Judul buku: Ekspedisi Kapal Borobudur Jalur Kayu Manis
Teks: Yusi Avianto Pareanom
Gambar: M.Dwi Bondan Winarno dan Dhian Prasetya
Penerbit: Banana
Cetakan: I (2007)
Tebal: 50 hlm (29 x 20,5 cm)
Sudah lama banget rasanya saya tidak baca komik. Entah kapan terakhir kali, saya nggak terlalu ingat. Namun, jelas saya ingat sekali masa-masa ketika saya sangat tergila-gila pada komik. Ya komik, buku cerita bergambar yang kini lebih sering disebut dengan novel grafis itu.
Itu terjadi kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, akhir tujuh puluhan, awal delapan puluhan, saat saya SD dan SMP. Waktu itu, tingkat kecanduan saya pada komik lumayan berat. Saya membaca komik-komik yang kondisinya sudah kumal dan lecek lantaran dibaca bergantian oleh banyak orang di rumah tetangga berjarak 3 rumah dari rumah kami. Komik-komik itu di antaranya adalah Si Buta Dari Gua Hantu (Ganes Th) dan serial Jaka Sembung. Ada juga Petruk-Gareng, Gundala Putra Petir, Sun Go Kong serta beberapa komik romantis yang saya sudah tak ingat lagi judul-judulnya. Semuanya berupa komik hitam putih.
Beberapa tahun kemudian, saya 'berkenalan' dengan komik Barat yang colourful dengan ukuran sebesar majalah. Tintin, Asterix, Smurf, dan Lucky Luke adalah 'kenalan-kenalan' baru saya itu. Terasa sekali bedanya, baik dari segi cerita maupun gambar, dengan komik-komik "kampung" yang sebelumnya pernah saya gila-gilai. Komik-komik impor ini sarat dengan humor-humor segar. Jika komik-komik lokal sempat membuat saya ingin jadi pendekar, maka komik-komik made in luar negeri ini membuat saya terbahak-bahak.
Setelah itu, seingat saya, belum ada lagi pengalaman berkesan lainnya dengan komik.. Saya nggak ikut-ikutan demam manga, misalnya. Nggak tertarik, walaupun di rumah berserakan komik-komik Jepang bacaan kegemaran adik-adik saya, seperti Kungfu Boy, Candy Candy, Sailormoon, sampai Doraemon. Waktu itu, tampaknya saya mulai emoh baca komik. Menurut saya, komik cuma bacaan buat anak-anak. Saya mengucapkan selamat tinggal pada komik.
Hingga bertahun-tahun sesudah itu, saya masih tetap menolak membaca komik. Nggak ngiler sedikitpun. Sampai beberapa hari yang lalu entah kenapa saya kok jadi ingin baca komik lagi seusai membaca iklan komik berjudul Ekspedisi Kapal Borobudur Jalur Kayu Manis. Komik–atau istilah kerennya novel grafis–ini dicetak dalam bentuk hard cover ukuran 29 x 20,5 cm, berwarna, dan tebal 50 halaman. Lebih mirip komik-komik impor dari pada komik lokal jadul (jaman dulu) yang saya ceritakan di atas. Ketertarikan saya pada komik ini barangkali lebih karena ada nama M. Dwi Bondan Winarno (yang semula saya kira Bondan "Maknyuuss" itu) tercantum sebagai tukang gambarnya.
Kisahnya mengenai pelayaran internasional Kapal Borobudur menyusuri kembali Jalur Kayu Manis untuk membuktikan kebenaran "dugaan" tentang sejarah keperkasaan para pelaut Nusantara yang berhasil menempuh jarak ribuan mil hingga ke pantai Afrika Barat berabad-abad yang lalu hanya dengan menggunakan sejenis perahu sederhana : "Mereka datang menggunakan rakit atau perahu sederhana dua cadik dengan muatan kayu manis dan bumbu-bumbu lain" Demikian catatan yang ditulis pada abad ke-1 Masehi oleh Pilny, ahli sejarah Romawi. Saking terkesannya, sampai-sampai ia menulis, bahwa perahu-perahu tersebut bukan digerakkan oleh layar melainkan oleh semangat dan keberanian.
Gagasan awalnya berasal dari seorang mahasiswa Inggris, Phillip Beale, yang tengah belajar ihwal kapal tradisional Indonesia. Ia tergelitik untuk melakukan sebuah ekspedisi "napak tilas" menempuh Jalur Kayu Manis dengan menggunakan sebuah kapal yang mirip dengan kapal yang dipakai oleh para pelaut dahulu, yang gambarnya ia lihat pada sekeping relief di Candi Borobudur pada 1982 (itulah asal mula nama kapal ini dinamai Kapal Borobudur).
Dua puluh tahun berselang, Phillip berhasil memujudkan ide sintingnya itu. Bersama sejumlah anak buah kapal (ABK) gabungan dari Indonesia dan luar negeri, Phillip memimpin langsung ekspedisi tersebut. Kapal kayu hasil rancangan Nick Burmingham (Australia) dan dibuat oleh As'ad Abdullah (Indonesia) ini sukses mengarungi samudra sejauh 11 ribu mil dalam waktu 6 bulan (15 Agustus 2003 – 23 Februari 2004).
Memang rasanya singkat sekali mengikuti pelayaran yang berlangsung selama 6 bulan hanya dalam 50 halaman komik saja. Nggak puas sebetulnya. Pasti masih banyak hal menarik lainnya yang tidak sempat disampaikan oleh gambar-gambar apik dan teks yang terkadang "usil" , suka tiba-tiba nyeletuk humor lewat dialog tokoh-tokohnya ataupun kejadian-kejadian lucu yang mengundang senyum. Alurnya konvensional, mudah diikuti, bahkan oleh pembaca kanak-kanak sekalipun. Sayang, terdapat beberapa kesalahan cetak–tanda petik (") semuanya tercetak menjadi tanda tanya (?)–yang kendati tidak fatal tetapi terasa mengganggu juga.
Meskipun komik ini tidak memuaskan saya karena "kekurusannya", namun cukup maknyuuss, sehingga selesai membacanya saya mendapat "hikmah" tersendiri: jadi kepingin dan rindu baca komik lagi.
Endah Sulwesi 19/8
Teks: Yusi Avianto Pareanom
Gambar: M.Dwi Bondan Winarno dan Dhian Prasetya
Penerbit: Banana
Cetakan: I (2007)
Tebal: 50 hlm (29 x 20,5 cm)
Sudah lama banget rasanya saya tidak baca komik. Entah kapan terakhir kali, saya nggak terlalu ingat. Namun, jelas saya ingat sekali masa-masa ketika saya sangat tergila-gila pada komik. Ya komik, buku cerita bergambar yang kini lebih sering disebut dengan novel grafis itu.
Itu terjadi kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, akhir tujuh puluhan, awal delapan puluhan, saat saya SD dan SMP. Waktu itu, tingkat kecanduan saya pada komik lumayan berat. Saya membaca komik-komik yang kondisinya sudah kumal dan lecek lantaran dibaca bergantian oleh banyak orang di rumah tetangga berjarak 3 rumah dari rumah kami. Komik-komik itu di antaranya adalah Si Buta Dari Gua Hantu (Ganes Th) dan serial Jaka Sembung. Ada juga Petruk-Gareng, Gundala Putra Petir, Sun Go Kong serta beberapa komik romantis yang saya sudah tak ingat lagi judul-judulnya. Semuanya berupa komik hitam putih.
Beberapa tahun kemudian, saya 'berkenalan' dengan komik Barat yang colourful dengan ukuran sebesar majalah. Tintin, Asterix, Smurf, dan Lucky Luke adalah 'kenalan-kenalan' baru saya itu. Terasa sekali bedanya, baik dari segi cerita maupun gambar, dengan komik-komik "kampung" yang sebelumnya pernah saya gila-gilai. Komik-komik impor ini sarat dengan humor-humor segar. Jika komik-komik lokal sempat membuat saya ingin jadi pendekar, maka komik-komik made in luar negeri ini membuat saya terbahak-bahak.
Setelah itu, seingat saya, belum ada lagi pengalaman berkesan lainnya dengan komik.. Saya nggak ikut-ikutan demam manga, misalnya. Nggak tertarik, walaupun di rumah berserakan komik-komik Jepang bacaan kegemaran adik-adik saya, seperti Kungfu Boy, Candy Candy, Sailormoon, sampai Doraemon. Waktu itu, tampaknya saya mulai emoh baca komik. Menurut saya, komik cuma bacaan buat anak-anak. Saya mengucapkan selamat tinggal pada komik.
Hingga bertahun-tahun sesudah itu, saya masih tetap menolak membaca komik. Nggak ngiler sedikitpun. Sampai beberapa hari yang lalu entah kenapa saya kok jadi ingin baca komik lagi seusai membaca iklan komik berjudul Ekspedisi Kapal Borobudur Jalur Kayu Manis. Komik–atau istilah kerennya novel grafis–ini dicetak dalam bentuk hard cover ukuran 29 x 20,5 cm, berwarna, dan tebal 50 halaman. Lebih mirip komik-komik impor dari pada komik lokal jadul (jaman dulu) yang saya ceritakan di atas. Ketertarikan saya pada komik ini barangkali lebih karena ada nama M. Dwi Bondan Winarno (yang semula saya kira Bondan "Maknyuuss" itu) tercantum sebagai tukang gambarnya.
Kisahnya mengenai pelayaran internasional Kapal Borobudur menyusuri kembali Jalur Kayu Manis untuk membuktikan kebenaran "dugaan" tentang sejarah keperkasaan para pelaut Nusantara yang berhasil menempuh jarak ribuan mil hingga ke pantai Afrika Barat berabad-abad yang lalu hanya dengan menggunakan sejenis perahu sederhana : "Mereka datang menggunakan rakit atau perahu sederhana dua cadik dengan muatan kayu manis dan bumbu-bumbu lain" Demikian catatan yang ditulis pada abad ke-1 Masehi oleh Pilny, ahli sejarah Romawi. Saking terkesannya, sampai-sampai ia menulis, bahwa perahu-perahu tersebut bukan digerakkan oleh layar melainkan oleh semangat dan keberanian.
Gagasan awalnya berasal dari seorang mahasiswa Inggris, Phillip Beale, yang tengah belajar ihwal kapal tradisional Indonesia. Ia tergelitik untuk melakukan sebuah ekspedisi "napak tilas" menempuh Jalur Kayu Manis dengan menggunakan sebuah kapal yang mirip dengan kapal yang dipakai oleh para pelaut dahulu, yang gambarnya ia lihat pada sekeping relief di Candi Borobudur pada 1982 (itulah asal mula nama kapal ini dinamai Kapal Borobudur).
Dua puluh tahun berselang, Phillip berhasil memujudkan ide sintingnya itu. Bersama sejumlah anak buah kapal (ABK) gabungan dari Indonesia dan luar negeri, Phillip memimpin langsung ekspedisi tersebut. Kapal kayu hasil rancangan Nick Burmingham (Australia) dan dibuat oleh As'ad Abdullah (Indonesia) ini sukses mengarungi samudra sejauh 11 ribu mil dalam waktu 6 bulan (15 Agustus 2003 – 23 Februari 2004).
Memang rasanya singkat sekali mengikuti pelayaran yang berlangsung selama 6 bulan hanya dalam 50 halaman komik saja. Nggak puas sebetulnya. Pasti masih banyak hal menarik lainnya yang tidak sempat disampaikan oleh gambar-gambar apik dan teks yang terkadang "usil" , suka tiba-tiba nyeletuk humor lewat dialog tokoh-tokohnya ataupun kejadian-kejadian lucu yang mengundang senyum. Alurnya konvensional, mudah diikuti, bahkan oleh pembaca kanak-kanak sekalipun. Sayang, terdapat beberapa kesalahan cetak–tanda petik (") semuanya tercetak menjadi tanda tanya (?)–yang kendati tidak fatal tetapi terasa mengganggu juga.
Meskipun komik ini tidak memuaskan saya karena "kekurusannya", namun cukup maknyuuss, sehingga selesai membacanya saya mendapat "hikmah" tersendiri: jadi kepingin dan rindu baca komik lagi.
Endah Sulwesi 19/8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar