Judul buku: Enrique’s Journey
Judul asli: Enrique’s Journey: The Story of A Boy’s Dangerous Odyssey to Reunite with his Mother
Penulis: Sonia Nazario
Penerjemah: Widi Nugroho
Penyunting: Rahmad Widada
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: I, Agustus 2007
Tebal: vi+396 hlm
Nasib perempuan di negara-negara berkembang sampai hari ini masih amat memprihatinkan. Di Asia dan Amerika Latin angka tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan masih besar. Umumnya terjadi di dalam rumah tangga (KDRT). Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik dan psikologis. Suami-suami yang pergi meninggalkan istri dan anak mereka demi perempuan lain, misalnya, menyebabkan para perempuan tiba-tiba menjadi orang tua tunggal yang harus menghidupi keluarga. Pendidikan kaum perempuan yang umumnya masih rendah di negara-negara dunia ketiga itu membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Peluang yang tersedia biasanya pekerjaan-pekerjaan kasar di pabrik atau menjadi pembantu rumah tangga.
Itu pun tidak semudah kedengarannya. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh kasar di pabrik-pabrik dengan upah rendah tidaklah menyelesaikan masalah. Upah yang mereka terima tak mampu mencukupi bahkan sekadar kebutuhan minimal mereka. Dalam satu rumah tangga bisa saja tinggal di dalamnya dari nenek sampai cucu dengan seorang perempuan yang berfungsi sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah.
Upaya memenuhi standar hidup yang layak–pangan, sandang, papan, dan pendidikan anak-anak–memaksa para perempuan itu mencari kerja di luar kota atau malah hingga ke luar negeri. Contohnya dapat dengan mudah kita dapati di negeri kita sendiri. Entah berapa ribu (atau juta) orang perempuan yang mempertaruhkan peruntungannya sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri demi harapan hidup yang lebih baik. Sudah begitu banyak cerita duka kita dengar tentang mereka selama mengadu nasib di negeri orang. Dengan bekal keahlian yang minim, mereka nekat menjual tenaga dan keringat jauh di seberang lautan, meninggalkan keluarga, orang tua, serta anak-anak mereka di kampung.
Fenomena serupa terjadi juga di belahan selatan benua Amerika. Kaum perempuan di negeri-negeri miskin seperti Honduras, Argentina, Meksiko, dll. setiap tahunnya ramai “melarikan diri” ke El Norte, Amerika Serikat. Seperti kawan-kawan senasib di Indonesia, kepergian mereka juga dalam rangka memperbaiki nasib. Mereka yang rata-rata berusia masih sangat muda saat meninggalkan kampung halaman, di Amerika biasanya bekerja sebagai pengasuh bayi, pembantu rumah tangga, pelayan restoran, atau yang terburuk: pelacur. Lagi-lagi itu semua karena “bekal” mereka sangat minim.
Selama bertahun-tahun para ibu muda itu tinggal untuk bekerja keras di Amerika. Setiap bulan mereka mengirimkan uang ke kampung untuk keluarga yang ditinggalkan. Sementara itu, anak-anak mereka terus tumbuh dalam pengasuhan nenek atau bibi sambil terus merindukan ibu mereka.
Banyak yang saat ditinggalkan masih sangat kecil dan hanya mengenal wajah ibu mereka dari foto-foto yang tersisa. Untuk yang sudah lebih besar dan mampu mengingat, mereka mengenang sang ibu lewat bau parfum atau sabun mandi yang biasa dipakainya. Sebagian lagi melepaskan rindu lewat bau tubuh yang tertinggal di bantal, sprei, atau gaun sang ibu. Anak-anak malang ini setiap detik memendam kerinduan akan pertemuan dengan ibu mereka.
Bagi mereka yang tidak kuat menahankan kangennya, akhirnya nekat melakukan perjalanan ke El Norte, menempuh ribuan rintangan dan mara bahaya yang setiap saat mengancam nyawa. Kebanyakan dari mereka pergi dengan naik menumpang kereta api. Bukan sebagai penumpang legal, tetapi menyelundup di atas atapnya dengan segala risikonya. Mereka, para migran ini, menyebut kereta-kereta itu sebagai Al train de la Muerte atau Kereta Api Maut (Tiba-tiba saja ingatan tentang film Garin Nugroho, Daun Di Atas Bantal, menyeruak kembali).
Setiap tahun, diduga sekitar 48.000 anak usia 9-20 tahun melakukan perjalanan maut tersebut, menempuh jarak ribuan kilometer; melintasi perbatasan beberapa negara; menanggung derita dan kesakitan, untuk “sekadar” memenuhi hasrat berjumpa dengan ibu-ibu mereka di Amerika Serikat.
Di sepanjang perjalanan mereka mau tidak mau harus berhadapan dengan berbagai tindak kejahatan, seperti pemukulan, pemerasan, pemerkosaan, perampokan, hingga pembunuhan yang dilakukan para bandit dan anggota gangster. Belum lagi ancaman deportasi dari para polisi perbatasan.
Anak-anak remaja ini sering harus menghabiskan waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu untuk bisa sampai ke tempat ibu mereka. Itu kalau mereka selamat dan beruntung. Bagi yang sial, tak akan pernah tiba di Tanah Impian karena mati di jalan. Untuk yang setengah beruntung, tiba dengan kondisi fisik mengenaskan : anggota tubuh yang tak utuh lagi akibat kecelakaan yang menimpa selama perjalanan. Kebanyakan lantaran jatuh dari kereta atau tergilas roda-rodanya. Atau karena dikeroyok anggota geng.
Semua peristiwa menggetarkan itu ditulis oleh Sonia Nazario dalam buku Enrique’s Journey. Ini bukan novel tetapi true story berdasarkan pengalaman meliput langsung di tempat kejadian. Sonia, sebagai seorang seorang jurnalis, untuk memperoleh informasi yang benar dan akurat, melakukan sendiri perjalanan mengikuti anak-anak itu. Ia memilih seorang anak asal Honduras bernama Enrique.
Umur Enrique baru lima tahun ketika ibunya pergi ke Los Angeles. Selama bertahun-tahun ia hanya bisa mendengar suara Lourdes, ibunya, lewat pesawat telepon milik tetangga. Enrique gemas sebab sang ibu hanya sanggup berjanji untuk pulang pada Hari Natal, tetapi kenyataannya selama 12 tahun tak kunjung kembali.
Akhirnya, Enrique memutuskan untuk menyusul Lourdes ke el norte (utara) dengan menumpang (di atap) kereta api.
Sonia menuturkan kisah perjalanan Enrique ini dengan amat detail, akibatnya ia sering mengulang beberapa kejadian yang mirip. Mungkin maksudnya untuk menyampaikan informasi sebanyak mungkin, tetapi jadinya agak menjemukan. Untuk sebuah karya jurnalistik, buku ini patut diacungi jempol karena telah dengan berani menyajikan data dan mengungkap fakta di sekeliling peristiwa yang menimpa para migran gelap ini.
Untuk semua yang disampaikannya ini, Sonia diganjar hadiah Pulitzer tahun 2003 setelah pada 1998 hanya berhasil menjadi finalis untuk tulisan bersambungnya mengenai anak-anak dari orangtua pecandu narkoba.
Penulisan buku Enrique’s Journey ini awalnya dipicu oleh penuturan Maria del Carmen Ferez, wanita yang bertugas membersihkan apartemen Sonia. Maria berkisah mengenai anak lelakinya yang terpaksa ia tinggalkan di kampung demi mencari sesuap nasi. Dari sini, naluri kewartawanan Sonia tergerak untuk mengetahui lebih jauh lagi fenomena tersebut. Maka, ia pun kemudian benar-benar menguntit anak-anak yang tengah berusaha menemukan kembali ibu mereka itu. Ya..ibu adalah tempat setiap kita selalu ingin kembali.***
endah sulwesi 27/11
Judul asli: Enrique’s Journey: The Story of A Boy’s Dangerous Odyssey to Reunite with his Mother
Penulis: Sonia Nazario
Penerjemah: Widi Nugroho
Penyunting: Rahmad Widada
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: I, Agustus 2007
Tebal: vi+396 hlm
Nasib perempuan di negara-negara berkembang sampai hari ini masih amat memprihatinkan. Di Asia dan Amerika Latin angka tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan masih besar. Umumnya terjadi di dalam rumah tangga (KDRT). Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik dan psikologis. Suami-suami yang pergi meninggalkan istri dan anak mereka demi perempuan lain, misalnya, menyebabkan para perempuan tiba-tiba menjadi orang tua tunggal yang harus menghidupi keluarga. Pendidikan kaum perempuan yang umumnya masih rendah di negara-negara dunia ketiga itu membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Peluang yang tersedia biasanya pekerjaan-pekerjaan kasar di pabrik atau menjadi pembantu rumah tangga.
Itu pun tidak semudah kedengarannya. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh kasar di pabrik-pabrik dengan upah rendah tidaklah menyelesaikan masalah. Upah yang mereka terima tak mampu mencukupi bahkan sekadar kebutuhan minimal mereka. Dalam satu rumah tangga bisa saja tinggal di dalamnya dari nenek sampai cucu dengan seorang perempuan yang berfungsi sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah.
Upaya memenuhi standar hidup yang layak–pangan, sandang, papan, dan pendidikan anak-anak–memaksa para perempuan itu mencari kerja di luar kota atau malah hingga ke luar negeri. Contohnya dapat dengan mudah kita dapati di negeri kita sendiri. Entah berapa ribu (atau juta) orang perempuan yang mempertaruhkan peruntungannya sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri demi harapan hidup yang lebih baik. Sudah begitu banyak cerita duka kita dengar tentang mereka selama mengadu nasib di negeri orang. Dengan bekal keahlian yang minim, mereka nekat menjual tenaga dan keringat jauh di seberang lautan, meninggalkan keluarga, orang tua, serta anak-anak mereka di kampung.
Fenomena serupa terjadi juga di belahan selatan benua Amerika. Kaum perempuan di negeri-negeri miskin seperti Honduras, Argentina, Meksiko, dll. setiap tahunnya ramai “melarikan diri” ke El Norte, Amerika Serikat. Seperti kawan-kawan senasib di Indonesia, kepergian mereka juga dalam rangka memperbaiki nasib. Mereka yang rata-rata berusia masih sangat muda saat meninggalkan kampung halaman, di Amerika biasanya bekerja sebagai pengasuh bayi, pembantu rumah tangga, pelayan restoran, atau yang terburuk: pelacur. Lagi-lagi itu semua karena “bekal” mereka sangat minim.
Selama bertahun-tahun para ibu muda itu tinggal untuk bekerja keras di Amerika. Setiap bulan mereka mengirimkan uang ke kampung untuk keluarga yang ditinggalkan. Sementara itu, anak-anak mereka terus tumbuh dalam pengasuhan nenek atau bibi sambil terus merindukan ibu mereka.
Banyak yang saat ditinggalkan masih sangat kecil dan hanya mengenal wajah ibu mereka dari foto-foto yang tersisa. Untuk yang sudah lebih besar dan mampu mengingat, mereka mengenang sang ibu lewat bau parfum atau sabun mandi yang biasa dipakainya. Sebagian lagi melepaskan rindu lewat bau tubuh yang tertinggal di bantal, sprei, atau gaun sang ibu. Anak-anak malang ini setiap detik memendam kerinduan akan pertemuan dengan ibu mereka.
Bagi mereka yang tidak kuat menahankan kangennya, akhirnya nekat melakukan perjalanan ke El Norte, menempuh ribuan rintangan dan mara bahaya yang setiap saat mengancam nyawa. Kebanyakan dari mereka pergi dengan naik menumpang kereta api. Bukan sebagai penumpang legal, tetapi menyelundup di atas atapnya dengan segala risikonya. Mereka, para migran ini, menyebut kereta-kereta itu sebagai Al train de la Muerte atau Kereta Api Maut (Tiba-tiba saja ingatan tentang film Garin Nugroho, Daun Di Atas Bantal, menyeruak kembali).
Setiap tahun, diduga sekitar 48.000 anak usia 9-20 tahun melakukan perjalanan maut tersebut, menempuh jarak ribuan kilometer; melintasi perbatasan beberapa negara; menanggung derita dan kesakitan, untuk “sekadar” memenuhi hasrat berjumpa dengan ibu-ibu mereka di Amerika Serikat.
Di sepanjang perjalanan mereka mau tidak mau harus berhadapan dengan berbagai tindak kejahatan, seperti pemukulan, pemerasan, pemerkosaan, perampokan, hingga pembunuhan yang dilakukan para bandit dan anggota gangster. Belum lagi ancaman deportasi dari para polisi perbatasan.
Anak-anak remaja ini sering harus menghabiskan waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu untuk bisa sampai ke tempat ibu mereka. Itu kalau mereka selamat dan beruntung. Bagi yang sial, tak akan pernah tiba di Tanah Impian karena mati di jalan. Untuk yang setengah beruntung, tiba dengan kondisi fisik mengenaskan : anggota tubuh yang tak utuh lagi akibat kecelakaan yang menimpa selama perjalanan. Kebanyakan lantaran jatuh dari kereta atau tergilas roda-rodanya. Atau karena dikeroyok anggota geng.
Semua peristiwa menggetarkan itu ditulis oleh Sonia Nazario dalam buku Enrique’s Journey. Ini bukan novel tetapi true story berdasarkan pengalaman meliput langsung di tempat kejadian. Sonia, sebagai seorang seorang jurnalis, untuk memperoleh informasi yang benar dan akurat, melakukan sendiri perjalanan mengikuti anak-anak itu. Ia memilih seorang anak asal Honduras bernama Enrique.
Umur Enrique baru lima tahun ketika ibunya pergi ke Los Angeles. Selama bertahun-tahun ia hanya bisa mendengar suara Lourdes, ibunya, lewat pesawat telepon milik tetangga. Enrique gemas sebab sang ibu hanya sanggup berjanji untuk pulang pada Hari Natal, tetapi kenyataannya selama 12 tahun tak kunjung kembali.
Akhirnya, Enrique memutuskan untuk menyusul Lourdes ke el norte (utara) dengan menumpang (di atap) kereta api.
Sonia menuturkan kisah perjalanan Enrique ini dengan amat detail, akibatnya ia sering mengulang beberapa kejadian yang mirip. Mungkin maksudnya untuk menyampaikan informasi sebanyak mungkin, tetapi jadinya agak menjemukan. Untuk sebuah karya jurnalistik, buku ini patut diacungi jempol karena telah dengan berani menyajikan data dan mengungkap fakta di sekeliling peristiwa yang menimpa para migran gelap ini.
Untuk semua yang disampaikannya ini, Sonia diganjar hadiah Pulitzer tahun 2003 setelah pada 1998 hanya berhasil menjadi finalis untuk tulisan bersambungnya mengenai anak-anak dari orangtua pecandu narkoba.
Penulisan buku Enrique’s Journey ini awalnya dipicu oleh penuturan Maria del Carmen Ferez, wanita yang bertugas membersihkan apartemen Sonia. Maria berkisah mengenai anak lelakinya yang terpaksa ia tinggalkan di kampung demi mencari sesuap nasi. Dari sini, naluri kewartawanan Sonia tergerak untuk mengetahui lebih jauh lagi fenomena tersebut. Maka, ia pun kemudian benar-benar menguntit anak-anak yang tengah berusaha menemukan kembali ibu mereka itu. Ya..ibu adalah tempat setiap kita selalu ingin kembali.***
endah sulwesi 27/11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar