Kamis, 24 Januari 2008

IRONI SEBUAH BANGSA YANG DISINGKIRKAN


Judul buku: Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga
Judul asli: The Lone Ranger and Tonto Fist Fight in Heaven
Penulis: Sherman Alexie
Penerjemah: Noor Cholis dan Yusi A.Pareanom
Penyunting: Yusi A.Pareanom
Penerbit: Banana
Cetakan: I, 2007
Tebal: 247 hlm.

Nama Sherman Alexie mungkin belum begitu dikenal di sini. Tetapi di Amerika sana ia termasuk salah satu penulis fiksi yang diperhitungkan. Tahun lalu ia memperoleh penghargaan National Book Award Prize for Young People’s Literature untuk karyanya yang berjudul The Absolutely True Diary of Part Time Indian. Tiga tahun sebelumnya, salah satu cerpennya masuk dalam The Best American Short Stories. Selain cerpen, ia juga menulis puisi, novel, dan skenario film.

Sherman Alexie adalah keturunan Indian. Lahir di Spokane, Washington, pada 7 Oktober 1966 dengan membawa kelainan di kepalanya (hydrocephalic). Ia tumbuh dan dibesarkan di reservasi Indian Spokane di Wellpinit, Washington. Tak mengherankan jika karya-karyanya, khususnya dalam kumpulan cerpen Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga ini, berkisah tentang seluk-beluk, suka-duka, kehidupan masyarakat Indian di reservasi. Sebuah cerpen di buku ini, “This is What It Means to Say Phoenix, Arizona” (diterjemahkan menjadi “Inilah Artinya Menyebut Phoneix, Arizona”) menjadi dasar penulisan naskah film Smoke Signals (1998).

Kedua puluh dua cerpen di buku ini, konon ditulis Alexi berdasarkan kejadian nyata yang dialaminya selama tinggal di reservasi. Dengan menggunakan beberapa karakter yang sama, Victor dan Thomas Builds the-Fire si pendongeng, cerpen-cerpennya mengungkapkan dengan jujur ironi sebuah bangsa yang tersingkirkan (Indian) di tanah mereka sendiri. Alexie menyampaikan kisah-kisahnya secara elegan, tanpa berkeluh-kesah memohon iba, tetapi dengan humor-humor gelap yang mau tak mau memaksa kita tersenyum membacanya, meski sembari menelan rasa pahit.

Saya masih ingat, waktu kecil sering menonton film-film koboy di tivi. Dalam film-film produk Hollywood itu, para Indian selalu digambarkan sebagai penjahat, bangsa barbar yang suka membunuh dan lalu menguliti kepala korbannya. Mereka ditampilkan dengan karakter stereotipe sebagai orang-orang primitif, tak beradab, dan bodoh sehingga pantas dibantai dan dihabisi.

Sebagai seorang anak kecil yang polos dan belum mengerti banyak hal, saya berhasil dikelabui oleh para sineas kulit putih Amrik itu. Saya ikut-ikutan membenci Indian yang waktu itu sering secara salah kaprah saya dan bocah lainnya menyebutnya “orang Dayak”.

Keduapuluh dua cerpen di buku ini nyaris seluruhnya memperlihatkan optimisme Victor dan kawan-kawan dalam memandang dan menjalani hidup sebagai ‘orang buangan’ di reservasi. Ada tiga hal, di luar lelucon dan mimpi-mimpi, yang senantiasa hadir sebagai hiburan keseharian orang-orang yang tinggal di tipi-tipi itu: basket, bir, dan tarian. Ketiga hal tersebut paling tidak membuat mereka sejenak melupakan perut yang perih karena lapar serta rasa tengik keju murahan.

Alexie menuturkannya dalam bahasa yang liris serta kalimat-kalimat panjang yang kadang-kadang membikin saya terengah-engah sebelum sampai pada keindahannya. Tak semua cerpennya gampang dipahami dengan hanya sekali baca. Beberapa cerpen saya harus membacanya ulang untuk mendapatkan pemahaman yang baik. Dan favorit saya adalah “Perkiraan Ukuran Tumor Favoritku”, “Adik Tiri Yesus Kristus Masih Hidup dan Segar Bugar di Reservasi Indian Spokane”, dan “Saksi, Rahasia, dan Tidak”. Alexie rupanya senang dengan judul yang panjang-panjang. Ia juga kerap menggunakan gaya bahasa hiperbolis.

Jangan membayangkan cerita di buku ini seperti dongeng Winnetou karya Karl May. Anda tidak akan menemukan Indian yang berkelahi dengan beruang raksasa atau bison. Juga tidak ada perang antarsuku yang diakhiri dengan ritual mengisap pipa perdamaian. Yang akan anda temukan adalah orang-orang Indian modern–meskipun tetap setia dengan kepang rambut mereka–yang bersekolah, mabuk bir setiap malam, dan tergila-gila basket.

Perkara basket, ada fenomena menarik di sana. Di reservasi, seorang jagoan basket adalah pahlawan. “Kami duduk dalam senyap dan mengingat semua pahlawan kami, pemain basket dari tujuh generasi, semuanya hingga yang paling awal. Sungguh menyakitkan kehilangan salah seorang dari mereka sebab orang Indian boleh dibilang menganggap pemain basket sebagai juru selamat. Maksudku, kalau bola basket sudah ada, aku yakin Yesus Kristus pasti menjadi point guard terbaik di Nazareth. Barangkali pemain terbaik di seluruh dunia. Juga di dunia sana.” (hlm 66).

Barangkali kini Indian tak memerlukan lagi para pahlawan yang menang dalam perang melawan tentara kulit putih atau menjinakkan kuda liar. Mereka hanya butuh satu tim basket handal yang mampu mengalahkan tim basket kulit putih dalam sebuah pertandingan yang bermartabat.***

Tiga bintang dari saya untuk buku yang mendapat PEN/Hemingway Award (1993) ini.
endah sulwesi 25/1

Senin, 21 Januari 2008

The Edge Chronicles # 1 : Beyond The Deepwoods


Judul : The Edge Chronicles # 1 : Beyond The Deepwoods
Penulis : Paul Stewart
Ilustrator : Chris Riddel
Penerjemah : Meithya Rose Prasetya
Penerbit :Matahati
Cetakan : 2007
Tebal : 347 hlm

The Edge Chronicles ini sejatinya merupakan sebuah serial yang terdiri dari sembilan biji buku. Kesembilan buku dipecah-pecah lagi menjadi 3 yang masing-masing menceritakan tiga karakter utamanya, yaitu : Quintinius Verginix (The Quint Saga) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cloud Wolf, Twig, dan Rook Barkwater. Yang pertama adalah ayah Twig, sedangkan yang terakhir kakeknya.

Di Indonesia yang diterbitkan pertama kali adalah bagian yang berkisah tentang Twig (TheTwig Saga). Ada tiga buku seluruhnya, yakni Beyond The Deepwoods, Stormchaser, dan Midnight Over Sanctaphrax. Tetapi sebenarnya ada satu lagi buku terakhir pada bagian ini, yaitu The Stone Pilot yang diterbitkan khusus pada Hari Buku Sedunia (World Book Day) 2006. Jadi, seluruh serial karya Paul Stewart ini genap sepuluh buku.

Pada buku pertama ini dikisahkan Twig yang mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya. Dia begitu tampak berbeda dengan para penghuni The Deepwoods pada umumnya, bahkan dengan Tumun dan Spelda, sepasang woodtroll yang selama ini mengasuhnya. Dari Spelda, akhirnya Twig mengetahui bahwa ia sebenarnya bukan anak kandung Spelda dan Tumun. Mereka menemukannya di depan pintu pondok tiga belas tahun silam.

Atas restu kedua orang tua angkatnya itu, Twig lantas berangkat mengembara guna mencari keterangan lebih lanjut seputar dirinya; di samping juga untuk menyelamatkan diri dari para perompak langit yang berniat menculiknya. Dalam perjalanannya melintas The Deepwoods itu Twig banyak menemukan petualangan menarik sekaligus menegangkan. Ia berjumpa bermacam makhluk ajaib yang selama ini hanya sempat ia dengar namanya saja. Sebut saja, misalnya gloamglozer, halitoad, hammelhorn, cacing terbang, caterbird, skullpelt, bloodoak, gyle, goblin, spindlebug, banderbear, wig-wig, gabtroll, dan masih banyak lagi monster lain yang harus dihadapi Twig dalam setiap bab petualangannya yang seru itu.

Bagi anak-anak, jelas ini sebuah kisah petualangan yang memikat; penuh dengan makhluk-makhluk aneh yang benar-benar memanjakan alam fantasi mereka. Bertambah menarik lagi dengan gambar ilustrasi hitam putih karya Chris Riddell, sahabat baik Peter Stewart. Mereka telah berkolaborasi dengan baik dalam kisah khayali ini. Chris Riddell adalah juga seorang kartunis di The Observer.

Meski kisahnya terjadi di tengah hutan rimba yang seram, namun bukan berarti tanpa makanan lezat. Bagian makanan selalu menjadi bagian favorit saya. Misalnya saja ini: sup sosis tilder terasa lezat baunya. Dibiarkan mendidih hingga lembut dalam kaldu yang dibumbui nibblick dan orangegrass, sup ini kaya rasa dan pedas. Lalu, daging hammelhorn yang empuk, digulung dalam tepung bumbu knootroot dan digoreng dalam minyak tilder, ditemani earthapple dan selada biru yang tajam rasanya. Dan ini kemudian diikuti oleh kue trifle madu dan gelatin dellberry serta biskuit wafer kecil yang disiram sirup gula (hlm.69).

Benar-benar deksripsi kuliner yang menggiurkan. Membayangkan daging hammelhorn goring yang empuk dan lain-lain membuat saya menelan liur *glek* dan tiba-tiba perut saya jadi lapar. Dalam buku cerita (anak-anak) lokal, jarang sekali kita temui bagian seperti ini. Padahal ini peluang bagi para penulis kita untuk memperkenalkan jenis-jenis makanan asli bangsa sendiri kepada anak-anak. Satu yang saya ingat suka menuliskan makanan pada karya-karyanya adalah Umar Kayam (alm). Kalau karya luar, tentu yang paling saya ingat adalah serial Lima Sekawan (Enid Blyton). Dalam setiap petualangan keempat anak dan seekor anjing itu selalu ada roti isi daging asap dan limun jahe yang segar.

Kalau di kita apa ya? Risoles isi yoghurt? Kroket kentang isi daging sapi? Atau sosis solo yang gurih itu? Hmmm….Eh. kok malah ngomongin makanan? Yah, yang jelas buku petualangan si Twig ini lumayan keren. Saya sih berharap Matahati akan menerbitkan judul-judul berikutnya. Kalau perlu kesepuluh-sepuluhnya. Iya nggak sih? ***

Berapa bintang ya? Dua deh.

Senin, 14 Januari 2008

KEMARAHAN SEORANG (MANTAN) AKTIVIS MAHASISWA


Judul buku: Bulan Jingga dalam Kepala
Penulis: M.Fadjroel Rachman
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2007
Tebal: 425 hlm

Nama Fadjroel Rachman sangat erat kaitannya dengan gerakan mahasiswa pada akhir dekade delapanpuluhan. Bersama rekan-rekan kuliahnya di ITB, Fadjroel pernah menggelar unjuk rasa menentang kedatangan Menteri Dalam Negeri (waktu itu dijabat oleh Jendral Rudini) ke kampus mereka. Fadjroel yang kuliah di jurusan Teknik Kimia kemudian menjadi salah seorang aktivis yang ditangkap aparat sebagai buntut peristiwa yang terjadi pada 1989 itu. Ia dibui di penjara Sukamiskin, Bandung, selama beberapa tahun.

Selain aktif berpolitik di kampus Ganesha itu, Fadjroel juga dikenal giat bersastra. Puisi dan prosa karya para penulis kelas dunia menjadi santapan wajibnya. Malah ia pernah menjabat sebagai presiden GAS (Grup Apresiasi Sastra) di ITB. Si ‘Binatang Jalang’, Chairil Anwar adalah penyair favoritnya. Dia hapal di luar kepala sajak-sajaknya.

Maka, tidaklah mengejutkan ketika akhirnya lekaki yang senang tampil rapi ini, lalu menerbitkan novel. Tidak jauh-jauh dari dunia yang akrab digelutinya hampir di separuh hidupnya, karya perdananya yang bertajuk Bulan Jingga dalam Kepala itu berkisah ikhwal gerakan mahasiswa.

Penggalan cerita hidupnya sebagai aktivis mahasiswa rupanya meninggalkan kesan yang amat mendalam dalam diri pria kelahiran 17 Januari 1964 ini. Kenang-kenangan semasa kuliah dulu nyaris digulirkan semuanya ke dalam novel setebal empat ratusan halaman ini dengan Surianata sebagai karakter utama. Segera saja, tokoh sentral dalam buku ini merujuk pada sosok penulisnya.

Betapa tidak, Surianata diceritakan sebagai seorang aktivis mahasiswa ITB jurusan Teknik Kimia yang radikal sekaligus amat menggandrungi sastra. Mengingatkan kepada siapa lagi sosok tersebut jika bukan kepada Fadjroel Rachman sendiri? Atau sedikit banyak, mungkin saja sebagian karakter ini merupakan alter ego Fadjroel.

Peristiwa yang dijadikan latar belakang novel ini adalah masa-masa menjelang kejatuhan Presiden Soeharto yang telah bertakhta selama 32 tahun dengan Orde Barunya. Fadjroel memang sedikit mengaburkannya dengan menyebut waktunya sebagai “tahun x” dan Soeharto disamarkan menjadi Jendral Soeprawiro. Antara Soeharto dan Soeprawiro memiliki banyak kemiripan. Keduanya sama-sama pemimpin sebuah rezim otoriter yang mendewakan kekuasaan dengan menyengsarakan rakyat. Surianata bersama teman-temannya yang tergabung dalam gerakan mahasiswa Indonesia, ramai-ramai menggelar unjuk rasa meminta agar Sang Presiden turun dari singgasananya.

Tentu, peristiwa ini melayangkan memori kita pada 1998, saat Soeharto terjungkal dari kursi kepresidenannya oleh sebuah aksi people power yang marak di seluruh negeri dan berpuncak di halaman gedung MPR/DPR Jakarta. Oleh Fadjroel, lokasinya dipindahkan ke depan Istana Merdeka yang berakhir klimaks dengan matinya Soeprawiro di tangan Surianata.

Surianata tak pernah menyesali apa yang telah dilakukannya. Idealisme anak muda yang meluap-luap dalam dirinya untuk memerangi ketidakadilan dan kezaliman seolah-olah menjadi pembenar bagi perbuatannya menembak tewas Soeprawiro. Satu-satunya hal yang sangat meresahkan batinnya adalah ikut tertembaknya Bulan Pratiwi, putri bungsu Soeprawiro berusia 5 tahun. Surianata tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri untuk kesalahannya yang satu itu meski telah ditebusnya dengan vonis hukuman mati sekalipun. Jenis hukuman yang sebenarnya sangat ditentangnya karena merupakan perbuatan melanggar HAM.

Seharusnya novel ini bisa jadi karya menarik seandainya Fadjroel tidak tergoda untuk mengumbar terlalu banyak hal. Alhasil, yang tampil adalah deretan panjang peristiwa sejarah mutakhir yang terasa bertumpuk-tumpuk;tumpang tindih tanpa identifikasi waktu yang jelas. Umpamanya saja, Surianata telah membincang persidangan kasus bom Bali (2003) pada tahun ketiga ia di penjara. Dengan asumsi ia masuk penjara pada 1998, tiga tahun kemudian berarti 2001. Tentu saat itu persidangan bom Bali belum digelar, bahkan peristiwa pengeboman yang menewaskan ratusan orang itu pun belum terjadi.

Lalu ada bab 29 yang menuturkan masa 6 tahun sebelum tahun X. Bab ini sepenuhnya memuat “laporan perjalanan” Surianata dan kawan-kawan ke Tokyo, Belanda, dan Jerman yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bangunan kisah secara keseluruhan. Bagian ini hanya dipakai untuk menampung uneg-uneg (dan kemarahan) Fadjroel kepada Hitler, diktator fasis yang telah membantai jutaan orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi. Hal seperti ini cukup banyak kita temukan. Seakan-akan Fadjroel ingin menumpahkan semua pengetahuan yang dimilikinya. Sebuah kecenderungan yang kerap dilakukan oleh para penulis “pemula”.

Tetapi, tentunya Fadjroel bukanlah seorang “pemula” dalam tulis-menulis. Sebelum novel ini, beberapa bukunya telah terbit. Di antaranya: Dongeng untuk Poppy (2007) dan Sejarah Lari Tergesa (2004). Keduanya berhasil masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk kategori puisi. Tak mengherankan jika dalam novelnya ini nuansa puitik terasa demikian pekat dan menonjol. Mengomentari hal tersebut, secara bergurau Sujiwo Tejo pernah meledeknya agar Fadjroel memilih salah satu saja, mau jadi novelis atau penyair.***ENDAH SULWESI

Satu bintang saja ya…J

Minggu, 06 Januari 2008

SI PEMBUAT JAM


Judul buku: Si Pembuat Jam
Judul asli: Clockwork or All Wound Up
Penulis: Philip Pullman
Penerjemah: Poppy Damayanti Chusfani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, November 2007
Tebal: 107 hlm

Ini adalah buku kedua karya Philip Pullman yang saya baca setelah Putri Si Pembuat Kembang Api. Ada yang terasa khas pada kedua dongeng Pullman ini: ia bercerita seperti tengah ngobrol dengan pembacanya. Contohnya begini : “Beberapa kisah berjalan seperti itu. Begitu kau memutarnya, takkan ada yang bisa menghentikan…..” (hlm.7)

Kata “kau” yang dipakainya untuk “berdialog” dengan pembacanya, menimbulkan rasa keakraban yang hangat; seolah-olah ia melibatkan kita dalam dongeng-dongengnya. Saya suka gaya berkisah seperti ini.

Kali ini, Pullman menerbangkan imajinasi kita ke Jerman pada suatu masa, ketika waktu digerakkan oleh jam mekanis; sebuah jam dengan teknologi “kuno” terdiri dari per, roda gigi, dan pendulum. Tidak seperti jam-jam zaman sekarang yang dijalankan oleh tenaga listrik atau kristal kwarsa.

Di sebuah kota kecil, di mana para warganya kerap menghabiskan malam-malam dingin bersalju di sebuah kafe yang juga kecil, terdapat sebuah bengkel khusus membuat jam yang setiap tahun meluluskan satu orang murid baru.

Tahun ini, Herr Ringelmann, ahli membuat jam di bengkel itu, memiliki seorang pemuda pemarah bernama Karl sebagai murid. Sudah menjadi tradisi selama bertahun-tahun di kota tersebut, setiap murid yang telah mengakhiri masa belajarnya wajib membuat sebuah patung baru untuk diletakkan pada jam raksasa di pusat kota.

Karl yang pemurung itu sedang gelisah berat, sebab ia belum mendapatkan sepotong ide pun padahal hari yang sangat menentukan itu tinggal besok. Malam itu ia duduk menyendiri di salah satu sudut kafe sembari berharap mendapat inspirasi untuk patungnya.

Orang-orang di kota itu memiliki kebiasaan unik berkumpul di kafe pada malam tertentu untuk mendengarkan sebuah kisah dari seorang novelis muda, Fritz. Kebetulan sekali, malam di saat Karl meresahkan soal patungnya adalah malam jadwal Fritz mendongeng.
Semua warga menantikan gerangan kisah apa yang akan dituturkan Fritz malam itu.

Dan malam itu Fritz menyuguhkan sebuah cerita yang tak terlupakan tentang Pangeran Otto dan putranya, Florian yang terbuat dari logam hasil karya seorang pembuat jam termasyhur, Dr. Kalmenius dari Schatzberg.

Pangeran Florian diciptakan sebagai pengganti bayi laki-laki Pangeran Otto yang terlahir wafat. Demikian sempurnanya karya Dr.Kalmenius, sehingga tak seorang pun yang menyadari bahwa Pangeran Florian hanyalah sebuah patung yang digerakkan oleh seperangkat mesin mekanik layaknya sebuah jam. Ia “hidup”. Jantungnya yang terbuat dari per berdetak sama persis seperti jantung manusia. Ia bicara dan tumbuh juga seperti anak-anak lainnya.Sungguh ajaib, bukan?

Namun, ada yang ternyata lebih ajaib lagi. Di tengah-tengah kisah, tiba-tiba Dr. Kalmenius, tokoh rekaan Fritz itu, muncul di kafe. Persis seperti yang digambarkan oleh Fritz : seorang lelaki tinggi kurus dengan hidung dan dagu lancip. Matanya menyala seperti bara dalam gua. Rambutnya panjang dan kelabu, dan mengenakan tudung longgar seperti jubah para biarawan. Suaranya serak dan kasar dengan ekspresi wajah penuh kegarangan.

Semua yang hadir terkesima sebelum akhirnya satu per satu berlalu, kecuali Karl yang memang ingin mati saja karena belum juga menemukan sepercik ide pun untuk patungnya. Dr. Kalmenius yang ahli membuat patung kemudian malah mengulurkan jasa membantu Karl. Ia menawarkan Sir Ironsoul, patung terbaru karyanya, untuk Karl.

Dan selanjutnya, dongeng Fritz yang menjelma nyata itu dibiarkan “menyelesaikan” sendiri kisahnya.

Sebagaimana lazimnya dongeng, kisah ini pun bertabur keajaiban dan petuah tentang baik-buruk; bahwa yang jahat pada akhirnya akan binasa, yang baik hati akan mendapat kebahagiaan. Pullman juga “menasihati” bahwa tak ada sukses yang dapat diraih tanpa kerja keras.

“Kau takkan memenangi pertandingan kalau cuma berharap. Kau bisa menang jika berlari lebih cepat dari orang lain. Dan agar bisa melakukannya, kau harus berlatih keras dan berusaha sekuat mungkin. Walau kadang-kadang itu pun belum cukup, karena pelari lain mungkin lebih berbakat daripada dirimu.” Demikian kata Pak Pullman.

Dan kau masih akan menemukan lebih banyak lagi “nasihat” bijak serta keajaiban yang akan menghiburmu dalam buku tipis ini. Nah, kalau yang ini bukan kata Pullman, tapi kata saya.***

(Tiga bintang buat buku ini).

endah sulwesi 7/01

Rabu, 02 Januari 2008

MENEROPONG BENAK GELAP PARA PEMBUNUH



Judul buku: In Cold Blood
Judul asli: In Cold Blood:
A True Account of A Multiple Murder and Its Consequences
Penulis: Truman Capote
Penerjemah: Santi Indra Astuti
Penyunting: Wendratama
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: I, September 2007
Tebal: viii + 476 hlm

Buku kesembilan karya penulis Truman Capote ini di kalangan pemerhati sastra sering disebut sebagai sebuah bentuk sastra baru: novel nonfiksi. Truman Capote yang lahir pada 30 September 1942 ini memerlukan waktu tidak kurang dari 6 tahun untuk menyelesaikan In Cold Blood ini.

Aslinya, buku ini pertama kali terbit di Amerika Serikat pada 1965. Terjemahan bahasa Indonesianya oleh penerbit Bentang berdasarkan buku yang sama tetapi edisi 2002. Di negaranya, buku ini termasuk salah satu buku terbaik sepanjang masa.

In Cold Blood adalah buku yang dibuat berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada 16 November 1959 di Negara Bagian Kansas, AS.

Satu keluarga pemilik pertanian ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan di sebuah desa kecil, Holcomb. Mereka adalah Mr. Herbert Clutter beserta istri dan kedua orang anaknya. Keempat korban malang ini dibantai secara sadis di dalam rumah mereka sendiri. Sherif setempat menyimpulkan, bahwa motif pembunuhan tersebut adalah perampokan. Tetapi apakah benar demikian jika melihat nilai harta yang berhasil digondol kabur si pelaku pembunuhan itu hanya sebesar 42 dolar saja.

Peristiwa itu tercatat sebagai salah satu pembunuhan paling sadis di Kansas. Tak membutuhkan waktu terlalu lama, para penyelidik yang dipimpin oleh detektif Dewey ahirnya berhasil menggulung para pelakunya, Richard “Dick” Hickock dan Perry Smith. Para juri di pengadilan kemudian sepakat menjatuhkan hukuman gantung bagi mereka berdua.

Sebagai penggemar kisah-kisah suspens dan detektif, bagian paling menarik menurut saya adalah ketika kedua cecunguk ini diinterogasi. Kita seolah-olah diajak serta meneropong benak para pembunuh ini; mengungkap masa lalu dan latar belakang psikologis keduanya. Secara detail Capote menceritakan kehidupan Perry dan Dick yang pada dasarnya tidak bahagia. Mereka adalah anak-anak keluarga miskin broken home yang kurang kasih sayang.

Penelusuran ke masa lalu ini menjadi memikat sebab ditulis dengan penuh ketelitian, berimbang, dan emosional.. Perlahan-lahan rasa kasihan dan simpati saya timbul kepada kedua kriminal ini. Meskipun ini sungguh-sungguh sebuah kisah nyata, namun dengan cerdik Capote berhasil membuatnya bagaikan sebuah novel fiksi. Tokoh-tokohnya hadir dengan karakter-karakter yang kuat; melekat terus dalam ingatan pembacanya.

Motif mereka membunuh semata-mata karena uang. Kabar tentang Clutter pertama kali mereka dengar di penjara Lansing dari mulut Floyd Wells, teman satu sel Dick. Wells bercerita bahwa ia sebelum dipenjara ia pernah bekerja pada Mr.Clutter. Wells yakin Mr. Clutter adalah seorang kaya raya dan pasti memiliki brankas di suatu tempat di rumahnya. Dick mencatat semua ocehan Wells dalam otaknya, lengkap dengan “gambar” denah rumah Mr. Clutter. Dick sesumbar bahwa jika ia bebas dari Lansing ia akan merampok Mr. Clutter demi lembar-lembar dolar di brankasnya.

Wells tak pernah menduga Dick akan benar-benar menjalankan rencananya. Ia mengajak serta Perry Smith, seorang pemuda keturunan Indian yang menggemari sastra yang juga dikenalnya di penjara Lansing. Lewat informasi dan “kesaksian” Wells ini, sherif akhirnya berhasil menangkap Dick dan Perry.

Pada bagian-bagian awal cerita, saya agak direpotkan dengan kalimat-kalimat panjang (berikut anak kalimat yang banyak pula, mengingatkan saya pada Romo Mangun almarhum) Capote. Tetapi, lambat-laun, setelah bisa “menyesuaikan diri” dan masuk ke dalam alurnya, justru saya menemukan kenikmatan tersendiri selama membacanya dan tak ingin berhenti sampai terungkap misteri yang menyelimuti kisah kelam ini.

Capote melengkapi bukunya berdasarkan bahan-bahan dan data yang diperolehnya dari berbagai sumber, baik berupa catatan resmi atau pun hasil wawancara dengan orang-orang yang terlibat langsung. Konon ia dibantu oleh sahabatnya, Harper Lee (penulis novel keren To Kill A Mockingbird).

Eksekusi hukuman mati bagi Perry dan Dick baru telaksana pada tengah malam 14 April 1965. Mereka digantung di Lansing, Kansas setelah gagal melakukan berbagai upaya pembatalan hukuman mati lewat pengadilan banding dan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Empat bintang dari saya***.
endah sulwesi