Senin, 31 Desember 2007

FIKSI SEJARAH DALAM KEMASAN THRILLER


Judul buku: Rahasia Meede
Penulis: E.S. ITO
Penyunting: Yulia Fitri
Penerbit: Hikmah
Catakan: I, Agustus 2007
Tebal: 671 hlm

“Dosa manusia yang terbesar adalah imajinasinya yang kadang-kadang berlebihan,” demikian Eddri Sumitra atau yang lebih dikenal dengan nama E.S. Ito itu menjawab pertanyaan saya pada satu kesempatan ngobrol dengannya. Pertanyaan saya waktu itu adalah tentang dari mana ia mendapat ide soal harta karun VOC yang menjadi tema novel keduanya, Rahasia Meede. Novel dengan subjudul Misteri Harta Karun VOC ini ditulisnya dalam kurun waktu dua tahun. Itu sudah termasuk riset dan wawancara dengan orang-orang yang dijadikan nara sumber. Selebihnya, Ito memanfaatkan kecenderungan masyarakat kita yang telah lama hidup dengan mitos-mitos di seputar harta terpendam, Imam Mahdi, dana revolusi, dan segala yang serbamistis.

Isu adanya harta karun VOC di perut bumi Jakarta ini dijadikan pintu masuk Ito ke dalam penulisan novel yang sarat data sejarah ini. Dari sini, Ito membawa pembaca menyusuri sejarah panjang VOC yang mau tidak mau terkait erat dengan sejarah jatuh bangunnya Republik kita ini.

Keliaran fantasi anak muda kelahiran Kamang, 26 tahun silam ini selanjutnya akan menyeret kita kepada peristiwa-peristiwa bersejarah di masa silam; mempertemukan kita dengan pemikiran-pemikiran Gandhi dan Muhammad Hatta, dua tokoh yang sangat dikaguminya.

Bermula dari ide perlawanan tanpa kekerasan yang diyakini oleh Hatta dan Gandhi yang dalam novel ini telah disalahartikan oleh sekelompok orang yang menyebut diri Anarki Nusantara untuk melegalkan perbuatan mereka memberontak kepada negara.
Awalnya, Anarki Nusantara ini adalah sebuah grup diskusi mahasiswa di Yogya yang kerap mengangkat topik sensitif seputar kondisi sosial politik dalam negeri yang menurut mereka carut-marut. Kelompok ini kemudian membesar karena mendapat banyak simpati dari masyarakat. Termasuk Guru Uban, seorang pengajar sejarah di sebuah SMA kumuh di Bojonggede yang kelak terlibat aktif dalam aksi-aksi yang dilakukan komplotan pemberontak ini.

Tanpa disadari oleh para pengikutnya, Anarki Nusantara telah lama menjadi target operasi kalangan militer, khususnya Kopassus. Mereka mengincar Attar Malaka, anak muda cerdas berbakat lulusan SMA Taruna Nusantara (almamater Ito) yang ditengarai sebagai otak Anarki Nusantara. Operasi intelijen itu melibatkan seorang letnan muda berjuluk Lalat Merah. Attar Malaka dijadikan target bukan semata-mata karena perbuatannya melawan negara tetapi karena ia juga dicurigai memiliki informasi perihal harta karun peninggalan VOC.

Maka kemudian terjadilah “perang” antara Attar Malaka dengan Lalat Merah. Perwira muda yang pandai menyamar ini ternyata sahabat lama Attar Malaka. Mereka bersekolah di SMA dan kelas yang sama. Kepada sahabatnya ini, Attar Malaka memercayakan seluruh rahasia hidupnya. Kedua sahabat karib ini sayangnya setelah dewasa terpaksa bersimpang jalan. Yang satu menjadi perwira pengabdi negara, sedangkan yang lainnya berdiri berseberangan sebagai pemberontak.

Lalu dengan caranya yang asyik, melalui kisah perseteruan kedua sahabat yang berbeda ideologi ini, Ito mengajak kita menerobos ke masa ratusan tahun lalu. Mengubek-ubek sejumlah berkas dan dokumen bersejarah; mulai dari berdirinya VOC hingga Konferensi Meja Bundar yang ternyata menyinggung soal harta karun VOC.

Kabar tentang harta terpendam yang diduga nilainya sanggup untuk membayar utang luar negeri Indonesia ini ternyata terendus juga baunya oleh segelintir peneliti di Belanda. Berkedok sebagai peneliti, mereka datang dengan bermacam kepentingan. Salah satunya adalah Cathleen Zwinckel, mahasiswi tingkat master yang tengah menulis tesis ikhwal sejarah ekonomi kolonial. Oleh Prof Huygens, dosen pembimbingnya, gadis cantik ini dititipkan di CSA (Center for Strategic Affair), sebuah lembaga peneliti yang dipimpin oleh Suryo Lelono, sahabat Prof Huygens.

Sungguh malang, baru beberapa hari menikmati udara pengap Jakarta, Cathleen harus mengalami nasib sial diculik oleh gerombolan pemberontak yang diotaki oleh seseorang yang dipanggil dengan nama Kalek. Kalek punya data bahwa Cathleen mengetahui sebuah rahasia dari masa lalu yang akan menggiring mereka menemukan lokasi harta karun VOC. Itulah rahasia Meede.

Pelan-pelan kita disadarkan, bahwa kita tengah bermuka-muka dengan sebuah kisah thriller ala Dan Brown. Teka-teki demi teka-teki dihadirkan di hadapan kita bagaikan potongan-potongan puzzle yang kelak berhubungan satu sama lain dan pada akhirnya menyingkap rahasia dari seluruh teka-teki.

Meski settingnya masa kini, tetapi novel ini sarat memuat data sejarah. Angka tahun dan nama-nama tempat yang berasal dari masa lampau bertaburan di sekujur cerita yang disajikan dalam bentuk dialog para tokohnya. Ini yang menurut saya agak sedikit berlebihan. Boleh dibilang nyaris semua tokohnya pandai dan sangat menguasai sejarah. Mereka mampu bercakap panjang lebar tentang sejarah lengkap dengan menyebut (tanpa keliru) angka-angka tanggal dan tahunnya. Tak peduli itu Kalek di pemberontak, Cathleen si mahasiswi, atau pun Lalat Merah sang perwira penjaga keutuhan NKRI. Mereka memiliki pengetahun yang sama dan seimbang dalam urusan sejarah. Hampir tak ada tokoh pandir dalam novel ini.

Hal ini, menurut hemat saya, karena penulisnya kurang mampu menahan diri untuk tidak pamer pengetahuan. Data yang ditampilkan jadi terasa berjejalan dan kadang terkesan dipaksakan. Semangat Ito sebagai orang muda yang kritis juga acap nyelonong di tengah-tengah dialog. Misalnya tentang sinetron televisi yang hanya mengandalkan tampang indo para artisnya yang tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah dialog sejarah. Ito juga sering terdengar sinis mengomentari para pejabat yang korup, tentara yang berbisnis ilegal, atau pun kurikulum sekolah yang hanya menghasilkan manusia-manusia penghapal.

Namun, secara keseluruhan novel ini merupakan bacaan yang menarik. Unsur thriller (dengan kejutan-kejutannya yang tak terduga) dan sejarah menjadi pemikat utamanya. Jika hendak dibandingkan dengan Dan Brown, kelebihan Rahasia Meede adalah karena ia mengambil latar sejarah lokal. Bagi pembaca Indonesia, kejadian-kejadian di masa lampau itu tentu lebih menarik dan terasa akrab.

Keberanian Ito mengawinkan fakta dan fiksi sehingga menghasilkan novel gurih ini perlu dipujikan. Mengingat belum banyak penulis kita yang memanfaatkan lahan subur sejarah tanah air sebagai tema atau latar belakang kisah-kisah fiksi. Dari yang sedikit itu nama besar Pramoedya Ananta Toer sebagai empu belum tergoyahkan.

Oya, ada catatan kecil saya untuk Ito atau editornya agar lain kali lebih teliti. Bukan perkara besar, hanya karena kurang cermat saja. Pada halaman 518, tertulis: Tangannya merogoh rokok dari kantong. Sepanjang pertemuan mereka, baru kali ini dia (Kalek) merokok di depan Cathleen. Padahal di halaman 455, Ito menulis : Pada pertemuan mereka di Banda, Kalek menahan diri untuk tidak merokok. Sekarang dia tidak tahan lagi. Secangkir kopi pahit dan sebatang rokok untuk sebuah perayaan pertemuan.
Dan juga di halaman 541 : Erick mungkin bersama Kalek. Mestinya bukan Erick, tetapi Robert, sebab Erick telah mati bersama Raphael.

Kalau harus memberi bintang, tiga bintang dari saya untuk buku ini.***


endah sulwesi

Minggu, 09 Desember 2007

DONG MU : SEBUAH (MAUNYA) ROMAN SPIONASE MELAYU

Judul buku: Dong Mu
Penulis: Jamal
Penyunting: -
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, September 2007
Tebal: 237 hlm.

“Dong mu” dalam bahasa Korea bermakna sama seperti kamerad dalam bahasa Rusia. Kira-kira dalam bahasa kita artinya kawan (rekan). Biasanya dipakai sebagai panggilan akrab sesama anggota partai komunis. Ingat film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C.Noor yang sangat populer di paruh tahun 80-an? Dalam dialognya, sesama anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) saling menyapa dengan sebutan “kawan” (Kawan Sam, Kawan Aidit, dll). Kurang lebih seperti itulah arti kata “dong mu”.

Dong Mu menjadi judul novel kelima Jamal karena mengambil setting cerita di Negeri Ginseng. Tokohnya seorang pria Indonesia, Herman, staf Departemen of Safeguard International Atomic Energy (IAEA), sebuah organisasi PBB yang mengurusi energi nuklir. Bermarkas di Wina, Austria, IAEA bertugas mengawasi penggunaan tenaga nuklir di setiap negara agar tidak dipakai sebagai senjata pemusnah yang membahayakan umat manusia.

Korea Utara adalah salah satu negara yang memiliki reaktor nuklir cukup besar di Asia. Pada 5 Juli 2006, negeri di bawah pimpinan Presiden Kim Jong Il itu diam-diam meluncurkan peluru kendali (rudal) dalam rangka uji coba di laut Jepang. Peristiwa tersebut sangat mengejutkan dunia, khususnya Amerika Serikat selaku negeri adi kuasa yang selalu merasa diri sebagai polisi dunia itu. Seluruh dunia khawatir rudal tersebut berhulu ledak nuklir yang apa bila meledak dapat mengakibatkan bencana besar bagia kemanusiaan.

Kejadian itu membawa Herman tiba di Seoul, Korea Selatan, untuk mengulik kebenaran fakta langsung dari sumbernya. Namun, alih-alih memperoleh informasi yang diperlukan, Herman malah terseret dalam sebuah upaya penculikan seorang agen CIA, Robert Campbell, yang dilakukan oleh pihak intelejen Korea Utara. Mereka meminta tebusan berupa uranium sebanyak 50 kilogram. Jumlah yang sangat cukup untuk menghancur-leburkan dunia.

Keterlibatan Herman karena ia diminta pihak Korea Utara sebagai perantara yang akan menyerahkan barang tebusan tersebut. Dengan alasan kemanusiaan, akhirnya Herman tak sanggup mengelak dari “tugas” yang penuh risiko itu. Bersama tentara Korea Selatan dan Amerika, ia melaksanakan operasi pembebasan Campbell. Turut serta dalam petualangan itu Prof.Rukayadi, ahli mikrobiologi Indonesia sahabat Herman yang telah lama menetap di Seoul.

Lagi-lagi, Jamal yang asli Tasikmalaya ini membuat cerita berlatar belakang luar negeri. Kali ini ia (mencoba) berkelana ke Korea meskipun ia belum pernah menginjakkan kaki di negeri yang diramalkan akan menjadi salah satu Macan Asia ini. Permasalahan politik yang berakar pada soal ideologi antara Korea Utara dan Selatan “dimanfaatkan” Jamal untuk memperkaya novelnya ini. Tidak cukup dalam sih, karena memang Dong Mu tidak berambisi menjadi sebuah novel politik.

Tema yang kali ini diusung Jamal lumayan berat sebetulnya. Tetapi sayangnya tidak lalu menjelma novel yang cukup berbobot. Malah cenderung cetek dan enteng-enteng saja. Usahanya menghadirkan plot beraroma thriller tak cukup berhasil kendati telah disiasati dengan gaya cerita spionase ala James Bond. Penyelesaian masalah yang mestinya cukup serius itu terkesan terlalu gampang.

Yang menarik “spionnya” adalah Herman, orang Melayu; sedangkan korbannya adalah Campbell, agen CIA. Menarik sebab selama ini Amerika dengan CIA-nya nyaris selalu digambarkan sebagai pahlawan yang tak terkalahkan. Namun, dalam Dong Mu, dengan usilnya Jamal menjungkirbalikkan gambaran tersebut.

Sebenarnya jika penulis yang juga dosen ITENAS ini mau membebaskan diri dari keharusan menyampaikan pesan moral tentang bahaya penggunaan nuklir sebagai senjata pemusnah, barangkali Dong Mu akan jauh lebih asyik dinikmati sebagai semata-mata novel spionase. Tentu dengan menggali lebih dalam lagi informasi dan data bagi kisah dengan tema besar ini. Di sini, ia jadi tidak fokus lantaran sibuk mengampanyekan perdamaian dunia dan anti senjata nuklir.

Jamal juga terlihat kelewat nasionalis dengan menjadikan Herman dan Prof.Rukayadi sebagai pahlawan. Boleh saja sih berbangga-bangga dengan negeri sendiri sepanjang itu rasional dan sesuai fakta. Tetapi jika sebaliknya, apa malah tidak akan jadi lelucon saja?***

endah sulwesi 9/12

Sabtu, 08 Desember 2007

KEPADA CIUM, KEPADA PUISI, KEPADA JOKPIN



Judul buku : Kepada Cium
Penulis : Joko Pinurbo
Penerbit : Pt Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I – Februari 2007
Tebal : 42 hlm

Kau adalah mata, aku air matamu.

(Kepada Puisi, Joko Pinurbo, 2003)

Kira-kira demikianlah pengakuan tulus Joko Pinurbo kepada puisi, dunia kata-kata yang digelutinya sejak ia masih remaja. Puisi bagi penyair bertubuh ceking yang biasa disapa Jokpin ini, adalah hidupnya. Menyatu. Tak terpisahkan. Bagaikan mata dengan air mata.

“Puisi adalah kekasihku. Adalah kebahagiaanku”, ujarnya saat saya mewawancarainya pada satu kesempatan tahun lalu. “Aku merasa eksis sebagai Jokpin berkat puisi. Aku paling bisa bicara dengan diriku dan dengan dunia di luar diriku melalui puisi”, tambahnya lagi seperti ingin menegaskan betapa puisi adalah segalanya bagi lelaki Jawa kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962 ini.

Dari tubuh yang tampak ringkih itu telah lahir ratusan puisi; di antaranya tertuang dalam 6 buah buku yang sudah kita kenal : Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecil (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), dan Pacar Senja (2005) serta buku ke tujuhnya yang baru saja terbit : Kepada Cium (2007).

Buat saya yang awam, puisi-puisi penyair ini bagaikan oase menyejukkan tapi sekaligus juga memerihkan hati. Menyejukkan, sebab di sana saya menemukan kejujuran yang relijius, bukan saja kepada Tuhan tetapi juga kepada diri sendiri. Puisi-puisi itu seakan cermin diri kita (manusia) yang serakah dan munafik sembari tetap terus merayu-rayu Tuhan dalam setiap doa-doa kita. Misalnya saja pada puisi Sehabis Sembahyang (hlm 11) dan Di Perjamuan (hlm.30) ini :

Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku.
Terima kasih atas segala pemberianmu,
Mohon lagi kemurahanmu : sekadar mobil baru
Yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya
Agar aku bisa lebih cepat mencapaimu

(Sehabis Sembahyang, 2005)

Aku tak akan minta anggur darahMu lagi.
Yang tahun lalu saja belum habis,
Masih tersimpan di kulkas.
Maaf, aku sering lupa meminumnya,
Kadang bahkan lupa rasanya.
Aku belum bisa menjadi pemabuk
Yang baik dan benar, Sayang

(Di Perjamuan, 2006)

Dan memerihkan, itu sudahlah pasti. Yang perih-perih menyayat hati itu dengan mudah bisa kita dapatkan, karena sebagian besar puisi-puisi Jokpin merupakan potret/rekaman nasib orang miskin yang berlumur penderitaan, seperti tukang becak umpamanya (dalam buku ini ada 3 puisi tentang tukang becak, profesi yang masih banyak di temukan di Yogyakarta di mana penyair kita ini bertinggal). Kendati demikian, puisi-puisi tersebut tak lantas tampil mewujud berupa puisi cengeng yang mengiba-iba memohon belas kasihan. Malah yang sering terjadi adalah puisi arif yang dengan bijak menertawakan kemalangan :

Tengah malam pemulung kecil itu datang
memungut barang-barang yang berserakan
di lantai rumah : onggokan sepi, pecahan bulan,
bangkai celana, bekas nasib, kepingan mimpi.

Sesekali ia bercanda juga :
“Jaman susah begini, siapa suruh jadi penyair?
Sudah hampir pagi masih juga sibu melamun.
Lebih enak jadi teman penyair.”

Dikumpulkannya pula rongsokan kata
yang telah tercampur dengan limbah waktu.
Aku terhenyak : “Hai, jangan kauambil itu.
Itu jatahku. Aku kan pemulung juga.”

Kemudian dia pergi dan masuk ke relung tidurku.

(Pemulung Kecil, 2006)

Tetapi kali ini yang paling membuat saya begitu tersentuh (percaya nggak? Saya sampai meneteskan air mata membacanya) adalah sajak Harga Duit Turun Lagi (hlm.14). Dalam sajak itu, Jokpin berkisah tentang seorang anak yang mati menggantung dirinya sendiri karena malu telah menunggak uang sekolah selama berbulan-bulan. Kemiskinan yang melilit orang tuanya menyebabkan bocah kecil itu putus asa dan memilih mengakhiri hidupnya yang baru saja mulai. Barangkali, puisi ini dicipta Jokpin karena terinspirasi peristiwa riil serupa yang terjadi di beberapa tempat di tanah air (salah satu kasus ditemukan di Provinsi Jawa Tengah) beberapa waktu silam.

Sajak ini serasa menggedor-gedor perasaan saya. Kebetulan saya membacanya di tengah-tengah ramainya berita perihal pengadaan sejumlah besar laptop seharga 20 juta rupiah untuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Emosi saya yang telah tersulut marah oleh berita tersebut semakin terbakar oleh sajak ini. Alangkah tumpulnya mata hati para pejabat ini, tak terusik oleh realita memilukan yang dialami rakyat seperti bocah malang itu. Untunglah, belakangan usulan sinting yang tanpa nurani itu, dibatalkan.

Untung juga Jokpin tak lupa untuk beromantis-romantis ihwal cinta. Pada puisi Kepada Cium, Magrib ,Wintermachten, 2002, dan Cinta Telah Tiba, kita bisa temukan romantisme yang manis itu. Ia pun sempat pula mengabadikan dua peristiwa bencana alam besar yang pernah menimpa negeri ini, yaitu tsunami di Aceh (Aceh, 26 Desember 2004) dan gempa bumi di Yogya (Surat dari Yogya)

Buku tipis ini seluruhnya memuat 33 buah sajak Jokpin yang dibuat dalam kurun waktu 2005-2006. Sebagian besar telah pernah dipublikasi di harian Kompas.

Menurut saya yang sekadar seorang penikmat puisi, sepanjang kariernya Jokpin telah sukses menelurkan puisi-puisi yang baik dan indah, yakni puisi-puisi yang – seperti pernah dikatakannya – mampu menyentuh dan menghidupkan perasaan dan pikiran; membuat imajinasi makin cerdas; dan bisa menyihir (pembacanya). Dan saya - dengan segala kesadaran serta tanpa paksaan mengakui - adalah salah satu ‘korban’ sihir cium, eh..maksud saya, puisi-puisi itu :)

Endah Sulwesi 1/4

SAJIAN KISAH MISTERI "SANG KOKI" SPANYOL

Judul buku : Little Indiscretion - Rahasia Sang Koki
Judul asli : Pequenas Infamias
Pengarang : Carmen Posadas
Penerjemah : Lina Susanti
Penyunting : Wendratama
Penerbit : Bentang
Cetakan : I – Februari 2007
Tebal : x + 330 hlm

Dari judul (edisi terjemahan Indonesia)-nya, Rahasia Sang Koki, saya sama sekali tidak punya kecurigaan, bahwa novel ini sebuah novel bergenre misteri atau detektif. Perkiraan saya ini kisah percintaan yang berawal dari dapur (makanan). Ringkasnya, cinta yang datang dari perut turun ke hati.

Kiranya, dugaan saya meleset jauh. Novel yang dalam bahasa aslinya (Spanyol) berjudul Pequenas Infamias (edisi Inggrisnya berjudul Little Indiscretion) ini ternyata adalah sebuah novel misteri – dan detektif juga – dengan pola dan plot yang mengingatkan saya pada novel-novel Agatha Christie, khususnya serial Poirot, detektif berperawakan kecil asal Belgia kesayangan Christie. Ada yang sangat khas dari Poirot dalam setiap memecahkan kasus-kasusnya, yakni mengumpulkan fakta dan petunjuk sebanyak-banyaknya kemudian dianalisa,disusun seperti puzzle sembari duduk diam membiarkan sel-sel kelabu dalam otaknya bekerja.

Bisa jadi kemiripan teknik bercerita itu lantaran Carmen terpengaruh Agatha Christie, si Ratu Cerita Detektif dari Inggris.

Kisah bermula dengan ditemukannya sosok Nestor Chaffino terbujur beku dalam ruang pendingin di dapur keluarga Teldi (Hampir di semua novel Agatha Christie dibuka dengan adegan penemuan mayat). Kejadiannya pagi hari setelah malamnya berlangsung pesta makan malam dengan Nestor sebagai juru masaknya. Sejatinya, Nestor adalah pemilik usaha katering berlabel Mulberry & Mistletoe. Malam itu, ia disewa oleh Adela Teldi, nyonya rumah The Lilies, tempat kediaman keluarga Teldi.

Bersama 3 orang kru dapurnya, Nestor sukses melaksanakan tugasnya dengan sempurna malam itu.. Tetamu ramai-ramai memuji dan menyampaikan rasa puas mereka untuk pesta yang elegan tersebut. Sekali lagi, semua itu berkat kerja keras dan kekompakan tim kecil mereka : Nestor sebagai bos beserta Carlos, Karel, dan Chloe.

Carlos adalah mahasiswa hukum yang diam-diam terlibat asmara dengan Adela Teldi, wanita paruh baya yang lebih pantas jadi ibunya. Panah amor menusuk jantung keduanya pada pertemuan pertama mereka di Mulberry & Mistletoe tatkala Adela datang untuk urusan pesta makan malam yang berujung maut itu.

Sedangkan Karel adalah atlet binaragawan asal Ceko yang mengajak serta kekasihnya, Chloe Trias, bekerja membantu-bantu di Mulberry & Mistletoe. Chloe kabur dari rumah orang tuanya dengan membawa serta kenang-kenangan manis tentang sang kakak lelaki yang mati muda karena kecelakaan lalu-lintas. Bayang-bayang wajah dan senyum abangnya itu selalu menghantui ke manapun Chloe pergi. Gadis itu merasa amat kehilangan sahabat masa kecil yang pernah bercita-cita menjadi seorang penulis fiksi. Sayangnya, si abang keburu mati sebelum keinginannya terwujud.

Ketiga anak muda pegawai Mulberry & Mistletoe ini sangat senang bekerja untuk bos mereka sang koki handal, Nestor Chaffino. Koki ramah pemilik kumis pirang kaku ini senang berceloteh menceritakan apa saja, terutama kisah-kisah sejati yang pernah dialaminya, termasuk ihwal rahasia perselingkuhan Adela Teldi.

Pada masa yang lalu, Adela Teldi tertangkap basah tengah bercinta di sebuah kamar di The Lilies bersama suami adiknya sendiri, Soledad Teldi. Tak lama berselang, Soledad kedapatan sudah tak bernyawa dengan kondisi mengenaskan. Diduga perempuan malang itu melakukan aksi bunuh diri terjun dari lantai dua.

Nestor juga mengetahui perihal bisnis curang yang pernah dilakukan Ernesto Teldi, suami Adela, bertahun-tahun silam. Rahasia lain lagi yang dimiliki sang koki adalah tentang Serafin Tous yang gay dan pedofilia. Di The Lilies itulah, ketiga orang ini – Adela, Ernesto, dan Serafin – menyadari kehadiran Nestor. Ketiganya merasa terancam dan cemas. Mereka takut rahasia mereka akan dibeberkan Nestor atau koki itu akan memeras mereka. Maka ketiganya memiliki motif yang kuat untuk melenyapkan Sang Koki dari atas dunia.

Demikianlah cerita bergulir dalam tempo lambat sehingga bisa dimaklumi jika ada pembaca yang mengaku bosan mengikutinya. Tapi sebaiknya jangan buru-buru meletakkan novel ini dan berhenti membacanya sebelum tamat karena selanjutnya kita akan menemukan keasyikannya dengan ikut serta menebak-nebak siapa gerangan yang membunuh Nestor.

Sebagaimana lazim kita jumpai pada novel-novel misteri atau detektif, penulis menggiring para pembacanya pada banyak kemungkinan. Pembaca seperti diarahkan untuk mencurigai beberapa tokoh sebagai penjahatnya melalui paparan motif tadi. Dan biasanya sih, penjahatnya justru tokoh yang seakan-akan tidak ditonjolkan. Itulah yang nyaris selalu kita temukan dalam karya-karya Agatha Christie.

Barangkali agak kurang tepat juga jika dikatakan bahwa Little Indiscretion ini sebuah novel detektif mengingat di dalamnya tak ada seorang detektif pun yang hadir. Kendati demikian tak lantas membuat novel debutan Carmen Posadas ini jadi kurang menarik. Padanya kita tetap dapat menemukan unsur-unsur misteri yang memicu rasa penasaran. Kita bahkan bisa menjadi detektifnya.

Lewat karya perdananya ini Carmen Posadas berhasil meraih Planeta Prize (1998), penghargaan sastra paling bergengsi di Spanyol. Sejak diterbitkannya, novel ini telah diterjemahkan ke dalam 18 bahasa.

Endah Sulwesi 8/4

TATKALA MIMPI-MIMPI BERAKHIR SEPI


Judul buku : The Heart is A Lonely Hunter
Penulis : Carson McCullers
Penerjemah : A.Rahartati Bambang Haryo
Penerbit : Qanita
Cetakan : I – Februari 2007
Tebal : 491 hlm

Pada mulanya adalah persahabatan dua orang bisu tuli, John Singer dan Spiros Antonapoulos. Mereka menempati satu kamar sewaan. John Singer, si Kurus, bekerja di sebuah toko perhiasan sebagai tukang gravir. Sedangkan si Gendut, Antonapoulos, bekerja di toko buah dan permen milik sepupunya. Meski Antonapuolos lebih sering tak peduli pada sahabatnya, kasih sayang John Singer kepadanya tak pernah berkurang. Bahkan pun setelah Antonapoulos dikirim ke rumah sakit jiwa oleh sepupunya, John tetap setia mengunjunginya secara berkala.

Setelah kepergian sahabatnya, John dilanda kesepian yang sangat. Ia benar-benar kehilangan orang tedekat yang sangat dikasihinya, walaupun orang tersebut dalam kenyataannya tak pernah membalas kasihnya. Hanya makanan dan tidur saja yang menjadi perhatiannya. Sebuah persahabatan yang timpang sebetulnya.

Ketika John Singer tak tahan lagi bersendiri di kamar yang biasa mereka tempati bersama itu, ia kemudian pindah menyewa sebuah kamar milik keluarga Kelly. Di sini ia bertemu orang-orang baru yang kelak menjadikannya teman curhat mendengarkan segala uneg-uneg mereka : Mick Kelly, Dr.Copeland, Biff Brannon, dan Jake Blount. Bagi mereka, John Singer adalah 'pendengar' yang baik. Ia 'mendengarkan' cerita-cerita mereka dengan cara membaca gerak bibir.

Dari sinilah Carson McCullers membawa pembaca menelusuri jiwa-jiwa manusia yang kesepian. Karakter-karakter dalam novel yang ditulis ketika McCullers baru berusia 23 tahun ini – berarti pada tahun 1940 – adalah sejumlah karakter yang kesepian. Mick Kelly, anak perempuan pemilik penginapan yang disewa John ini, baru berusia 12 tahun. Ia tomboy, tidak memiliki banyak teman, tak akur dengan kakak-kakak perempuannya, dan diam-diam terobsesi menjadi pianis terkenal. Dalam kesendiriannya ia asyik memutar musik di kepalanya.

Biff Brannon, pemilik New York Café, kedai makan kecil tempat John Singer dan orang-orang di kota itu ngopi dan kongkow-kongkow. Sejak kematian istrinya, lelaki baik hati ini betul-betul meras kesepian. Ia mendambakan kehadiran seorang anak dalam hidupnya.

Dokter Copeland – lengkapnya Benedict Mady Copeland – adalah seorang kulit hitam yang berpendidikan dan berpikiran maju bagi masa depan anak-anaknya dan orang-orang Negro yang ketika itu mengalami perlakuan sangat diskriminatif, terutama di (Amerika Serikat bagian) Selatan. Ia bertekad memberikan pendidikan terbaik bagi putra-putranya. Namun, apa lacur, harapannya hancur. Tak satu pun dari ketiga orang putranya mewujudkan impiannya. Bahkan, si Bungsu Willie, sempat masuk bui lantaran terlibat perkelahian. Sedangkan putrid satu-satunya, Portia, hanya mampu 'berkarier' sebagai pelayan di rumah keluarga Kelly. Di hari tuanya, Dr.Copeland harus menerima kenyataan pahit : ditinggalkan anak-anaknya dan berjuang sendiri menentang perilaku rasis masyarakat dan pemerintah (kulit putih) negara bagian Georgia.

Dan, Jake Blount. Sebenarnya ia seorang pendatang di kota itu. Pemabuk yang tak memiliki pekerjaan tetap ini adalah juga seorang penganut paham sosialis yang radikal. Ia, seperti halnya Dokter Copeland, menentang keras perbedaan kelas dan pengagum berat Karl Marx. Ia senantiasa merasa sendirian dalam ideologinya itu.

Tadinya, saya menduga para karakter ini pada akhirnya akan dipertemukan dalam sebuah peristiwa. Atau setidaknya ada satu persoalan yang menautkan mereka. Tetapi, kiranya tidak demikian. Sampai di lembar penutup, tokoh-tokoh ini berjalan sendiri-sendiri. Hanya ada satu kesamaan : mereka makhluk-makhluk yang kesepian.

Ya, ini novel klasik tentang orang-orang yang kesepian. Daya pikatnya, barangkali, ada pada narasi yang digarap secara amat detail, halus, cermat. Akibatnya, tempo cerita terasa lambat sehingga butuh perjuangan tersendiri menamatkannya. Bagi pembaca yang tak sabaran, bisa jadi malah membosankan. Mungkin, The Heart Is A Lonely Hunter ini bisa dikategorikan sebagai novel psikologis. Konfliknya internal, berupa pergulatan batin para tokohnya.

Sesungguhnya, McCullers tak hanya bercerita tentang kesepian belaka. Secara halus ia juga menyampaikan persoalan rasialisme yang tengah marak di Selatan pada masa-masa itu. Disinggungnya pula ihwal kapitalisme yang menindas dan mengeksploitasi kelas pekerja (buruh). Problem sosial yang sangat khas Selatan : kemiskinan dan keterbelakangan.

Bagi seorang yang terlahir sebagai kulit putih, McCullers memiliki kepekaan seorang humanis yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di lingkungannya pada masa itu. Gadis ini tak bisa hanya diam berpangkutangan dalam keprihatinannya. Maka kemudian, ia memilih bersuara lewat karya-karya prosanya.

Film dengan judul yang sama berdasarkan novel ini telah dibuat pada 1968 dan mendapat nominasi untuk kategori pemeran utama pria dan pemeran pembantu wanita terbaik dalam ajang Oscar.

OUT : Kebebasan Itu Mahal

Judul Buku : Out
Penulis : Natsuo Kirino
Penerjemah : Lulu Wijaya
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I – April 2007
Tebal : 571 hlm

Mungkin di antara kita masih ada yang mengingat dengan baik peristiwa menggemparkan yang terjadi pada 1990-an awal, yaitu pembunuhan atas Ny.Dyah oleh suaminya sendiri. Tak cukup hanya menghabisi nyawa, si suami lalu memotong-motong tubuh perempuan yang pernah menjadi istrinya itu dan kemudian membuangnya – setelah dimasukkan dalam karung goni – di depan Kampus IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta).

Dari pengakuannya di hadapan polisi, si suami sadis yang berprofesi sebagai guru sekolah menengah ini melakukan mutilasi tersebut di dapur dengan menggunakan gergaji. Dan kita dibuat terpana. Kok bisa ya ada orang setega itu kepada istrinya sendiri? Kemana menguapnya cinta di antara mereka ya?

Peristiwa itulah yang pertama kali terlintas di benak saya saat membaca novel Out karya Natsuo Kirino. Hanya saja, dalam karya fiksi ini korbannya justru sang suami.

Barangkali bila pembunuhan itu dilakukan oleh penjahat atau yakuza akan tidak terlampau menarik. Penjahat berbuat jahat kan sesuatu yang biasa. Tetapi ketika empat orang perempuan baik-baik berstatus istri dan ibu rumah tangga terlibat di dalamnya, maka kisahnya menjadi "tidak biasa".

Tewasnya Kenji Yamamoto secara mengenaskan – potongan-potongan tubuhnya ditemukan dalam lima belas kantong plastik hitam di tempat sampah – membawa penyelidikan polisi kepada Satake, pemilik sebuah rumah judi ilegal. Dari data yang diperoleh polisi, pada malam terbunuhnya Kenji, diketahui bahwa Satake sempat memukuli Kenji di rumah judinya. Beberapa saksi mata memberi keterangan yang memberatkan Satake ditambah pula dengan catatan kriminal yang dimilikinya di masa lalu. Ia tercatat pernah dipenjara lantaran kasus pemerkosaan disertai pembunuhan.

Sebetulnya, polisi sempat menaruh curiga pada istri korban, Yayoi, sebagai pelaku pembunuhan itu. Namun, karena Yayoi bisa memberikan alibi yang meyakinkan, menjadi mentahlah semua dugaan itu. Apa lagi alibi tersebut diperkuat oleh keterangan dan kesaksian para rekan kerjanya di pabrik makanan kotak yang sama-sama bertugas shift malam pada malam kejadian itu. Bahkan pada akhirnya polisi pun terpaksa kudu juga melepaskan Satake karena tidak ditemukan bukti-bukti yang cukup untuk menyeretnya dengan pasal pembunuhan.

Sekeluarnya dari bui, Satake nyaris bangkrut total. Usaha judi dan bar yang dirintisnya dari nol hancur musnah akibat kasus Kenji itu. Maka, ia pun bertekat menemukan pembunuh yang sebenarnya demi membalaskan dendam dan sakit hatinya.

Berkat pengalamannya, tak memakan waktu lama Satake segera menemukan petunjuk ke arah yang benar. Ia berhasil mengetahui pembunuh Kenji sesungguhnya beserta pelaku tindak mutilasi. Mereka adalah empat sekawan para wanita pegawai shift malam di pabrik makanan kotak : Yayoi, seperti sudah disebut di atas, adalah pembunuhnya; dibantu kemudian oleh Masako, Yoshie, dan Kuniko sebagai pelaku mutilasi.

Ironisnya, para wanita ‘sadis’ ini, justru muncul sebagai tokoh protagonis. Mereka, terkecuali Kuniko, menjelma semacam jagoan (pahlawan) yang mempecundangi para lelaki. Mereka, terutama Masako yang menjadi ruh novel ini, sukses merebut simpati kita. Kita pun lalu bisa memaklumi dan menerima semua alasan dan motivasi keterlibatan mereka sembari diam-diam berharap mereka selamat.

Keempat wanita ini menjadi karakter utama dalam Out. Mereka hadir sebagai warga masyarakat biasa dari kalangan menengah bawah yang mesti berjuang dan bekerja keras demi menyambung hidup di kota besar (Tokyo).

Mereka tinggal di apartemen murah dan harus bekerja paruh waktu di malam hari agar dapat upah lumayan sebagai buruh pabrik Siang hari mereka adalah para ibu rumah tangga yang harus mengurus suami pecundang, anak-anak, dan kadang-kadang juga cucu serta ibu mertua yang jompo dan cerewet. Belum lagi godaan gaya hidup konsumtif yang ditawarkan setiap hari di televisi, film, koran-koran, dan majalah.. Sebuah gambaran realisme yang dipetik Kirino dari masyarakat Jepang kelas bawah yang masih konservatif.

Maka, dengan caranya masing-masing para wanita ini memilih membebaskan diri keluar dari tekanan persoalan, kendati harus membayar mahal.

Sebagai sebuah novel detektif, daya tarik utama Out ada pada suspens yang muncul hampir di sekujur tubuh cerita, mengetuk-ngetuk saraf kepenasaran kita. Kirino telah merancang cerita ini dengan sangat mengagumkan. Kisahnya bergulir wajar dengan tempo cepat. Karakter-karakternya terasa begitu hidup dan alamiah : Masako yang dingin, cerdas dan rasional, Yayoi yang rapuh, Yoshie yang tabah, serta Kuniko yang boros dan minderan.

Tak ada yang tampak diforsir atau mubazir. Bahkan, adegan darah yang muncratpun dihadirkan secara wajar, layaknya film-film besutan Quentin Tarrantino. Cipratan darah dan potongan-potongan tubuh itu bisa jadi memualkan, namun di situlah justru nikmatnya yang membuat saya tak sabar ingin membaca lagi karya Natsuo Kirino berikutnya.

Endah Sulwesi 23/4

The Remains of The Day: Puing-puing Kehidupan Seorang Butler


Judul buku : The Remains of The Day: Puing-puing Kehidupan
Judul asli : The Remains of The Day
Penulis : Kazuo Ishiguro
Penerjemah : Femmy Syahrani
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : 337 hlm

The Remains of The Day adalah novel karya Kazuo Ishiguro yang berhasil memenangi penghargaan Booker Prize (1989), salah satu ajang penghargaan paling bergengsi untuk buku-buku sastra (fiksi) yang ditulis dalam bahasa Inggris. Kazuo memang keturunan Jepang. Ia lahir di Nagasaki, Jepang, pada 1954, tetapi sejak usia lima tahun, bersama orang tuanya ia pindah dan kemudian menetap di Inggris. Telah enam novel ia tulis sepanjang kariernya. Terakhir berjudul Never Let Me Go (2005) yang menjadi runner up Man Booker Prize.

The Remains of The Day adalah novel ‘gelap’ yang bercerita tentang kehidupan–tepatnya kondisi psikologi–seorang kepala pelayan Inggris. Ia, kepala pelayan itu, dipanggil dengan nama Mr.Stevens (Ini nama keluarga sebetulnya. Nama kecilnya tak pernah disebut satu kalipun). Jabatan atau profesi kepala pelayan hanya ada di rumah tangga-rumah tangga kalangan ningrat Inggris tempo doeloe.

Mr. Stevens kita ini mengabdikan hampir seluruh hidupnya sebagai pelayan di Darlington Hall, sebuah kediaman mewah milik bangsawan Lord Darlington semasa perang dunia II sebelum akhirnya beralih ke tangan seorang berkebangsaan Amerika, Mr. Farraday.

Selama 30 tahun, Stevens menjalani profesinya dengan penuh kebanggaan, tanggungjawab, dan profresionalisme yang tinggi. Teladan terbaik baginya adalah sang ayah sendiri, mantan seorang kepala pelayan yang “bermartabat”.

Stevens kita demikian terobsesinya sehingga tanpa disadarinya ia kerap kali berlaku ‘kejam’ pada dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya demi meraih impian sebagai kepala pelayan yang “bermartabat” itu. Sikapnya senantiasa formal, kaku, terlalu serius. Ia mengabaikan segala urusan pribadinya. Bagi Stevens, yang terpenting dan utama adalah tugas melayani majikannya. Stevens bahkan harus menanggalkan kesedihannya ketika ayahnya meninggal saat ia tengah melaksanakan sebuah tugas penting melayani jamuan makan malam bertaraf internasional di Darlington Hall.

Sikapnya yang terkesan kejam dan tak berperasaan itu sering membuat Miss Kenton, rekan kerjanya, merasa geregetan dan penasaran. Sebagai sesama pelayan, Miss Kenton kelihatan jauh lebih ‘manusiawi’. Tidak seperti Stevens kita, Miss Kenton masih sanggup bergurau dan menjalani hidup secara ‘normal’. Diam-diam, sesungguhnya ia memendam perasaan cintanya kepada Stevens. Namun, karena sifat tertutup Stevens yang ekstrem, kasih itu tak pernah sampai.

Kisahnya dipaparkan secara kilas balik oleh Stevens kita sebagai penuturnya. Ia membawa kita menelusuri seluk-beluk keluarga ningrat Inggris pada era 1920-an, masa 30 tahun ke belakang dari saat ia berkisah. Lantaran narasi dituturkan oleh orang pertama, maka kita bisa mengetahui secara mendalam kondisi batin dan psikologi Stevens selaku seorang butler. Melihat kedalamannya, novel ini tentulah hasil sebuah riset dan observasi yang cermat. Konon, dalam versi aslinya (Inggris), lebih terasa lagi kedalamannya dari bahasa Inggris ningrat–kalau dalam bahasa Jawa mungkin kromo inggilnya–yang dipergunakan Stevens.

Tentulah Stevens merupakan tokoh sentral novel ini. Karakternya yang unik mutlak menjadi ruh bagi keseluruhan cerita. Barangkali temponya tergolong lambat, akan tetapi ia memikat kita justru dengan ketidaktergesa-gesaannya itu. Stevens menguraikan masa-masa jayanya dengan sabar dan penuh percaya diri bahwa kisahnya yang memikat ini pasti akan dibaca tuntas.

Seandainya kita membaca novel ini tanpa lebih dulu mengetahui nama penulisnya, bukan mustahil jika kita mengira buku ini ditulis oleh orang Inggris asli dengan pengetahuan luas dan mendalam ihwal seorang butler.

Novel yang anggun (dan sopan), kendati agak sedikit kelam. Tak heran jika lalu menjadi buku laris dan dibaca banyak orang di seluruh dunia. Dalam versi Inggrisnya, terjual lebih dari sejuta eksemplar dan telah pula diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa. Membacanya akan lebih asyik lagi apabila kita telah menonton filmnya, sebab bisa sembari membayangkan akting keren Sir Anthony Hopkins serta Emma Thompson sebagai Mr. Stevens dan Miss Kenton.

Endah Sulwesi 4/5

Menjelajah Gurat-gurat Wajah Iran


Judul Buku : The Hidden Face of Iran
Judul asli : Searching for Hassan; a journey to the heart of Iran
Penulis : Terrence Ward
Penerjemah : Berliani M.Nugrahani
Penerbit : Rajut Publishing
Cetakan I, Maret 2007
Tebal : 579 hlm

Searching for Hassan, demikian judul asli buku terbitan Rajut Publishing ini. Hassan adalah pelayan rumah tangga keluarga Ward selama mereka tinggal di Iran pada tahun 1960-an. Hassan, sejenak membuat saya terkenang tokoh cerita pada novel indah The Kite Runner karya Khaled Hosseini yang juga adalah seorang pelayan. Kedua Hassan di kedua buku ini, selain sebagai pelayan, juga sahabat bagi keluarga tempat mereka mengabdi. Bedanya, yang satu terjadi di dunia nyata di Iran (Searching for Hassan), yang lain merupakan kisah rekaan berlatar Afganistan (The Kite Runner).

Dalam edisi bahasa Indonesia, buku karya Terrence Ward ini berganti judul menjadi The Hidden Face of Iran dengan subjudul Catatan Perjalanan Warga Amerika Serikat Menembus Jantung Negeri Iran. Terrence Ward dilahirkan di Colorado, Amerika Serikat. Masa kecilnya dilewatkan di Arab Saudi dan Iran bersama-sama orang tua dan saudara-saudaranya. Kenangan manis di Iran inilah yang membawa Ward Family untuk kembali napak tilas mencoba menemukan Hassan bersama penggalan masa lalu itu.

Berbekal ingatan yang agak mengabur tentang sebuah desa bernama Tudeshk–kata yang sempat diucapkan Hassan mengenai nama kampungnya–Keluarga Ward memulai perjalanan mereka pada April 1998; menembus jantung Iran yang saat itu sedang gencar-gencarnya memusuhi "Setan Besar" Amerika Serikat. Iran akhir 1990-an sungguh sangat berbeda dibanding Iran 1960-an.

Pascarevolusi wajah Iran berubah drastis. Bekas monarkhi di bawah daulat Shah Reza Pahlevi itu sejak 1978 berganti pemerintahan menjadi Republik Islam, dan Ayatollah Rohullah Khomeini diangkat sebagai Pemimpin Tertinggi. Perubahan besar terjadi hampir di segala sektor kehidupan. Situasi sosial politik dan keamanan tak menentu. Gelombang pengungsipun terjadilah tanpa mampu dicegah. Jumlahnya mencapai hingga jutaan orang.

Rasa tidak aman itu semakin menjadi-jadi ketika secara tiba-tiba pecah perang dengan tetangga: Irak. Saddam Hussein masuk dan melakukan invasi di provinsi barat daya Iran. Dan lazimnya terjadi pada daerah-daerah yang berkonflik, tak ayal lagi korban jiwapun berjatuhan dari kedua belah pihak. Rakyatlah yang paling sengsara.

Iran di bawah Imam Khomeini sangat anti Barat, terutama Amerika. Mantra ritual "Marg bar Amrika, Matilah Amerika" senantiasa diserukan para mullah sembari tangan mengepal meninju udara. Roda pemerintahan dijalankan dengan syariat Islam, Syiah khususnya. Hukum cambuk diberlakukan. Para wanita dikekang dan diwajibkan memakai cadar hitam, serta menolak keras segala hal yang berhubungan dengan dunia Barat.

Kondisi seperti itu berlangsung bertahun-tahun. Iran seakan-akan terputus hubungan dan menutup diri dari dunia luar. Tak banyak berita tersiar dari dalamnya. Hanya orang-orang nekatlah yang berani masuk dan menjelajah negara Islam fundamentalis itu.

Hingga pada Agustus 1997 seorang ulama moderat, Mohammad Khatami terpilih sebagai presiden. Banyak orang menamakan periode indah ini sebagai "Musim Semi Teheran". Dalam sebuah wawancara di CNN dengan Christine Amanpour pada 7 Januari 1998, Presiden Khatami mengatakan, bahwa ia menyambut baik pertukaran kebudayaan. Dia menawarkan perdamaian dengan Washington untuk pertama kalinya sejak kejatuhan Shah pada 1979 dan mengatakan tentang berbicara "dari mulut ke mulut" dengan warga Amerika (hlm.37).

Terpilihnya Khatami segera saja membawa angin segar bagi dunia. Presiden baru yang fasih bicara dalam bahasa Inggris dan Jerman ini berani mengemukakan soal reformasi, demokrasi, serta menjanjikan perubahan tentang sebuah wajah Islam yang lebih lembut dan baik. Iapun segera saja menangguk dukungan luas dari berbagai kalangan, khususnya para wanita dan generasi muda Iran. Tak heran jika kemudian rakyatnya memberinya julukan "Ayatollah Gorbachev".

Situasi bersahabat inilah yang lantas dimafaatkan Ward sekeluarga untuk mendatangi kembali Iran, negeri yang sudah mereka anggap sebagai kampung halaman; menjelajah gurun-gurun pasirnya, menikmati syair-syair karya pujangga ternama, seperti Rumi dan Hafez; mengagumi keajaiban geologi alamnya; merenungi sejarahnya, dan tentu tak lupa tujuan utama: menemukan Hassan, sahabat mereka, setelah berpisah 30 tahun lamanya.

Buku yang sepenuhnya memuat kisah perjalanan ini (sebetulnya) sangat menarik. Di dalamnya kita mendapatkan banyak pengetahuan mengenai seluk-beluk negara Iran dan juga Timur Tengah : lanskap alamnya, kebudayaan, tradisi kuno, kesenian tradisional, kesusastraan, film, sosial politik, hingga agama (Islam Syiah). Selama membacanya, saya seolah-olah sedang menonton tayangan acara National Geography.

Terry, demikian nama kecil Terrence Ward, menampilkan begitu banyak detail, sehingga kita seperti membaca sebuah jurnal ilmiah atau laporan jurnalistik. Sangat informatif sebenarnya, meski di beberapa bagian sedikit terasa bertele-tele dan membosankan. Terry banyak mengutip buku-buku yang menjadi referensinya.

Ihwal berhasil-tidaknya keluarga Ward bertemu Hassan, sesungguhnya bisa menjadi daya pikat buku ini andai saja tidak ada "kecelakaan" kecil yang, menurut saya, sangat fatal, yaitu kehadiran tiga lembar foto tentang pertemuan dengan Hassan di tengah-tengah buku. Padahal yang membuat saya tetap bertahan membaca hingga separuh buku adalah karena ingin tahu apakah akhirnya keluarga Amerika keturunan Irlandia itu berhasil berjumpa dengan Hassan. Walaupun tetap saya lanjutkan pembacaan saya, namun greget itu sudah hilang. Antiklimaks rasanya.

Endah Sulwesi 10/5

TAJ MAHAL : KUBURAN CINTA

Judul buku : Taj Mahal: Kisah Cinta Abadi
Judul asli : Beneath A Marble Sky: A Novel of The Taj Mahal
Penulis : John Shors
Penerjemah : Meithya Rose
Penyunting : Salahuddien Gz.
Penerbit : Mizan
Cetakan : II, Desember 2006
Tebal : 457 hlm.

Taj Mahal, seperti halnya Mahatma Gandhi dan Bollywood, akan selalu terikut saat kita membincang India. Bangunan cantik terbuat dari marmer putih itu sejatinya adalah sebuah makam. Bangunan bergaya arsitektur Hindu-Islam itu didirikan pada abad ke-17. Pembangunannya memakan waktu sekitar 20 tahun (1632-1653). Terletak di Agra, , negara bagian Uttar-Pradesh, India, 200 kilometer dari New Delhi. Agra berada di sisi Sungai Yamuna (Jumuna), dan sebagaimana kota-kota yang berada di tepi sungai besar, merupakan kota perdagangan dan industri.

Taj Mahal dibangun oleh Sultan Jehan atau Shah Jahan (1614-1666) sebagai persembahan cintanya kepada mendiang sang istri terkasih, Arjumand, yang selalu disebutnya Mumtaz Mahal (Istana Pilihan). Meskipun Mumtaz istri kedua (versi lain menyebutkan ia istri kelima), namun ia adalah istri kesayangan Sultan. Mumtaz meninggal dunia setelah melahirkan putra ke-14. Sultan sangat berduka-cita sepeninggalnya. Untuk mengenang dan mengabadikan rasa cintanya kepada Mumtaz, ia kemudian membangun monumen indah dan megah itu.

Keagungan Taj Mahal telah termasyhur ke seantero dunia. Ia menjadi salah satu objek wisata paling banyak dikunjungi di India. Kemegahannya menyimpan kisah cinta abadi sekaligus tragedi dalam banyak versi. John Shors adalah salah satu penulis yang tergoda dan terinspirasi untuk menuliskan sepotong kisah di balik keindahan bangunan mosuleum itu dalam bentuk novel (fiksi) sejarah bertajuk Beneath A Marble Sky: A Novel of The Taj Mahal (2004).

Dalam versi John Shors, dipaparkan bukan saja ihwal cinta abadi Sultan dengan permaisurinya, namun juga asmara terlarang antara Jahanara, putri Sultan, dengan Ustad Isa, arsitek yang merancang Taj Mahal. Bahkan, John Shors lebih menonjolkan roman kedua anak muda tersebut dalam novel perdananya ini.

Perkenalan Jahanara dengan Isa bermula saat Sultan memerintahkan putrinya itu untuk mengawasi jalannya proyek pembangunan Taj Mahal. Kala itu Jahanara berstatus istri Khondamir, seorang suadagar perak, lelaki kasar yang tak pernah diimpikan Jahanara sebagai suami. Sebagai seorang putri sultan, ia harus mau melakoni nasib malangnya dijodohkan kepada lelaki yang bukan pilihannya demi sebuah alasan politis atau kepentingan kerajaan.

Sepanjang kehidupan perkawinannya, Jahanara menderita lahir batin. Khondamir suami yang bukan saja buruk rupa, tetapi juga kasar dan bebal. Tak setetespun kebahagiaan direguk Jahanara setelah menikah dengan Khondamir. Ia merindukan masa-masa remaja ketika ia masih berkumpul bersama-sama ayah, ibu, dan saudara-saudaranya di istana. Ia selalu ingin kabur dari suami dan rumahnya yang sekarang.

Hari kebebasan itu datang bersamaan dengan dimulainya pembangunan Taj Mahal. Di sini, Jahanara bukan saja menemukan kebebasan, tetapi juga cinta sejatinya: Isa. Asmara terlarang itu bersemi subur tanpa mampu dicegah oleh keduanya. Sultan yang sangat menyayangi putrinya pada akhirnya justru menjadi pendukung utama percintaan mereka. Restunya ini sebagai pembayar rasa bersalahnya karena telah mengawinkan Jahanara dengan Khondamir.

Seiring perjalanan cinta Jahanara dan Isa, Jhon Shors menghadirkan pula hiruk-pikuk kemelut kehidupan istana yang penuh intrik, pengkhianatan, dan peperangan. Sultan yang kian menua telah mempersiapkan Dara, putra sulungnya, sebagai pewaris di bawah bayang-bayang nafsu berkuasa Aurangzeb, adik Dara, yang telah lama mengincar takhta tersebut. Perseteruan kedua bersaudara itu merupakan sajian lain yang tak kalah menarik di novel ini.

Kisah-kisah di balik dinding istana selalu terasa memikat untuk digunjingkan. Di sana seolah-olah senantiasa tersedia skandal yang seru untuk diungkap ke hadapan panggung dunia Seakan-akan ada seribu misteri membalut kehidupan para bangsawan yang tinggal di baliknya yang menggelitik untuk diintip. Harta, takhta, dan kekuasaan sepertinya akrab dengan pengorbanan, tragedi, pengkhianatan, dan lumuran darah.

John Shors menyadari daya pukau itu; maka ia meramu, meracik, dan mengolah semua bahan tersebut menjadi hidangan kisah cinta romantis tragis dalam novel (fiksi) sejarah yang rencananya akan pula segera diangkat ke layar lebar ini.

Dalam narasi yang disuarakan oleh Jahanara, novel Taj Mahal ini tampil melankolis dan mendayu-dayu. Berlatar belakang kerajaan Islam abad ke-17 dengan aturan yang mengukung perempuan, Jahanara–dan bukan Mumtaz Mahal– menjadi karakter istimewa dalam buku ini dengan segala kecerdasan dan keberaniannya. Keberanian seorang perempuan yang melampaui ukuran zamannya. Ia muncul sebagai sosok utama yang menghidupi cerita.

Pada versi lain disebutkan, bahwa setelah pengerjaan Taj Mahal selesai, Sultan Jahan kemudian memenggal kepala arsiteknya, Isa, agar tak ada lagi karya yang mampu dihasilkan menyamai kemegahan Taj Mahal. Konon, dengan kejam ia juga memerintahkan untuk memotong tangan setiap pekerja–sejumlah tidak kurang dari 20 ribu orang, terdiri dari tukang batu, tukang kayu, pamahat, dan seniman ukir–yang terlibat.

Setelah lebih 3 abad berselang, Taj Mahal masih berdiri anggun, meskipun menurut hasil penelitian,keempat menaranya mulai mengalami kemiringan yang mengkhawatirkan. Data terakhir menunjukkan, bahwa kemiringan itu telah mencapai 22 cm. Hal lain yang juga serius meminta perhatian adalah batu-batu pualam putihnya mulai menguning seiring berlalunya waktu dan musim yang silih berganti. Satu hari nanti barangkali Taj Mahal akan musnah dimakan usia; menyisakan kisah cinta abadi yang akan selalu dikenang dari generasi ke generasi.

Endah Sulwesi 21/5

Jumat, 07 Desember 2007

MONSTER JADI-JADIAN DI MALAM HALLOWEEN

Judul buku: Cincin Monster
Judul asli: The Monster's Ring
Penulis: Bruce Coville
Penerjemah: Venti
Penyunting: Hamzah
Penerbit: Matahati
Cetakan: I, 2007
Tebal: 140 hlm

Bagaimana rasanya menjadi anak lelaki kelas 5 SD yang selalu diganggu oleh anak paling nakal di sekolah?

Russel Troy, anak lelaki pendiam dan cenderung pemalu itu tengah bingung menghadapi Hallloween, yakni salah satu perayaan di bulan Oktober yang ditandai dengan pesta kostum. Biasanya kostum-kostum yang menyeramkan. Halloween kali ini, Russel ingin jadi Frankenstein. Tetapi, suatu kebetulan telah membawanya ke sebuah toko benda-benda sihir milik Elive. Di toko ini, Russel menemukan sebuah cincin ajaib yang dapat setiap saat mengubahnya menjadi sesosok monster menyeramkan.

Mulanya Russel tak percaya begitu saja. Ia merasa terlalu tua untuk permainan bodoh seperti itu. Mana mungkin ada cincin semacam itu? Tetapi kemudian untuk memenuhi rasa penasarannya, ia pun mencobanya.

Wow…ternyata bukan omong kosong. Cincin itu mampu mengubah Russel menjadi monster menyeramkan: tumbuh sepasang tanduk di keningnya, matanya menjadi bersorot kuning menyeramkan, bulu-bulu lebat hitam membungkus tubuh kecil Russel, kuku-kuku runcing bersembulan di jari-jarinya, dan tawa riang kanak-kanaknya berubah menjadi geram menakutkan. Russel terkejut sekaligus girang betul mendapati kenyataan itu. Hmm...dengan sosok monsternya itu, ia akan membuat perhitungan dengan Eddie, anak nakal di sekolah yang kerap mengganggunya.

Lantas pada malam perayaan yang dinanti-nantikan itu, Russel kembali menggunakan kekuatan cincin bertuah tersebut. Sebenarnya, sihir dari cincin bermata hijau zamrud itu tidaklah membahayakan seandainya pemakainya mematuhi aturan cara kerjanya. Tetapi Russel terlampau menikmati perubahan dirinya menjadi monster sehingga melupakan peringatannya:

Satu kali putaran, kau akan bertanduk dan berbulu;
Dua kali putaran, gigi taring akan terlihat;
Tiga kali putaran? Tidak seorang pun yang berani!

Russel kebablasan! Ia memutar cincinnya sampai tiga kali! Maka, menjelmalah ia sesosok monster paling mengerikan yang pernah dilihat anak-anak pada malam Halloween. Yang lebih menyeramkan lagi, "kostum" monster ini memberi pengaruh jahat pada jiwa Russel. Ia mengamuk; mencari Eddie untuk membalaskan segala perlakuan buruk yang pernah diterimanya. Murid-murid lain berhamburan lari ketakutan. Seluruh sekolah kacau dan ribut. Para guru dan Kepala Sekolah sibuk menenangkan mereka. Situasi nyaris tak terkendali.

Buku yang ditulis oleh Bruce Coville ini lumayan asyik sebagai bacaan kanak-kanak. Unsur-unsur fantasi dan petualangan yang digemari oleh umumnya anak-anak bisa ditemui di dalamnya. Peralihan tokoh Russel yang lemah dan kalahan menjadi seorang pahlawan adalah resep klasik yang tetap laku dijual. Dan Coville masih percaya penuh pada kemanjuran menu dari dunia sihir sebagai daya tarik karyanya ini. Pesan moral hitam-putihnya, seperti lazimnya cerita anak : mengajak untuk selalu menjadi orang baik.

Bruce Coville yang lahir di Syracuse, New York, Amerika Serikat pada 16 Mei 1950 ini, adalah seorang penulis kanak-kanak yang telah banyak menghasilkan buku ber-genre fantasi dan fiksi ilmiah.Kariernya sebagai "pendongeng" ini berangkat dari kegemarannya membaca sejak kecil. Ia melahap dengan rakus buku Mary Poppins, Doctor Dolittle, Nancy Drew, The Hardy Boys, dan berbagai komik.

Karya debutannya yang ditulis berdua sang istri adalah The Foolish Giant (1997). Adapun Cincin Monster ini merupakan bagian dari serial Magic Shop yang seluruhnya terdiri dari lima judul.


Endah Sulwesi 18/7

KOMIK YANG MAKNYUUSS.....


Judul buku: Ekspedisi Kapal Borobudur Jalur Kayu Manis
Teks: Yusi Avianto Pareanom
Gambar: M.Dwi Bondan Winarno dan Dhian Prasetya
Penerbit: Banana
Cetakan: I (2007)
Tebal: 50 hlm (29 x 20,5 cm)

Sudah lama banget rasanya saya tidak baca komik. Entah kapan terakhir kali, saya nggak terlalu ingat. Namun, jelas saya ingat sekali masa-masa ketika saya sangat tergila-gila pada komik. Ya komik, buku cerita bergambar yang kini lebih sering disebut dengan novel grafis itu.

Itu terjadi kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, akhir tujuh puluhan, awal delapan puluhan, saat saya SD dan SMP. Waktu itu, tingkat kecanduan saya pada komik lumayan berat. Saya membaca komik-komik yang kondisinya sudah kumal dan lecek lantaran dibaca bergantian oleh banyak orang di rumah tetangga berjarak 3 rumah dari rumah kami. Komik-komik itu di antaranya adalah Si Buta Dari Gua Hantu (Ganes Th) dan serial Jaka Sembung. Ada juga Petruk-Gareng, Gundala Putra Petir, Sun Go Kong serta beberapa komik romantis yang saya sudah tak ingat lagi judul-judulnya. Semuanya berupa komik hitam putih.

Beberapa tahun kemudian, saya 'berkenalan' dengan komik Barat yang colourful dengan ukuran sebesar majalah. Tintin, Asterix, Smurf, dan Lucky Luke adalah 'kenalan-kenalan' baru saya itu. Terasa sekali bedanya, baik dari segi cerita maupun gambar, dengan komik-komik "kampung" yang sebelumnya pernah saya gila-gilai. Komik-komik impor ini sarat dengan humor-humor segar. Jika komik-komik lokal sempat membuat saya ingin jadi pendekar, maka komik-komik made in luar negeri ini membuat saya terbahak-bahak.

Setelah itu, seingat saya, belum ada lagi pengalaman berkesan lainnya dengan komik.. Saya nggak ikut-ikutan demam manga, misalnya. Nggak tertarik, walaupun di rumah berserakan komik-komik Jepang bacaan kegemaran adik-adik saya, seperti Kungfu Boy, Candy Candy, Sailormoon, sampai Doraemon. Waktu itu, tampaknya saya mulai emoh baca komik. Menurut saya, komik cuma bacaan buat anak-anak. Saya mengucapkan selamat tinggal pada komik.

Hingga bertahun-tahun sesudah itu, saya masih tetap menolak membaca komik. Nggak ngiler sedikitpun. Sampai beberapa hari yang lalu entah kenapa saya kok jadi ingin baca komik lagi seusai membaca iklan komik berjudul Ekspedisi Kapal Borobudur Jalur Kayu Manis. Komik–atau istilah kerennya novel grafis–ini dicetak dalam bentuk hard cover ukuran 29 x 20,5 cm, berwarna, dan tebal 50 halaman. Lebih mirip komik-komik impor dari pada komik lokal jadul (jaman dulu) yang saya ceritakan di atas. Ketertarikan saya pada komik ini barangkali lebih karena ada nama M. Dwi Bondan Winarno (yang semula saya kira Bondan "Maknyuuss" itu) tercantum sebagai tukang gambarnya.

Kisahnya mengenai pelayaran internasional Kapal Borobudur menyusuri kembali Jalur Kayu Manis untuk membuktikan kebenaran "dugaan" tentang sejarah keperkasaan para pelaut Nusantara yang berhasil menempuh jarak ribuan mil hingga ke pantai Afrika Barat berabad-abad yang lalu hanya dengan menggunakan sejenis perahu sederhana : "Mereka datang menggunakan rakit atau perahu sederhana dua cadik dengan muatan kayu manis dan bumbu-bumbu lain" Demikian catatan yang ditulis pada abad ke-1 Masehi oleh Pilny, ahli sejarah Romawi. Saking terkesannya, sampai-sampai ia menulis, bahwa perahu-perahu tersebut bukan digerakkan oleh layar melainkan oleh semangat dan keberanian.

Gagasan awalnya berasal dari seorang mahasiswa Inggris, Phillip Beale, yang tengah belajar ihwal kapal tradisional Indonesia. Ia tergelitik untuk melakukan sebuah ekspedisi "napak tilas" menempuh Jalur Kayu Manis dengan menggunakan sebuah kapal yang mirip dengan kapal yang dipakai oleh para pelaut dahulu, yang gambarnya ia lihat pada sekeping relief di Candi Borobudur pada 1982 (itulah asal mula nama kapal ini dinamai Kapal Borobudur).

Dua puluh tahun berselang, Phillip berhasil memujudkan ide sintingnya itu. Bersama sejumlah anak buah kapal (ABK) gabungan dari Indonesia dan luar negeri, Phillip memimpin langsung ekspedisi tersebut. Kapal kayu hasil rancangan Nick Burmingham (Australia) dan dibuat oleh As'ad Abdullah (Indonesia) ini sukses mengarungi samudra sejauh 11 ribu mil dalam waktu 6 bulan (15 Agustus 2003 – 23 Februari 2004).

Memang rasanya singkat sekali mengikuti pelayaran yang berlangsung selama 6 bulan hanya dalam 50 halaman komik saja. Nggak puas sebetulnya. Pasti masih banyak hal menarik lainnya yang tidak sempat disampaikan oleh gambar-gambar apik dan teks yang terkadang "usil" , suka tiba-tiba nyeletuk humor lewat dialog tokoh-tokohnya ataupun kejadian-kejadian lucu yang mengundang senyum. Alurnya konvensional, mudah diikuti, bahkan oleh pembaca kanak-kanak sekalipun. Sayang, terdapat beberapa kesalahan cetak–tanda petik (") semuanya tercetak menjadi tanda tanya (?)–yang kendati tidak fatal tetapi terasa mengganggu juga.

Meskipun komik ini tidak memuaskan saya karena "kekurusannya", namun cukup maknyuuss, sehingga selesai membacanya saya mendapat "hikmah" tersendiri: jadi kepingin dan rindu baca komik lagi.


Endah Sulwesi 19/8

MEREKA BUKAN SEKADAR NAKAL.....


Judul buku: Edgar & Ellen: Rare Beasts
Penulis: Charles Ogden
Penerjemah: T.Dewi Wulansari
Penyunting: Eka Santi Sasono
Penerbit: Matahati
Cetakan: 2, Mei 2007
Tebal: 159 hlm

Anak-anak nakal, itu hal yang biasa. Dalam usia perkembangan mereka, kenakalan-kenakalan itu lebih sebagai ungkapan keingintahuan mereka terhadap hal-hal baru. Bukan karena dorongan sifat kriminal. Atau juga, bisa jadi sebagai bentuk upaya mencari perhatian dari lingkungannya, terutama orang-orang terdekat mereka: orangtua, teman-teman, guru dll. Lazimnya, kenakalan-kenakalan seperti itu tak dianggap berbahaya. Wajar, namanya juga anak-anak, begitu biasanya kita berkomentar.

Namun, masalahnya menjadi serius jika telah mengakibatkan orang lain celaka dan sengsara. Tidak bisa lagi dianggap lucu. Inilah yang saya dapati dalam buku cerita kanak-kanak karya Charles Ogden berjudul Edgar & Ellen: Rare Beasts (Hewan Langka). Kenakalan-kenakalan yang diperbuat oleh kedua kakak-beradik kembar, Edgar dan Ellen, menurut saya, tidak lagi bisa dibilang sesuatu yang lucu. Buat anak-anak usia mereka (12 tahun) kenakalan yang dilakukan sudah agak keterlaluan. Mereka bukan sekadar mengolok-olok teman atau mencuri mangga di halaman tetangga, tetapi sudah sampai menculik hewan-hewan peliharaan milik tetangga–seperti kucing, anjing, kelinci, sampai ular piton sepanjang 4 meter–untuk kemudian dipermak menjadi–mereka menyebutnya–“hewan langka yang eksotis” dan dijual dengan harga setinggi langit.

Terus terang saja, saya sempat kaget membacanya. “Badung banget ya anak-anak ini,” begitu yang tercetus spontan dalam hati saya. Mereka bukan cuma nakal, tapi juga sadis. Saya kutipkan saja ya :

….”Dengan cepat Ellen mengikat Edgar yang berusaha melawan, lalu naik ke atas meja dan beridiri di atas badan Edgar. Dengan jelas Edgar bisa melihat benda yang dipegang kakaknya. Bandul tajam berbentuk setengah lingkaran di salah satu ujung tali emas. Edgar tahu benda itu; dialah yang merancang alat itu untuk memotong bendera-bendera partai politik selama masa kempanye di Nod’s Limbs. Ellen memegang tali bandul di atas adiknya lalu dia ayunkan pelan-pelan. Besi tajam berbentuk bulan sabit itu berayun dengan teratur. Ellen tersenyum sambil sedikit demi sedikit mengulurkan tali, membuat bandul itu turun beberapa sentimeter” (hlm 30)

Saya merinding membacanya. Bagaimana bisa anak duabelas tahun melakukan adegan sadis seperti itu? Entah di mana letak lucunya. Yang ada justru kengerian.

Yah, sebetulnya sih pada akhirnya kita akan merasa iba kepada kedua anak kembar itu. Mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah besar yang suram di Nod’s Limbs. Ayah ibu mereka pergi “keliling dunia” sejak bertahun-tahun silam. Mereka anak-anak malang yang merindukan cinta.

Fakta bahwa mereka hanya tinggal berdua saja, terasa agak janggal. Dari mana mereka memperoleh uang untuk membeli makanan, misalnya. Ada sih Heimertz, orang dewasa yang tinggal di gudang belakang rumah mereka. Tetapi ia diceritakan hanya bertugas mengurus halaman dan membersihkan rumah. Bukan mengurus kedua anak tersebut. Entahlah kalau pada episode berikutnya akan lebih dijelaskan peran Heimertz yang sesungguhnya.

Baiklah kita lanjutkan saja membacanya. Suatu hari, kedua kembar badung ini, merasa bosan. Mereka ingin melakukan kegiatan yang “tidak biasa”. Terinspirasi oleh sebuah tayangan di televisi tentang satwa eksotis, Edgar dan Ellen lantas menyusun rencan untuk membuka toko satwa langka demi mendapatkan uang yang banyak.

Sayangnya, kakak-beradik yang kenakalannya sudah sangat kondang se-Nod’s Limbs itu, dalam melaksanakan rencana mereka menempuh cara-cara yang tidak baik. Mereka menculik sejumlah hewan peliharaan tetangga untuk kemudian didandani dan diberi nama-nama aneh seolah-olah “hewan-hewan eksotis”. Mereka lalu menjualnya di sebuah gerobak yang telah disulap menjadi toko keliling.

Ulah mereka telah mengakibatkan kehebohan. Anak-anak pemilik hewan-hewan itu menangis sepanjang hari karena kehilangan peliharaan kesayangan mereka. Para orang tua jadi sibuk sepanjang hari mencari hewan-hewan yang tiba-tiba lenyap itu.

Sementara itu, Edgar dan Ellen tanpa rasa bersalah sedikitpun malah tertawa-tawa gembira karena telah sukses menjalankan rencana tidak lucu mereka. Dengan tenangnya, mereka berkeliling menjajakan dagangan mereka.

Walaupun pada akhirnya mereka berdua harus menerima hukuman atas kenakalan-kenakalan mereka, tetapi tetap saja bagi saya cerita ini menyisakan senoktah kesan yang tidak enak. Tidak semestinya buku kanak-kanak seperti ini. Kali ini saya tidak merasa terhibur membacanya. Atau jangan-jangan saya yang sudah kehilangan rasa humor?

endah sulwesi 4/9

LAGI-LAGI PEREMPUAN (HARUS) JADI KORBAN


Judul buku: Perempuan Terluka
Judul asli: Typhoon
Penulis: Qaisra Shahraz
Penerjemah: Atta Verin
Penyunting: Budhyastuti Rizki H.
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: 406 hlm

Naghmana tersentak di subuh hari itu. Sepucuk telegram berada di genggamannya. Wajah cantiknya seketika memucat mayat. Telegram itu datang dari Siraj Din di Chiragpur, sebuah desa kecil yang tak akan pernah lagi sudi diinjaknya setelah “kiamat” yang menimpa dirinya dua puluh tahun lalu di sana.

Telegram itu membawa berita tentang Siraj Din, lelaki penguasa Chiragpur, yang tengah sekarat. Di atas ranjang mewahnya, Siraj Din tergolek lemah menjelang ajal. Dari celah bibir pucatnya selalu tergumam nama Naghmana. Ya..puluhan tahun silam, kedua insan ini pernah terlibat dalam sebuah perkara yang diputuskan lewat kacheri, pengadilan terbuka yang telah menjadi tradisi di Chiragpur sejak zaman para leluhur.

Kira-kira duapuluhan tahun yang lalu, kedamaian Chiragpur sempat terusik oleh sebuah peristiwa memalukan yang melibatkan warganya. Pasalnya, seorang wanita cantik dari kota kedapatan berpelukan mesra dengan salah seorang pria beristri di desa itu. Wanita molek itu adalah Naghmana, dan sang lelaki adalah Haroon. Saksi mata yang melihat seluruh kejadian tersebut adalah Gulshan, istri Haroon. Sekejap saja, desa yang semula tentram itu, menjadi gempar laksana diamuk taufan badai. Kedua pelaku yang diduga telah melakukan perzinahan itu kemudian digiring ramai-ramai ke balai desa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan seluruh warga di depan kacheri yang dipimpin oleh tetua desa, Siraj Din.

Tanpa memberi kesempatan bagi tertuduh untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, kacheri segera digelar. Pada pengadilan itu barulah terurai jelas segalanya, namun semua telah kadung. Naghmana dan Haroon harus menerima “hukuman” yang menurut sang hakim paling adil, walaupun kelak keputusan itu menjadi seonggok penyesalan yang terus menghantui hidup Siraj Din hingga di tepian maut. Pasangan tertuduh yang ternyata adalah suami-istri sah ini dipaksa bercerai sebab Haroon telah menikah lagi dengan Gulshan. Dengan perasaan terluka, Naghmana harus merelakan suaminya untuk Gulshan. Sejarah pernikahan singkat dirinya dengan Haroon enam tahun silam, kudu berakhir sampai di situ.

Segenap warga desa terperangah. Mereka turut merasa menyesal telah ramai-ramai ikut mengadili keduanya. Sungguh tak dibenarkan oleh agama mereka, Islam, perceraian yang dipaksakan itu. Adalah dosa besar menceraikan istri dari suaminya tanpa alasan yang jelas. Apa lagi keduanya masih saling mencintai.

Naghmana pun pergi meninggalkan Chiragpur dengan membawa serta keping-keping hatinya yang hancur lebur. Ia bersumpah untuk tak akan pernah kembali lagi ke sana. Selamanya. Hingga tiba telegram itu….

Perempuan Terluka merupakan kelanjutan novel Perempuan Suci. Ditulis oleh pengarang yang sama, Qaisra Shahraz. Masih mengambil latar pedesaan di Chiragpur yang kental dengan tradisi Islam serta budaya leluhur. Suatu tempat yang para perempuannya haram memperlihatkan sehelai rambutpun. Suatu tempat di mana para suami masih menganggap diri mereka tuan bagi para istri.

Dengan cermat, Qaisra menuturkan setiap bagian kisah dalam buku ini tanpa terjebak menjadi bertele-tele. Tidak seperti dalam buku sebelumnya, kali ini Qaisra cenderung lebih taktis, tak berlarat-larat. Daya tariknya masih bertumpu pada eksotisme kehidupan masyarakat desa muslim di Pakistan dengan para perempuannya yang tengah menapak era kebebasan. Sesekali ia menyelundupkan pesan ihwal hak-hak perempuan dan isu kesetaraan jender melalui problem masing-masing tokoh perempuannya. Beberapa perempuan dalam buku ini dihadirkan sebagai korban tindak kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan kaum pria dan masyarakat (patriarki).

Warna lokal yang kental menjadi salah satu kekuatan novel ini selain alurnya yang mengalir, membuat buku ini enak dibaca. Permasalahan dan konflik yang mengemuka memberi sebuah informasi baru bagi pembaca di luar Pakistan mengenai satu tradisi “kuno” di negeri muslim itu yang masih dipraktikkan hingga hari ini, kendati mungkin sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Atau mungkin, bukan tradisi itu yang salah, tetapi masyarakat yang melaksanakannyalah yang telah bersikap keliru dengan mengedepankan syak wasangka ketimbang azas praduga tak bersalah. Akibatnya, orang-orang tak bersalah pun harus jadi korban.

endah sulwesi 12/9

THE WHITE LAMA : Reinkarnasi

Judul buku: The White Lama;Buku 1: Reinkarnasi
Penulis: Jodorowsky & Bess
Penerjemah: Hetih Rusli
Editor: Tanti Lesmana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I – Juli 2007
Tebal: 144 hlm

The White Lama adalah komik kedua yang saya baca sepanjang tahun ini setelah Ekspedisi Kapal Borobudur (Banana Publisher, 2007). Komik hasil kolaborasi Alejandro Jodorowsky dan Georges Bessis ini seluruhnya terdiri dari enam jilid yang diterbitkan dalam rentang waktu 5 tahun (1988-1993) dalam bahasa Prancis. Jodorowsky yang kelahiran Cili (7 Februari 1929), selain menulis naskah komik, juga adalah seorang sutradara dan produser film. Ia memulai kiprah kepenulisannya pada usia yang masih belia: 16 tahun. Waktu itu, puisi-puisinya sudah mulai dipublikasikan di Cili. Kemudian, pada 1953 ia menulis naskah dramanya yang pertama, El Minotauro, sebelum akhirnya hijrah ke Paris untuk belajar pantomim dan teater. Ia kini telah resmi menjadi warga negara Prancis.

Adapun karier berkomiknya dimulai pada pertengahan 1966 sebagai penulis komik strip di harian Mexico El Heraldo de Mexico. Komik yang terbit setiap minggu itu berjudul Fabulas Panicas.

Pertemuannya dengan Georges Bessis pada 1986, menghasilkan karya serial novel grafis Le Lama Blanc (The White Lama). Bess yang kelahiran Prancis pada 1947 ini, semula adalah ilustrator di sebuah majalah terbitan Swedia, Mad Magazine. Proyek bersama mereka selanjutnya, masih berupa novel grafis, adalah Anibal Cinq (1990) dan Juan Solo (1995).

Pada The White Lama, cerita mengambil setting di Tibet ikhwal kehidupan para lama di sana. Bermula dari wafatnya Lama Agung Mipam, kehidupan spiritual di Tibet mengalami kemunduran. Aturan-aturan moral yang sebelumnya dipatuhi, kini mulai dilanggar.

Lama Migmar sebagai pengganti sementara Lama Mipam sebelum pewaris takhta yang sesungguhnya ditemukan, lebih banyak menyalahgunakan kekuasaannya untuk bersenang-senang bersama para pengikutnya. Ia bahkan punya rencana jahat untuk tetap meduduki kursi Lama Agung selamanya. Demi mewujudkan niatnya itu, Lama Migmar bahkan nekat membunuh seorang bocah yang diduga sebagai reinkarnasi Lama Mipam sebagaimana telah diramalkan sebelumnya oleh Lama Mipam sendiri menjelang kematiannya. Namun, ternyata ia telah membunuh bayi yang salah.

Novel grafis ini tampil dengan gambar-gambar menawan yang didominasi perpaduan warna merah dan kuning. Karakter wajah orang-orang Tibet, Eropa, dan Cina serta suasana alam dan panorama Tibet yang tandus dan putih bersalju itu terlukis dengan baik. Bess menggambar dengan cukup detail sampai kepada urusan kostum, tatanan rambut, dan aksesorisnya.

Meskipun menurut saya komik ini aman-aman saja dibaca anak-anak, oleh Gramedia, di sampul bagian belakang buku ini diberi label "novel grafis dewasa". Barangkali karena ceritanya lebih pas dibaca orang dewasa daripada kanak-kanak. Atau mungkin karena ada beberapa gambar di dalamnya yang berisi adegan orang dewasa yang tidak pantas dilihat anak-anak, seperti pada halaman 32 (gambar orang melahirkan).Padahal, pada buku pertama ini, tokoh utamanya justru seorang bocah lelaki bernama Gabriel yang dilahirkan di Tibet dari pasangan suami-istri kulit putih Gabriel dan Susan.

Gabriel Junior adalah calon pengganti Lama Mipam yang sejati. Pada bocah bule inilah arwah agung Lama Mipam menitis untuk kelak bereinkarnasi. Sebelum menjadi lama yang sesungguhnya, Gabriel kecil mesti menjalani berbagai macam ritual dan penggemblengan lahir batin dari Pendeta Tzu yang ditunjuk oleh Lama Mipam sebagai guru, termasuk ilmu kesaktian dan bela diri. Walaupun arwah suci Sang Lama Agung telah menitis ke dalam raganya, namun bukan berarti segala sesuatunya menjadi mudah buat Gabriel. Seribu halangan dan rintangan menanti di hadapannya.

Secara keseluruhan, komik The White Lama ini, bagi saya cukup menarik. Darinya, saya bukan sekadar menikmati cerita aksi dalam bingkai gambar-gambar bagus, tetapi juga memperoleh wawasan baru tentang Tibet beserta sejarah, filosofi, dan tradisi masyarakatnya. Sebuah cara mengulik informasi yang sungguh menyenangkan dan menghibur. Harapan saya, serial komik ini dapat diterbitkan semuanya. ***

Endah Sulwesi 22/10

FIKSI REMAJA BERLATAR SEJARAH ANGLO-SAXON


Judul buku: Gadis Serigala
Judul asli: Wolf Girl
Penulis: Theresa Tomlinson
Penerjemah: Ferry Halim
Penerbit: Atria (Grup Serambi)
Cetakan: I, Juli 2007
Tebal: 486 hlm

Anglo-Saxon adalah sebuah wilayah yang menarik. Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai untuk menyebut penduduk Britania Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku Anglia, Saks, dan Yut. Konon, pada tahun 400 M mereka menyeberang dari Jerman Timur dan Skandinavia Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan 7 kerajaan kecil yang disebut Heptarchi. Mereka dinasranikan antara 596-655 M. *)

Sejarah Anglo-Saxon ini, oleh Theresa Tomlinson, diangkat menjadi latar cerita dalam novel Gadis Serigala, sebuah fiksi remaja tentang seorang gadis pemberani bernama Wulfrun. Wulfrun anak seorang penenun, Cwen. Mereka tinggal di wilayah kekuasaan Biara Whitby yang dikepalai oleh Suster Hild. Setiap hari, Wulfrun bertugas menggembalakan angsa-angsa mereka bersama sahabatnya, Cadmon, seorang penggembala sapi.

Cwen anak-beranak hidup sangat miskin. Saking miskinnya, dia terpaksa menjual putra sulungnya, Sebbi, sebagai budak. Pada masa tersebut, perbudakan masih menjadi sesuatu yang lazim terjadi. Barangkali akibat perang yang terus berlangsung antara daerah-daerah yang saling berseteru. Rakyat di sana terbagi menjadi dua: kaum bebas dan kaum tak bebas.

Sebetulnya, Cwen memiliki seuntai perhiasan indah berbentuk kalung yang terbuat dari batuan permata. Jika saja ia mau menjual kalung itu, tentu Sebbi tak perlu menderita sebagai budak. Kalung tersebut pasti berharga mahal, akan sanggup membuat Cwen kaya-raya tanpa perlu bekerja keras seperti sekarang ini. Namun, Cwen mempunyai alasan tersendiri untuk tidak menjual kalung tersebut yang ia peroleh dari seseorang yang pernah ia selamatkan jiwanya. Tetapi, kalung itu juga yang di kemudian hari membuat dirinya diancam hukuman gantung.

Pasalnya, Wulfrun kedapatan sedang mengenakan kalung tersebut oleh Irminburg, salah seorang kerabat dekat kerajaan yang berkuasa di Biara Whitby selama Suster Hild bepergian. Tak ayal, Wulfrun dituduh sebagai pencuri dan harus diadili. Lantaran Wulfrun masih di bawah umur, maka Cwen-lah yang harus bertanggungjawab. Sambil menunggu Suster Hild yang akan mengadili, Wulfrun berusaha sekuat tenaga untuk dapat membebaskan sang bunda dari segala tuduhan, sebab ia yakin ibunya bukanlah pencuri.

Tanpa diduga-duga, Wulfrun yang tengah bersedih dan kebingungan mencari cara untuk menyelamatkan sang ibu, mendapat bantuan yang amat simpatik dari Elfled, gadis kecil putri Raja Oswy yang telah diserahkan kepada biara dan diasuh oleh Suster Hild. Mereka berdua dengan didampingi oleh Adfrith, seorang pria muda calon biarawan, kemudian bergegas mencari upaya untuk mengungkap misteri di balik kalung yang ternyata adalah milik Ratu Ianfleda, ibu Elfled.

Maka, kita akan mendapatkan sebuah suguhan kisah petualangan dengan seorang tokoh bocah perempuan pemberani. Ini memang novel untuk anak-anak dan remaja. Alurnya tak sulit diikuti meskipun sering harus bolak-balik ke masa lampau.Unsur petualangan, misteri, dan persahabatan menjadi bumbu utamanya. Beberapa tokoh, nama tempat, serta peristiwa di dalam buku ini, menurut keterangan penulisnya, benar-benar ada. Sejatinya, Theresa Tomlinson ingin menyampaikan sejarah Anglo-Saxon dalam kemasan fiksi. Theresa yang menghabiskan masa kecilnya di Cleveland dan North Yorkshire memang amat menggandrungi sejarah dan mitologi selain hobi utamanya menggambar dan melukis.

Di situs peribadinya, Theresa mengungkapkan, bahwa ia sudah suka menulis sejak kecil. Bahkan, gurunya di sekolah menganjurkannya untuk menulis cerita. Buku favoritnya adalah Anne The Green Gables. The Secret Garden, serta The Lion, The Witch, And The Wardrobe.

Ketika anak-anaknya lahir, ia mulai membuat sendiri buku-buku cerita bergambar untuk anak-anaknya yang berjumlah tiga orang itu. Hingga akhirnya ia menyadari bakatnya dan lalu memutuskan untuk serius menulis buku anak-anak. Gadis Serigala (Wolf Girl) ditulisnya tahun 2006.

Menurut saya, buku ini bacaan yang baik untuk anak-anak dan remaja. Di samping kisahnya yang menghibur, melalui buku ini anak-anak akan mendapat pengetahuan tentang sejarah Anglo-Saxon. Ah….tetapi bukan cuma anak-anak sih, saya juga kok.***


Endah Sulwesi 5/11

DONGENG INDAH IKHWAL MERAIH CITA-CITA

Judul buku: Putri Si Pembuat Kembang Api
Judul asli: The Firework Maker’s Daughter
Penulis: Philip Pullman
Penerjemah: Poppy Damayanti Chusfani
Editor: Dini Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Oktober 2007
Tebal: 141 hlm

Nama Philip Pullman di sini dikenal lewat buku-bukunya yang telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (GPU).Di antaranya, The Golden Compass (Kompas Emas). Novel anak-anak ini sudah pula dibuat filmnya yang akan tayang di bioskop pada Desember nanti.

Philip Pullman lahir di Norwich, Inggris 61 tahun silam. Sebagai anak seorang anggota Angkatan Udara Inggris, masa kanak-kanaknya banyak dihabiskan di kapal dan melanglang ke segala penjuru dunia.

Philip menamatkan kuliahnya di Sastra Inggris Universitas Oxford dan kemudian menekuni profesi guru beberapa lama sebelum akhirnya menjadi penulis penuh seperti sekarang. Bahkan kini Philip telah mendapat pengakuan sebagai salah satu pengarang terbaik dunia, khususnya untuk buku anak-anak. Ia memperoleh beragam penghargaan untuk karya-karyanya.

Salah satu karyanya yang mendapat penghargaan Gold Medal Smarties adalah The Fire Work Maker’s Daughter (Putri Si Pembuat Kembang Api). Buku ini telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PT GPU.

Ceritanya tentang seorang bocah perempuan bernama Lila yang bercita-cita menjadi seorang pembuat kembang api handal sebagaimana ayahnya. Sejak kecil ia telah menjadi piatu. Ia hanya diasuh dan dibesarkan oleh sang ayah. Setiap hari ia menyaksikan bangaimana ayahnya bekerja meramu dan menciptakan kembang api terbaru. Lama-kelamaan Lila jadi mengerti caranya dan setelah menginjak remaja ia sudah pandai merancang sendiri kembang apinya.

Tetapi rupanya Lalchand, sang ayah menyimpan harapan sendiri untuk putrinya. Ia tak ingin Lila menekuni pekerjaan seperti yang dilakoninya selama ini. Oleh karena itu, Lalchand merahasiakan resep terbaiknya kepada Lila. Lila yang bertekat untuk melebihi keahlian si ayah, dengan bantuan sahabatnya, Chulak, berhasil mengetahui resep rahasia itu.

Salah satu syarat untuk membuat kembang api bermutu baik adalah dengan sulfur bangsawan dari kawah Gunung Merapi. Demi mendapatkannya, Lila nekat pergi ke sana walaupun beribu rintangan menghadang perjalanannya. Karena terburu-buru, ia lupa membawa air suci dari danau sebagai penangkal panas dari api abadi di puncak Merapi.

Lila pergi secara diam-diam, tanpa pamit kepada ayahnya yang menjadi sangat cemas. Chulak, sahabat setia Lila, kemudian bersedia membantu Lalchand untuk menyusul Lila sambil tak lupa membawa air dari danau suci. Dengan cerdik, bocah kocak itu berhasil kabur dengan membawa serta Hamlet, gajah putih peliharaan Raja. Sialnya, ada seorang pelayan yang melihatnya pergi dan kemudian melapor pada Raja. Raja murka. Sebagai akibatnya ia memerintahkan untuk menangkap Lalchand karena dianggap telah membantu pelarian itu. Lalchand yang malang diancam dengan hukuman mati.

Dalam buku tipis ini, Philip Pullman kembali membuktikan kepiawaiannya sebagai seorang pendongeng. Kisah Lila yang berambisi menjadi ahli membuat kembang api menitipkan pesan moral untuk anak-anak sebagai sidang pembaca utamanya agar bekerja dan berusaha sekuat tenaga demi meraih cita-cita. Ada tiga bekal yang mesti dimiliki setiap orang dalam mencapai ambisi dan keinginan. Pertama adalah bakat. Kedua, kemauan dan tekad baja. Dan ketiga, sedikit nasib baik. Ada satu syarat lagi sebetulnya, yakni : kebijaksanaan. Dengan keempat “bekal” ini, siapapun dapat menggapai impian.

Pullman tidak secara tegas menyebutkan setting ceritanya, tetapi dari kehadiran Hamlet Si Gajah Putih yang pandai bicara, diperkuat ilustrasi-ilustrasi di dalamnya serta nama tokoh-tokohnya (Lalchand, Lila, Chulak, dll.) dapatlah kiranya disimpulkan setting tersebut adalah di wilayah–mungkin–Thailand atau Burma.

Spesial tokoh Chulak yang cerdas dan jenaka telah menjadikan kisah Lila ini lebih gurih, renyah, dan menggembirakan pembacanya (kanak-kanak). Seperti kebanyakan buku kanak-kanak, dongeng Putri Si Pembuat Kembang Api ini pun menonjolkan nilai-nilai kejujuran, keberanian, kegigihan, setia kawan, dan cinta. Penuturannya jernih dengan alur konvensional sehingga mudah diikuti. Memang seharusnya seperti inilah buku dongeng.***

endah sulwesi 24/11
Judul buku: Enrique’s Journey
Judul asli: Enrique’s Journey: The Story of A Boy’s Dangerous Odyssey to Reunite with his Mother
Penulis: Sonia Nazario
Penerjemah: Widi Nugroho
Penyunting: Rahmad Widada
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: I, Agustus 2007
Tebal: vi+396 hlm

Nasib perempuan di negara-negara berkembang sampai hari ini masih amat memprihatinkan. Di Asia dan Amerika Latin angka tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan masih besar. Umumnya terjadi di dalam rumah tangga (KDRT). Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik dan psikologis. Suami-suami yang pergi meninggalkan istri dan anak mereka demi perempuan lain, misalnya, menyebabkan para perempuan tiba-tiba menjadi orang tua tunggal yang harus menghidupi keluarga. Pendidikan kaum perempuan yang umumnya masih rendah di negara-negara dunia ketiga itu membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Peluang yang tersedia biasanya pekerjaan-pekerjaan kasar di pabrik atau menjadi pembantu rumah tangga.

Itu pun tidak semudah kedengarannya. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh kasar di pabrik-pabrik dengan upah rendah tidaklah menyelesaikan masalah. Upah yang mereka terima tak mampu mencukupi bahkan sekadar kebutuhan minimal mereka. Dalam satu rumah tangga bisa saja tinggal di dalamnya dari nenek sampai cucu dengan seorang perempuan yang berfungsi sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah.

Upaya memenuhi standar hidup yang layak–pangan, sandang, papan, dan pendidikan anak-anak–memaksa para perempuan itu mencari kerja di luar kota atau malah hingga ke luar negeri. Contohnya dapat dengan mudah kita dapati di negeri kita sendiri. Entah berapa ribu (atau juta) orang perempuan yang mempertaruhkan peruntungannya sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri demi harapan hidup yang lebih baik. Sudah begitu banyak cerita duka kita dengar tentang mereka selama mengadu nasib di negeri orang. Dengan bekal keahlian yang minim, mereka nekat menjual tenaga dan keringat jauh di seberang lautan, meninggalkan keluarga, orang tua, serta anak-anak mereka di kampung.

Fenomena serupa terjadi juga di belahan selatan benua Amerika. Kaum perempuan di negeri-negeri miskin seperti Honduras, Argentina, Meksiko, dll. setiap tahunnya ramai “melarikan diri” ke El Norte, Amerika Serikat. Seperti kawan-kawan senasib di Indonesia, kepergian mereka juga dalam rangka memperbaiki nasib. Mereka yang rata-rata berusia masih sangat muda saat meninggalkan kampung halaman, di Amerika biasanya bekerja sebagai pengasuh bayi, pembantu rumah tangga, pelayan restoran, atau yang terburuk: pelacur. Lagi-lagi itu semua karena “bekal” mereka sangat minim.

Selama bertahun-tahun para ibu muda itu tinggal untuk bekerja keras di Amerika. Setiap bulan mereka mengirimkan uang ke kampung untuk keluarga yang ditinggalkan. Sementara itu, anak-anak mereka terus tumbuh dalam pengasuhan nenek atau bibi sambil terus merindukan ibu mereka.

Banyak yang saat ditinggalkan masih sangat kecil dan hanya mengenal wajah ibu mereka dari foto-foto yang tersisa. Untuk yang sudah lebih besar dan mampu mengingat, mereka mengenang sang ibu lewat bau parfum atau sabun mandi yang biasa dipakainya. Sebagian lagi melepaskan rindu lewat bau tubuh yang tertinggal di bantal, sprei, atau gaun sang ibu. Anak-anak malang ini setiap detik memendam kerinduan akan pertemuan dengan ibu mereka.

Bagi mereka yang tidak kuat menahankan kangennya, akhirnya nekat melakukan perjalanan ke El Norte, menempuh ribuan rintangan dan mara bahaya yang setiap saat mengancam nyawa. Kebanyakan dari mereka pergi dengan naik menumpang kereta api. Bukan sebagai penumpang legal, tetapi menyelundup di atas atapnya dengan segala risikonya. Mereka, para migran ini, menyebut kereta-kereta itu sebagai Al train de la Muerte atau Kereta Api Maut (Tiba-tiba saja ingatan tentang film Garin Nugroho, Daun Di Atas Bantal, menyeruak kembali).

Setiap tahun, diduga sekitar 48.000 anak usia 9-20 tahun melakukan perjalanan maut tersebut, menempuh jarak ribuan kilometer; melintasi perbatasan beberapa negara; menanggung derita dan kesakitan, untuk “sekadar” memenuhi hasrat berjumpa dengan ibu-ibu mereka di Amerika Serikat.

Di sepanjang perjalanan mereka mau tidak mau harus berhadapan dengan berbagai tindak kejahatan, seperti pemukulan, pemerasan, pemerkosaan, perampokan, hingga pembunuhan yang dilakukan para bandit dan anggota gangster. Belum lagi ancaman deportasi dari para polisi perbatasan.

Anak-anak remaja ini sering harus menghabiskan waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu untuk bisa sampai ke tempat ibu mereka. Itu kalau mereka selamat dan beruntung. Bagi yang sial, tak akan pernah tiba di Tanah Impian karena mati di jalan. Untuk yang setengah beruntung, tiba dengan kondisi fisik mengenaskan : anggota tubuh yang tak utuh lagi akibat kecelakaan yang menimpa selama perjalanan. Kebanyakan lantaran jatuh dari kereta atau tergilas roda-rodanya. Atau karena dikeroyok anggota geng.

Semua peristiwa menggetarkan itu ditulis oleh Sonia Nazario dalam buku Enrique’s Journey. Ini bukan novel tetapi true story berdasarkan pengalaman meliput langsung di tempat kejadian. Sonia, sebagai seorang seorang jurnalis, untuk memperoleh informasi yang benar dan akurat, melakukan sendiri perjalanan mengikuti anak-anak itu. Ia memilih seorang anak asal Honduras bernama Enrique.

Umur Enrique baru lima tahun ketika ibunya pergi ke Los Angeles. Selama bertahun-tahun ia hanya bisa mendengar suara Lourdes, ibunya, lewat pesawat telepon milik tetangga. Enrique gemas sebab sang ibu hanya sanggup berjanji untuk pulang pada Hari Natal, tetapi kenyataannya selama 12 tahun tak kunjung kembali.

Akhirnya, Enrique memutuskan untuk menyusul Lourdes ke el norte (utara) dengan menumpang (di atap) kereta api.

Sonia menuturkan kisah perjalanan Enrique ini dengan amat detail, akibatnya ia sering mengulang beberapa kejadian yang mirip. Mungkin maksudnya untuk menyampaikan informasi sebanyak mungkin, tetapi jadinya agak menjemukan. Untuk sebuah karya jurnalistik, buku ini patut diacungi jempol karena telah dengan berani menyajikan data dan mengungkap fakta di sekeliling peristiwa yang menimpa para migran gelap ini.

Untuk semua yang disampaikannya ini, Sonia diganjar hadiah Pulitzer tahun 2003 setelah pada 1998 hanya berhasil menjadi finalis untuk tulisan bersambungnya mengenai anak-anak dari orangtua pecandu narkoba.

Penulisan buku Enrique’s Journey ini awalnya dipicu oleh penuturan Maria del Carmen Ferez, wanita yang bertugas membersihkan apartemen Sonia. Maria berkisah mengenai anak lelakinya yang terpaksa ia tinggalkan di kampung demi mencari sesuap nasi. Dari sini, naluri kewartawanan Sonia tergerak untuk mengetahui lebih jauh lagi fenomena tersebut. Maka, ia pun kemudian benar-benar menguntit anak-anak yang tengah berusaha menemukan kembali ibu mereka itu. Ya..ibu adalah tempat setiap kita selalu ingin kembali.***

endah sulwesi 27/11

ASYIKNYA JADI BACKPACKER

Judul buku: The Naked Traveler
Penulis: Trinity
Penyunting: Imam Risdiyanto
Penerbit: C/Publishing
Cetakan: I, Juni 2007
Tebal: xii + 282 hlm

Lagi, sebuah weblog dibukukan. Kali ini milik seorang cewek lajang yang memakai nick name Trinity, pemilik blog http://www.naked-traveler.blogspot.com/. Di blog yang mulai ditulis sekitar dua tahun lalu itu, Trinity menuangkan cerita perjalanannya keliling Nusantara dan dunia.

Rasanya sudah banyak banget kisah perjalanan dituliskan. Umumnya memuat pengalaman penulisnya mengenai hal-hal unik yang ditemui selama pelancongan. Mulai dari objek-objek wisatanya, makanan khas, sampai dengan tradisi serta kebudayaan. Tak kurang dari Nawal El Saadawi pun menerbitkan catatan perjalanannya.

Bisa jalan-jalan keliling dunia pastilah merupakan impian banyak orang. Termasuk saya. Namun, karena keterbatasan waktu dan biaya, tak semua kita bisa melihat tempat-tempat di luar kampung halaman kita. Ya..jalan-jalan memang hobi yang mahal. Bukan saja butuh dana besar, tetapi juga keberanian. Apa lagi kalau harus terpaksa melakukannya sendirian. Dan itulah yang dilakoni Trinity sebagai seorang backpacker.

Menurut pengakuannya, ia sudah berkeliling hampir semua provinsi di Indonesia serta 33 negara di dunia. Banyak hal "tidak biasa" yang ia jumpai dalam setiap kunjungannya ke tempat-tempat tersebut. Meskipun ia tak mengharamkan mendatangi objek-objek wisata terkenal, namun dalam blog yang kemudian dibukukan ini, ia lebih memilih menuliskan cerita yang "berbeda" (non turistik). Misalnya, pengalamannya dengan toilet-toilet di airport atau kejengkelannya karena merasa "ditipu" oleh sebuah agen perjalanan di Puerto Rico tentang "pohon pisang yang eksotis".

Sebagaimana lazimnya blog, Trinity-pun memperlakukan blog miliknya seperti sebuah buku harian: sangat personal, jujur, santai, apa adanya. Ditulis dengan bahasa sehari-hari yang ringan, segar, dan menghibur. Trinity jeli dalam memilih topik sehingga kita hampir selalu memperoleh informasi baru dari setiap tulisan-tulisannya. Ia memang tidak menyampaikan hal-hal besar, tetapi justru karena kejeliannya memungut hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian itulah yang membuat kisah-kisahnya menarik diikuti. Terlebih bagi mereka yang sama-sama senang jalan. Benar-benar menginspirasi.

Selain berbagi pengalaman, tak lupa Trinity juga memberi tips-tips menarik bila ingin jalan-jalan dengan biaya terjangkau ala backpacker. Ia menginformasikan tempat-tempat makan, transportasi, serta penginapan dengan harga ekonomis (hostel).

Disusun berdasarkan tema, buku ini dibagi menjadi enam bagian. Masing-masing bagian terdiri dari beberapa sub bagian. Oleh karenanya, kita bisa mulai membacanya dari mana saja, tidak perlu urut kacang.

Sayangnya, ada berita kurang sedap menyusul diterbitkannya buku ini. Mengutil informasi dari blog Trinity, dikabarkan bahwa buku ini telah ditarik kembali dari peredaran hanya beberapa hari setelah diterbitkan. Pasalnya, ada tiga tulisan yang dinilai "berbahaya" dan kurang pantas dibaca (karena ada unsur seks yang mungkin oleh penerbitnya dianggap cukup vulgar). Tiga tulisan itu adalah "Planet Bugil", "Don't Touch The (Female) Dancers", dan "Distrik Lampu Merah". Ketika saya konfirmasi ke penerbitnya, mereka membenarkan seraya menambahkan, bahwa buku ini hanya akan direvisi–dengan menggunting ketiga cerita yang saya sebut di atas–untuk kemudian akan diedarkan kembali.

"Planet Bugil" mengisahkan ikhwal pengalaman Trinity berenang di sebuah nude beach di Sydney, Australia. Di pantai ini, seluruh pengunjungnya wajib telanjang bulat alias bugil gil jika mau berenang, berjemur, ataupun sekadar duduk-duduk menikmati panorama. Sementara, "Don't Touch The (Female) Dancers", bercerita soal sebuah objek wisata esek-esek–Strip Club–di Atlanta, AS, dan Semarang, Jawa Tengah. Adapun "Distrik Lampu Merah" adalah tulisan tentang kawasan prostitusi legal di Amsterdam dan Patpong di Bangkok, Thailand.

Sebelum buku ini terbit, Trinity (bukan nama sebenarnya) masih bekerja sebagai staf marketing communication di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Kini, alumni jurusan Komunikasi Universitas Diponegoro ini, tengah melanjutkan studi master in management-nya di Manila, Filipina. Demi kuliahnya ini, Trinity rela hengkang dari tempat kerjanya. Ia mengaku, bahwa sejak kuliah lagi jadi agak sulit traveling, lantaran waktunya habis untuk menyelesaikan tugas-tugas kampusnya.

Endah Sulwesi 23/9