Sabtu, 29 Maret 2008

THE SPELLMAN FILES

Judul buku: Berkas-Berkas Keluarga Spellman
Judul asli: The Spellman Files
Penulis: Liza Lutz
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Atria (PT Serambi Ilmu Semesta)
Cetakan: I, Maret 2008
Tebal: 550 hlm.

Saya tidak tahu, apakah tepat menggolongkan novel ini ke dalam kategori novel detektif. Bukan lantaran tidak ada unsur misteri di dalamnya, tetapi lebih kepada inti kisah ini sendiri yang bertumpu pada interaksi sebuah keluarga yang sangat unik di antara para anggotanya : ayah, ibu, tiga orang anak, dan seorang paman. Mereka menamakan diri Keluarga Spellman.

Setelah pensiun dini dari San Francisco Police Departement , Albert Spellman alih profesi menjadi detektif swasta. Mulanya ia bekerja sebagai orang bayaran di kantor O’Malley Investigation sebelum akhirnya bersama istri tercinta, Olivia, mendirikan kantor sendiri dengan nama Spellman Investigation, beralamat di 1799 Clay Street, San Francisco. Kelak, bertahun-tahun berikutnya, kedua anak perempuan mereka, Isabel dan Rae, turut bergabung dalam perusahaan keluarga itu.

Seperti telah saya singgung di atas, kekuatan novel ini ada pada kisah hubungan antaranggota keluarga Spellman yang nyentrik, kalau tidak mau dibilang sedikit sinting. Keluarga ini, entah karena terkondisi oleh pekerjaan atau karena faktor keturunan (bakat) memiliki kebiasaan menguntit dan memata-matai bahkan di antara mereka sendiri. Mereka nyaris tak memiliki privasi dalam kamar mereka sendiri. Setiap gerak-gerik, tingkah laku, dan semua kegiatan selalu diawasi dengan berbagai cara (menyadap telepon, kamera tersembunyi, sampai pada kejar-kejaran mobil). Terlebih bagi Isabel, putri kedua Spellman yang tomboy dan paling kacau dari ketiga orang anak-anak keluarga Spellman.

Isabel atau Izzy bertindak selaku narator dalam novel ringan ini. Ia bertutur sebagai aku, gadis berumur 28 tahun, dengan gaya bahasa yang ringan, cerdas, dan kocak. Dialog-dialognya segar layaknya di film-film komedi situasi Amerika; membuat saya betah dan terhibur membacanya hingga huruf terakhir sembari membayangkan sosok Drew Barrymore sebagai Izzy Spellman (Tentu saja ini hanya keisengan imajinasi saya saja, sebab gosipnya yang akan memerankan karakter Izzy adalah Renee Zellweger).

Sejak kecil gadis ini telah menunjukkan bakat iseng dan pemberontak. Ia merokok, mabuk, mencuri, mengisap ganja, gonta-ganti pacar hingga 9 kali, ngebut, serta seabreg perilaku “kriminal” lainnya yang cukup menyusahkan Mr. dan Mrs. Spellman. Kadang-kadang Izzy melakukannya bersama dengan Petra, sahabatnya.

Berbeda seratus 180 derajat dengan Isabel adalah David, putra sulung Spellman. Tumbuh di tengah-tengah keluarga yang “aneh”, David sukses sebagai pengacara bergaji 400 dolar per jam. Dia adalah anggota Spellman paling “normal” : tampan, cerdas, kaya, dan tidak suka menguntit. Awalnya, Isabel kerap menjadikan David sebagai objek keisengannya hanya demi mendapatkan perhatian ayah ibu mereka.

Sampai Isabel berumur 13 tahun, ia masih berstatus anak bungsu. Setahun kemudian lahir Rae, si bungsu yang dinamai seperti paman mereka, Ray Spellman yang tengah sekarat karena kanker paru-paru. Paman Ray yang tinggal di rumah mereka diramalkan tidak akan lama lagi hidupnya. Albert ingin mengabadikan sang adik dalam nama putri bungsunya. Tapi ternyata, Paman Ray terus hidup sampai bertahun-tahun kelak dan menjadi seteru keponakannya, Rae.

Konflik pada kisah ini terjadi ketika Isabel keberatan dengan kelakuan ayah ibunya yang mengawasi dia 24 jam hanya karena berpacaran dengan seorang dokter gigi tampan, Daniel Castillo. Ujung-ujungnya, Isabel mengajukan permohonan berhenti bekerja pada Spellman Investigation. Ayah ibunya mengizinkan hanya jika ia berhasil menyelesaikan kasus Andrew Snow, remaja pria yang lenyap 12 tahun lalu. Namun, mana kala Izzy tengah gencar-gencarnya mengusut, ayah ibunya malah menyuruh berhenti. Izzy yang keras kepala itu tentu saja menolak menuruti kemauan orang tuanya sampai kemudian Rae menghilang.

The Spellman Files adalah karya debutan Liza Lutz yang terbit tahun lalu dan akan segera dilayarlebarkan oleh Paramount Pictures. Kisah yang sangat menghibur. Membacanya, kita seperti tengah menikmati keripik kentang gurih dan renyah, yang ramuan penyedap rasanya membuat kita ketagihan; tak bisa berhenti sebelum habis tandas hingga remah-remah terakhir.

Karakter keluarga Spellman yang agak tidak lazim justru menjadi daya pikat utama buku ini. Mereka punya cara sendiri dalam mengungkapkan cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya mereka saling peduli satu sama lain. Tak ingin kehilangan. Hanya saja lantaran caranya yang “tidak biasa” itu sering lalu membuat semuanya jadi tampak lebih rumit. Saya yakin, filmnya nanti pasti akan sangat Hollywood.

Saya tidak membaca versi aslinya. Tetapi, versi terjemahan ini cukup asyik diikuti. Plot yang di awal kelihatan meloncat-loncat, akhirnya tidak menjadi masalah lagi ketika kita telah tenggelam sepenuhnya ke dalam kehidupan keluarga Spellman yang ganjil ini. Bagi Anda yang ingin menghibur diri melalui bacaan, novel ini sangat saya rekomendasikan. ***ENDAH SULWESI

Senin, 24 Maret 2008

INDIA DI ANTARA BARAT DAN TIMUR


Judul buku: Senja di Himalaya
Judul asli: The Inheritance of Loss
Penulis: Kiran Desai
Penerjemah: Rika Iffati Farihah
Penerbit: Hikmah
Cetakan: I, Desember 2007
Tebal: 543 hlm.

Belakangan ini saya cermati ada banyak novel karya penulis India yang terbit di sini. Dalam sebulan ini saja saya sudah membaca 3 buah di antaranya, yakni : Taj (Timeri N.Murari), The Space Between Us (Thrity Umrigar), dan Senja di Himalaya (Kiran Desai). Apakah memang selera publik pembaca novel kita cenderung tengah ke sana? Ataukah karena semata-mata alasan kualitas novel itu sendiri yang memang patut untuk diterbitkan. Seperti Senja di Himalaya (diterjemahkan dari The Inheritance of Loss) ini, misalnya.

The Inheritance of Loss merupakan novel kedua Kiran Desai, penulis kelahiran India yang kini menetap di Amerika Serikat. Menurut pengakuan putri dari Anita Desai (novelis) ini novel tersebut ditulisnya selama tujuh tahun lantaran ia harus bolak-balik ke India, terutama mengunjungi tempat-tempat yang ada dalam novel tersebut. Tetapi semua kerja keras dan jerih payahnya tak sia-sia. Ia mendapatkan Man Booker Prize (2006) untuk karyanya ini. Sebuah penghargaan bergengsi di dunia perbukuan internasional. Barangkali hal inilah yang menjadi pertimbangan utama Hikmah untuk menerbitkannya.

Dalam novel ini Kiran Desai melakukan semacam oto-kritik bagi tanah airnya, India, khususnya pada era 80-an ketika Indira Gandhi berkuasa sebagai perdana menteri. Tokoh utamanya ada tiga orang : Jemubhai Patel atau yang lebih dikenal dengan sebutan sang hakim, Sai, cucu sang hakim, dan si juru masak. Mereka bertiga tinggal di Cho Oyu, sebuah rumah tua besar di Kalimpong, desa kecil di kaki Pegunungan Himalaya.

Sedikit banyak persoalan India mirip dengan negeri kita. India adalah negeri multi-etnis, multi-agama, dan multi-bahasa. Keberagaman ini kerap memicu perselisihan di antara para penduduknya. Itulah sebabnya kemudian terbentuk negara Pakistan dan Bangladesh. Bertahun-tahun kemudian Nepal (Gorkha) meminta hak yang sama untuk memerdekakan diri. Pada Juli 1986 pecahlah kerusuhan besar yang berpangkal pada aksi unjuk rasa orang-orang Gorkha, mengakhiri perjanjian Indo-Nepal 1950.

Kadang-kadang Kiran Desai menyeret kita juga ke masa lalu melalui kenang-kenangan sang hakim di masa pendidikannya di Cambridge, Inggris. Waktu itu, di bawah kolonialisme Inggris, India sering mengirim putra-putra terbaiknya kuliah di negara tersebut lewat program bea siswa dan pulang kembali untuk bekerja sebagai pegawai pemerintah. Mereka berbahasa Inggris; bergaul dengan sesama mereka di klub-klub. Mirip dengan Indonesia di masa penjajahan Belanda, mahasiswanya ramai-ramai menangguk ilmu di Nederland dan berbahasa Belanda di antara mereka.

Pengalaman belajar dan tinggal di Inggris telah mengubah sang hakim sepenuhnya. Ia yang semula pemuda udik, minder, dan lulus dengan nilai pas-pasan, sekembalinya ke kampung halaman merasa diri paling pintar. Ia memandang rendah sanak keluarga dan tetangga-tetangganya, termasuk Nimi, istrinya yang buta huruf. Tiba-tiba saja ia malu beristrikan Nimi yang bodoh dan lugu; malu punya keluarga yang tidak bisa makan dengan garpu dan pisau. Di masa pensiunnya ia memilih tinggal sendiri di Cho Oyu, ditemani Mutt, anjing yang sangat dicintainya lebih dari Sai, cucunya sendiri.

Sai adalah cucu perempuan yang tidak pernah diharapkan kehadirannya. Sai lahir dari sebuah perkawinan yang tidak direstui. Ibu Sai, anak semata wayang sang hakim, kawin lari dengan seorang pemuda yang tidak disetujui sang hakim. Pasangan tersebut mati di Rusia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Anak mereka, Sai, harus keluar dari asrama tempatnya bersekolah dan tinggal di rumah kakeknya.

Pendidikan Sai selanjutnya dilangsungkan di rumah. Sang hakim memanggil seorang guru, Noni, untuk memberikan kursus privat bagi cucunya itu. Ketika Sai semakin dewasa dan kebutuhan ilmunya semakin banyak, sang hakim membayar Gyan, seorang mahasiswa menggantikan Noni. Kedekatan guru dan murid ini berkembang menjadi asmara. Tetapi perjalanan cinta mereka tak mulus lantaran perbedaan kelas sosial dan pandangan politik.

Sementara itu, si juru masak adalah seorang ayah dengan seorang anak lelaki yang bekerja di Amerika. Setelah kemerdekaan India, Amerika menjadi tujuan generasi muda India untuk mengadu nasib. Dengan bekal pendidikan dan keahlian yang minim, Biju terpaksa ke Amerika menuruti kehendak ayahnya. Alih-alih hidup senang, di sana Biju harus bekerja siang malam membanting tulang sebagai pelayan dari satu restoran ke restoran lain. Di sana pula Biju menjumpai orang-orang senegerinya serta negeri-negeri Asia dan Afrika lainnya yang senasib; berusaha membeli mimpi, mewujudkan angan-angan menjadi bagian dari Amerika. Sang hakim, juru masak, dan Biju adalah contoh orang-orang India yang memandang Barat (Amerika dan Eropa) sebagai hal yang lebih baik dan lebih beradab dari bangsa mereka.

Kiran Desai meramu semua karakter dan persoalan-persoalan mereka dengan apik; humoris, dan sesekali sarkastis. Bagi Kiran Desai yang lahir dan tinggal di India (New Delhi) selama 14 tahun sebelum akhirnya menetap di Amerika, India tentulah bukan negeri yang asing. Sebagai imigran, ia tentu pernah mengalami sendiri benturan-benturan kebudayaan sebagaimana yang dikisahkan dalam bukunya ini. Secara jujur dan terbuka ia seperti tengah menertawakan diri dan bangsanya yang terperangkap dalam opini Barat itu terhormat. Seperti kita di Indonesia, bukan?

Barangkali bagi pembaca yang tidak suka dengan gaya bertutur penuh detail serta plot lambat, buku ini akan terasa kurang memuaskan. Tetapi buat saya, ini sebuah buku yang indah, yang setiap bagiannya sayang untuk dilewatkan.***

Minggu, 16 Maret 2008

I Was a Rat!


Judul buku: Dulu Aku Tikus! Atau Sepatu Merah
Judul asli: I Was a Rat! or The Scarlet Slippers
Penulis: Philip Pullman
Penerjemah: Poppy Damayanti Chusfani
Editor: Dina Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Desember 2007
Tebal: 250 hlm

Apa jadinya jika tikus yang disihir jadi pelayan Cinderella tak bisa lagi berubah ke wujud aslinya? Yang terjadi adalah dongeng keren berjudul I Was a Rat! karya Philip Pullman. Di buku berkover ungu ini Philip Pullman kembali membuktikan kepiawaiannya mendongeng. Dengan keliaran fantasinya Pullman menyodorkan pesan-pesan moral yang dikemas dalam keajaiban-keajaiban ciptaannya. Saya tidak yakin, apakah buku ini akan juga menyenangkan anak-anak yang membacanya mengingat di dalamnya memuat berbagai hal yang mestinya menjadi konsumsi orang dewasa. Oh..jangan khawatir, bukan pornografi atau kekerasan, tetapi barangkali sebentuk gagasan, seperti kekuasaan pers dan filosofi.

Baiklah, ringkasannya begini:

Pada suatu malam, suami istri Bob dan Joan kedatangan tamu. Ia seorang anak lelaki kecil, kira-kira berumur 9 tahun, mengenakan baju pelayan lusuh, dan berkata: “Dulu aku tikus!”. Bob, si pembuat sepatu, segera mempersilakan bocah dekil itu masuk dan memberinya makan serta tempat untuk tidur malam itu. Bob dan Joan yang telah menikah 32 tahun dan tidak dikaruniai anak, segera saja merasa sayang kepada anak kecil itu dan memberinya nama Roger.

Di rumah itu, Roger belajar menjadi anak laki-laki yang baik. Makan dengan sopan, mengucapkan terima kasih, dan bersekolah. Tetapi lantaran dulunya ia adalah seekor tikus, maka sifat-sifat ketikusan masih melekat padanya. Ia suka menggerogot, mengerat, dan memakan apa saja (seperti: pensil, kasur, seprai, dll). Ia juga kabur dari sekolah karena tak mau dihukum oleh gurunya. Tentu ia dihukum karena ketidakmengertiannya akan beberapa hal yang harus dilakukan layaknya anak sekolah.

Roger tersesat dan mengalami beberapa kejadian buruk yang pada akhirnya membawanya ke penjara. Sementara itu, Bob dan Joan sedih dengan menghilangnya Roger. Mereka mencarinya ke seluruh penjuru kota sampai kemudian mereka mendapat petunjuk tentang keberadaan Roger dipenjara dari koran The Daily Scourge. Dengan berbagai cara, termasuk meminta pertolongan Putri Aurelia, suami istri yang baik hati ini berupaya mengeluarkan si Bocah Tikus dari jerat hukuman mati.

Seperti dua bukunya yang lain (Putri Si Pembuat Kembang Api dan Si Pembuat Jam), kali ini pun Pullman menyuguhkan sebuah dongeng yang menakjubkan, bukan saja untuk remaja tetapi juga bagi orang setua saya. Humor-humornya jahil, kocak, penuh sindirian kepada penguasa, petugas hukum, dan “orang-orang dewasa” lainnya yang suka sok pintar.

Kali ini Pullman mengambil setting ceritanya di Inggris, negeri yang terkenal dengan koran dan tabloidnya yang senang bergosip. Koran-koran tersebut, terutama yang besar-besar, terbukti memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap opini publik sehingga berita sepele bisa disulap menjadi head line dan bikin heboh berhari-hari. Bukan hanya masyarakat, bahkan pihak pemerintahpun sering tanpa sadar mengeluarkan kebijakan karena terpengaruh pemberitaan di surat kabar.

Dengan kekuasaan yang dimilikinya, media-media cetak itu membentuk opini publik, memutarbalikkan fakta, membuat yang baik jadi tampak buruk atau sebaliknya, semata-mata demi tiras. Memang tidak semua seperti itu, namun dalam hal ini Pullman hendak menyampaikan fakta betapa berkuasanya pers, bahkan di sebuah negera sebesar Inggris sekali pun. Inilah yang saya maksud di atas dengan “hal yang mestinya menjadi konsumsi orang dewasa”.

Mungkin Pullman terinspirasi dongeng Cinderella dalam menciptakan I Was a Rat! ini. Tokoh Roger adalah salah seekor tikus yang disihir Peri Biru jadi pelayan Sang Putri ke pesta dansa. Meskipun Sang Putri bukan Cinderella, tetapi kisahnya mirip dengan Gadis Abu itu. Kemudian Pullman meraciknya sedemikian rupa, membawa keluar tikus itu ke dunia riil manusia yang keras, penuh iri dengki, kebohongan, kejahatan moral, sekaligus juga cinta kasih yang senantiasa terbukti–dengan kekuatannya– menjadi pemenang. Tidak ada yang bisa saya ucapkan untuk buku ini selain : keren banget!***ENDAH SULWESI

Sabtu, 08 Maret 2008

THE SPACE BETWEEN US


Judul buku: Jarak Di Antara Kita
Judul asli: The Space Between Us
Penulis: Thrity Umrigar
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penyunting: Dini Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Desember 2007
Tebal: 432 hlm.

India adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk paling padat di dunia. Negeri multietnis ini terus-menerus dirundung persoalan domestik menyangkut perselisihan antarras dan agama. Bahkan jika dirunut sejarahnya, India telah berkali-kali mengalami perpecahan akibat perang antaragama itu. Terutama antara Hindu dan Islam. Perang sipil itu melahirkan Pakistan dan Bangladesh. Namun demikian bukan berarti masalah lantas selesai. Meski sudah bercerai, tetap saja terjadi rusuh dengan persoalan yang sama.

Di India, khususnya di masyarakat pemeluk Hindu, hingga hari ini masih berlaku sistem pembagian kasta. Sistem ini membuat masyarakat terbagi-bagi dalam kelas-kelas sosial yang berbeda berdasarkan keturunan dan juga ekonomi. Mereka yang berkasta Brahmana dan Ksatria biasanya berada di level menengah ke atas secara sosial ekonomi. Tingkat pendidikan mereka umumnya tinggi, kerena itu mereka juga memiliki pekerjaan yang baik.

Adapun kasta yang berada pada level bawah adalah Sudra dan kaum Paria. Mereka inilah yang menempati daerah-daerah kumuh di kota-kota besar seperti Bombay dan New Delhi. Bombay, sebagaimana Jakarta, adalah sebuah kota pelabuhan yang berkembang pesat. Di sana tinggal bukan hanya orang-orang berduit tetapi juga para kaum papa yang mencoba mengais remah-remah kehidupan. Mereka hidup dari bekerja sebagai pelayan atau pembantu rumah tangga (Cerita tentang masyarakat Bombay pernah ditulis dengan bagus oleh Dominique Lapierre dalam bukunya The City of Joy).

Mengambil setting Bombay, Thrity Umrigar menuliskan sebuah kisah sedih dalam novelnya yang berjudul The Space Between Us. Umrigar yang lahir dan dibesarkan di Bombay sebelum kemudian pindah dan menetap di M’rika (sebutan orang India untuk Amerika Serikat), tentu memiliki modal yang cukup untuk membangun ceritanya. Ditambah lagi pengalamannya sebagai jurnalis semakin menghidupkan detail-detail yang dirajutnya dengan apik dalam novel keduanya yang terbit pada 2006 di Amerika.

Novel ini memusatkan ceritanya pada dua orang perempuan dari dua kasta yang berbeda: Sera Dubash , si majikan, dan Bhima sang hamba sahaya. Hubungan keduanya unik, saling menyayangi dan menghormati sambil tetap menjaga jarak yang seharusnya antara majikan dan pembantu. Sebagai seorang majikan perlakuan Sera kepada Bhima sering dianggap terlalu baik. Sera telah menganggap Bhima sebagai anggota keluarganya walaupun masih tidak mengizinkan Bhima duduk di kursi dan minum dari cangkir mereka.

Keduanya begitu berbeda dalam banyak hal. Sera adalah seorang perempuan terpelajar dari keluarga kaya.Menikah dengan Feroz dan punya seorang putri, Dinaz. Sementara Bhima buta huruf dan selamanya miskin. Menjadi pembantu rumah tangga telah dilakoninya sejak ia remaja. Bhima menikah dengan Gopal dan memiliki dua orang anak. Namun karena suaminya pergi meninggalkannya, Bhima kini hanya tinggal berdua dengan Maya, cucu dari anak pertamanya yang meninggal karena AIDs.

Bhima telah mengabdi pada keluarga Dubash selama bertahun-tahun. Selama itu ia telah membuktikan diri sebagai pekerja yang baik bagi majikannya. Ia jujur, rajin, dan setia seperti anjing. Dan Sera membalas semua kerja Bhima dengan kebaikan yang sepadan: membayar Bhima dengan upah yang tinggi, menyantuni setiap kali Bhima mendapat kesusahan, dan membiayai sekolah Maya hingga perguruan tinggi.

Relasi kedua karakter ini digarap dengan intens dan rapi sehingga kemudian terungkaplah masing-masing persoalan yang mengungkungi keduanya. Sera yang tampak bahagia dengan rumah tangganya sebenarnya menyimpan luka dan trauma akibat perlakuan kasar Feroz dan campur tangan ibu mertua yang kelewatan. Lewat tokoh Sera, Umrigar menunjukkan kehidupan masyarakat kelas atas; sedangkan melalui sosok Bhima, kita diajak menyelami dan melihat lebih banyak lagi penderitaan orang miskin. Dengan caranya masing-masing kedua perempuan tegar ini berusaha bertahan menjalani nasib dan takdir mereka. Barangkali, inilah wajah India hari ini.

Sepertiga novel ini mengupas secara bergantian riwayat Sera dan Bhima. Konflik baru terbuka di sepertiga bagian menjelang akhir kisah. Konflik yang dipicu oleh kehamilan Maya di luar nikah itu menjadi klimaks yang memilukan sekaligus mengesankan. Bhima, sosok yang bermartabat dan penuh harga diri ini, telah membuat saya–tanpa ragu– menobatkannya sebagai “pahlawan”.

Melalui The Space Between Us ini Umrigar dengan cemerlang telah menyuguhkan sebuah kisah kehidupan manusia yang sangat menyentuh perasaan. Karakter-karakternya begitu hidup; bergelut dengan persoalan-persoalan realis yang kerap kita jumpai dalam keseharian kita, terutama dalam kultur ketimuran yang khas. Mungkin karena kemiripan budaya dan tradisi antara India dan Indonesia, beberapa hal yang diungkap terasa akrab dan tidak asing lagi; sehingga lebih mudah bagi kita untuk memahami dan bersimpati kepada tokoh-tokohnya. Tetapi tentu, memikatnya novel ini, terutama berkat penggarapan yang nyaris tanpa cacat. ***ENDAH SULWESI

Minggu, 02 Maret 2008

TAKHTYA ATAU TAKHTA?


Judul buku: TAJ: Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi
Judul asli: Taj: A Story of Mughal India
Penulis: Timeri N. Murari
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penyunting: Andhy Romdani
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, 2007
Tebal: 490 hlm.

Ini satu lagi novel tentang Taj Mahal, bangunan makam paling megah yang didirikan oleh Shah Jahan untuk mengenang permaisuri tercintanya, Mumtaz-i-Mahal. Permaisuri jelita yang memiliki nama kecil Arjumand ini mangkat sehabis melahirkan anak mereka yang keempat belas. Selama hidupnya, Arjumand telah menjadi satu-satunya wanita yang dicintai Mughal Agung, pemimpin Kesultanan India yang kekuasaannya membentang hingga Kandahar dan Kashmir.

Bangunan agung yang terbuat dari marmer pilihan ini terletak di Agra, India Utara. Tepatnya di tepi Sungai Yumna. Tinggi Taj Mahal adalah 55 meter. Kubahnya yang megah bergaris tengah 18 meter. Pembangunannya memakan waktu 22 tahun (1631-1653 M) di bawah perintah dan pengawasan Shah Jahan.

TAJ ini merupakan novel kedua tentang Taj Mahal yang diterbitkan Mizan. Sebelumnya telah beredar karya penulis asal Inggris, John Shors berjudul Taj Mahal: Kisah Cinta Abadi (2006). Meskipun keduanya berangkat dari sumber inspirasi yang sama–Taj Mahal itu sendiri–namun masing-masing mengupasnya dari sudut yang berbeda sehingga menghasilkan versi yang berbeda pula.

Dalam buku John Shors, ceritanya berpusat pada percintaan terlarang antara Jahanara, putri Shah Jahan dengan Isa, lelaki Turki, arsitek pembangunan Taj Mahal. Dari situ John Shors mengembangkan kisahnya ke masa silam, menggali kembali riwayat asmara Arjumand dan Shah Jahan dengan latar kehidupan istana yang serbagemerlap, bergelimang kesenangan, dan juga intrik-intrik di antara para penghuninya. Di buku ini, Arjumand adalah istri pertama dan satu-satunya Shah Jahan. John memaparkan pula perselisihan kedua putra Shah Jahan, Dara dan Aurangzeb, dalam memperebutkan takhta.

Sementara dalam buku Timeri N. Murari, penulis kelahiran India, cerita berpusat pada asmara Arjumand dan Shah Jahan berlatar konflik-konflik dalam istana. Menurut versi Timeri, Arjumand adalah istri kedua Shah Jahan. Sebelumnya, sebagai seorang Putra Mahkota, Shah Jahan telah dipilihkan jodoh seorang putri Persia. Namun, lantaran cintanya hanya terpaut pada Arjumand seorang, perkawinan yang bersifat politis itu hanya bertahan sebentar dan selanjutnya Shah Jahan menikahi kekasih sejatinya, Arjumand. Sampai meninggalnya, Shah Jahan tak pernah menikah lagi dengan wanita lain.

Timeri menuturkannya dalam pengaturan demikian: bab-bab bernomor ganjil mengisahkan kisah cinta Arjumand dan Shah Jahan; sedangkan bab-bab genap menceritakan masa pembangunan Taj Mahal dan saat-saat berakhirnya kejayaan Shah Jahan. Tokoh Isa hadir sebagai pelayan setia Arjumand; saksi hidup kisah cinta dan jatuh bangunnya Shah Jahan mempertahankan takhta.

Kemilau takhta dan kekuasaan senantiasa menjadi pangkal perselisihan para pewarisnya. Sejarah dan legenda telah banyak mengisahkan tentang perebutan kekuasaan yang selalu saja menumpahkan darah dan memakan korban jiwa. Takhta tak mengenal saudara. Bahkan tak peduli itu anak atau ayah kandung sendiri. Jika dianggap menghalangi, maka harus ditumpas sampai ke anak cucu. Bagi para pangeran yang berebut mahkota itu hanya ada dua pilihan: takhtya atau takhta. Makam atau takhta.

Tak terkecuali di istana Kesultanan Mughal ini. Sejak masa Jahangir berkuasa hingga berlanjut pada anak cucunya. Riwayat Istana Kesultanannya berlumuran darah. Darah keturunannya sendiri sebagai akibat sikap tak adil orang tua kepada anak-anak mereka. Satu anak ditimang-timang sebagai Putra Mahkota; sedangkan putra yang lain diabaikan seolah-olah anak tiri. Pembedaan perlakuan ini menumbuhkan benih-benih dendam dan kesumat yang membutakan hati nurani.

Jika dicermati, kedua versi di atas pada intinya mengutarakan satu hal, bahwa di balik kemegahan Taj Mahal tersimpan bukan saja kisah cinta abadi tetapi juga tragedi. Jika John Shors lebih tertarik berimajinasi tentang asmara terlarang antara seorang putri raja dengan orang biasa, Timeri memilih menggali dan mengekspos (tentu dengan tambahan imajinasi juga) tema perebutan kekuasaan, sehingga karyanya terasa lebih “keras” dan maskulin dibanding karya Shors. Perkara versi mana yang lebih mendekati kenyataan, saya tidak mau memusingkannya. Saya menikmati kedua novel tersebut semata-mata hanya sebagai sebuah karya fiksi.

Terlepas mana yang lebih menarik dari kedua versi tersebut, saya yakin keagungan Taj Mahal masih akan terus menginspirasi banyak orang untuk menuliskannya. Sampai ia tak ada lagi, musnah dimakan waktu.

Dan seperti Nawal El Saadawi, saya percaya bahwa setiap banguan megah berusia ratusan tahun (misalnya: piramida di Mesir atau Candi Borubudur di Magelang) adalah wujud tirani kekuasaan seorang raja terhadap rakyatnya. Entah berapa ribu jiwa melayang dalam pengerjaan bangunan-bangunan tersebut. Konon, Shah Jahan memotong tangan setiap pekerja dan memenggal kepala arsiteknya setelah Taj Mahal selesai dibangun. Tujuannya agar tidak ada Taj Mahal tiruan. ***


endah sulwesi 3/3