Judul buku: Edgar & Ellen: Rare Beasts
Penulis: Charles Ogden
Penerjemah: T.Dewi Wulansari
Penyunting: Eka Santi Sasono
Penerbit: Matahati
Cetakan: 2, Mei 2007
Tebal: 159 hlm
Anak-anak nakal, itu hal yang biasa. Dalam usia perkembangan mereka, kenakalan-kenakalan itu lebih sebagai ungkapan keingintahuan mereka terhadap hal-hal baru. Bukan karena dorongan sifat kriminal. Atau juga, bisa jadi sebagai bentuk upaya mencari perhatian dari lingkungannya, terutama orang-orang terdekat mereka: orangtua, teman-teman, guru dll. Lazimnya, kenakalan-kenakalan seperti itu tak dianggap berbahaya. Wajar, namanya juga anak-anak, begitu biasanya kita berkomentar.
Namun, masalahnya menjadi serius jika telah mengakibatkan orang lain celaka dan sengsara. Tidak bisa lagi dianggap lucu. Inilah yang saya dapati dalam buku cerita kanak-kanak karya Charles Ogden berjudul Edgar & Ellen: Rare Beasts (Hewan Langka). Kenakalan-kenakalan yang diperbuat oleh kedua kakak-beradik kembar, Edgar dan Ellen, menurut saya, tidak lagi bisa dibilang sesuatu yang lucu. Buat anak-anak usia mereka (12 tahun) kenakalan yang dilakukan sudah agak keterlaluan. Mereka bukan sekadar mengolok-olok teman atau mencuri mangga di halaman tetangga, tetapi sudah sampai menculik hewan-hewan peliharaan milik tetangga–seperti kucing, anjing, kelinci, sampai ular piton sepanjang 4 meter–untuk kemudian dipermak menjadi–mereka menyebutnya–“hewan langka yang eksotis” dan dijual dengan harga setinggi langit.
Terus terang saja, saya sempat kaget membacanya. “Badung banget ya anak-anak ini,” begitu yang tercetus spontan dalam hati saya. Mereka bukan cuma nakal, tapi juga sadis. Saya kutipkan saja ya :
….”Dengan cepat Ellen mengikat Edgar yang berusaha melawan, lalu naik ke atas meja dan beridiri di atas badan Edgar. Dengan jelas Edgar bisa melihat benda yang dipegang kakaknya. Bandul tajam berbentuk setengah lingkaran di salah satu ujung tali emas. Edgar tahu benda itu; dialah yang merancang alat itu untuk memotong bendera-bendera partai politik selama masa kempanye di Nod’s Limbs. Ellen memegang tali bandul di atas adiknya lalu dia ayunkan pelan-pelan. Besi tajam berbentuk bulan sabit itu berayun dengan teratur. Ellen tersenyum sambil sedikit demi sedikit mengulurkan tali, membuat bandul itu turun beberapa sentimeter” (hlm 30)
Saya merinding membacanya. Bagaimana bisa anak duabelas tahun melakukan adegan sadis seperti itu? Entah di mana letak lucunya. Yang ada justru kengerian.
Yah, sebetulnya sih pada akhirnya kita akan merasa iba kepada kedua anak kembar itu. Mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah besar yang suram di Nod’s Limbs. Ayah ibu mereka pergi “keliling dunia” sejak bertahun-tahun silam. Mereka anak-anak malang yang merindukan cinta.
Fakta bahwa mereka hanya tinggal berdua saja, terasa agak janggal. Dari mana mereka memperoleh uang untuk membeli makanan, misalnya. Ada sih Heimertz, orang dewasa yang tinggal di gudang belakang rumah mereka. Tetapi ia diceritakan hanya bertugas mengurus halaman dan membersihkan rumah. Bukan mengurus kedua anak tersebut. Entahlah kalau pada episode berikutnya akan lebih dijelaskan peran Heimertz yang sesungguhnya.
Baiklah kita lanjutkan saja membacanya. Suatu hari, kedua kembar badung ini, merasa bosan. Mereka ingin melakukan kegiatan yang “tidak biasa”. Terinspirasi oleh sebuah tayangan di televisi tentang satwa eksotis, Edgar dan Ellen lantas menyusun rencan untuk membuka toko satwa langka demi mendapatkan uang yang banyak.
Sayangnya, kakak-beradik yang kenakalannya sudah sangat kondang se-Nod’s Limbs itu, dalam melaksanakan rencana mereka menempuh cara-cara yang tidak baik. Mereka menculik sejumlah hewan peliharaan tetangga untuk kemudian didandani dan diberi nama-nama aneh seolah-olah “hewan-hewan eksotis”. Mereka lalu menjualnya di sebuah gerobak yang telah disulap menjadi toko keliling.
Ulah mereka telah mengakibatkan kehebohan. Anak-anak pemilik hewan-hewan itu menangis sepanjang hari karena kehilangan peliharaan kesayangan mereka. Para orang tua jadi sibuk sepanjang hari mencari hewan-hewan yang tiba-tiba lenyap itu.
Sementara itu, Edgar dan Ellen tanpa rasa bersalah sedikitpun malah tertawa-tawa gembira karena telah sukses menjalankan rencana tidak lucu mereka. Dengan tenangnya, mereka berkeliling menjajakan dagangan mereka.
Walaupun pada akhirnya mereka berdua harus menerima hukuman atas kenakalan-kenakalan mereka, tetapi tetap saja bagi saya cerita ini menyisakan senoktah kesan yang tidak enak. Tidak semestinya buku kanak-kanak seperti ini. Kali ini saya tidak merasa terhibur membacanya. Atau jangan-jangan saya yang sudah kehilangan rasa humor?
endah sulwesi 4/9
Penulis: Charles Ogden
Penerjemah: T.Dewi Wulansari
Penyunting: Eka Santi Sasono
Penerbit: Matahati
Cetakan: 2, Mei 2007
Tebal: 159 hlm
Anak-anak nakal, itu hal yang biasa. Dalam usia perkembangan mereka, kenakalan-kenakalan itu lebih sebagai ungkapan keingintahuan mereka terhadap hal-hal baru. Bukan karena dorongan sifat kriminal. Atau juga, bisa jadi sebagai bentuk upaya mencari perhatian dari lingkungannya, terutama orang-orang terdekat mereka: orangtua, teman-teman, guru dll. Lazimnya, kenakalan-kenakalan seperti itu tak dianggap berbahaya. Wajar, namanya juga anak-anak, begitu biasanya kita berkomentar.
Namun, masalahnya menjadi serius jika telah mengakibatkan orang lain celaka dan sengsara. Tidak bisa lagi dianggap lucu. Inilah yang saya dapati dalam buku cerita kanak-kanak karya Charles Ogden berjudul Edgar & Ellen: Rare Beasts (Hewan Langka). Kenakalan-kenakalan yang diperbuat oleh kedua kakak-beradik kembar, Edgar dan Ellen, menurut saya, tidak lagi bisa dibilang sesuatu yang lucu. Buat anak-anak usia mereka (12 tahun) kenakalan yang dilakukan sudah agak keterlaluan. Mereka bukan sekadar mengolok-olok teman atau mencuri mangga di halaman tetangga, tetapi sudah sampai menculik hewan-hewan peliharaan milik tetangga–seperti kucing, anjing, kelinci, sampai ular piton sepanjang 4 meter–untuk kemudian dipermak menjadi–mereka menyebutnya–“hewan langka yang eksotis” dan dijual dengan harga setinggi langit.
Terus terang saja, saya sempat kaget membacanya. “Badung banget ya anak-anak ini,” begitu yang tercetus spontan dalam hati saya. Mereka bukan cuma nakal, tapi juga sadis. Saya kutipkan saja ya :
….”Dengan cepat Ellen mengikat Edgar yang berusaha melawan, lalu naik ke atas meja dan beridiri di atas badan Edgar. Dengan jelas Edgar bisa melihat benda yang dipegang kakaknya. Bandul tajam berbentuk setengah lingkaran di salah satu ujung tali emas. Edgar tahu benda itu; dialah yang merancang alat itu untuk memotong bendera-bendera partai politik selama masa kempanye di Nod’s Limbs. Ellen memegang tali bandul di atas adiknya lalu dia ayunkan pelan-pelan. Besi tajam berbentuk bulan sabit itu berayun dengan teratur. Ellen tersenyum sambil sedikit demi sedikit mengulurkan tali, membuat bandul itu turun beberapa sentimeter” (hlm 30)
Saya merinding membacanya. Bagaimana bisa anak duabelas tahun melakukan adegan sadis seperti itu? Entah di mana letak lucunya. Yang ada justru kengerian.
Yah, sebetulnya sih pada akhirnya kita akan merasa iba kepada kedua anak kembar itu. Mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah besar yang suram di Nod’s Limbs. Ayah ibu mereka pergi “keliling dunia” sejak bertahun-tahun silam. Mereka anak-anak malang yang merindukan cinta.
Fakta bahwa mereka hanya tinggal berdua saja, terasa agak janggal. Dari mana mereka memperoleh uang untuk membeli makanan, misalnya. Ada sih Heimertz, orang dewasa yang tinggal di gudang belakang rumah mereka. Tetapi ia diceritakan hanya bertugas mengurus halaman dan membersihkan rumah. Bukan mengurus kedua anak tersebut. Entahlah kalau pada episode berikutnya akan lebih dijelaskan peran Heimertz yang sesungguhnya.
Baiklah kita lanjutkan saja membacanya. Suatu hari, kedua kembar badung ini, merasa bosan. Mereka ingin melakukan kegiatan yang “tidak biasa”. Terinspirasi oleh sebuah tayangan di televisi tentang satwa eksotis, Edgar dan Ellen lantas menyusun rencan untuk membuka toko satwa langka demi mendapatkan uang yang banyak.
Sayangnya, kakak-beradik yang kenakalannya sudah sangat kondang se-Nod’s Limbs itu, dalam melaksanakan rencana mereka menempuh cara-cara yang tidak baik. Mereka menculik sejumlah hewan peliharaan tetangga untuk kemudian didandani dan diberi nama-nama aneh seolah-olah “hewan-hewan eksotis”. Mereka lalu menjualnya di sebuah gerobak yang telah disulap menjadi toko keliling.
Ulah mereka telah mengakibatkan kehebohan. Anak-anak pemilik hewan-hewan itu menangis sepanjang hari karena kehilangan peliharaan kesayangan mereka. Para orang tua jadi sibuk sepanjang hari mencari hewan-hewan yang tiba-tiba lenyap itu.
Sementara itu, Edgar dan Ellen tanpa rasa bersalah sedikitpun malah tertawa-tawa gembira karena telah sukses menjalankan rencana tidak lucu mereka. Dengan tenangnya, mereka berkeliling menjajakan dagangan mereka.
Walaupun pada akhirnya mereka berdua harus menerima hukuman atas kenakalan-kenakalan mereka, tetapi tetap saja bagi saya cerita ini menyisakan senoktah kesan yang tidak enak. Tidak semestinya buku kanak-kanak seperti ini. Kali ini saya tidak merasa terhibur membacanya. Atau jangan-jangan saya yang sudah kehilangan rasa humor?
endah sulwesi 4/9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar