Sabtu, 24 Mei 2008

Horeluya


Judul buku: Horeluya
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: April 2008
Tebal: 236 hlm.

Rasanya sudah lama sekali saya tak membaca karya-karya Arswendo, penulis yang saya kenal sejak dekade 80-an ini. Boleh dibilang saya adalah penggemar mantan pemimpin redaksi tabloid Monitor ini. Saya mengikuti karya-karyanya, terutama fiksi, sejak cerita serial Imung dan Keluarga Cemara yang rutin terbit di majalah remaja Hai, cerita-cerita bersambungnya di Kompas yang kemudian dinovelkan (Opera Jakarta dan Opera Bulutangkis dengan memakai nama samaran Titi Nginung) sampai novel-novelnya yang lain (terakhir yang saya baca berjudul Canting).

Saya menyukainya sebab kisah-kisah yang digarapnya hampir selalu bertema realis, ihwal kehidupan “orang-orang kecil” yang berjuang keras menyiasati hidup. Dituturkan dengan bahasa sehari-hari yang sederhana; humor-humor yang miris, serta akhir yang kerap menyentuh. Tokoh-tokoh ceritanya dipungut dari orang-orang biasa dengan persoalan-persoalan yang biasa yang dapat dengan mudah kita jumpai sehari-hari di sekitar kita. Tokoh-tokohnya tak pernah berpretensi sebagai pahlawan tangguh atau manusia sempurna yang tak pernah berbuat salah. Mereka adalah manusia biasa yang sering putus asa dan tak luput dari dosa. Itulah yang membuat karya-karya Arswendo terasa begitu akrab dan membumi.

Demikian pula halnya Horeluya, novel terbaru karya penulis kelahiran Solo, 26 November 1948 ini. Dalam buku setebal hanya 200-an halaman ini, Arswendo sekali lagi kembali menyuguhkan sebuah realita masyarakat bawah yang kudu bertarung mengatasi musibah.

Adalah Lilin, bocah perempuan berumur 5 tahun yang menjadi sentral novel Horeluya. Pasalnya Lilin mengidap penyakit langka berupa kelainan darah yang hanya bisa disembuhkan melalui transfusi dari donor dengan golongan darah yang sejenis. Dari hasil tes laboratorium diduga ada kelainan pada sel darah merahnya. Lilin memiliki golongan darah rhesus negative dan tak mampu memproduksi sel-sel darah putih. Gangguan kesehatan yang paling remehpun akan sangat memperburuk kondisi Lilin, sebab ia tak memiliki kekebalan tubuh. Satu-satunya upaya penyembuhan medis adalah dengan cara transfui dari golongan darah yang sama. Malangnya, jenis darah Lilin tergolong jenis yang langka.

Dokter telah memvonis hidup Lilin tak akan lebih dari 3 bulan jika tidak segera mendapatkan donor. Segala upaya telah dilakukan oleh Eca dan Kokro, orang tua Lilin, demi kesembuhan anak mereka semata wayang.

Saat semua usaha medis menemui kebuntuan, sebagai keluarga Katholik yang taat, Eca dan Kokro, memanjatkan doa-doa, berharap terjadi sebuah keajaiban yang akan mengembalikan Lilin sehat seperti sedia kala. Setiap hari Eca berdoa di sebuah gereja tua di kampung mereka, di depan goa Maria, memohon kesembuhan bagi putrinya tercinta.

Diam-diam ternyata ada wartawan koran daerah yang iseng mengamati kebiasaan Eca berdoa di gereja itu. Adam, demikian nama wartawan tersebut, kemudian memasang foto Eca yang sedang berdoa disertai komentar : “Apakah di zaman yang sudah sangat modern ini masih perlu menyembah patung atau berhala? Apakah patung akan memberikan jawaban, ataukah ikut menangis darah tanda prihatin?”

Penderitaan Eca dan Kokro semakin berat sebab kemudian Kokro diberhentikan dari pekerjaannya di pabrik biskuit karena ulah sentimen pribadi seseorang yang dengki kepadanya. Untungnya usaha bikin spanduk yang pernah dirintisnya bersama Nayarana, adik lelakinya, masih bertahan. Naya yang urakan itu menjadi semacam penyeimbang sekaligus penghibur dalam kisah yang sedih ini. Gaya cuek Naya serta gurauan-gurauannya membuat Horeluya menjadi lebih berjiwa, wajar, dan manusiawi.

Meskipun akhirnya saya harus bilang, bahwa Horeluya bukan cerita yang terlalu istimewa, namun dengan segala “kesederhanaan” yang ditampilkannya, buku ini telah berhasil menyentuh saya, beberapa kali bahkan sempat membuat mata saya berkaca-kaca.

Seperti yang hampir selalu kita temukan dalam karya-karya Arswendo, Horeluya juga berangkat dari kehidupan sebuah keluarga Indonesia, Jawa khususnya, yang guyub, akrab, dan saling mencintai dengan caranya tersendiri. Satu keluarga bukan hanya terdiri dari keluarga batih (ayah, ibu, anak) tetapi juga kadang-kadang ada anggota tambahan seperti adik, kakak, atau paman dan bibi yang mesti kita tampung karena alasan-alasan kekeluargaan. Sistem kekerabatan kita tidak membenarkan kita mengusir atau menutup mata menyaksikan keluarga kita sengsara.

Kecuali itu, Wendo juga memotret realita masyarakat kota kecil yang masih tebal relijiusitasnya; yang ketika berhadap-hadapan dengan musibah senantiasa berpaling kepada Tuhan, pemilik segala kekuatan. Kita masih sangat yakin, bahwa segala bencana dan penderitaan adalah ujian bagi keimanan kita sehingga sudah selayaknya kita menerimanya dengan sabar dan ikhlas. Kita masih percaya doa-doa akan menyelamatkan kita dari marabahaya. Kita mengimani, bahwa saat kita tak sanggup mengatasi persoalan–apa saja, mulai dari rezeki, penyakit, sampai urusan jodoh–sebaiknya kita serahkan saja kepada Tuhan. Sebab, semua berasal dari dan akan kembali kepada Tuhan. Duh, sungguh tidak enak jadi Tuhan kalau begitu karena harus mengurusi banyak masalah manusia.

Begitulah. Dalam buku ini Wendo menunjukkan bagaimana keajaiban bekerja. Bukan dengan sim salabim atau tongkat ajaib peri, tetapi oleh sebuah upaya nyata dan beberapa kebetulan yang logis yang barangkali memang sudah diatur Tuhan (Lah..kok Tuhan lagi akhirnya?).

Saya jadi ingat “teori” mestakung (semesta mendukung) yang pernah dinyatakan oleh Yohannes Surya, ketua Tim Olimpiade Fisika yang telah mengantarkan tim Indonesia menjadi juara dunia oliampiade fisika internasional di Singapura (2006). Mestakung diambil dari konsep sederhana fisika, bahwa ketika sesuatu berada dalam kondisi kritis maka setiap partikel di sekelilingnya akan bekerja serentak dan mencapai titik ideal. Mestakung menempatkan masalah dan rintangan menjadi kondisi kritis yang mendorong kekuatan-kekuatan alam mendukung upaya mewujudkan mimpi. Dalam setiap keadaan kritis, Yohannes yakin, mestakung pasti terjadi, di mana pun dan dalam bidang apapun. Bakan dalam kehidupan pribadi kita.

Dalam kasus Lilin di buku ini, kiranya demikianlah yang terjadi. Masalah percaya atau tidak, terserah Anda.***

Selasa, 20 Mei 2008

Snow


Judul buku : Snow
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, 2008
Tebal: 731 hlm

Orhan Pamuk, pemenang hadiah nobel sastra tahun 2006, menerbitkan novel ini pada 2002. Debutnya sebagai penulis fiksi dimulai dengan novel Karanlik ve Isik (Darkness and Light) yang meraih penghargaan Orhan Kemal Novel Prize (1982). Setelah itu karya-karyanya yang lain deras mengalir dan sebagian besar memperoleh berbagai penghargaan sastra.

Sebagaimana umumnya peraih nobel sastra, karya-karya Pamuk banyak mengangkat tema lokal seputar tradisi dan kehidupan sosial politik di negerinya, Turki. Ia yang terlahir dengan nama lengkap Ferit Orhan Pamuk pada 7 Juni 1952 ini, dikenal aktif memperjuangkan hak-hak kaum Kurdi yang mengalami diskriminasi dari pemerintah Turki. Karena sepak terjangnya ini Pamuk kerap mendapat kecaman dan tekanan politis dari pemerintah negerinya. Bahkan pada awal tahun 2005, ia menerima dakwaan kriminal dari pemerintah Turki atas pernyataannya di majalah Das Magazin (Swiss) tentang tiga puluh ribu orang Kurdi dan sejuta orang Armenia yang terbunuh di Turki.

Namanya sebagai sastrawan kian mendunia setelah ia mengeluarkan novel Benim Adim Kirmizi (My Name is Red) pada tahun 2000. Novel yang berbau-bau roman misteri ini konon telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa, termasuk Indonesia (Namaku Merah Kirmizi, Serambi, 2006). Pada 2003 novel ini meraih hadiah bergengsi IMPAC Dublin Award.

Adapun halnya Snow (2004) adalah novel terakhirnya. Ditulis dalam bahasa aslinya pada 2002 dengan judul Kar (Salju).

Snow–dalam edisi bahasa Indonesia terbitan Serambi mendapat tambahan subjudul "Di Balik Keheningan Salju"–mengusung kisah kudeta politik di sebuah kota kecil bernama Kars. Tokoh utamanya Ka, seorang penyair Turki yang diasingkan ke Jerman karena aktivitas politiknya. Ka yang bernama lengkap Kerim Alakuseglu adalah seorang pria pemalu dan penyendiri. Minat utama lajang berusia 42 tahun ini puisi.

Ia kembali ke tanah airnya, setelah selama dua belas tahun menjalani pengasingan, untuk menghadiri pemakaman ibunya. Seminggu setelah upacara pemakaman tersebut, Ka memutuskan untuk mendatangi Kars, kota kecil dekat Armenia. Alasan utama kunjungannya ke kota kecil itu, meski tak sepenuhnya diakui, adalah untuk bertemu kembali dengan Ipek, teman perempuannya semasa kuliah di Istanbul. Namun, resminya ia datang ke Kars sebagai jurnalis yang ingin meliput pilkada serta kasus bunuh diri para gadis berjilbab di kota itu untuk Republican, sebuah koran nasional yang terbit di Istanbul.

Ka akhirnya memang bertemu dengan Ipek, cinta lama di masa mudanya dahulu. Ipek kini berstatus janda setelah bercerai dari Mahmud, suaminya. Di Kars ini Ka juga bertemu dengan banyak tokoh lainnya, seperti Kadife, adik perempuan Ipek, pemimpin kelompok gadis berjilbab, Sunay, aktor teater, Lazuardi, pemimpin kelompok Islamis fundamentalis, jurnalis, dan tokoh-tokoh muda pengikut Lazuardi.

Pada novel ini Pamuk menjadikan Kars semacam panggung kecil bagi pementasan kisah pergolakan politik yang terjadi di Turki yang melibatkan dua kelompok besar : Islamis dan Sekuler yang disokong penuh oleh militer.

Turki yang pada kisah ini dikuasai oleh pemerintahan sekuler telah mengeluarkan larangan berjilbab bagi para wanita muslim. Di Kars, larangan tersebut mengakibatkan banyak gadis melakukan bunuh diri. Persoalan yang menarik, sebab terdapat kontradiksi di dalamnya : para gadis menentang aturan larangan berjilbab dengan melakukan bunuh diri yang secara hukum Islam tidak dibenarkan (haram).

Pamuk dalam beberapa kesempatan pernah menjelaskan sikapnya ihwal penggunaan jilbab ini dengan mengatakan, bahwa di Turki, perempuan menggunakan jilbab secara tradisional sebagaimana perempuan Italia menggunakannya di masa lalu. Ia menambahkan, bahwa jilbab sama sekali tidak berhubungan dengan fundamentalisme Islam. Karena itulah ia mendukung penggunaan jilbab di universitas-universitas Turki dan tidak perlu menjadikannya sebagai masalah kekuasaan.

Di Kars selama 3 hari Ka mengalami serentetan peristiwa seru yang tak pernah diduganya. Selain kisah asmaranya yang terpaut kembali dengan Ipek, ia juga terpaksa harus menjadi mediator bagi kedua pihak yang berseteru setelah terjadinya kudeta yang dipimpin Sunay, sang aktor teater dengan bantuan militer dalam sebuah gedung pertunjukan. Pamuk menyebutnya "kudeta teatrikal".

Kalau mau jujur, buat saya Snow, seperti lazimnya novel-novel karya peraih nobel, bukanlah jenis novel yang enak dibaca. Untuk menamatkannya saya butuh waktu hampir satu bulan–karena harus menyelinginya berkali-kali dengan bacaan yang lebih segar–serta ketabahan tersendiri. Ceritanya yang relatif datar dan sarat dengan detail–sehingga terkesan bertele-tele–betul-betul menguras kesabaran; dan setelah menyelesaikannya saya merasa sangat kenyang. Jika diibaratkan makanan, Snow adalah menu makan siang yang berat, yang membuat saya kekenyangan dan sendawa berkali-kali.

Pamuk menggarap novel ini dengan rapi. Setiap karakter dan peristiwa dipaparkan secara mendetail. Ia menggali hingga dalam sekali perasaan para tokohnya, khususnya Ka. Alhasil, tokoh-tokohnya hadir sangat kuat, hidup, dan meninggalkan kesan yang mendalam. Kritik-kritik kepada penguasa disampaikan dengan cerdas namun tetap menggigit. Empat bintang deh.***

Rabu, 07 Mei 2008

Nirzona


Judul buku: Nirzona
Penulis: Abidah El Khalieqy
Penerbit: LKiS
Cetakan: I, 2008
Tebal: 332 hlm.

Nanggroe Aceh Darussalam pasca-tsunami menyimpan sejuta cerita. Bencana akbar yang menghentak dunia itu telah merenggut ribuan nyawa penduduk Serambi Mekah, merenggut kecantikan provinsi di ujung utara Pulau Perca itu; memorak-porandakan alam dan kehidupan di sana seolah-olah masih belum cukup derita yang telah ditanggungnya selama ini. Seakan-akan sang bala bencana belum puas menyedot isi perut dan membuat kurus kering bumi kelahiran para Cut yang gagah berani ini.

Adalah Abidah El Khaleiqy, perempuan penulis asal Jombang, seorang yang gelisah resah menyaksikan semua kesengsaraan di Aceh. Ia lalu menumpahkan segala kegeramannya ke dalam novel paling anyar bertajuk Nirzona. Tema berat ihwal kondisi sosial politik di Aceh itu dikemasnya dalam kisah roman anak muda, sarjana kinyis-kinyis barusan lulus, Firdaus dan Sidan.

Berlatar belakang suasana Serambi Mekah pasca-tsunami, kisah cinta Firda-Sidan digelar. Bak panggung pertunjukan teater, kisahnya mengalir lewat dialog-dialog kedua pemeran utamanya ini. Dialog SLJJ Aceh-Yogya melalui sandek (pesan pendek/sms) dan pembicaraan telepon khas anak muda yang sedang kasmaran antara Firda dan Sidan mengisi sebagian besar halaman-halaman novel ini. Melalui dialog-dialog ini Abidah melontarkan kritik-kritiknya terhadap pemerintah pusat Jakarta, LSM, dan oknum-oknum yang mengaku relawan padahal hanya ingin ikut arisan nasional di Aceh; berebut rezeki yang seharusnya menjadi hak para korban tsunami.

Aceh memang tak putus dirundung malang, sejak zaman Kumpeni hingga kemerdekaan, selalu saja dirongrong; kekayaan alamnya diperas, dikuras, demi kepentingan Pusat. Sementara pemilik sahnya hanya kebagian remah-remah. Masih pula ditambah dengan “pendudukan” wilayah oleh militer Orba lewat DOM (Daerah Operasi Militer)-nya. Aceh dibuat menangis dan berdarah-darah sepanjang sejarahnya. Puncaknya adalah malapetaka besar tsunami.

Jika hendak menengok karya Abidah terdahulu yang memenangi sayembara penulisan novel DKJ, Geni Jora, Nirzona jadi tampak cair, kendati persoalan yang dikedepankan jauh lebih besar. Namun karena Abidah membungkusnya dalam kisah roman Firda-Sidan, tema “berat” itu berhasil disuguhkan dengan ringan dan liris. Ya, liris, salah satu hal yang juga cukup menonjol dalam novel ini. Yuk kita tengok contohnya :

Jikapun hanya mimpi jadi rumah berteduh, tak mengapa. Setidaknya ada tabir rahasia di wajah berdua. Tempat menata rindu mengasah senjata, dari keping mahaduka. Firdaus beranjak sofa menatap jam berdentang di ubun-ubun sunyi, 12 kali. Malam telah pergi dan pagi menyapa semilir di kisi-kisi jendela, meruap subuh dalam bayangan fajar baru (hlm.143)

Kita akan banyak menjumpai deretan kalimat liris puitis seperti itu. Hal serupa yang juga terdapat dalam Geni Jora meski dalam kadar yang lebih sedikit. Sekilas, gaya penulisan Abidah ini sempat mengingatkan saya pada mendiang Romo Mangun.

Firda dan Sidan yang menjadi nafas Nirzona adalah sepasang kekasih yang lantaran tsunami mesti terpisah jarak. Sidan harus kembali ke kampung halamannya di Aceh setelah gempa raksasa mengguncang dan menewaskan ayah ibunya. Sidan yang pada dasarnya berjiwa pemberontak harus meninggalkan Yogyakarta, tanah kelahiran keduanya, tempat ia menimba ilmu dan menemukan cinta pada seorang gadis cerdas teman kuliahnya, Firdaus.

Hubungan asmara “Laila dan Majnun” itu pun dilanjutkan via sms, telepon, dan email. Tak ada hari tanpa kirim-kiriman pesan dari keduanya. Pesan-pesan unik antara dua insan muda aktivis pemberontak yang sedang dimabuk cinta. Sidan yang asli Aceh serta Firda gadis berkerudung menggambarkan dari mana keduanya berasal (Islam), sehingga tak heranlah jika dalam taburan sms-sms itu mereka sering menggunakan kata-kata dan idiom dalam bahasa Arab, salah satu bahasa asing yang sangat akrab dengan penulisnya sebagai jebolan pesantren.

Firdaus dan Sidan kudu tahan menghadapi cobaan, terutama gelombang rindu yang menerpa-nerpa keduanya yang meminta untuk segera dituntaskan. Halangan perjumpaan itu bukan semata-mata jarak geografis Aceh-Yogya yang tak mampu diterabas, tetapi lebih karena Sidan merasa berkewajiban untuk tetap berada di tanah kelahirannya. Ia yang menjadi korban sekaligus juga harus berperan sebagai relawan bagi orang-orang di sana. Sidan tak akan sampai hati dan pasti malu hati jika hanya berdiam diri atau meninggalkan negeri hanya demi kepentingan pribadi, demi Firda sang putri.

Untuk itulah dia memohon agar sang kekasih bersabar diri hingga tiba hari ia akan meminang sang putri. Firdaus sangat mengerti, maka ia pun rela menanti. Baginya, tak ada lagi lelaki kecuali Sidan si romantikus sejati. Firda percaya Sidan akan selalu setia dan tak akan ingkar janji.

Maka, jadilah Nirzona novel kritik sosial berbalut kisah cinta atau (bisa juga) novel cinta berlatar belakang kritik sosial. Terserah Anda saja untuk memaknainya. ***