Judul buku : Orang-Orang Proyek
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I – Januari 2007
Tebal : 220 hlm
Dan ada cerita humor yang sangat populer tentang orang-orang proyek. Suatu saat di akhirat, penghuni neraka dan penghuni surga ingin saling kunjung. Maka penghuni kedua tempt itu sepakat membuat jembatan yang akan menghubungkan wilayah neraka dan wilayah surga. Bagian jembatan di wilayah neraka akan dibangun oleh orang neraka dan sebaliknya. Ternyata penghuni neraka lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya darpada para penghuni surga. Dan ketika dicari sebabnya, ditemukan kenyataan di antara para penghuni neraka banyak mantan orang proyek.
Anekdot di atas saya penggal dari novel lawas Ahmad Tohari, Orang-Orang Proyek, yang diterbitkan kembali oleh PT Gramedia Pustaka Utama (GPU). Sebelumnya pernah diterbitkan oleh Penerbit Jendela dan Penerbit Matahari.
Lelucon yang mengundang senyum itu tentu tak muncul begitu saja . Ia lahir dari kenyataan pahit yang kerap berulang kita temui pada masyarakat kita.
Proyek, kata yang sebelumnya bermakna positif berkenaan dengan pengerjaan pembangunan (misalnya, gedung bertingkat, pembuatan jalan, jembatan, dsb), kini sering dikonotasikan sebagai hal yang negatif serta, kembali mengutip kalimat Tohari dalam buku ini, bahwa kata 'proyek' pun kini memiliki tekanan arti yang khas. Yakni semacam, kegiatan resmi, tapi bisa direkayasa agar tercipta ruang untuk jalan pintas menjadi kaya. Maka apa saja bisa diproyekkan. Mulai dari pembangunan jembatan, pengadaan kotak pemilu, pembagian sembako untuk rakyat miskin, program penanggulangan korban bencana alam, bahkan sidang penyusunan undang-undang pun bisa dijadikan proyek untuk menangguk keuntungan. Proyek acapkali dijadikan sebagai ajang bancakan.
Begitulah yang nyata-nyata terjadi di republik ini yang coba direkam, dipotret, diabadikan Ahmad Tohari dalam novel yang ditulis tahun 2001 ini. Sastrawan kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948 ini, menghadirkan kisah ironis dari sebuah lokasi proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor.
Adalah Insinyur Kabul, pemuda berusia awal 30, sebagai Kepala Pelaksana proyek itu. Mantan aktivis kampus itu kini harus berhadap-hadapan dengan realita di lapangan yang sangat jauh dari idealisme yang selama ini ia yakini dan perjuangkan kebenarannya. Di lapangan, banyak hal yang harus dikompromikan, kendati kerap tak sesuai dengan suara hatinya. Kabul sadar sepenuhnya proyek yang ditanganinya ini sarat korupsi dan manipulasi sebagaimana terjadi pada banyak proyek di tanah air.
Alhasil, tidaklah mengherankan mana kala sebuah gedung sekolah dasar , pasar inpres atau terminal bus yang baru berusia 2 tahun sudah rusak parah lantaran dibuat tidak sesuai dengan ketentuan yang semestinya. Anggaran untuk proyek-proyek tersebut lebih banyak yang diselewengkan. Bahan-bahan bangunan yang dipakai adalah bahan-bahan mutu kelas dua atau tiga, padahal dalam anggaran yang dicantumkan mutu satu. Belum lagi rongrongan dari para "raja kecil" di daerah tempat proyek berlangsung. Para penguasa daerah ini tanpa malu-malu dengan celamitan meminta jatah. Maka. para pelaksana proyek seperti Kabul mesti pandai-pandai mengelola anggaran. Jadilah cuil sana-sini–biasanya dari pengadaan barang bahan–agar proyek bisa tetap jalan dan dapat selesai pada waktunya.
Insinyur Kabul, tak pelak juga menemui masalah yang sama. Ia harus bermuka-muka dengan para perongrong dari partai GLM (Golongan Lestari Menang) selaku penguasa daerah setmpat. Kabul dituntut untuk menyelesaikan pembangunan jembatan Cibawor itu dengan menggunakan barang bahan yang tersedia sebelum HUT GLM, supaya pada hari "H" dapat diresmikan oleh Pimpinan Pusat GLM. Kabul paham betul, mutu barang bahan tersebut tidak layak pakai dan akan berakibat fatal kelak. Tetapi orang-orang GLM tak mau tahu. Mereka tetap berkeras dengan target itu. Mengingat setting cerita ini tahun 1990-an, maka kita tahulah yang siapa yang disindir Ahmad Tohari sebagai GLM.
Batin Kabul berperang antara memenangkan idealismenya atau berkompromi dengan segala penyimpangan itu. Kabul harus menentukan sikap dan ia sadar benar konsekuensi pilihannya nanti. Jika ia menuruti kemauan orang-orang GLM itu, berarti ia telah melacurkan idealismenya serta mengorbankan hak rakyat Cibawor untuk mendapatkan jembatan yang baik. Namun, bila ia menolak, itu berarti ia harus hengkang dari proyek itu dan kehilangan pekerjaannya.
Ahmad Tohari, dengan kepekaan sosialnya yang tinggi, mengurai pergulatan batin seorang idealis di tengah-tengah perangkap proyek yang sarat korupsi dan manipulasi. Meski berlatar masa Orde Baru (1990-an), namun persoalan yang diangkatnya masih sangat relevan dengan kondisi pemerintahan dan masyarakat Indonesia hari ini.
Tak cuma Kabul yang ditampilkan, tetapi juga orang-orang kecil yang mencoba mengais hidup di proyek itu. Ada Mak Sumeh, wanita separuh baya pemilik warung nasi; ada Tante Ana, banci yang selalu hadir setiap hari gajian untuk menghibur para kuli proyek dengan lenggang-lenggoknya yang genit; ada Bejo dan Kang Acep para kuli.
Ada juga orang-orang seperti Basar, Kepala Desa teman Kabul semasa mahasiswa; dan Dalkijo, Pimpinan Proyek; juga Wati, gadis muda anak seorang anggota DPRD yang bekerja di bagian administrasi proyek dan diam-diam memendam cinta pada Kabul.
Walaupun tidak sedalam karya masterpiece-nya, Ronggeng Dukuh Paruk, namun Orang-Orang Proyek tetaplah memperlihatkan keberpihakan Ahmad Tohari kepada wong cilik serta sikap kritisnya kepada para penguasa yang semena-mena. Kegelisahan seorang Ahmad Tohari tercermin melalui karakter Kabul. Konon, seorang sastrawan wajib senantiasa merasa 'gelisah', agar dapat selalu menyampaikan kebenaran.
Endah Sulwesi 15/5
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I – Januari 2007
Tebal : 220 hlm
Dan ada cerita humor yang sangat populer tentang orang-orang proyek. Suatu saat di akhirat, penghuni neraka dan penghuni surga ingin saling kunjung. Maka penghuni kedua tempt itu sepakat membuat jembatan yang akan menghubungkan wilayah neraka dan wilayah surga. Bagian jembatan di wilayah neraka akan dibangun oleh orang neraka dan sebaliknya. Ternyata penghuni neraka lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya darpada para penghuni surga. Dan ketika dicari sebabnya, ditemukan kenyataan di antara para penghuni neraka banyak mantan orang proyek.
Anekdot di atas saya penggal dari novel lawas Ahmad Tohari, Orang-Orang Proyek, yang diterbitkan kembali oleh PT Gramedia Pustaka Utama (GPU). Sebelumnya pernah diterbitkan oleh Penerbit Jendela dan Penerbit Matahari.
Lelucon yang mengundang senyum itu tentu tak muncul begitu saja . Ia lahir dari kenyataan pahit yang kerap berulang kita temui pada masyarakat kita.
Proyek, kata yang sebelumnya bermakna positif berkenaan dengan pengerjaan pembangunan (misalnya, gedung bertingkat, pembuatan jalan, jembatan, dsb), kini sering dikonotasikan sebagai hal yang negatif serta, kembali mengutip kalimat Tohari dalam buku ini, bahwa kata 'proyek' pun kini memiliki tekanan arti yang khas. Yakni semacam, kegiatan resmi, tapi bisa direkayasa agar tercipta ruang untuk jalan pintas menjadi kaya. Maka apa saja bisa diproyekkan. Mulai dari pembangunan jembatan, pengadaan kotak pemilu, pembagian sembako untuk rakyat miskin, program penanggulangan korban bencana alam, bahkan sidang penyusunan undang-undang pun bisa dijadikan proyek untuk menangguk keuntungan. Proyek acapkali dijadikan sebagai ajang bancakan.
Begitulah yang nyata-nyata terjadi di republik ini yang coba direkam, dipotret, diabadikan Ahmad Tohari dalam novel yang ditulis tahun 2001 ini. Sastrawan kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948 ini, menghadirkan kisah ironis dari sebuah lokasi proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor.
Adalah Insinyur Kabul, pemuda berusia awal 30, sebagai Kepala Pelaksana proyek itu. Mantan aktivis kampus itu kini harus berhadap-hadapan dengan realita di lapangan yang sangat jauh dari idealisme yang selama ini ia yakini dan perjuangkan kebenarannya. Di lapangan, banyak hal yang harus dikompromikan, kendati kerap tak sesuai dengan suara hatinya. Kabul sadar sepenuhnya proyek yang ditanganinya ini sarat korupsi dan manipulasi sebagaimana terjadi pada banyak proyek di tanah air.
Alhasil, tidaklah mengherankan mana kala sebuah gedung sekolah dasar , pasar inpres atau terminal bus yang baru berusia 2 tahun sudah rusak parah lantaran dibuat tidak sesuai dengan ketentuan yang semestinya. Anggaran untuk proyek-proyek tersebut lebih banyak yang diselewengkan. Bahan-bahan bangunan yang dipakai adalah bahan-bahan mutu kelas dua atau tiga, padahal dalam anggaran yang dicantumkan mutu satu. Belum lagi rongrongan dari para "raja kecil" di daerah tempat proyek berlangsung. Para penguasa daerah ini tanpa malu-malu dengan celamitan meminta jatah. Maka. para pelaksana proyek seperti Kabul mesti pandai-pandai mengelola anggaran. Jadilah cuil sana-sini–biasanya dari pengadaan barang bahan–agar proyek bisa tetap jalan dan dapat selesai pada waktunya.
Insinyur Kabul, tak pelak juga menemui masalah yang sama. Ia harus bermuka-muka dengan para perongrong dari partai GLM (Golongan Lestari Menang) selaku penguasa daerah setmpat. Kabul dituntut untuk menyelesaikan pembangunan jembatan Cibawor itu dengan menggunakan barang bahan yang tersedia sebelum HUT GLM, supaya pada hari "H" dapat diresmikan oleh Pimpinan Pusat GLM. Kabul paham betul, mutu barang bahan tersebut tidak layak pakai dan akan berakibat fatal kelak. Tetapi orang-orang GLM tak mau tahu. Mereka tetap berkeras dengan target itu. Mengingat setting cerita ini tahun 1990-an, maka kita tahulah yang siapa yang disindir Ahmad Tohari sebagai GLM.
Batin Kabul berperang antara memenangkan idealismenya atau berkompromi dengan segala penyimpangan itu. Kabul harus menentukan sikap dan ia sadar benar konsekuensi pilihannya nanti. Jika ia menuruti kemauan orang-orang GLM itu, berarti ia telah melacurkan idealismenya serta mengorbankan hak rakyat Cibawor untuk mendapatkan jembatan yang baik. Namun, bila ia menolak, itu berarti ia harus hengkang dari proyek itu dan kehilangan pekerjaannya.
Ahmad Tohari, dengan kepekaan sosialnya yang tinggi, mengurai pergulatan batin seorang idealis di tengah-tengah perangkap proyek yang sarat korupsi dan manipulasi. Meski berlatar masa Orde Baru (1990-an), namun persoalan yang diangkatnya masih sangat relevan dengan kondisi pemerintahan dan masyarakat Indonesia hari ini.
Tak cuma Kabul yang ditampilkan, tetapi juga orang-orang kecil yang mencoba mengais hidup di proyek itu. Ada Mak Sumeh, wanita separuh baya pemilik warung nasi; ada Tante Ana, banci yang selalu hadir setiap hari gajian untuk menghibur para kuli proyek dengan lenggang-lenggoknya yang genit; ada Bejo dan Kang Acep para kuli.
Ada juga orang-orang seperti Basar, Kepala Desa teman Kabul semasa mahasiswa; dan Dalkijo, Pimpinan Proyek; juga Wati, gadis muda anak seorang anggota DPRD yang bekerja di bagian administrasi proyek dan diam-diam memendam cinta pada Kabul.
Walaupun tidak sedalam karya masterpiece-nya, Ronggeng Dukuh Paruk, namun Orang-Orang Proyek tetaplah memperlihatkan keberpihakan Ahmad Tohari kepada wong cilik serta sikap kritisnya kepada para penguasa yang semena-mena. Kegelisahan seorang Ahmad Tohari tercermin melalui karakter Kabul. Konon, seorang sastrawan wajib senantiasa merasa 'gelisah', agar dapat selalu menyampaikan kebenaran.
Endah Sulwesi 15/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar