Judul buku: Akeelah
Judul asli: Akeelah And The Bee
Penulis: James W.Ellison (Berdasarkan naskah film karya Doug Atchison)
Penerjemah: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Cetakan: I, 2007
Tebal: 207 hlm.
Lomba mengeja, di negeri kita belum pernah diselenggarakan. Tetapi, di Amerika Serikat lomba tersebut diadakan setiap tahun dalam skala nasional. Pesertanya para siswa sekolah dasar dan menengah, berusia 10-15 tahun. Kedengarannya sepele, namun ternyata mengeja sebuah kata yang sulit dan “asing” tidaklah mudah. Butuh intelegensia tinggi, kemampuan menghapal, dan penguasaan kamus yang baik, bukan sekadar melek huruf.
Akeelah Anderson, seorang bocah perempuan kulit hitam berusia 11 tahun, tinggal di sebuah permukiman miskin di distrik Los Angeles Selatan, ditugaskan sekolahnya untuk mengikuti lomba mengeja tingkat nasional setelah memenangi lomba yang sama di tingkat distrik.
Ini adalah kali pertama Akeelah mengikuti lomba mengeja dan langsung menduduki peringkat ketiga di tingkat wilayah serta berhak maju ke tingkat nasional yang berlangsung di ibukota, Washington D.C. Di sana kelak, Akeelah akan berhadapan dengan para peserta dari seluruh Amerika Serikat, termasuk Dylan Watanabe, runner up tahun lalu.
Novel yang berjudul asli Akeelah And The Bee ini semula adalah naskah yang dibuat untuk film layar lebar oleh Doug Atchinson dan memenangi penghargaan Nicholl Fellowship tahun 2000. Atchinson sekaligus juga bertindak sebagai sutradara. Naskah ini kemudian diadaptasi menjadi novel oleh James W.Ellison, seorang novelis yang telah menerbitkan tujuh buah novel termasuk Finding Forrester (juga dari naskah film). Edisi Indonesianya diterjemahkan oleh penyair gaek Saprdi Djoko Damono. Sayangnya, penyuntingannya tampak kurang sempurna, sebab masih terdapat banyak salah eja dan salah ketik.
Buku Akeelah ini memuat pesan, khususnya bagi anak-anak, agar tak cepat putus asa dalam meraih cita-cita dan kemenangan. Semua keberhasilan tidaklah datang ujug-ujug dari surga, tetapi mesti diperjuangkan sekuat daya dan upaya. Tokoh Akeelah yang berasal dari satu keluarga kulit hitam miskin mewakili kaum urban minoritas di Amerika yang termarjinalkan.
Akeelah dan ketiga orang kakaknya diasuh oleh orangtua tunggal (ibu) sebab sang ayah telah meninggal dunia. Dengan tanggungan 4 orang anak yang tengah meningkat dewasa, tentulah beban hidup menjadi tidak ringan bagi Tania Anderson. Ia harus membanting tulang bekerja sebagai perawat.
Belum lagi beban sosial dan psikologis karena salah seorang anak lelakinya terlibat pergaulan tidak sehat dengan para anggota geng narkoba serta anak perempuannya memiliki bayi di luar nikah. Itu berarti bertambah satu mulut lagi yang harus dihidupinya. Tidak mengherankan jika kemudian ia tak punya banyak waktu untuk hal-hal kecil bagi anak-anaknya, khususnya si bungsu Akeelah. Problema khas masyarakat kelas bawah yang banyak dijumpai bukan saja di Amerika tetapi hampir di setiap negara.
Lewat Akeelah, novel ini ingin menyampaikan, bahwa siapapun bisa jadi pemenang selama ia mau berusaha keras dan berlaku jujur.
Perjalanan Akeelah menuju ‘puncak’ penuh liku-liku dan hambatan. Mulai dari sang ibu yang tidak mendukung karena menurutnya lomba tersebut tidak ada gunanya sampai kepada kesulitan mencari pelatih handal untuk mengajarnya mengeja dengan benar. Dr. Larabee yang sempat bersedia melatihnya, di saat-saat terakhir malah mengundurkan diri.
Namun, Akeelah pantang menyerah. Dia lantas mencari upaya lain agar tetap bisa ikut lomba demi mendiang ayah tercinta yang darinya ia mengenal dan belajar mencintai kata-kata.
Sayang sekali, saya belum sempat menyaksikan filmnya, sehingga tidak bisa membandingkannya di sini dengan bukunya. Tetapi bahwa ia merupakan sebuah cerita yang inspiratif dan membangkitkan motivasi, saya harus sepakat, walaupun temanya klise. Proses Akeelah dari bukan siapa-siapa menjelma seorang juara menjadi teladan yang patut ditiru oleh kita semua, terutama anak-anak. Untuk para orangtua buku/film ini memperlihatkan betapa pentingnya memberikan dukungan, perhatian, dan cinta kepada anak-anak. Anak-anak itu tak bisa tumbuh dan berkembang sendiri. Mereka adalah amanat Tuhan yang kudu dijaga baik-baik dan penuh tanggung jawab.***
Endah sulwesi 12/11
Judul asli: Akeelah And The Bee
Penulis: James W.Ellison (Berdasarkan naskah film karya Doug Atchison)
Penerjemah: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Cetakan: I, 2007
Tebal: 207 hlm.
Lomba mengeja, di negeri kita belum pernah diselenggarakan. Tetapi, di Amerika Serikat lomba tersebut diadakan setiap tahun dalam skala nasional. Pesertanya para siswa sekolah dasar dan menengah, berusia 10-15 tahun. Kedengarannya sepele, namun ternyata mengeja sebuah kata yang sulit dan “asing” tidaklah mudah. Butuh intelegensia tinggi, kemampuan menghapal, dan penguasaan kamus yang baik, bukan sekadar melek huruf.
Akeelah Anderson, seorang bocah perempuan kulit hitam berusia 11 tahun, tinggal di sebuah permukiman miskin di distrik Los Angeles Selatan, ditugaskan sekolahnya untuk mengikuti lomba mengeja tingkat nasional setelah memenangi lomba yang sama di tingkat distrik.
Ini adalah kali pertama Akeelah mengikuti lomba mengeja dan langsung menduduki peringkat ketiga di tingkat wilayah serta berhak maju ke tingkat nasional yang berlangsung di ibukota, Washington D.C. Di sana kelak, Akeelah akan berhadapan dengan para peserta dari seluruh Amerika Serikat, termasuk Dylan Watanabe, runner up tahun lalu.
Novel yang berjudul asli Akeelah And The Bee ini semula adalah naskah yang dibuat untuk film layar lebar oleh Doug Atchinson dan memenangi penghargaan Nicholl Fellowship tahun 2000. Atchinson sekaligus juga bertindak sebagai sutradara. Naskah ini kemudian diadaptasi menjadi novel oleh James W.Ellison, seorang novelis yang telah menerbitkan tujuh buah novel termasuk Finding Forrester (juga dari naskah film). Edisi Indonesianya diterjemahkan oleh penyair gaek Saprdi Djoko Damono. Sayangnya, penyuntingannya tampak kurang sempurna, sebab masih terdapat banyak salah eja dan salah ketik.
Buku Akeelah ini memuat pesan, khususnya bagi anak-anak, agar tak cepat putus asa dalam meraih cita-cita dan kemenangan. Semua keberhasilan tidaklah datang ujug-ujug dari surga, tetapi mesti diperjuangkan sekuat daya dan upaya. Tokoh Akeelah yang berasal dari satu keluarga kulit hitam miskin mewakili kaum urban minoritas di Amerika yang termarjinalkan.
Akeelah dan ketiga orang kakaknya diasuh oleh orangtua tunggal (ibu) sebab sang ayah telah meninggal dunia. Dengan tanggungan 4 orang anak yang tengah meningkat dewasa, tentulah beban hidup menjadi tidak ringan bagi Tania Anderson. Ia harus membanting tulang bekerja sebagai perawat.
Belum lagi beban sosial dan psikologis karena salah seorang anak lelakinya terlibat pergaulan tidak sehat dengan para anggota geng narkoba serta anak perempuannya memiliki bayi di luar nikah. Itu berarti bertambah satu mulut lagi yang harus dihidupinya. Tidak mengherankan jika kemudian ia tak punya banyak waktu untuk hal-hal kecil bagi anak-anaknya, khususnya si bungsu Akeelah. Problema khas masyarakat kelas bawah yang banyak dijumpai bukan saja di Amerika tetapi hampir di setiap negara.
Lewat Akeelah, novel ini ingin menyampaikan, bahwa siapapun bisa jadi pemenang selama ia mau berusaha keras dan berlaku jujur.
Perjalanan Akeelah menuju ‘puncak’ penuh liku-liku dan hambatan. Mulai dari sang ibu yang tidak mendukung karena menurutnya lomba tersebut tidak ada gunanya sampai kepada kesulitan mencari pelatih handal untuk mengajarnya mengeja dengan benar. Dr. Larabee yang sempat bersedia melatihnya, di saat-saat terakhir malah mengundurkan diri.
Namun, Akeelah pantang menyerah. Dia lantas mencari upaya lain agar tetap bisa ikut lomba demi mendiang ayah tercinta yang darinya ia mengenal dan belajar mencintai kata-kata.
Sayang sekali, saya belum sempat menyaksikan filmnya, sehingga tidak bisa membandingkannya di sini dengan bukunya. Tetapi bahwa ia merupakan sebuah cerita yang inspiratif dan membangkitkan motivasi, saya harus sepakat, walaupun temanya klise. Proses Akeelah dari bukan siapa-siapa menjelma seorang juara menjadi teladan yang patut ditiru oleh kita semua, terutama anak-anak. Untuk para orangtua buku/film ini memperlihatkan betapa pentingnya memberikan dukungan, perhatian, dan cinta kepada anak-anak. Anak-anak itu tak bisa tumbuh dan berkembang sendiri. Mereka adalah amanat Tuhan yang kudu dijaga baik-baik dan penuh tanggung jawab.***
Endah sulwesi 12/11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar