Senin, 23 Maret 2009

Breakfast at Tiffany's


Judul buku: Breakfast at Tiffany’s
Penulis: Truman Capote
Penerjemah: Berliani m. Nugrahani
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, 2009
Tebal: 163 hlm

Biasanya, “peraturan”-ku adalah: baca bukunya dulu baru kemudian menonton filmnya, karena jika sebaliknya, maka imajinasiku jadi terbatas. Aku akan terkungkung oleh ingatan kepada filmnya selama membaca bukunya. Dan itu sebuah situasi yang sangat tidak nikmat dalam membaca buku.

Namun, sayangnya aku tidak selalu bisa mematuhi peraturanku sendiri itu. Banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satunya misalnya lantaran buku terjemahannya terbit lama setelah filmnya dibuat. Ya, sebenarnya itu karena aku yang malas baca buku versi Inggrisnya. Habis mahal dan belum tentu ada di Indonesia (Alasan saja, padahal sebab utamanya adalah kemampuan bahasa Inggrisku yang minus :D)

Maka, ketika suatu hari aku memperoleh kesempatan nonton film Breakfast at Tiffany’s yang legendaris itu, tak kusia-siakan, walaupun aku belum membaca novelnya. Novel Truman Capote yang terbit pertama kali pada 1958 ini, edisi bahasa Indonesianya baru terbit awal 2009. Filmnya dibuat tahun 1961 dengan bintang utamanya si jelita Audrey Hepburn. Malalui film ini, Audrey Hepburn telah sukses menjadi salah satu ikon Hollywood. Ia akan selalu dikenang lewat perannya sebagai Holly Golightly ini. Beruntunglah ia, sebab awalnya Capote ingin lakon tersebut dimainkan oleh Marilyn Monroe.

Maka, karena aku telah melanggar peraturan, terjadilah hal yang telah kusebutkan di atas. Imajinasiku terpenjara oleh filmnya. Sepanjang membaca bukunya, mau tak mau aku membayangkan sosok Holly Golightly seperti Audrey Hepburn itu. Celakanya lagi, cerita di buku tidak sama dengan yang di film. Banyak banget bedanya. Dan apa boleh buat, aku harus mengatakan, aku lebih bisa menikmati filmnya.

Plot di film lebih disederhanakan. Karakter-karakternya juga tidak serumit dan sebanyak di buku. Pendek kata, banyak terjadi penyimpangan di filmnya yang konon telah membuat Capote kecewa berat.

Lalu, mana yang lebih bagus? Hmm…dua-duanya bagus. Namun, karena keduanya merupakan media yang berbeda, tentu saja masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Pada novel, peluang untuk menyajikan detail lebih terbuka. Juga kesempatan untuk menggali karakter tokoh-tokohnya lebih memungkinkan. Sementara film memiliki kelebihan untuk bisa menghadirkan cerita dan tokoh-tokohnya menjadi hidup dalam gambar yang bergerak. Apalagi jika ditingkahi oleh ilustrasi musik dan efek visual yang bagus, maka akan terjadi apa yang disebut: menghidupkan buku.Bukan mustahil akan lebih keren dari bukunya. Contohnya, The Lord of the Rings (Peter Jackson).

Karakter utama kisah ini adalah Holly Golightly. Seorang wanita muda yang memiliki masa lalu suram di sebuah desa kecil di Texas. Suatu hari ia kabur dari rumahnya dan bertualang sebagai wanita penghibur di New York. Bermodalkan parasnya nan rupawan, dengan mudah Holly memperoleh uang untuk mengongkosi gaya hidupnya sebagai wanita kelas atas. Kecantikannya memungkinkan ia segera diterima oleh kalangan atas New York. Ia mengencani banyak pria dari berbagai kalangan. Mulai dari selebriti Hollywood, pengusaha, hingga politisi. Konon, Holly merupakan karakter fiktif favorit penulisnya. Bisa dimengerti, sebab kekuatan buku ini memang ada pada pengkarakteran Holly yang istimewa. Kompleks. Jika kita harus mengingat novel atau filmnya, maka yang pertama kita sebutkan adalah Holly Golightly.

Seting cerita adalah New York tahun 40-an, masa berkecamuknya Perang Dunia II. Kisahnya disampaikan melalui penuturan tokoh aku yang dipanggil Fred, kakak lelaki Holly (di film bernama Paul Varjak), seorang pria penulis yang jatuh cinta pada Holly. Sepertinya, novel ini merupakan gambaran masyarakat elit New York tahun 1940-an yang hidup serba-glamour, setiap malam berpesta, minum-minum, makan enak di restoran mewah, berbusana mahal dari rumah mode terkenal lengkap dengan perhiasannya. Sebuah kehidupan yang dilakoni oleh Truman Capote selaku pesohor Hollywood. Karena itulah ia mampu menggambarkannya dengan baik.

Jika aku boleh menyarankan, lebih baik baca novelnya dulu sebelum menonton filmnya.***

Rabu, 11 Maret 2009

Inkheart


Judul buku: Inkheart
Judul asli: Tintenherz
Penulis: Cornelia Funke
Penerjemah: Dinyah Latuconsina
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Januari 2009
Tebal: 536 hlm

Inkheart merupakan buku pertama dari sebuah rangkaian Trilogi Inkworld karya penulis Jerman, Cornelia Funke. Inkheart adalah buku kedua Funke yang saya baca setelah Pangeran Pencuri. Keduanya sudah difilmkan.

Berbeda dengan Pangeran Pencuri yang mengangkat cerita realis, Inkheart lebih cenderung bergenre fantasi. Persisnya, cerita yang mengawinkan dunia nyata dengan dongeng. Mungkin sudah biasa ya tema semacam ini. Sebut saja Harry Potter sebagai contoh mutakhir. Tetapi, dalam Inkheart nyaris tak ada kekuatan sihir. Kalaupun ada itu mungkin yang disebut sihir kata-kata. Mantra? O, bukan! Ini bahkan lebih dahsyat dari mantra para penyihir karena mampu menghadirkan tokoh-tokoh dalam buku ke dunia nyata.

Pembuat keajaiban itu adalah Mortimer, seorang “dokter” buku. Mo dan anaknya Meggie adalah orang-orang yang sangat mencintai buku. Pekerjaan Mo sebagai tukang reparasi buku–seperti memperbaiki sampul atau halaman-halaman buku yang terlepas–telah memungkinkannya bertemu dengan banyak kolektor buku. Salah satunya adalah Elinor, bibi dari istrinya yang menghilang 9 tahun lalu.

Sembilan tahun yang lalu, saat Meggie masih berumur 3 tahun, sebuah peristiwa ajaib terjadi di rumah mereka; rumah mungil dengan ratusan buku di dalamnya. Mo dikejutkan oleh kemunculan tiga sosok asing yang keluar dari dalam buku Tintenherz yang tengah dibacanya: Capricorn, Basta, dan Staubfinger serta menghilangnya Teresa, istri Mo, masuk ke dalam buku tersebut.

Sejak itu kehidupan Mo–kemudian dijuluki si Lidah Ajaib–dan Meggie tidak sama lagi. Mereka terus diburu oleh ketiga orang tersebut. Untuk menghindari mereka, Mo terpaksa harus menempuh hidup nomaden, berpindah dari satu kota ke kota lain. Hingga suatu ketika mereka tiba di rumah Elinor dan kembali mengalami petualangan yang menegangkan.

Buku ini menjadi memukau terutama lantaran tokoh-tokohnya adalah para pencinta buku yang gila-gilaan. Mo misalnya. Ia lebih rela membelanjakan uangnya untuk buku-buku ketimbang memperbaiki rumahnya yang sempit itu. Ia merawat buku-buku seperti merawat benda pusaka. Kegilaannya menurun pada Meggie, putri satu-satunya. Ke mana pun mereka pergi, benda yang tidak boleh ketinggalan adalah buku-buku.

Namun, tak ada yang melebihi kegilaan Elinor. Perempuan yang melajang itu mengabdikan seluruh hidupnya untuk buku-buku. Ia akan mengupayakan segala macam cara demi mendapatkan sebuah buku yang diinginkannya. Katanya, “Semua kolektor buku itu perampas dan pemburu”. Semua kamar di rumahnya yang besar, nyaris terisi oleh buku-buku dari segala penjuru dunia. Ia menjaga dan mencintai buku-buku itu seperti anak kandungnya sendiri. Alhasil, Elinor telah memikat hati saya dan menjadikannya tokoh favorit dalam buku ini.

Lihat saja bagaimana ia memperlakukan buku-bukunya yang sangat berharga dan ia tidak akan berpikir dua kali untuk menembakmu jika kamu berani menyentuhnya. Elinor juga rela bergelap-gelap di dalam rumahnya hanya karena lebih suka memakai uangnya untuk membeli buku ketimbang membayar tagihan listrik.

Wanita ini memang nyentrik dan tindakannya seringkali ekstrem. Namun, ia seorang yang sangat rasional dan kadang-kadang bisa arief dan bijaksana seperti saat mengucapkan, “Di tempat buku dibakar, di sana manusia pun akan segera hangus binasa.” (hlm.174)

Barangkali buat kamu yang menyukai kisah-kisah fantasi dan petualangan, bagian petualangannya itu yang paling menarik. Tetapi, buat saya, karakter-karakter para kutu buku ini jauh lebih menawan. Bukan mustahil, tokoh-tokoh rekaan ini adalah gambaran penulisnya yang juga seorang kutu buku (ia mengutip kalimat-kalimat indah dari buku-buku keren yang dibacanya di setiap bab buku ini. Saya paling suka yang ini: "Untukku, si miskin - perpustakaanku cukuplah sebagai harta" - Shakespeare, The Tempest, hlm. 282).

Sesungguhnyalah, Inkheart merupakan sebuah buku tentang buku. Tentang kecintaan terhadap buku. Tentang keajaiban kata-kata pada lembar-lembar kertas yang menghidupkan cerita dan memberi ruh, nyawa bagi tokoh-tokohnya. Rasanya Funke ingin menyampaikan pesan, bahwa cerita yang baik adalah cerita yang hidup; yang membuat pembacanya seolah-olah masuk ke dalamnya dan bertemu dengan tokoh-tokohnya. Ah, dalam hal ini, tampaknya saya harus sepakat.

Kelanjutan Inkheart adalah Inkspell dan Inkdeath. Mudah-mudahan segera terbit.***

Kamis, 05 Maret 2009

Sweetness in the Belly



Judul buku: Lily: Pencarian Cinta Seorang Gadis Eropa di Etiopia
Judul asli: Sweetness in the Belly
Penulis: Camilla Gibb
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2008
Tebal: 500 hlm
.

Nama Etiopia pernah sangat terkenal pada tahun 1980 hingga 1990-an. Hampir setiap malam, layar televisi kita menampilkan gambar-gambar mengenaskan tentang situasi di negeri tersebut yang dilanda kelaparan berkepanjangan akibat kekeringan dan juga perang saudara.

Di negeri dengan sejarah yang panjang ini pernah memerintah seorang kaisar, raja di raja, dengan kekuasaan bagaikan dewa, Haile Selassie. Ia juga sangat dipuja oleh kaum penganut ‘agama’ Rastafaria. Nama Rastafari diambil dari nama kecil Haile Selassie, Ras Tafari, sebelum menjadi penguasa Etiopia. Kaum Rastafarian inilah yang kemudian melahirkan aliran musik reggae. Pada tahun 1974, Haile Selassie digulingkan dari takhtanya, digantikan oleh sebuah pemerintahan Sosialis.

Negeri dengan populasi 40% golongan muslim ini sangat percaya pada para wali. Setiap benda dipercaya memiliki wali sendiri. Secara bergurau dikatakan, bahkan kutil pun ada walinya. Mereka juga kerap melangsungkan ritual agama yang bercampur tradisi di makam-makam para wali tersebut. Dari kenyataan ini tergambarlah sesungguhnya penduduk Ethiopia amat relijius sekaligus juga meyakini hal-hal mistis. Kalau di kita barangkali bisa disejajarkan dengan kejawen.

Melalui kaca mata seorang novelis Kanada, Camilla Gibb, yang juga adalah master antropologi sosial, novel berjudul asli Sweetness in the Belly ini memaparkan wajah Etiopia pada kurun waktu 1970 hingga 1990-an. Dengan tokoh seorang wanita muda kelahiran Inggris, Lily, Camilla telah mengawetkan sepotong catatan sejarah negeri yang pernah mengilhami penyanyi balada Iwan Fals menciptakan sebuah lagunya yang terkenal: “Ethiopia”.

Meskipun Lily adalah seorang farenji, kulit putih, ras yang sering dianggap lebih unggul dari kulit berwarna, namun Gibb tidak menampilkannya sebagai karakter yang serbapintar dan serbatahu. Gibb cukup bisa mengambil jarak dengan tokoh utamanya itu sehingga tidak terjerumus menjadikan dirinya sebagai Lily. Keterangan-keterangan ihwal kondisi alam, geografi, sosial politik, dan budaya setempat, tersampaikan melalui tokoh-tokoh lokalnya, seperti Aziz, seorang dokter muda yang bersama teman-teman mahasiswanya diam-diam melakukan gerakan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Dalam setiap pertemuan dengan kawan-kawannya itu, Aziz mengajak Lily. Dari sinilah Lily mengeruk banyak informasi tentang negeri yang menjadi tanah air keduanya itu.

Agar cerita tak menjadi garing, tentu harus ada kisah cinta di antara para tokohnya, bukan? Maka, dibuatlah kisah asmara antara Lily dan Aziz.



Novel ini ditulis Gibb sebagai hasil studi dan penelitiannya tentang Islam di Mesir serta pengalamannya tinggal selama 1,5 tahun bersama satu keluarga muslim Etiopia di Harar sekitar tahun 1994-1995. Di negara ini, Gibb menyaksikan dengan mata kepala sendiri berbagai praktik budaya lokal yang sering membahayakan dan merugikan perempuan.

Umpamanya, upacara absuma, khitan bagi anak-anak perempuan yang kerap kali menelan korban karena dilakukan secara tradisional oleh seorang dukun. Biasanya penyebab melayangnya nyawa anak-anak itu akibat kehabisan darah. Sampai saat ini, tradisi tersebut masih terus berlangsung.

Camilla juga menemukan fakta masih banyaknya praktik poligami di kalangan kelompok muslim. Motivasi para perempuan yang bersedia dikawani lelaki beristri terutama karena faktor ekonomi selain alasan agama dan adat yang diyakininya.

Namun, ia juga tak memungkiri bahwa banyak pula hal unik dan indah yang ia temukan di tengah-tengah tanah yang kerontang itu. Misalnya saja, kebiasaan penduduk mengunyah daun qat atau acara minum buna (kopi khas Etiopia) sembari kumpul-kumpul dan bergosip.

Sweetness in the Belly – entah kenapa judul yang keren ini harus diubah menjadi judul yang panjang lebar, Lily: Pencarian Cinta Seorang Gadis Eropa di Ethiopia – akhirnya bagi saya menjadi sebuah bacaan fiksi yang cukup mencerahkan. Darinya, saya memperoleh “tenpa sengaja” sekeping pengetahuan adat, budaya, dan sejarah Etiopia. Andai harus dengan sengaja membaca buku tentang Etiopia, barangkali saya akan pikir-pikir dulu. Ya, agaknya demikianlah “keajaiban” sebuah karya fiksi.***