masih menyisakan “lubang-lubang” kelemahan, sebagaimana di atas sudah saya singgung, yakni perkara Sati yang tiba-tiba saja disebutkan memiliki kelainan jantung. Kesan saya, Qaris seolah-olah ingin mencari gampangnya saja. Padahal, andai tak ada “kelainan jantung”-pun, alasan dan penyebab kematian Sati karena over dosis sudah cukup logis.
Sebagai karya debutan, secara keseluruhan not bad-lah. Cukup enak dikunyah. Ia berani tampil “sendirian”, tanpa deretan kalimat endorsement dari sejumlah nama terkenal layaknya buku-buku lain yang banyak beredar belakangan ini. Sayangnya, biodata penulisnya ikut-ikutan absen. Konon sih, kalau yang satu ini karena kelalaian penerbitnya.
Yah, akhirulkalam, kepada Qaris Tajudin, saya ucapkan selamat datang di “jalan sunyi” para sastrawan. Semoga akan terus lahir karya-karya Anda berikutnya.
Endah Sulwesi 11/8
Penulis: Qaris Tajudin
Editor: Aries R.Prima
Penerbit: AKOER
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: 392 hlm
Mahasati adalah nama sebuah patung (di India), dibangun untuk mengenang perempuan-perempuan Hindu yang bunuh diri menceburkan tubuh ke dalam api perabuan suami mereka sebagai bukti kesetiaan seorang istri. Tradisi kuno ini dikenal dengan nama “Sati”. Dengan turut mati, para istri ini berharap dapat terus bersama sang suami di alam baka. Sati, dalam bahasa Sanskerta bermakna istri sejati. Dan Sati–dipenggal dari Larasati–adalah juga nama tokoh utama di novel Mahasati ini.
Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan, bahwa lebih gampang menulis sesuatu yang akrab dengan kita. Kita bisa menuturkannya secara lengkap dan terperinci dengan penjiwaan yang lebih terhayati sebab kita mengenal dan mengetahui setiap detailnya dengan baik.
Berjejak dari pengalaman pribadinya selaku wartawan, Qaris lalu “menciptakan” Andi Djatmika, seorang jurnalis muda keluaran sebuah pesantren di Jawa, sebagai karakter utama dalam Mahasati. Kemudian, secara flash back melalui narasi Andi, Qaris membawa kita bertualang ke Tunisia dan Afganistan.
Bermula di sebuah kompleks pemakaman. Mereka, Andi dan Sati, dipertemukan kembali oleh kematian Item, seorang sahabat dari masa kanak-kanak, setelah enam belas tahun terpisah. Dari sini, terjalin kembali hubungan cinta Sati dan Andi yang sempat terputus oleh jarak dan waktu.
Sati kecil yang tomboy itu telah menjelma seorang perempuan matang berprofesi model sekaligus perancang busana. Sedikit agak mengherankan jika mengingat ia digambarkan sebagai anak perempuan yang kelaki-lakian, tak pandai (dan tak suka) menari, tak suka berkain kebaya, tak suka berdandan, lebih suka layang-layang atau balap sepeda (dan menang) melawan Item dari pada main boneka.
Tetapi agaknya keterdesakan ekonomilah yang membuat Sati memilih berkarier di bidang modeling tersebut. Parasnya yang rupawan dengan mudah memberinya jalan cepat mencari uang di Jakarta, tempatnya melarikan diri dari rumah lantaran berkonflik dengan ayahnya (tak disebutkan konfliknya apa).
Kehidupan sebagai model di kota besar yang serbagemerlap melarutkan Sati ke dalam pergaulan yang cenderung bebas. Saat berjumpa kembali dengan Andi, Sati telah memiliki seorang anak perempuan, Rania, tanpa pernah menikah.
Bagi Andi, kehadiran Rania, tak mengubah apapun. Ia tetap mencintai Sati sebagaimana dahulu ketika masih sama-sama remaja kampung. Namun, malang tak bisa ditolak. Sati meninggal dunia di kala cinta lama mereka tengah di puncak mekar. Sati menemui ajal lantaran menenggak valium dalam dosis tinggi.
Sebenarnya, jiwa Sati bisa diselamatkan seandainya ia tidak–“sekonyong-konyong”–“divonis” mengidap kelainan jantung sejak kecil (Sekonyong-konyong, sebab sebelumnya tak pernah disinggung soal penyakit Sati ini. Malah ia digambarkan sebagai seorang anak perempuan yang sehat dan kuat secara fisik, terbukti menang balap sepeda melawan Item)
Maka, sang kekasih pun patah hati dan lantas “kabur” ke Tunisia demi menenangkan diri.
Alih-alih memperoleh ketenangan, Andi justru berhadapan dengan masalah baru. Ia terlibat dalam huru-hara mahasiswa yang menentang pemerintahan diktator Tunisia. Dalam salah satu aksi pengeboman, nama Andi dikait-kaitkan sebagai tersangka pelaku. Andi harus menyelamatkan diri.
Afganistan, ke sanalah ia pergi sampai akhirnya tertangkap tentara Amerika Serikat dan dijebloskan ke sel di Guantanamo, tempat ratusan tawanan perang asal Afganistan ditahan. Di sana, ia harus menjalani interogasi melelahkan yang dilakukan seorang perwira wanita AS keturunan Cina. Kepadanyalah kisah ini dituturkan.
Kisah roman yang lumayan menarik, terutama pada bagian petualangan Andi di Tunisia dan Afganistan. Qaris yang pernah mengemban tugas sebagai reporter rubrik Internasional di Tempo, sempat meliput serbuan Amerika Serikat di Kabul, ibukota Afganistan, pada pengujung 2001.
Pengalaman berharga tersebut tentu berperan penting dalam penulisan novel dengan latar (sebagian di) Afganistan ini. Ditambah lagi pengalamannya tinggal di Kairo selama menjadi mahasiswa Al Azhar, Mesir, membuatnya cukup fasih menghadirkan suasana gurun, kebudayaan, adat istiadat, dan situasi perang di Timur Tengah. Adapun untuk efek romantisnya, Qaris mengutip sejumlah puisi dari para penyair idolanya, seperti Rendra, Goenawan Mohammad, Abdul Hadi WM, ataupun Nizar Qabbani, dalam beberapa dialognya. Upayanya cukup berhasil. Kelihatan betul ia seorang yang menggandrungi puisi (bisa dijenguk pula di blog miliknya: http://www.cerminretak.blogdrive.com/)
Tunisia dan Afganistan terasa eksotis sebagai setting cerita. Rasanya belum banyak penulis kita yang mengambil kedua negeri tersebut sebagai latar novel atau pun cerpen. Qaris cukup banyak memberikan informasi menarik mengenainya. Misalnya saja tentang perilaku (adat istiadat) masyarakat nomaden di Afganistan yang hidup dari menggembala ternak (kambing/domba) secara berpindah-pindah. Rumah mereka adalah tenda-tenda beratapkan langit dan berlantai tanah. Untuk mengawal dan menjaga keamanan, mereka menyewa para pemuda bersenjata yang akan melindungi dari para begal ataupun serangan tentara Taliban.
Hal menarik lainnya dari Mahasati adalah cara penceritaannya yang mengambil dua perspektif : Andi dan si wanita perwira, Lucia Wong, yang menginterogasinya. Ketika Andi sebagai narator, kita berhadapan dengan “aku” yang mengisahkan dirinya. Sementara dari sudut pandang si perwira, Andi berubah menjadi “dia” (orang ketiga).
Celakanya, novel ini masih menyisakan “lubang-lubang” kelemahan, sebagaimana di atas sudah saya singgung, yakni perkara Sati yang tiba-tiba saja disebutkan memiliki kelainan jantung. Kesan saya, Qaris seolah-olah ingin mencari gampangnya saja. Padahal, andai tak ada “kelainan jantung”-pun, alasan dan penyebab kematian Sati karena over dosis sudah cukup logis.
Sebagai karya debutan, secara keseluruhan not bad-lah. Cukup enak dikunyah. Ia berani tampil “sendirian”, tanpa deretan kalimat endorsement dari sejumlah nama terkenal layaknya buku-buku lain yang banyak beredar belakangan ini. Sayangnya, biodata penulisnya ikut-ikutan absen. Konon sih, kalau yang satu ini karena kelalaian penerbitnya.
Yah, akhirulkalam, kepada Qaris Tajudin, saya ucapkan selamat datang di “jalan sunyi” para sastrawan. Semoga akan terus lahir karya-karya Anda berikutnya.
Endah Sulwesi 11/8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar