Senin, 25 Februari 2008

A LOVE STORY FROM LOMBOK


Judul buku: Ketika Cinta Tak Mau Pergi
Penulis: Nadhira Khalid
Editor: Birulaut
Penerbit: PT Lingkar Pena Kreativa
Cetakan: I, 2007
Tebal: 312 hlm

Maafkan saya karena sempat mengira novel ini adalah chicklit lokal beraroma Islam seperti kebanyakan buku made in Forum Lingkar Pena (FLP) lainnya. “Kecurigaan” bahwa ini chicklit lebih diperkuat lagi oleh tampilan cover dan judulnya yang mellow (istilah anak sekarang untuk menyebut sesuatu yang rada-rada cengeng). Kedua hal tersebut patut disayangkan sebab sedikit banyak telah memberi informasi yang “menyesatkan” bagi para calon pembacanya. Bisa-bisa pembaca yang “anti-chicklit” urung membeli buku ini hanya karena keliru menafsirkan judul dan gambar sampulnya.

Kiranya kecurigaan saya meleset jauh. Ini sama sekali bukan novel chicklit. Memang sebuah kisah cinta juga tetapi bersamanya memuat juga unsure-unsur budaya lokal Tanah Lombok, khususnya masyarakat Sasak pada era tujuh puluhan.

Lombok, pulau yang dipisahkan oleh sebuah selat dari tetangganya yang makmur, Bali, merupakan satu daerah miskin dan terbelakang pada masa itu. Masyarakatnya yang mayoritas beragama Islam menggantungkan hidup mereka dari bertani. Orang Sasak adalah orang-orang yang setia pada tradisi leluhur di samping menjalankan ajaran agama Islam sekaligus masih meyakini klenik dan hal-hal mistik seperti dukun, teluh, dan mantra.

Lazimnya kebanyakan daerah lain di Indonesia, di Lombok juga tak lepas dari persoalan intern masyarakat lantaran perbedaan status sosial. Antara kaum bangsawan dengan rakyat biasa masih berlaku adat yang diskriminatif. Soal keturunan itu kerap menimbulkan masalah dalam urusan cinta. Keturunan bangsawan hanya boleh menikah dengan bangsawan lagi atau paling tidak orang yang kedudukan ekonomi sosialnya terpandang.

Nadhira Khalid, penulis kelahiran 1971 ini , mengusung tema cinta terlarang antara Sahnim, putri orang terkaya di Janapriya dengan Kertiaji, keturunan bangsawan yang sudah jatuh miskin. Hasrat asmara mereka terhalang oleh perbedaan kondisi sosial ekonomi kedua orang tua. Ayah Sahnim, Ismuhadi, melarang hubungan tali kasih itu diteruskan. Sahnim hanya boleh menikah dengan lelaki yang sederajat, bukan dengan pemuda miskin seperti Kertiaji, walaupun ia masih berdarah biru.

Lika-liku kasih tak sampai inilah yang digarap oleh Nadhira dengan latar belakang budaya Sasak yang selama ini belum banyak diungkap dan karenanya menjadi sesuatu yang istimewa dalam buku ini. Kultur lokal dengan setting sosial yang dipaparkan secara cukup detail ini menjadi semakin menarik ketika Nadhira mengawinkannya dengan persoalan transmigrasi yang menjadi salah satu kebijakan pemerintah Orde Baru kala itu. Konflik-konflik yang mengemuka membuka wawasan pembaca, khususnya bagi kita yang belum mengerti banyak ikhwal tradisi Lombok dan Sasak.

Kisah cinta Sahnim dan Kertiaji hanyalah sebagai gerbang masuk yang dibuat Nadhira untuk membawa pembaca menyelam lebih jauh lagi ke dalam persoalan-persoalan orang kecil di Lombok dan Sumbawa. Kemiskinan yang terjadi di sana seiring sejalan dengan minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat. Ketika dokter dan rumah sakit tak ada, satu-satunya tempat mereka menggantungkan nyawa dari segala macam penyakit adalah dukun yang menyembuhkan dengan jampi-jampi bertuahnya. Begitupun tatkala harus menghadapi masalah lainnya yang tak sanggup diselesaikan lewat usaha real, mereka datang kepada dukun untuk meminta ramuan pekasihan, guna-guna, ataupun santet.

Kentalnya unsur lokal dalam novel perdana Nadhira ini kian terasa pekat dengan tetap membiarkan istilah-istilah setempat dalam bahasa asalnya yang diberi keterangan pada catatan kaki. Sebuah siasat yang cerdik, sebab dengan demikian kisah yang tersaji jadi terasa lebih bernyawa dan membumi. Tokoh utamanya, Kertiaji, tampil cukup hidup sebagai lelaki yang lemah hati, sedikit pengecut, dan sering lari dari masalah. Saya sempat gemas dan geregetan pada tokoh ini.

Hanya sayang sekali, Nadhira sering alpa pada perhitungan waktu. Pada satu bagian ceritanya berlangsung dalam waktu lama, namun ketika menghubungkannya dengan bagian lain, seolah-olah kedua kejadian itu hanya berselang sebentar saja. Misalnya di bagian Sahnim terbaring sakit dalam keadaan hamil beberapa bulan. Sampai ia sembuh, lebih dari setahun, tak pernah dikisahkan tentang kelahiran bayinya. Hal seperti ini beberapa kali terjadi. Pun soal salah ketik dan salah eja, lumayan banyak juga ditemukan. Cukup mengganggu mata.

Selebihnya, keberanian Nadhira untuk mengangkat tema lokal dalam fiksi kita di tengah serbuan novel-novel impor patut diberi apresiasi. Sejatinya, tema apapun–lokal atau bukan lokal–akan menjadi kisah yang memikat selama digali dan digarap dengan baik. ***

Dua bintang dari saya (artinya, cukup keren).


endah sulwesi 25/2

Minggu, 17 Februari 2008

SIHIR ITU BERNAMA COKELAT


Judul Buku: Chocolat
Judul asli: Chocolat
Penulis: Joanne Harris
Penerjemah: Ibnu Setiawan
Penyunting: Wendratama
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, 2007
Tebal: xii + 374 hlm

Pada sebuah Februari yang dingin menjelang Paskah, Vianne Rocher bersama putrinya, Anouk, tiba di Lansquenet-sous-Tannes, desa kecil di Prancis berpenduduk 200 jiwa saja. Ia tiba bertepatan dengan hari karnaval. Seluruh orang tampak gembira. Desa kecil itu terasa hidup dan penuh warna. Udara dipenuhi aroma hangat panekuk dan sosis goreng, juga rasa manis kue wafel berlapis gula bubuk. Toko-toko berhias kertas warna-warni dan bunga-bunga. Orang-orang memakai kostum aneka tokoh dongeng dunia. Musik dari drum yang ditabuh, tiupan terompet dan seruling menambah gembira suasana. Saat itu Vianne langsung memutuskan untuk tinggal di desa tersebut.

Ia membeli sebuah bangunan tua bekas toko roti. Dengan sentuhan sedikit di sana-sini, bangunan itu disulapnya menjadi sebuah chocolaterie, toko cokelat dengan papan nama La Celeste Praline. Letak toko cokelatnya berhadapan langsung dengan gereja desa yang dipimpin seorang pastor konservatif Francis Reynaud.

Vianne memang ahli membuat cokelat yang sesungguhnya seperti yang diminum oleh bangsa Aztec dalam ritual ribuan tahun silam. Ia juga ahli membuat kue-kue, gula-gula, dan aneka makanan lainnya berbahan dasar cokelat. Ia membentuknya serupa binatang, rumah, bunga-bunga, bintang, buah-buahan, dan sebagainya.

Entah karena keramahtamahan Vianne atau lantaran cokelatnya yang lezat, toko kecil itu segera saja disukai warga desa. Setiap hari, seperti tersihir, mereka mendatangi La Celeste Praline untuk menikmati minuman dan aneka kue cokelat atau sekadar mengobrol.

Namun, sebagaimana banyak desa di dunia, ada saja orang-orang yang tidak suka dengan pendatang baru. Pastor Reynaud dan beberapa warga lain tidak suka pada kehadiran Vianne dan toko cokelatnya itu. Reynaud yang tak pernah mencicipi cokelat sejak kecil secara terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan dengan ibu dan anak yang tidak pernah datang ke gerejanya itu. Baginya, wanita yang punya anak tanpa suami itu adalah pengaruh buruk buat warga desa yang selama ini selalu hanya mematuhinya. Lebih-lebih dengan beraninya Vianne berencana menyelenggarakan festival cokelat tepat pada hari Paskah. Itu sama saja artinya dengan mengibarkan bendera Perang Salib. Masyarakat harus diselamatkan dari ancaman “tukang sihir” tersebut.

Plot novel ini secara bergantian diceritakan melalui dua perspektif : Vianne Rocher dan Pastor Reynaud, pusat konflik kisah ini. Kedua karekater utama ini berdiri pada posisi berseberangan seperti toko cokelat dan gereja. Reynaud adalah simbol orang-orang munafik yang menutupi watak buruk dengan penampilan mereka sebagai warga terhormat, tokoh masyarakat, dan bahkan pemimpin agama.

Sementara Vianne adalah pribadi hangat, berani, penuh semangat hidup, dan ekspresif. Seorang perempuan yang cerdas dan mandiri, berkepribadian kuat, penuh percaya diri. Sejenis orang yang percaya bahwa berbuat baik tidak harus dengan rajin ke gereja. Sebenarnya, kedua insan yang bermusuhan ini memiliki latar belakang riwayat hidup yang mirip. Sama-sama pernah mengalami masa kecil yang tidak bahagia. Hanya kemudian mereka menyikapinya secara berbeda.

Konflik Reynaud dan Vianne terbangun sejak awal cerita diselingi peristiwa-peristiwa lain yang menggambarkan kehidupan khas masyarakat desa yang senang bergosip dan usil namun sekaligus juga akrab, saling peduli satu sama lain. Klimaksnya adalah pada pagi hari pelaksanaan Festival Cokelat. Ending yang nakal dan tak terduga. Perseteruan Vianne dan Reynaud ini pastinya menjadi bagian paling menarik yang membuat kita ingin tahu bagaimana akhirnya.

Yang juga tak kalah menarik adalah tatkala tiba pada bagian-bagian membahas kue-kue cokelat itu. Deskripsinya begitu hidup, seolah-olah semua makanan lezat itu benar-benar tersaji di hadapan kita, bikin kita terpaksa menelan ludah ketika membacanya: bitter orange cracknel, apricot marzipan roll, cerisette russe, white rum truffle, coklat dengan butir-butir jahe dalam cangkang gula yang keras, cokelat beraroma cendana, kayu manis, dan limau; lapisan cokelat bertabur potongan kecil buah persik yang dicelup dalam madu dan brandy, fondant caramel, manon blanc dengan krim segar dan almond…..Huuu..semuanya terdengar enak. Sesaat saya jadi ingat novel Like Water for Chocolate (Laura Esquivel).

Tentu ada juga kisah cintanya walaupun cuma samar-samar, antara Roux, pemuda gipsi yang tinggal di rumah perahu dan sangat dibenci oleh Reynaud, dengan Vianne. Bukan kisah cinta yang vulgar, malah nyaris tidak kelihatan. Joanne menyampaikan dengan halus melalui letupan-letupan kecil kecemburuan Vianne.

Joanne Harris, penulis novel ini, mendapat ide tentang toko cokelat dari pengalaman masa kanak-kanaknya di Prancis. Kakeknya punya sebuah toko permen. Sehari-hari hidup Joanne Michele Sylvie Harris kecil yang lahir pada 3 Juli 1964 ini dipenuhi aneka permen dan makanan serta dongeng-dongeng rakyat. Bahkan nenek buyutnya, kepada siapa buku ini didedikasikan, dikenal sebagai penyihir dan semacam dukun penyembuh (healer). Kenang-kenangannya tentang sang nenek buyut diabadikan dalam tokoh eksentrik di novel ini, Armande Voizin.

Novel ini ditulis pada 1999. Setahun kemudian dibuat filmnya yang dibintangi oleh Juliette Binoche dan Johnny Depp dan masuk nominasi Oscar untuk 5 kategori, termasuk untuk film dan pemeran wanita terbaik.

Untuk bukunya, saya beri tiga bintang.

Senin, 11 Februari 2008

Anastasia Krupnik : Petaka Di Dua Pesta



Judul buku: Anastasia Krupnik : Petaka Di Dua Pesta
Judul asli: Anastasia At Your Service
Penulis: Lois Lowry
Penerjemah: M. Rudi Atmoko
Penyunting: Yuliani Liputo
Penerbit: MLC
Cetakan: I, 2006
Tebal: 188 hlm.

Aku suka banget serial Anastasia Krupnik ini. Gaya bertutur Lois Lowry serta tema cerita yang realis benar-benar sesuai dengan selera bacaanku. Ya, ini memang buku cerita remaja, tetapi kurasa ini sebuah buku yang keren yang akan membuatku ketagihan membacanya. Buktinya aku terus mengikutinya sampai judul ketiga terjemahan Indonesianya. Seluruhnya, serial ini terdiri dari 9 judul. Aku sih berharap betul semua judul tersebut diterbitkan di sini.

Keluarga Krupnik, menurutku, adalah model keluarga modern kelah menengah ideal. Pasangan suami istri Krupnik yang bekerja, beranak dua, tanpa pembantu, dan tinggal di dareah pinggiran kota adalah gambaran sebuah keluarga muda masa kini di daerah perkotaan.

Namun, bukan itu banget yang membuatku “mengidolakan” keluarga asyik ini. Terutama sekali adalah pada cara mereka berinteraksi setiap harinya dengan memakai prinsip kesetaraan. Hubungan ayah, ibu, dan anak adalah sebuah hubungan yang setara. Mereka saling menghormati dan menghargai. Semua bebas bicara dan semua mendengar dan didengar.

Nyonya Krupnik lebih banyak bekerja di rumah sebagai pelukis dan sesekali menerima order membuat ilustrasi buku; sedangkan Pak Krupnik adalah seorang penyair terkenal yang juga pengajar sastra di Universitas Harvard. Mereka orang tua yang sangat menoderat. Cara keduanya mendidik anak-anak mereka benar-benar keren. Mereka membebaskan Anastasia (13 tahun) dan adiknya, Sam (2,5 tahun) menjadi diri mereka sendiri. Anak-anak tersebut tumbuh sehat dan bahagia dalam naungan sebuah keluarga yang penuh cinta dan saling menghormati.

Pak dan Bu Krupnik senantiasa memberi dukungan untuk semua hal-hal positif yang ingin dilakukan oleh anak-anak mereka. Seperti kali ini, mereka mengizinkan Anastasia bekerja paruh waktu sebagai pendamping wanita tua demi mendapatkan uang jajan lebih di hari liburnya walaupun ternyata Anastasia hanya dijadikan sebagai seorang pelayan.

Anastasia marah betul pada Ny. Bellingham. Wanita kaya raya yang tinggal tak jauh dari rumah keluarga Krupnik itu telah mempekerjakan Anastasia bukan sebagai pendamping tetapi sebagai pelayan. Anastasia malu sekali. Namun, dengan bijaksana ayah ibunya memberi dukungan menghadapi situasi tidak enak itu. Mereka membesarkan hati anak gadis itu dengan menceritakan kisah “memalukan” yang pernah mereka alami sehingga Anastasia tidak lagi merasa malu. Di dunia setiap orang pernah mengalami hal paling memalukan dalam hidup mereka.

Nyonya Bellingham memiliki seorang cucu perempuan yang sebaya dengan Anastasia dan akan masuk ke kelas tujuh di sekolah yang sama dengan Anastasia. Daphne nama anak perempuan cucu Ny. Bellingham itu. Ny. Bellingham sangat menyayangi cucunya itu. Ia ingin menyelenggarakan pesta ulang tahun Daphne yang ketiga belas. Dan Anastasia dibutuhkan untuk melayani tamu-tamu di pesta tersebut.

Tadinya Anastasia jengkel membayangkan harus melayani seorang anak yang akan menjadi teman sekelasnya. Akan tetapi kiranya Daphne seorang remaja yang menyenangkan untuk dijadikan teman. Alih-alih malu, mereka kemudian malah bersekongkol menggagalkan pesta amal yang akan diadakan Ny. Bellingham seminggu setelah ulang tahun Daphne. Dua remaja putri yang kesal dan sakit hati pada seorang nyonya tua lalu menyusun rencana iseng untuk mengacaukan pesta. Daphne kecewa pada neneknya karena diberi hadiah ulang tahun sebuah boneka. Hanya bayi yang bermain boneka, katanya dengan sewot. Dan Anastasia juga masih belum hilang kesalnya karena dipekerjakan sebagai pelayan.

Tema cerita yang dipilih Lois Lowry adalah kisah yang bisa kita temui sehari-hari: remaja puber yang sibuk dengan penampilan mereka, pertemanan, hubungan tetangga, orang tua yang menjengkelkan….Semua itu hal biasa yang kita lihat dan alami setiap hari. Lois Lowry mengolah bahan-bahan yang tampak remeh itu dengan keahlian seorang penulis sehingga menjelma cerita memikat penuh makna tanpa terkesan menggurui. Aku benar-benar menyukainya. Serial Anastasia ini bukan hanya menghibur tetapi juga sarat pesan moral tentang hubungan antarmanusia, khususnya antara orang tua dan anak-anak mereka.

Humor-humornya segar dan cerdas, mengingatkan aku pada serial tivi Amerika yang populer di tahun 80-an, Growing Pains atau yang sejenisnya. Eh, Anastasia Krupnik ini juga sudah dibuat filmnya di tahun 1999 dengan sutradara Meryl Friedman. Ada gak ya dvd (bajakan)-nya? J

Tiga bintang untuk buku remaja ini.

Endah Sulwesi 11/2

Minggu, 03 Februari 2008

POTRET SURAM PEREMPUAN AFGANISTAN


Judul buku: A Thousand Spendid Suns
Penulis: Khaled Hosseini
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penyunting: Andhy Romdani
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2007
Tebal: 510 hlm

Setelah meraih sukses besar dengan novel perdananya, The Kite Runner (2003), Khaled Hosseini menerbitkan karya keduanya, A Thousand Splendid Suns (ATSS). Penerbit Qanita cukup cepat juga mengeluarkan edisi Indonesianya. Hanya berselang 5 bulan saja dari edisi aslinya yang beredar pada Mei 2007. Asyik juga andai semua buku impor bisa terbit edisi terjemahannya secepat itu, tak perlu menunggu bertahun-tahun.

Masih berlatar negeri Afganistan, kali ini Hosseini mengajak pembaca melihat-lihat “album” yang memuat “potret” suram kaum hawa di Afganistan. Sejak masa pendudukan Soviet, rezim Komunis, Mujahidin, hingga masa kekuasaan Taliban. Sepanjang zaman tersebut, kaum perempuan di sana senantiasa menjadi pihak yang paling menderita dan terzalimi oleh negara, tradisi, budaya, agama, dan masyarakat yang didominasi kaum pria.

Afganistan merupakan salah satu negeri termiskin di dunia. Adalah peperangan dan konflik politik yang berkepanjangan dan terus-menerus yang menyebabkan ekonomi negara ini tak sempat tumbuh dan berkembang. Entah sudah berapa juta jiwa melayang dalam perang-perang tersebut. Ibu-ibu harus rela melepas putra dan suami mereka bertempur di garis depan menghadapi tentara musuh atau yang dianggap musuh. Sejak pendudukan Uni Soviet hingga perang-perang saudara (antarsuku dan antargolongan) yang seolah tak pernah usai.

Pemerintahan yang kerap bergonta-ganti tak sempat mengurusi masalah lain di luar politik, seperti pendidikan dan kesehatan. Banyak penduduk mengalami krisis pangan akibat sektor pertanian dan peternakan diabaikan. Kondisi tersebut lebih diperparah lagi jika terjadi kemarau panjang.

Perang juga mengakibatkan banyak rumah sakit dan gedung sekolah rusak parah. Pendidikan telah lama tidak mendapat perhatian. Lebih-lebih bagi anak perempuan. Pada masa Taliban berkuasa, perempuan bahkan sama sekali tak boleh sekolah. “Tidak ada ilmu yang bisa kau pelajari di sekolah. Yang ada hanya satu, hanya ada satu keahlian yang harus dikuasai perempuan seperti kita dalam kehidupan ini, dan itu tidak diajarkan di sekolah…..Hanya ada satu keahlian. Tahamul. Bertahan” (hlm 33).

Di daerah konflik seperti Afganistan ini, selalu perempuanlah yang paling sengsara. Setiap saat para istri terancam menjadi janda oleh kematian suami mereka. Perang juga seolah-olah memberi legitimasi kepada para pria untuk berpoligami dengan alasan memberi perlindungan kepada para wanita tersebut, baik yang janda atau pun anak-anak gadis yang tiba-tiba menjadi yatim piatu. Seperti Laila dan Mariam.

Tingkat pendidikan yang rendah semakin melemahkan posisi tawar perempuan. Mereka menjadi amat tergantung kepada kekuasaan kaum lelaki. Di masa pendudukan Taliban, perempuan tak boleh bekerja dan tak boleh ke luar rumah kecuali dengan seorang lelaki yang menjadi muhrimnya. Mereka harus menutup rapat aurat dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan burqa. Jika berani melanggar, hukum cambuk dan penjara menanti. Ah..saya jadi ingat film keren Osama dan Kandahar.

Akibat dokter-dokter perempuan tidak boleh lagi bekerja, rumah sakit dan klinik-klinik kekurangan tenaga medis. Pasien melahirkan ditangani seadanya. Jika mesti operasi, akan dilakukan tanpa anestesi, karena tak tersedia lagi obat bius. Tak heran jika angka kematian ibu melahirkan juga tinggi. Belum lagi mereka yang tinggal di tenda-tenda pengungsian. Tanpa selimut dan air bersih.

Itulah antara lain yang berhasil direkam Hosseini dalam novel keduanya ini. Lewat tokoh Mariam dan Laila, ia mengungkapkan rangkaian tragedi kemanusiaan di Afganistan.

Keterbatasan Mariam dan Laila sebagai perempuan Afganistan membuat mereka tak punya banyak pilihan. Mariam yang terlahir sebagai harami, anak haram, harus menjalani nasib buruk disingkirkan oleh ayah kandungnya dengan jalan dikawinkan saat ia berusia 14 tahun dengan seorang pembuat sepatu berumur 45 tahun.

Demikian pula halnya Laila. Pada umur 14 tahun ia tiba-tiba menjadi yatim piatu. Mammy dan Babi-nya tewas oleh roket yang jatuh menimpa rumah mereka. Waktu itu tahun 1992. Jauh sebelumnya, kedua abangnya juga telah lebih dulu mati sebagai martir di pertempuran melawan tentara Uni Soviet.

Merasa tak memiliki siapa pun lagi–kekasihnya pun dikabarkan telah meninggal dalam pengungsian–Laila tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima tawaran kawin seorang pria tua beristri dan tinggal seatap dengan istri tuanya itu. Bertahun-tahun ia harus menerima perlakuan kasar, siksaan, dan aniaya sang suami. Dia nyaris kehilangan martabat dan harga dirinya sebagai manusia.

Jika hendak membandingkan, novel ATSS ini tidaklah seemosional The Kite Runner (TKR) yang mengharu-biru perasaan. ATSS jadi lebih mirip film India atau telenovela yang tokohnya didera nestapa hampir di sekujur kisah. Bukannya tidak menarik, akan tetapi barangkali akan lebih memikat lagi jika Hosseini tidak memforsirnya sampai sedemikian rupa, walau pun mungkin yang ditulisnya adalah fakta yang terjadi di lapangan.

Hosseini cukup berhasil dalam menciptakan karakter Rasheed sebagai sosok antagonis. Rasheed rasanya benar-benar hidup dan jahat. Sampai saya ingin membunuhnya. Ia pun piawai dalam menuturkan suasana yang mengiringi setiap kejadian sehingga kita bisa masuk ke dalam kisahnya

Sebagai seorang yang lahir dan pernah tinggal cukup lama di Afganistan (1965-1976) serta kemudian bekerja sebagai duta UNHCR, Hosseini tentulah paham betul dengan semua yang ditulisnya. Agaknya, melalui buku ini ia ingin menyampaikan pesan moral, bahwa tak ada manfaat yang bisa diambil dari sebuah peperangan. Perang hanya menyisakan kehancuran bagi umat manusia. ***

Tiga bintang deh.

Endah Sulwesi 4/2