Senin, 25 Mei 2009

Kolam: Buku Puisi Sapardi Djoko Damono


Judul Buku: Kolam
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Editum
Cetakan: I, 2009
Tebal: 120 hlm

Buku ini dibedah pekan lalu (18/5) di Salihara bersama Hasan Aspahani (penyair) dan Muhammad Al Fayyadl. Buku dengan sampul hitam putih bergambar lukisan karya Jeihan ini memuat 51 puisi terbaru Sapardi Djoko Damono (selanjutnya aku sebut Sapardi saja). Kelima puluh satu sajak tersebut dibagi menjadi 3 bagian (kata Reda Gaudiamo pada kesempatan bertemu di sebuah acara sastra, Sapardi sangat suka angka 3).

Tahun ini, tepatnya 20 Maret silam, penyair idolaku ini genap berusia 69 tahun (eh, 69 bukan angka genap, ya?). Sebuah angka yang tidak muda lagi tentu. Namun, pada usia senjanya itu, Sapardi masih terus menyajak, membuktikan kecintaan dan kesetiaannya kepada seni yang bernama puisi.

Kalau kita cermati sejak buku perdananya, DukaMu Abadi (1969 – wow, aku masih orok!) hingga yang hadir terakhir ini, Kolam (2009 – berjarak tepat 40 tahun!), kita bisa lihat ada sesuatu yang mengabadi di dalamnya: kesetiaan Sapardi menggunakan benda-benda alam sebagai alat pengucapan sajak-sajaknya. Dalam rentang 40 tahun itu, kita akan selalu bertemu dengan kabut, bunga, embun, matahari, bulan , bintang, langit, rumput, pohon, ilalang, awan, ranting, sungai, laut, hujan……

Ketika hal tersebut disinggung oleh Zen Hae (penyair) pada malam diskusi di Salihara itu, Sapardi menanggapinya dengan berujar, “Yang terpenting adalah bukan apa yang diucapkan, tetapi bagaimana mengucapkannya (puisi). Bagi saya, sudah tidak ada lagi yang baru di dunia ini. Tema dalam puisi itu kan hanya merupakan pengulangan-pengulangan.”

Terlepas apakah Anda setuju atau tidak pada jawaban Sapardi, untukku puisi-puisi bapak ini tetaplah menjadi sesuatu yang memukau. Ia tidak ingin bercanggih-canggih dengan serba-kebaruan. Ia memilih menjadi seorang penjaga “taman” yang setia, sebab “taman” itu adalah temuannya. Miliknya. Seperti halnya celana bagi Joko Pinurbo. Kurang lebih seperti itulah pendapat Hasan Aspahani yang dengan ikhlas kusepakati. Bagiku, dalam kesetiaannya itu, puisi-puisi Sapardi menjadi klasik dan akan senantiasa lestari.

Ada yang menarik, khususnya buatku, pada acara diskusi yang lalu. Sebelum acara resmi dimulai, aku sempat bertukar kata dengan Hasan Aspahani. Tak jauh-jauh topiknya, masih di sekitar pinggir-pinggir Kolam.

Hasan bertanya padaku, “Gimana, Ndah? Sudah khatam Kolam-nya? Apa favoritmu?”

“Pohon Belimbing,” sahutku. Itu merupakan sajak nomor urut 2 di buku ini.

Belum sempat kami membincangnya lebih jauh, Guntur Romli yang malam itu bertindak selaku pembawa acara, telah naik mimbar dan memanggil Hasan untuk segera menempati kursi di muka. Acara akan segera dibuka dengan pembacaan satu puisi oleh Sapardi. Anda tahu, puisi apa yang dipilih beliau? “Pohon Belimbing”. Ah..aku jadi merasa Sapardi khusus membacakannya buatku J

Inilah “Pohon Belimbing” itu:

Pohon Belimbing

Sore itu kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh
yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang
lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan
kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.
Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya
di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik., juga karena
konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan
menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau
jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?
Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa
Belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami
adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika
ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin
bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon
belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur?
Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi
tua juga akhirnya?


Entah. Barangkali aku pun tak paham sepenuhnya maksud puisi ini. Namun, ada yang terasa indah saat aku membacanya. Juga membersit sebuah perasaan cinta yang tulus, yang telah teruji melewati waktu nan panjang. Tetapi tentu saja, Anda boleh mempunyai tafsir yang berbeda terhadapnya. Tak berlaku tafsir tunggal dalam fiksi, terlebih puisi. Memangnya Pancasila? :D

Sebetulnya masih ada satu puisi lagi yang bakal menjadi calon kuat menggantikan “Aku Ingin” sebagai sajak wajib Valentine’s Day versi aku. Wajib di sini artinya, setiap Hari Cinta Kasih itu tiba, aku selalu mengirimkan untaian sajak tersebut kepada beberapa orang (cowok dong) yang “istimewa”. Agaknya, Februari tahun depan, “Aku Ingin” akan kutukar dengan sebuah puisi yang mirip: “Seperti Kabut”. Tidak percaya bahwa mereka mirip satu sama lain? Nih, aku kasih lihat, ya:

Seperti Kabut

aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
:
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
:
pada suatu hari baik nanti.

Bagaimana? Mirip sekali, kan? Spiritnya terutama: cinta.

Jadi, bagi Anda para penggemar Sapardi sepertiku atau penyuka sajak-sajak cinta yang manis romantis, Kolam perlu dimiliki sebagai koleksi karya seorang “dewa”. Puisi-puisinya bukan jenis yang berat, yang membikin kening berlipat empat. Lagian, tak perlu betul untuk benar-benar memahaminya kok. Seperti aku, nikmati saja.***

Minggu, 10 Mei 2009

Pada Sebuah Kapal


Judul buku: Pada Sebuah Kapal
Penulis: NH Dini
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Kesembilan, 2004
Tebal: 351 hlm

Nama
NH Dini sudah kudengar sejak aku di SMP lewat pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jika harus menyebut salah satu karya terbaiknya dari sekian banyak buku yang ditulisnya, Pada Sebuah Kapal adalah jawabannya. Novel panjang yang konon memakan waktu 10 tahun dalam proses penerbitannya ini, bisa jadi merupakan otobiografi penulisnya. Banyak terdapat kesamaan, baik kisah maupun karakter, antara tokoh Sri dalam buku ini dengan NH Dini yang juga bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin.

Novel ini terbit pertama kali pada 1973 di bawah penerbit PT Dian Pustaka Jaya. NH Dini mengetik naskahnya hanya dalam waktu satu bulan pada tahun 1963. Waktu itu ia telah menikah dengan seorang diplomat Prancis, Yves Coffin. Dalam buku ini, tokoh utamanya, Sri juga menikah dengan seorang diplomat Prancis, Charles Vincent. Sri, sebagaimana Dini, adalah seorang penari dan penyiar radio.

Namun, terlepas dari apakah benar novel ini terkait erat dengan sejarah hidup penulisnya atau hanya fiksi semata, yang jelas Dini telah menuliskannya dengan baik. Alur konvensional yang nyaris menjadi cirinya, tergarap dengan rapi lewat penuturan orang pertama. Melalui teknik ini, Dini lebih leluasa mengeksplorasi perasaan tokoh utamanya serta menggambarkan secara terperinci situasi dan peristiwa yang dialami sang tokoh.

Cinta menjadi tema pokok novel ini. Tepatnya, perjalanan cinta seorang wanita Jawa bernama Sri yang cukup berliku-liku. Lika-likunya inilah yang menarik, sebab di dalamnya terkandung unsur-unsur budaya, feminisme, dan pandangan-pandangan Dini terhadap keduanya. Melalui Sri yang lembut sekaligus pemberontak, Dini menggugat ihwal peran istri dan perempuan pada saat itu. Ia juga telah dengan jujur dan berani mengungkapkan fakta tentang seks sebelum menikah, perselingkuhan, dan perceraian dari perspektif perempuan. Sri yang dididik orang tuanya selaku perempuan Jawa yang harus serbahalus dalam berkata dan bersikap, ternyata memiliki pandangan sendiri dalam urusan cinta. Baginya, hubungan seks antara dua orang yang saling mencintai boleh-boleh saja dilakukan, walaupun pasangan tersebut bukan suami istri. Maka, Sri pun berselingkuh, atas nama cinta. Singkatnya, Sri adalah seorang wanita yang tahu apa yang dia inginkan.

Selain itu, Dini juga tidak canggung menampilkan adegan-adegan seks dalam karyanya ini. Ya, lagi pula mengapa harus sungkan jika itu memang terjadi secara natural–mengalir–dan bukan sekadar tempelan yang dipaksakan hadir. Bagian tersebut merupakan sesuatu yang menyatu dengan ceritanya. Dan Dini berhasil menghadirkannya dengan luwes tanpa terkesan vulgar. Tampaknya ia hendak menyampaikan, bahwa perempuan juga berhak menikmati seks yang indah dan menyenangkan (bersama lelaki yang dicintainya).

Menariknya lagi, Pada Sebuah Kapal ini dikisahkan dalam dua bagian. Pertama, dituturkan oleh Sri dari sudut pandang perempuan, dan bagian kedua ditulis dari perspektif Michel, kekasih gelap Sri.

Di usia senjanya, NH Dini masih setia menulis sembari sesekali melukis. Ia adalah contoh sebuah kesetiaan dan kecintaan terhadap profesi. Tak lekang digerus waktu. Ia adalah sang legenda.***