Judul buku : The Remains of The Day: Puing-puing Kehidupan
Judul asli : The Remains of The Day
Penulis : Kazuo Ishiguro
Penerjemah : Femmy Syahrani
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : 337 hlm
Judul asli : The Remains of The Day
Penulis : Kazuo Ishiguro
Penerjemah : Femmy Syahrani
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : 337 hlm
The Remains of The Day adalah novel karya Kazuo Ishiguro yang berhasil memenangi penghargaan Booker Prize (1989), salah satu ajang penghargaan paling bergengsi untuk buku-buku sastra (fiksi) yang ditulis dalam bahasa Inggris. Kazuo memang keturunan Jepang. Ia lahir di Nagasaki, Jepang, pada 1954, tetapi sejak usia lima tahun, bersama orang tuanya ia pindah dan kemudian menetap di Inggris. Telah enam novel ia tulis sepanjang kariernya. Terakhir berjudul Never Let Me Go (2005) yang menjadi runner up Man Booker Prize.
The Remains of The Day adalah novel ‘gelap’ yang bercerita tentang kehidupan–tepatnya kondisi psikologi–seorang kepala pelayan Inggris. Ia, kepala pelayan itu, dipanggil dengan nama Mr.Stevens (Ini nama keluarga sebetulnya. Nama kecilnya tak pernah disebut satu kalipun). Jabatan atau profesi kepala pelayan hanya ada di rumah tangga-rumah tangga kalangan ningrat Inggris tempo doeloe.
Mr. Stevens kita ini mengabdikan hampir seluruh hidupnya sebagai pelayan di Darlington Hall, sebuah kediaman mewah milik bangsawan Lord Darlington semasa perang dunia II sebelum akhirnya beralih ke tangan seorang berkebangsaan Amerika, Mr. Farraday.
Selama 30 tahun, Stevens menjalani profesinya dengan penuh kebanggaan, tanggungjawab, dan profresionalisme yang tinggi. Teladan terbaik baginya adalah sang ayah sendiri, mantan seorang kepala pelayan yang “bermartabat”.
Stevens kita demikian terobsesinya sehingga tanpa disadarinya ia kerap kali berlaku ‘kejam’ pada dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya demi meraih impian sebagai kepala pelayan yang “bermartabat” itu. Sikapnya senantiasa formal, kaku, terlalu serius. Ia mengabaikan segala urusan pribadinya. Bagi Stevens, yang terpenting dan utama adalah tugas melayani majikannya. Stevens bahkan harus menanggalkan kesedihannya ketika ayahnya meninggal saat ia tengah melaksanakan sebuah tugas penting melayani jamuan makan malam bertaraf internasional di Darlington Hall.
Sikapnya yang terkesan kejam dan tak berperasaan itu sering membuat Miss Kenton, rekan kerjanya, merasa geregetan dan penasaran. Sebagai sesama pelayan, Miss Kenton kelihatan jauh lebih ‘manusiawi’. Tidak seperti Stevens kita, Miss Kenton masih sanggup bergurau dan menjalani hidup secara ‘normal’. Diam-diam, sesungguhnya ia memendam perasaan cintanya kepada Stevens. Namun, karena sifat tertutup Stevens yang ekstrem, kasih itu tak pernah sampai.
Kisahnya dipaparkan secara kilas balik oleh Stevens kita sebagai penuturnya. Ia membawa kita menelusuri seluk-beluk keluarga ningrat Inggris pada era 1920-an, masa 30 tahun ke belakang dari saat ia berkisah. Lantaran narasi dituturkan oleh orang pertama, maka kita bisa mengetahui secara mendalam kondisi batin dan psikologi Stevens selaku seorang butler. Melihat kedalamannya, novel ini tentulah hasil sebuah riset dan observasi yang cermat. Konon, dalam versi aslinya (Inggris), lebih terasa lagi kedalamannya dari bahasa Inggris ningrat–kalau dalam bahasa Jawa mungkin kromo inggilnya–yang dipergunakan Stevens.
Tentulah Stevens merupakan tokoh sentral novel ini. Karakternya yang unik mutlak menjadi ruh bagi keseluruhan cerita. Barangkali temponya tergolong lambat, akan tetapi ia memikat kita justru dengan ketidaktergesa-gesaannya itu. Stevens menguraikan masa-masa jayanya dengan sabar dan penuh percaya diri bahwa kisahnya yang memikat ini pasti akan dibaca tuntas.
Seandainya kita membaca novel ini tanpa lebih dulu mengetahui nama penulisnya, bukan mustahil jika kita mengira buku ini ditulis oleh orang Inggris asli dengan pengetahuan luas dan mendalam ihwal seorang butler.
Novel yang anggun (dan sopan), kendati agak sedikit kelam. Tak heran jika lalu menjadi buku laris dan dibaca banyak orang di seluruh dunia. Dalam versi Inggrisnya, terjual lebih dari sejuta eksemplar dan telah pula diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa. Membacanya akan lebih asyik lagi apabila kita telah menonton filmnya, sebab bisa sembari membayangkan akting keren Sir Anthony Hopkins serta Emma Thompson sebagai Mr. Stevens dan Miss Kenton.
Endah Sulwesi 4/5
The Remains of The Day adalah novel ‘gelap’ yang bercerita tentang kehidupan–tepatnya kondisi psikologi–seorang kepala pelayan Inggris. Ia, kepala pelayan itu, dipanggil dengan nama Mr.Stevens (Ini nama keluarga sebetulnya. Nama kecilnya tak pernah disebut satu kalipun). Jabatan atau profesi kepala pelayan hanya ada di rumah tangga-rumah tangga kalangan ningrat Inggris tempo doeloe.
Mr. Stevens kita ini mengabdikan hampir seluruh hidupnya sebagai pelayan di Darlington Hall, sebuah kediaman mewah milik bangsawan Lord Darlington semasa perang dunia II sebelum akhirnya beralih ke tangan seorang berkebangsaan Amerika, Mr. Farraday.
Selama 30 tahun, Stevens menjalani profesinya dengan penuh kebanggaan, tanggungjawab, dan profresionalisme yang tinggi. Teladan terbaik baginya adalah sang ayah sendiri, mantan seorang kepala pelayan yang “bermartabat”.
Stevens kita demikian terobsesinya sehingga tanpa disadarinya ia kerap kali berlaku ‘kejam’ pada dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya demi meraih impian sebagai kepala pelayan yang “bermartabat” itu. Sikapnya senantiasa formal, kaku, terlalu serius. Ia mengabaikan segala urusan pribadinya. Bagi Stevens, yang terpenting dan utama adalah tugas melayani majikannya. Stevens bahkan harus menanggalkan kesedihannya ketika ayahnya meninggal saat ia tengah melaksanakan sebuah tugas penting melayani jamuan makan malam bertaraf internasional di Darlington Hall.
Sikapnya yang terkesan kejam dan tak berperasaan itu sering membuat Miss Kenton, rekan kerjanya, merasa geregetan dan penasaran. Sebagai sesama pelayan, Miss Kenton kelihatan jauh lebih ‘manusiawi’. Tidak seperti Stevens kita, Miss Kenton masih sanggup bergurau dan menjalani hidup secara ‘normal’. Diam-diam, sesungguhnya ia memendam perasaan cintanya kepada Stevens. Namun, karena sifat tertutup Stevens yang ekstrem, kasih itu tak pernah sampai.
Kisahnya dipaparkan secara kilas balik oleh Stevens kita sebagai penuturnya. Ia membawa kita menelusuri seluk-beluk keluarga ningrat Inggris pada era 1920-an, masa 30 tahun ke belakang dari saat ia berkisah. Lantaran narasi dituturkan oleh orang pertama, maka kita bisa mengetahui secara mendalam kondisi batin dan psikologi Stevens selaku seorang butler. Melihat kedalamannya, novel ini tentulah hasil sebuah riset dan observasi yang cermat. Konon, dalam versi aslinya (Inggris), lebih terasa lagi kedalamannya dari bahasa Inggris ningrat–kalau dalam bahasa Jawa mungkin kromo inggilnya–yang dipergunakan Stevens.
Tentulah Stevens merupakan tokoh sentral novel ini. Karakternya yang unik mutlak menjadi ruh bagi keseluruhan cerita. Barangkali temponya tergolong lambat, akan tetapi ia memikat kita justru dengan ketidaktergesa-gesaannya itu. Stevens menguraikan masa-masa jayanya dengan sabar dan penuh percaya diri bahwa kisahnya yang memikat ini pasti akan dibaca tuntas.
Seandainya kita membaca novel ini tanpa lebih dulu mengetahui nama penulisnya, bukan mustahil jika kita mengira buku ini ditulis oleh orang Inggris asli dengan pengetahuan luas dan mendalam ihwal seorang butler.
Novel yang anggun (dan sopan), kendati agak sedikit kelam. Tak heran jika lalu menjadi buku laris dan dibaca banyak orang di seluruh dunia. Dalam versi Inggrisnya, terjual lebih dari sejuta eksemplar dan telah pula diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa. Membacanya akan lebih asyik lagi apabila kita telah menonton filmnya, sebab bisa sembari membayangkan akting keren Sir Anthony Hopkins serta Emma Thompson sebagai Mr. Stevens dan Miss Kenton.
Endah Sulwesi 4/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar