Judul buku : Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis
Judul asli: The Boy In The Striped Pyjamas
Penulis: John Boyne
Penerjemah: Rosemary Kasauli
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I – Juli 2007
Tebal: 240 hlm
Kesalahan pertama saya dalam membaca buku ini adalah mengira bahwa buku ini sebuah buku cerita anak-anak yang lucu dan jenaka. Asumsi ini saya tafsirkan dari judulnya : Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis. Terdengar lucu dan riang. Kesalahan kedua, saya, seperti biasa, melewatkan membaca sinopsisnya yang tercantum di sampul belakang buku. Seandainya saya mau menyempatkan diri membacanya terlebih dahulu, barangkali saya tak akan terkecoh.
Terkecoh? Ya, sebab kiranya buku tipis dengan ukuran font besar-besar ini, lebih tepat dibaca oleh orang dewasa, meskipun John Boyne, penulisnya, menujukan buku tersebut buat (bacaan) anak-anak. Menurut saya, kisah yang tersaji di dalamnya terlalu kelam, pilu, dan getir bagi jiwa kanak-kanak yang (semestinya) riang.
Tokoh utamanya memang anak-anak. Bocah lelaki berusia sembilan tahun bernama Bruno. Ia tinggal di Berlin, Jerman, bersama kedua orang tua dan kakak perempuannya, Gretel (12 tahun). Waktu itu tengah berkecamuk Perang Dunia Kedua di Eropa. Jerman di bawah komando Hitler, seperti sudah sama-sama kita ketahui, dalam perang tersebut memburu orang-orang Yahudi di seluruh Eropa. The Fuhrer, Adolf Hitler, dengan sangat arogan mengklaim bahwa ras Aria adalah ras paling unggul dan orang-orang Yahudi harus disingkirkan dari muka bumi.
Ayah Bruno adalah salah seorang pejabat militer kepercayaan Hitler yang dikirim bertugas ke Auschwitz sebagai komandan di kamp konsentrasi di sana. Bruno yang polos sama sekali tidak tahu bahwa kini mereka tinggal di sebuah kawasan kamp konsentrasi, tempat ribuan orang Yahudi menemui ajal di kamar-kamar gas dan tungku-tungku pembakaran. Ia hanya tahu bahwa kini ia kesepian tanpa seorang temanpun. Tetangganya hanyalah sebuah tempat luas dengan pagar kawat mengelilinginya. Di dalam pagar itu Bruno melihat sejumlah bangunan berukuran besar serta banyak orang laki-laki, dewasa dan anak-anak seumurnya, berpiama garis-garis.
Lantaran kesepian, suatu hari, Bruno memutuskan untuk melakukan ‘penjelajahan’ berkeliling Out With (sebutan Bruno untuk Auschwitz). Dengan kaki-kaki kecilnya, Bruno menyusuri jalan sepanjang pagar kawat tempat terdapat orang-orang dengan piyama dan topi kain garis-garis.
Petang itu, Bruno akhirnya mendapatkan seorang teman sebaya yang tinggal di balik pagar: Shmuel, bocah Polandia keturunan Yahudi. Tak disangka, mereka memiliki tanggal lahir yang sama, 15 April 1934. Sejak itu, secara rutin Bruno setiap petang mengunjungi sahabat barunya itu. Mereka mengobrol, saling bertukar cerita. Sesekali Bruno juga membawakan sepotong coklat atau roti yang berhasil diselundupkan dari dapur rumahnya untuk Shmuel.
Sampai pada suatu hari, Bruno harus kembali ke Berlin, meninggalkan Out With. Anak baik itu sedih sekali karena berarti dia harus berpisah dengan sahabat satu-satunya di Out With, Shmuel. Untuk itu, sebelum pergi ia berniat melakukan “petualangan”–Bruno menyebutnya, “permainan menjelajah”–terakhir bersama Shmuel di balik pagar sebelah sana.
Begitulah. Karya John Boyne yang ditulis tahun lalu ini berhasil menghadirkan sisi lain perang melalui kaca mata seorang bocah lugu berumur sembilan tahun. Meminjam sudut pandang Bruno, John Boyne melontarkan kritiknya terhadap perang secara halus namun amat menusuk. Orang-orang dewasa memang sering kelewat kejam dan jahat demi mencapai tujuannya. Orang-orang dewasalah yang menyebabkan peperangan terus berlangsung di atas dunia ini, tanpa memikirkan akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya. Tanpa peduli betapa banyak pihak terpaksa menjadi korban, termasuk anak-anak tak berdosa seperti Bruno dan Shmuel.
Taktik Boyne menggunakan perspektif kanak-kanak dalam menuturkan ceritanya, bukanlah sesuatu yang baru. Sebut saja misalnya, novel klasik karya Harper Lee, To Kill A Mockingbird (1962) atau novel mutakhir karya Lois Lowry : Menghitung Bintang, telah lebih dulu menggunakan strategi ini.
Hasilnya memang terasa berbeda, lebih polos dan jujur. Kemurnian jiwa seorang anak hampir selalu mampu menerobos, menyentuh relung perasaan kita yang terdalam. Kemalangan dan penderitaan yang dialami mereka, akan menyeret kita ke dalam genangan rasa haru, menyesakkan dada, dan lantas menjebol tanggul air mata. Begitu pula kelucuan tingkah polah mereka membuat kita tersenyum dan tertawa bahagia.
Alur kisah Bruno ini dibuat menanjak perlahan-lahan hingga mencapai klimaksnya di penghujung. Meski pun ada beberapa hal (sepele) yang diabaikan oleh Boyne–umpamanya, ihwal Shmuel yang selalu sukses menyelinap ke tepi pagar untuk berjumpa Bruno, terasa janggal mengingat ketatnya pengawasan di kamp konsentrasi tersebut–namun segera terbayar tunai oleh kedahsyatan cerita secara keseluruhan. Boyne mampu menjaga ritme ceritanya untuk kemudian memberi kejutan menyentak di bagian akhir.
Konon, sejarah selalu berulang. Tetapi, relakah kita sejarah tragis pembantaian umat manusia seperti yang dilakukan Hitler terhadap orang-orang Yahudi itu, kembali terulang? Saya rasa tidak, walaupun, misalnya, ia hadir dalam bentuknya yang lain. Kita akan sama-sama mengutuknya.
Saran saya, bagi Anda yang berniat membaca buku ini, sebaiknya siapkan selembar tisu atau sapu tangan, atau apa apa saja yang bisa dipakai untuk menghapus air mata. Sebab, saya jamin, jika Anda memiliki sekeping hati yang lembut, Anda akan terisak-isak seperti saya.
Endah Sulwesi
Judul asli: The Boy In The Striped Pyjamas
Penulis: John Boyne
Penerjemah: Rosemary Kasauli
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I – Juli 2007
Tebal: 240 hlm
Kesalahan pertama saya dalam membaca buku ini adalah mengira bahwa buku ini sebuah buku cerita anak-anak yang lucu dan jenaka. Asumsi ini saya tafsirkan dari judulnya : Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis. Terdengar lucu dan riang. Kesalahan kedua, saya, seperti biasa, melewatkan membaca sinopsisnya yang tercantum di sampul belakang buku. Seandainya saya mau menyempatkan diri membacanya terlebih dahulu, barangkali saya tak akan terkecoh.
Terkecoh? Ya, sebab kiranya buku tipis dengan ukuran font besar-besar ini, lebih tepat dibaca oleh orang dewasa, meskipun John Boyne, penulisnya, menujukan buku tersebut buat (bacaan) anak-anak. Menurut saya, kisah yang tersaji di dalamnya terlalu kelam, pilu, dan getir bagi jiwa kanak-kanak yang (semestinya) riang.
Tokoh utamanya memang anak-anak. Bocah lelaki berusia sembilan tahun bernama Bruno. Ia tinggal di Berlin, Jerman, bersama kedua orang tua dan kakak perempuannya, Gretel (12 tahun). Waktu itu tengah berkecamuk Perang Dunia Kedua di Eropa. Jerman di bawah komando Hitler, seperti sudah sama-sama kita ketahui, dalam perang tersebut memburu orang-orang Yahudi di seluruh Eropa. The Fuhrer, Adolf Hitler, dengan sangat arogan mengklaim bahwa ras Aria adalah ras paling unggul dan orang-orang Yahudi harus disingkirkan dari muka bumi.
Ayah Bruno adalah salah seorang pejabat militer kepercayaan Hitler yang dikirim bertugas ke Auschwitz sebagai komandan di kamp konsentrasi di sana. Bruno yang polos sama sekali tidak tahu bahwa kini mereka tinggal di sebuah kawasan kamp konsentrasi, tempat ribuan orang Yahudi menemui ajal di kamar-kamar gas dan tungku-tungku pembakaran. Ia hanya tahu bahwa kini ia kesepian tanpa seorang temanpun. Tetangganya hanyalah sebuah tempat luas dengan pagar kawat mengelilinginya. Di dalam pagar itu Bruno melihat sejumlah bangunan berukuran besar serta banyak orang laki-laki, dewasa dan anak-anak seumurnya, berpiama garis-garis.
Lantaran kesepian, suatu hari, Bruno memutuskan untuk melakukan ‘penjelajahan’ berkeliling Out With (sebutan Bruno untuk Auschwitz). Dengan kaki-kaki kecilnya, Bruno menyusuri jalan sepanjang pagar kawat tempat terdapat orang-orang dengan piyama dan topi kain garis-garis.
Petang itu, Bruno akhirnya mendapatkan seorang teman sebaya yang tinggal di balik pagar: Shmuel, bocah Polandia keturunan Yahudi. Tak disangka, mereka memiliki tanggal lahir yang sama, 15 April 1934. Sejak itu, secara rutin Bruno setiap petang mengunjungi sahabat barunya itu. Mereka mengobrol, saling bertukar cerita. Sesekali Bruno juga membawakan sepotong coklat atau roti yang berhasil diselundupkan dari dapur rumahnya untuk Shmuel.
Sampai pada suatu hari, Bruno harus kembali ke Berlin, meninggalkan Out With. Anak baik itu sedih sekali karena berarti dia harus berpisah dengan sahabat satu-satunya di Out With, Shmuel. Untuk itu, sebelum pergi ia berniat melakukan “petualangan”–Bruno menyebutnya, “permainan menjelajah”–terakhir bersama Shmuel di balik pagar sebelah sana.
Begitulah. Karya John Boyne yang ditulis tahun lalu ini berhasil menghadirkan sisi lain perang melalui kaca mata seorang bocah lugu berumur sembilan tahun. Meminjam sudut pandang Bruno, John Boyne melontarkan kritiknya terhadap perang secara halus namun amat menusuk. Orang-orang dewasa memang sering kelewat kejam dan jahat demi mencapai tujuannya. Orang-orang dewasalah yang menyebabkan peperangan terus berlangsung di atas dunia ini, tanpa memikirkan akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya. Tanpa peduli betapa banyak pihak terpaksa menjadi korban, termasuk anak-anak tak berdosa seperti Bruno dan Shmuel.
Taktik Boyne menggunakan perspektif kanak-kanak dalam menuturkan ceritanya, bukanlah sesuatu yang baru. Sebut saja misalnya, novel klasik karya Harper Lee, To Kill A Mockingbird (1962) atau novel mutakhir karya Lois Lowry : Menghitung Bintang, telah lebih dulu menggunakan strategi ini.
Hasilnya memang terasa berbeda, lebih polos dan jujur. Kemurnian jiwa seorang anak hampir selalu mampu menerobos, menyentuh relung perasaan kita yang terdalam. Kemalangan dan penderitaan yang dialami mereka, akan menyeret kita ke dalam genangan rasa haru, menyesakkan dada, dan lantas menjebol tanggul air mata. Begitu pula kelucuan tingkah polah mereka membuat kita tersenyum dan tertawa bahagia.
Alur kisah Bruno ini dibuat menanjak perlahan-lahan hingga mencapai klimaksnya di penghujung. Meski pun ada beberapa hal (sepele) yang diabaikan oleh Boyne–umpamanya, ihwal Shmuel yang selalu sukses menyelinap ke tepi pagar untuk berjumpa Bruno, terasa janggal mengingat ketatnya pengawasan di kamp konsentrasi tersebut–namun segera terbayar tunai oleh kedahsyatan cerita secara keseluruhan. Boyne mampu menjaga ritme ceritanya untuk kemudian memberi kejutan menyentak di bagian akhir.
Konon, sejarah selalu berulang. Tetapi, relakah kita sejarah tragis pembantaian umat manusia seperti yang dilakukan Hitler terhadap orang-orang Yahudi itu, kembali terulang? Saya rasa tidak, walaupun, misalnya, ia hadir dalam bentuknya yang lain. Kita akan sama-sama mengutuknya.
Saran saya, bagi Anda yang berniat membaca buku ini, sebaiknya siapkan selembar tisu atau sapu tangan, atau apa apa saja yang bisa dipakai untuk menghapus air mata. Sebab, saya jamin, jika Anda memiliki sekeping hati yang lembut, Anda akan terisak-isak seperti saya.
Endah Sulwesi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar