Judul buku: Perempuan Terluka
Judul asli: Typhoon
Penulis: Qaisra Shahraz
Penerjemah: Atta Verin
Penyunting: Budhyastuti Rizki H.
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: 406 hlm
Naghmana tersentak di subuh hari itu. Sepucuk telegram berada di genggamannya. Wajah cantiknya seketika memucat mayat. Telegram itu datang dari Siraj Din di Chiragpur, sebuah desa kecil yang tak akan pernah lagi sudi diinjaknya setelah “kiamat” yang menimpa dirinya dua puluh tahun lalu di sana.
Telegram itu membawa berita tentang Siraj Din, lelaki penguasa Chiragpur, yang tengah sekarat. Di atas ranjang mewahnya, Siraj Din tergolek lemah menjelang ajal. Dari celah bibir pucatnya selalu tergumam nama Naghmana. Ya..puluhan tahun silam, kedua insan ini pernah terlibat dalam sebuah perkara yang diputuskan lewat kacheri, pengadilan terbuka yang telah menjadi tradisi di Chiragpur sejak zaman para leluhur.
Kira-kira duapuluhan tahun yang lalu, kedamaian Chiragpur sempat terusik oleh sebuah peristiwa memalukan yang melibatkan warganya. Pasalnya, seorang wanita cantik dari kota kedapatan berpelukan mesra dengan salah seorang pria beristri di desa itu. Wanita molek itu adalah Naghmana, dan sang lelaki adalah Haroon. Saksi mata yang melihat seluruh kejadian tersebut adalah Gulshan, istri Haroon. Sekejap saja, desa yang semula tentram itu, menjadi gempar laksana diamuk taufan badai. Kedua pelaku yang diduga telah melakukan perzinahan itu kemudian digiring ramai-ramai ke balai desa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan seluruh warga di depan kacheri yang dipimpin oleh tetua desa, Siraj Din.
Tanpa memberi kesempatan bagi tertuduh untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, kacheri segera digelar. Pada pengadilan itu barulah terurai jelas segalanya, namun semua telah kadung. Naghmana dan Haroon harus menerima “hukuman” yang menurut sang hakim paling adil, walaupun kelak keputusan itu menjadi seonggok penyesalan yang terus menghantui hidup Siraj Din hingga di tepian maut. Pasangan tertuduh yang ternyata adalah suami-istri sah ini dipaksa bercerai sebab Haroon telah menikah lagi dengan Gulshan. Dengan perasaan terluka, Naghmana harus merelakan suaminya untuk Gulshan. Sejarah pernikahan singkat dirinya dengan Haroon enam tahun silam, kudu berakhir sampai di situ.
Segenap warga desa terperangah. Mereka turut merasa menyesal telah ramai-ramai ikut mengadili keduanya. Sungguh tak dibenarkan oleh agama mereka, Islam, perceraian yang dipaksakan itu. Adalah dosa besar menceraikan istri dari suaminya tanpa alasan yang jelas. Apa lagi keduanya masih saling mencintai.
Naghmana pun pergi meninggalkan Chiragpur dengan membawa serta keping-keping hatinya yang hancur lebur. Ia bersumpah untuk tak akan pernah kembali lagi ke sana. Selamanya. Hingga tiba telegram itu….
Perempuan Terluka merupakan kelanjutan novel Perempuan Suci. Ditulis oleh pengarang yang sama, Qaisra Shahraz. Masih mengambil latar pedesaan di Chiragpur yang kental dengan tradisi Islam serta budaya leluhur. Suatu tempat yang para perempuannya haram memperlihatkan sehelai rambutpun. Suatu tempat di mana para suami masih menganggap diri mereka tuan bagi para istri.
Dengan cermat, Qaisra menuturkan setiap bagian kisah dalam buku ini tanpa terjebak menjadi bertele-tele. Tidak seperti dalam buku sebelumnya, kali ini Qaisra cenderung lebih taktis, tak berlarat-larat. Daya tariknya masih bertumpu pada eksotisme kehidupan masyarakat desa muslim di Pakistan dengan para perempuannya yang tengah menapak era kebebasan. Sesekali ia menyelundupkan pesan ihwal hak-hak perempuan dan isu kesetaraan jender melalui problem masing-masing tokoh perempuannya. Beberapa perempuan dalam buku ini dihadirkan sebagai korban tindak kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan kaum pria dan masyarakat (patriarki).
Warna lokal yang kental menjadi salah satu kekuatan novel ini selain alurnya yang mengalir, membuat buku ini enak dibaca. Permasalahan dan konflik yang mengemuka memberi sebuah informasi baru bagi pembaca di luar Pakistan mengenai satu tradisi “kuno” di negeri muslim itu yang masih dipraktikkan hingga hari ini, kendati mungkin sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Atau mungkin, bukan tradisi itu yang salah, tetapi masyarakat yang melaksanakannyalah yang telah bersikap keliru dengan mengedepankan syak wasangka ketimbang azas praduga tak bersalah. Akibatnya, orang-orang tak bersalah pun harus jadi korban.
endah sulwesi 12/9
Judul asli: Typhoon
Penulis: Qaisra Shahraz
Penerjemah: Atta Verin
Penyunting: Budhyastuti Rizki H.
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: 406 hlm
Naghmana tersentak di subuh hari itu. Sepucuk telegram berada di genggamannya. Wajah cantiknya seketika memucat mayat. Telegram itu datang dari Siraj Din di Chiragpur, sebuah desa kecil yang tak akan pernah lagi sudi diinjaknya setelah “kiamat” yang menimpa dirinya dua puluh tahun lalu di sana.
Telegram itu membawa berita tentang Siraj Din, lelaki penguasa Chiragpur, yang tengah sekarat. Di atas ranjang mewahnya, Siraj Din tergolek lemah menjelang ajal. Dari celah bibir pucatnya selalu tergumam nama Naghmana. Ya..puluhan tahun silam, kedua insan ini pernah terlibat dalam sebuah perkara yang diputuskan lewat kacheri, pengadilan terbuka yang telah menjadi tradisi di Chiragpur sejak zaman para leluhur.
Kira-kira duapuluhan tahun yang lalu, kedamaian Chiragpur sempat terusik oleh sebuah peristiwa memalukan yang melibatkan warganya. Pasalnya, seorang wanita cantik dari kota kedapatan berpelukan mesra dengan salah seorang pria beristri di desa itu. Wanita molek itu adalah Naghmana, dan sang lelaki adalah Haroon. Saksi mata yang melihat seluruh kejadian tersebut adalah Gulshan, istri Haroon. Sekejap saja, desa yang semula tentram itu, menjadi gempar laksana diamuk taufan badai. Kedua pelaku yang diduga telah melakukan perzinahan itu kemudian digiring ramai-ramai ke balai desa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan seluruh warga di depan kacheri yang dipimpin oleh tetua desa, Siraj Din.
Tanpa memberi kesempatan bagi tertuduh untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, kacheri segera digelar. Pada pengadilan itu barulah terurai jelas segalanya, namun semua telah kadung. Naghmana dan Haroon harus menerima “hukuman” yang menurut sang hakim paling adil, walaupun kelak keputusan itu menjadi seonggok penyesalan yang terus menghantui hidup Siraj Din hingga di tepian maut. Pasangan tertuduh yang ternyata adalah suami-istri sah ini dipaksa bercerai sebab Haroon telah menikah lagi dengan Gulshan. Dengan perasaan terluka, Naghmana harus merelakan suaminya untuk Gulshan. Sejarah pernikahan singkat dirinya dengan Haroon enam tahun silam, kudu berakhir sampai di situ.
Segenap warga desa terperangah. Mereka turut merasa menyesal telah ramai-ramai ikut mengadili keduanya. Sungguh tak dibenarkan oleh agama mereka, Islam, perceraian yang dipaksakan itu. Adalah dosa besar menceraikan istri dari suaminya tanpa alasan yang jelas. Apa lagi keduanya masih saling mencintai.
Naghmana pun pergi meninggalkan Chiragpur dengan membawa serta keping-keping hatinya yang hancur lebur. Ia bersumpah untuk tak akan pernah kembali lagi ke sana. Selamanya. Hingga tiba telegram itu….
Perempuan Terluka merupakan kelanjutan novel Perempuan Suci. Ditulis oleh pengarang yang sama, Qaisra Shahraz. Masih mengambil latar pedesaan di Chiragpur yang kental dengan tradisi Islam serta budaya leluhur. Suatu tempat yang para perempuannya haram memperlihatkan sehelai rambutpun. Suatu tempat di mana para suami masih menganggap diri mereka tuan bagi para istri.
Dengan cermat, Qaisra menuturkan setiap bagian kisah dalam buku ini tanpa terjebak menjadi bertele-tele. Tidak seperti dalam buku sebelumnya, kali ini Qaisra cenderung lebih taktis, tak berlarat-larat. Daya tariknya masih bertumpu pada eksotisme kehidupan masyarakat desa muslim di Pakistan dengan para perempuannya yang tengah menapak era kebebasan. Sesekali ia menyelundupkan pesan ihwal hak-hak perempuan dan isu kesetaraan jender melalui problem masing-masing tokoh perempuannya. Beberapa perempuan dalam buku ini dihadirkan sebagai korban tindak kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan kaum pria dan masyarakat (patriarki).
Warna lokal yang kental menjadi salah satu kekuatan novel ini selain alurnya yang mengalir, membuat buku ini enak dibaca. Permasalahan dan konflik yang mengemuka memberi sebuah informasi baru bagi pembaca di luar Pakistan mengenai satu tradisi “kuno” di negeri muslim itu yang masih dipraktikkan hingga hari ini, kendati mungkin sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Atau mungkin, bukan tradisi itu yang salah, tetapi masyarakat yang melaksanakannyalah yang telah bersikap keliru dengan mengedepankan syak wasangka ketimbang azas praduga tak bersalah. Akibatnya, orang-orang tak bersalah pun harus jadi korban.
endah sulwesi 12/9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar