Selasa, 12 Agustus 2008

Namaku, Grace Aja!


Judul buku: Namaku, Grace Aja!
Judul Asli: Just Grace
Penulis: Charise Mericle Harper
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penerbit: Atria (Group Serambi)
Cetakan: 2007
Tebal: 107 hlm

Nama aslinya Grace Stewart. Namun, lantaran di kelasnya ada empat tiga anak lain lagi yang juga bernama Grace, maka masing-masing Grace mendapat sebutan sendiri untuk membedakannya. Dan meski tidak suka, Grace Stewart tak mampu menolak ketika akhirnya guru dan teman-temannya sepakat memanggilnya Grace Aja (dan bukan “Grace” aja).

Seperti lazimnya anak-anak, Grace senang melakukan dan ingin tahu tentang banyak hal. Beruntunglah Grace karena memiliki orang tua yang membebaskannya melakukan apa saja dan memberikannya bukan saja pendidikan yang baik tetapi juga terutama cinta dan kasih sayang. Dan sebagaimana anak-anak, Grace juga ingin jadi pahlawan layaknya tokoh-tokoh komik yang dibacanya. Tetapi, Grace juga tahu, untuk menjadi pahlawan seseorang tak perlu menjadi manusia super. Orang biasa seperti dirinya pun bisa jadi pahlawan, sebagaimana di acara tivi favoritnya.

Buku ini memikat selain karena dilengkapi ilutrasi keren juga teristimewa karena cara penyampaiannya yang membiarkan si Grace bertutur sebagai aku. Tak ada wejangan dan nasihat yang menggurui. Plotnya mengalir menurut sudut pandang seorang bocah perempuan yang senang menggambar komik dan selalu ingin menghibur orang lain. Bahasa yang dipergunakan juga sangat mudah dipahami oleh pembaca anak-anak sekaligus menyenangkan bagi orang dewasa.

Kejadian-kejadian yang dikisahkan Grace adalah hal sehari-hari yang kerap dialami oleh bocah seumurnya: teman yang menyebalkan, persahabatan, tetangga yang tampak aneh, hewan peliharaan, ibu guru di sekolah…..Yah, pokoknya hal-hal “remeh” semacam itulah. Bagi Anda yang punya anak atau keponakan seusia Grace tentu tidak asing lagi dengan hal-hal yang saya sebut di atas. Anda pasti pernah dibuat takjub oleh “mutiara-mutiara” kecil itu serta sering dibikin terkejut oleh cara berpikir dan cara mereka menyelesaikan masalah, bukan? Itulah kanak-kanak, makhluk paling indah yang sanggup membuat kita melakukan apapun demi mereka.

Oleh Harper, tema sederhana itu diolah sedemikian rupa melalui kaca mata Grace kecil menjadi bacaan ringan segar yang bikin kita ingin membacanya lagi. Bagi saya, membaca buku ini seperti sedang mendengarkan keponakan saya bercerita. Dengan cara khas kanak-kanak, Harper memunculkan persoalan untuk kemudian menyelesaikannya secara menarik, kocak, dan menggemaskan.

Meski agak berbeda (dan tanpa bermaksud membandingkan), saya jadi ingat serial Anastasia Krupnik. Penulisnya, Lois Lowrey juga tak pernah berpretensi menggurui khalayak pembacanya, dalam hal ini remaja, dengan petuah-petuah membosankan seperti halnya seorang ibu cerewet. Pesan-pesan moral disampaikan secara cerdas lewat dialog atau contoh kasus. Tokoh favorit saya dalam buku tersebut adalah suami istri Krupnik. Mereka adalah model orang tua keren : egliter, demokratis, dan penuh cinta. Sayang, edisi Indonesianya hanya diterbitkan sampai buku ketiga saja dari sembilan judul yang ada. Entah, apakah Serambi lewat lini Atria akan menerbitkan seluruh judul serial Just Grace ini, kita tunggu saja.

Baik Grace atau pun Anastasia bukanlah anak-anak dari orang tua yang kaya raya. Mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah yang tahu betul cara “modern” mendidik anak-anak sekarang. Bukan dengan limpahan harta tetapi dengan perhatian, kasih sayang, serta penghargaan sebagai manusia. Mereka sadar betul bahwa anak-anakpun memiliki hak yang sama sebagai manusia. Seandainya semua orang tua di dunia seperti mereka…

Buku Just Grace ini oleh Charise Harper dibuat berseri. Sudah ada 4 judul yang ditulisnya: Just Grace, Still Just Grace, Just Grace Walks the Dog, dan Just Grace Goes Green. Selain itu, ia juga telah menulis buku-buku lainnya, seperti Fashion Kitty yang juga berupa kisah serial. ***

Minggu, 03 Agustus 2008

Niskala


Judul buku: Niskala
Penulis: Hermawan Aksan
Penyunting: Imam Risdiyanto
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: 289 hlm

Tidak mudah memadukan fakta sejarah dengan fiksi dan tak banyak penulis yang mampu melakukannya dengan baik. Salah satu yang terbaik, siapa lagi kalau bukan, Pramoedya Ananta Toer. Lihat saja bagaiman ia dengan piawainya menghaturkan sejarah kerajaan Singasari lewat novel Arok-Dedes. Kisah kerajaan Mataram melalui tuturan memikat dalam buku gemuk Arus Balik. Dan tentu masterpiece-nya Bumi Manusia , episode awal tetraloginya itu, yang menyoal riwayat hidup Raden Mas Adi Suryo, tokoh pers pertama Indonesia.

Di belakang Pram, ada banyak lagi penulis fiksi sejarah yang cukup rajin dan konsisten dengan jalur yang dipilihnya, antara lain: Remy Sylado, Langit Kresna dengan serial Gajah Mada-nya serta Hermawan Aksan. Nama yang terakhir ini, sama halnya dengan Langit Kresna, menuliskan kembali riwayat Gajah Mada hanya dengan perspektif yang berbeda. Hermawan Aksan mengambil sudut pandang dari Kerajaan Sunda lewat kisah dramatis Dyah Pitaloka yang konon bunuh diri di padang Bubat saat rombongannya dicegat dan dibantai oleh pasukan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa tersebut kemudian kita kenal sebagai Perang Bubat; perang yang menimbulkan luka sejarah di antara orang Sunda dan Jawa. Bekasnya masih terus mengabadi hingga kini. Sampai-sampai di Bandung serta kota-kota Jawa Barat lainnya tidak terdapat jalan yang memakai nama Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Cerita Perang Bubat itu ada dalam novel Dyah Pitaloka yang ditulis Hermawan pada 2003. Rupanya penulis yang juga wartawan Tribun Jabar ini tidak puas hanya sampai di perang Bubat. Ia kemudian melanjutkannya dalam novel terbarunya, Niskala dengan tambahan subjudul Gajah Mada Musuhku (kenapa juga harus ada tambahan judul ini?)

Niskala adalah nama adik lelaki Dyah Pitaloka yang sewaktu ditinggal pergi kakaknya itu baru berusia 9 tahun. Kematian ayahanda dan kakaknya semata wayang di tegal Bubat akibat ulah Gajah Mada diam-diam telah menyemaikan benih dendam dalam hati bocah kecil itu yang tujuh tahun kemudian bertekad membalaskannya.

Maka, Niskala yang memiliki nama kecil Anggalarang itu pun berangkatlah menuju Majapahit guna menantang duel sang mahapatih perkasa Gajah Mada. Kisah selama perjalanannya inilah yang dituturkan bagai cerita silat oleh Hermawan yang sangat terkesan pada kisah Panji Tengkorak (Hans Jaladara) serta Nagasasra dan Sabuk Inten (S.H. Mintardja). Sebenarnya menarik andai saja Hermawan bisa menghindar dari pengulangan-pengulangan adegan perkelahian yang terasa monoton.

Jika mesti membandingkan dengan novel pertamanya, saya lebih suka yang pertama. Pada Dyah Pitaloka selain unsur sejarahnya lebih pekat, juga gagasan yang disampaikannya lebih dalam : mendekonstruksi citra Gajah Mada yang selama ini kondang sebagai figur pahlawan dalam novel tersebut berbalik menjadi si biang keladi yang culas. Sementara itu, Niskala hanya bertumpu pada upaya pembalasan dendam.

Jelas novel Niskala ini lebih banyak kandungan fiksinya ketimbang fakta sejarahnya. Maka, kelirulah kalau kita menjadikannya sebagai acuan sejarah, karena meskipun di dalamnya terdapat nama dan peristiwa yang bersangkutan erat dengan riwayat Majapahit serta Kerajaan Sunda yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi itu, akhirnya hanya sebagai “tempelan” saja demi memperkuat lakon. Namun, itu toh sah-sah saja dalam sebuah karya fiksi, bukan?***