Judul buku: Kapten March
Judul asli: March
Penulis: Geraldine Brooks
Penerjemah: Femmy Syahrani & Herman Ardiyanto
Penerbit: Hikmah
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: 416 hlm
Pernah satu masa, hampir dua abad silam, ada satu keluarga paling terkenal di Amerika Serikat, yakni Keluarga Alcott. Mereka tinggal di Concord, Massachussets sebagai sebuah keluarga abolisionis, anti perbudakan. Louisa May Alcott, salah seorang putri Bronson Alcott, mengabadikan kehidupan mereka dalam novel klasik berjudul Little Women (1868). Novel yang bertutur tentang ketabahan dan perjuangan hidup empat orang anak perempuan keluarga March, Meg, Jo, Beth, dan Amy, sepeninggal ayah mereka, Pendeta March, ke medan Perang Sipil di selatan. Di rumah, mereka hanya diasuh oleh ibu mereka, Margaret Marie March (Marmee).
Dalam Little Women, sosok Pendeta March nyaris tak pernah tampil. Ia hanya disinggung sekilas lintas, itupun lebih sering lewat surat-suratnya.
Ketiadaan sosok ini mengusik rasa penasaran seorang penulis lain yang hidup dua abad setelah novel tersebut terbit. Adalah Geraldine Brooks penulis itu. Sosok March yang misterius ini telah menggugah sumur ilham di kepala perempuan kelahiran Australia ini, maka ia lalu mencipta sebuah kisah khusus tentang March, berlatar belakang Perang Saudara di Amerika Serikat sepanjang tahun 1861-1862.
Adapun karakter March hampir sepenuhnya ia ambil dari figur Bronson Alcott yang sangat dikaguminya. Maka terciptalah tokoh Robert March, seorang pendeta sekaligus juga abolisionis yang menggilai buku-buku sastra, lembut hati, dan romantis. Namun, layaknya manusia biasa, March pun kadang-kadang harus berdusta demi menyelamatkan situasi. Brooks menampilkan March tidak dalam bentuk figure manusia sempurna tanpa dosa sekalipun March seorang pendeta. Bahkan, Brooks dengan “berani” menuliskan masa lalu March yang pernah terlibat asmara sekilas dengan seorang perempuan negro.
Novel indah ini lahir berkat riset yang serius. Brooks memakai banyak buku sebagai referensi untuk mendukung kelengkapan data sejarah serta detail-detail seputar Perang Saudara dan perbudakan. Tak kurang ia membedah sejumlah buku penting seperti: Incidents In The Life of A Slave Girl, Written by Herself, otobiografi Harriet Ann Jacobs yang terbit tahun 1861 (Jacobs adalah seorang perempuan negro yang pernah menjalani hidup sebagai budak), Faith In The Fight (John W.Brinsfield), dan juga buku Hospital Sketches karya Louisa May Alcott. Tentu juga sejumlah penelitian terhadap surat-surat pribadi serta buku harian Bronson Alcott.
Novel yang judul aslinya March ini–dalam edisi bahasa Indonesia diubah menjadi Kapten March–terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yang mengambil porsi terbesar dari buku setebal 400-an halaman ini, bercerita memakai sudut pandang Kapten March. Sedangkan bagian keduanya, menggunakan perspektif Marmee.
Robert March terpanggil menerjunkan diri ke kancah Perang Saudara lantaran nuraninya terganggu menyaksikan praktik perbudakan terus berlangsung. Berharap dapat berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, pergilah ia bertugas ke selatan sebagai pendeta tentara Union. Ia tak muda lagi saat itu. Umurnya menjelang 40. Meninggalkan perempuan-perempuan yang amat dikasihinya, March menemukan banyak kenyataan pahit di medan tempur yang kelak menjadi mimpi buruk sepanjang hayatnya.
Keputusannya berangkat berperang secara tak terduga menghubungkan kembali March dengan potongan kisah masa lalunya tatkala ia masih remaja belia; berprofesi sebagai penggalas (pedagang keliling yang memikul dagangannya dengan sebatang tongkat). Grace, dialah kepingan masa lampau itu yang mengakibatkan March akhirnya harus dipindahtugaskan ke Oak Landing, perkebunan kapas yang mempekerjakan ratusan budak negro di bawah pengawasan Ethan Canning. Di tempat ini, alih-alih menjadi pendeta, ia malah mengajarkan para budak itu pengetahuan baca-tulis (ini diilhami oleh Bronson Alcott yang adalah seorang pendidik).
Pada satu penyerbuan tentara lawan, March menderita luka parah. Ia berhasil diselamatkan oleh seorang muridnya dan dibawa ke sebuah rumah sakit darurat di Washington. Bukan hanya luka fisik yang didapat March; namun yang lebih parah adalah trauma psikis. Kelak seumur hidupnya, pendeta yang lemah lembut ini terus-menerus dihantui rasa bersalah karena tak sanggup menyelamatkan para budak yang menjadi murid-muridnya itu. Peperangan telah mengubah pria ini menjadi pribadi lain yang rapuh dan pemurung.
Umumnya peperangan, Perang Saudara inipun meninggalkan segores parut luka bagi bangsa Amerika dan tercatat dengan tinta hitam dalam sejarahnya. Brooks, melalui Kapten March, dengan caranya sendiri telah merekam penggalan sejarah itu, membingkainya dalam sebuah fiksi yang indah dan menyentuh. Brooks dengan fasihnya berhasil menyuguhkan situasi sosial abad 19 ke hadapan sidang pembaca. Jika tak melihat tahun terbit novel ini, saya akan menyangka bahwa Kapten March ini adalah sebuah karya klasik yang ditulis seratus tahun silam. Pantaslah kiranya karya tersebut mendapat ganjaran Pulitzer Prize for Fiction 2006.
Buku apik ini juga meninggalkan sekelumit pesan moral (atau kritik), bahwa tak ada hal postif yang diperoleh dari peperangan. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Hanya penderitaan dan kesengsaraan semata hasilnya. Sejarah banyak negeri telah membuktikannya.
Untuk tak melulu bicara tentang politik dan perang, Brooks meramunya dengan bumbu percintaan. Tak sekadar “tempelan” tetapi menyatu utuh dan serasi dengan keseluruhan kisah. Bahkan bagian asmara ini bisa menjadi daya pukau tersendiri yang menggiring kita untuk membacanya hingga tuntas. Meniru Titi Kamal dalam iklan sebuah produk mi instan: “Two thumbs up!” deh untuk Kapten March ini, serta pujian bagi penerjemah edisi Indonesianya: Femmy Syahrani dan Herman Ardiyanto, yang telah membuat novel ini–kali ini meniru Tempo–enak dibaca dan perlu.
Endah Sulwesi 25/6
Judul asli: March
Penulis: Geraldine Brooks
Penerjemah: Femmy Syahrani & Herman Ardiyanto
Penerbit: Hikmah
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: 416 hlm
Pernah satu masa, hampir dua abad silam, ada satu keluarga paling terkenal di Amerika Serikat, yakni Keluarga Alcott. Mereka tinggal di Concord, Massachussets sebagai sebuah keluarga abolisionis, anti perbudakan. Louisa May Alcott, salah seorang putri Bronson Alcott, mengabadikan kehidupan mereka dalam novel klasik berjudul Little Women (1868). Novel yang bertutur tentang ketabahan dan perjuangan hidup empat orang anak perempuan keluarga March, Meg, Jo, Beth, dan Amy, sepeninggal ayah mereka, Pendeta March, ke medan Perang Sipil di selatan. Di rumah, mereka hanya diasuh oleh ibu mereka, Margaret Marie March (Marmee).
Dalam Little Women, sosok Pendeta March nyaris tak pernah tampil. Ia hanya disinggung sekilas lintas, itupun lebih sering lewat surat-suratnya.
Ketiadaan sosok ini mengusik rasa penasaran seorang penulis lain yang hidup dua abad setelah novel tersebut terbit. Adalah Geraldine Brooks penulis itu. Sosok March yang misterius ini telah menggugah sumur ilham di kepala perempuan kelahiran Australia ini, maka ia lalu mencipta sebuah kisah khusus tentang March, berlatar belakang Perang Saudara di Amerika Serikat sepanjang tahun 1861-1862.
Adapun karakter March hampir sepenuhnya ia ambil dari figur Bronson Alcott yang sangat dikaguminya. Maka terciptalah tokoh Robert March, seorang pendeta sekaligus juga abolisionis yang menggilai buku-buku sastra, lembut hati, dan romantis. Namun, layaknya manusia biasa, March pun kadang-kadang harus berdusta demi menyelamatkan situasi. Brooks menampilkan March tidak dalam bentuk figure manusia sempurna tanpa dosa sekalipun March seorang pendeta. Bahkan, Brooks dengan “berani” menuliskan masa lalu March yang pernah terlibat asmara sekilas dengan seorang perempuan negro.
Novel indah ini lahir berkat riset yang serius. Brooks memakai banyak buku sebagai referensi untuk mendukung kelengkapan data sejarah serta detail-detail seputar Perang Saudara dan perbudakan. Tak kurang ia membedah sejumlah buku penting seperti: Incidents In The Life of A Slave Girl, Written by Herself, otobiografi Harriet Ann Jacobs yang terbit tahun 1861 (Jacobs adalah seorang perempuan negro yang pernah menjalani hidup sebagai budak), Faith In The Fight (John W.Brinsfield), dan juga buku Hospital Sketches karya Louisa May Alcott. Tentu juga sejumlah penelitian terhadap surat-surat pribadi serta buku harian Bronson Alcott.
Novel yang judul aslinya March ini–dalam edisi bahasa Indonesia diubah menjadi Kapten March–terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yang mengambil porsi terbesar dari buku setebal 400-an halaman ini, bercerita memakai sudut pandang Kapten March. Sedangkan bagian keduanya, menggunakan perspektif Marmee.
Robert March terpanggil menerjunkan diri ke kancah Perang Saudara lantaran nuraninya terganggu menyaksikan praktik perbudakan terus berlangsung. Berharap dapat berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, pergilah ia bertugas ke selatan sebagai pendeta tentara Union. Ia tak muda lagi saat itu. Umurnya menjelang 40. Meninggalkan perempuan-perempuan yang amat dikasihinya, March menemukan banyak kenyataan pahit di medan tempur yang kelak menjadi mimpi buruk sepanjang hayatnya.
Keputusannya berangkat berperang secara tak terduga menghubungkan kembali March dengan potongan kisah masa lalunya tatkala ia masih remaja belia; berprofesi sebagai penggalas (pedagang keliling yang memikul dagangannya dengan sebatang tongkat). Grace, dialah kepingan masa lampau itu yang mengakibatkan March akhirnya harus dipindahtugaskan ke Oak Landing, perkebunan kapas yang mempekerjakan ratusan budak negro di bawah pengawasan Ethan Canning. Di tempat ini, alih-alih menjadi pendeta, ia malah mengajarkan para budak itu pengetahuan baca-tulis (ini diilhami oleh Bronson Alcott yang adalah seorang pendidik).
Pada satu penyerbuan tentara lawan, March menderita luka parah. Ia berhasil diselamatkan oleh seorang muridnya dan dibawa ke sebuah rumah sakit darurat di Washington. Bukan hanya luka fisik yang didapat March; namun yang lebih parah adalah trauma psikis. Kelak seumur hidupnya, pendeta yang lemah lembut ini terus-menerus dihantui rasa bersalah karena tak sanggup menyelamatkan para budak yang menjadi murid-muridnya itu. Peperangan telah mengubah pria ini menjadi pribadi lain yang rapuh dan pemurung.
Umumnya peperangan, Perang Saudara inipun meninggalkan segores parut luka bagi bangsa Amerika dan tercatat dengan tinta hitam dalam sejarahnya. Brooks, melalui Kapten March, dengan caranya sendiri telah merekam penggalan sejarah itu, membingkainya dalam sebuah fiksi yang indah dan menyentuh. Brooks dengan fasihnya berhasil menyuguhkan situasi sosial abad 19 ke hadapan sidang pembaca. Jika tak melihat tahun terbit novel ini, saya akan menyangka bahwa Kapten March ini adalah sebuah karya klasik yang ditulis seratus tahun silam. Pantaslah kiranya karya tersebut mendapat ganjaran Pulitzer Prize for Fiction 2006.
Buku apik ini juga meninggalkan sekelumit pesan moral (atau kritik), bahwa tak ada hal postif yang diperoleh dari peperangan. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Hanya penderitaan dan kesengsaraan semata hasilnya. Sejarah banyak negeri telah membuktikannya.
Untuk tak melulu bicara tentang politik dan perang, Brooks meramunya dengan bumbu percintaan. Tak sekadar “tempelan” tetapi menyatu utuh dan serasi dengan keseluruhan kisah. Bahkan bagian asmara ini bisa menjadi daya pukau tersendiri yang menggiring kita untuk membacanya hingga tuntas. Meniru Titi Kamal dalam iklan sebuah produk mi instan: “Two thumbs up!” deh untuk Kapten March ini, serta pujian bagi penerjemah edisi Indonesianya: Femmy Syahrani dan Herman Ardiyanto, yang telah membuat novel ini–kali ini meniru Tempo–enak dibaca dan perlu.
Endah Sulwesi 25/6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar