Senin, 29 Desember 2008

Jack si Pelompat


Judul buku: Jack si Pelompat
Judul asli: Spring-Heeled Jack
Penulis: Philip Pullman
Penerjemah: Yashinta Melati F
Penerbit: PT Gramedia Pustka Utama
Cetakan: I, 2008
Tebal: 128 hlm

Tentu saja pertimbangan pertama saya membaca buku ini karena pengarangnya, Philip Pullman. Saya “jatuh cinta” pada penulis dongeng asal Inggris ini. Tiga bukunya telah saya baca: Putri si Pembuat Kembang Api, Dulu Aku Tikus, dan Si Pembuat Jam. Jack si Pelompat ini menjadi buku keempatnya yang saya baca. Semuanya tipis, hanya berkisar di 100-an halaman saja.

Yang menarik dari keempat buku Pullman itu selain ceritanya yang sederhana sekaligus fantastis adalah juga gambar-gambar ilustrasi yang tertera di setiap halamannya. Gambar-gambar tersebut menjadi bagian yang kocak dari dongengnya yang memukau. Ilustrasi itu berupa gambar hitam putih dan seperti komik memuat juga dialog tokoh-tokohnya.

Jack si Pelompat adalah seorang pahlawan pembela kebenaran dan pembasmi kejahatan yang hidup pada zaman Victoria, zaman sebelum ada Superman dan Batman. Menurut situs Wikipedia, si Jack yang suka melompat ini merupakan salah satu tokoh cerita rakyat Inggris yang sangat terkenal. Pertama kali namanya muncul pada 1837. Rupanya si Jack ini bukan sekadar tokoh dongeng rekaan Pullman. Ia telah lama hidup dalam legenda rakyat Inggris.

Dalam setiap aksinya, Jack memakai kostum seperti setan dan dia melompati atap-atap rumah dengan bantuan per yang dipasang di tumit sepatunya. Ia dikisahkan mampu melompat sangat tinggi.

Jika ada jagoan tentu harus ada penjahat dan harus ada korban yang diselamatkan. Maka, cerita pun bergulir dari sebuah panti asuhan di London. Panti Asuhan Alderman Cawn-Plaster Memorial namanya. Di panti asuhan itu tinggallah tiga bocah bersaudara, Rose, Lily, dan Ned Summers. Mereka menjadi yatim piatu sejak kepergian ayah mereka ke Australia dan ibu mereka meninggal tak lama setelah itu.

Panti asuhan itu dikelola oleh dua orang dewasa yang jahat, Mr Killjoy dan Miss Gasket. Tempat tersebut mungkin tempat paling buruk di dunia di mana selimut, penjaga, dan rasa buburnya sama dingin dan tidak enaknya.

Lantaran tidak tahan lagi, ketiga kakak beradik tersebut pada suatu malam memutuskan minggat dari tempat yang menyeramkan itu. Mereka berniat kabur ke pelabuhan untuk kemudian menumpang kapal yang akan membawa mereka ke Amerika. Oh, tentu saja upaya kabur mereka tidaklah mulus. Mereka harus berhadap-hadapan dulu dengan berbagai kendala, termasuk di antaranya ancaman dari Mack si Pelempar Pisau.

Nah, nah, sudah bisa diduga di sinilah sang jagoan, Jack si Pelompat berperan membela ketiga bersaudara itu. Ia membantu mereka meloloskan diri dari kekejaman Miss Gasket dan temannya, Mr Killjoy. Berhasilkah? Sudah pastilah….:)

Spoiler? Tidak juga, karena umumnya cerita anak-anak adalah tentang kebenaran melawan kebatilan. Pesan moralnya hampir selalu bisa dipastikan: berbuat baiklah selalu agar dirimu selamat. Hitam putih.

Yang keren lagi di samping ilustrasinya adalah juga judul-judul setiap babnya. Pullman mengutip kalimat dari buku-buku yang dibacanya. Misalnya, Bab Satu : “Malam yang gelap dan berangin….” Alexander Dumas, Three Musketeers. Atau Bab Tujuh: “Aku tak berani berhenti untuk beristirahat sejenak…” Tove Johnson, The Expolit of Moominpapa. Yang paling kocak adalah di bab sebelas, ketika Pullman mengutip kata-katanya sendiri: “Sementara itu di panti asuhan…” Philip Pullman, Spring-Heeled Jack.

Pullman sangat mengerti bagaimana memanjakan anak-anak selaku pembaca utamanya. Ia menggunakan bahasa yang mudah dicerna serta plot yang lurus. Tokoh jagoan Jack si Pelompat dihadirkan tidak sebagai superhero yang sakti mandraguna. Ia hanya seorang lelaki baik hati yang suka menolong. Ia tidak bisa terbang bagai Superman atau memiliki mobil keren yang canggih seperti Batman. Ia hanya mengandalkan keberanian dan sepasang per di kedua tumit sepatunya untuk melompat dari atap ke atap. Namun demikian, setiap bandit yang berhadapan dengannya pasti akan berakhir mengenaskan.

Selain Jack, ada lagi tokoh protagonis yang menolong Rose dan adik-adiknya. Mereka berasal dari orang-orang biasa. Jim si kelasi serta kekasihnya, Polly, pelayan di hotel Saveloy. Kedua sejoli ini dengan ringan hati memberikan bantuan untuk menyelamatkan anak-anak malang itu. Satu lagi pesan moral: tak perlu jadi superhero dulu untuk menlong orang lain. Yang dibutuhkan hanya dua hal: keberanian dan kebaikan hati.

Bukan begitu, adik-adik?***

Kamis, 18 Desember 2008

Bookends


Judul buku: Bookends
Penulis: Jane Green
Penerjemah: Utti Setiawati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Oktober 2008
Tebal: 504 halaman

Sepanjang yang bisa aku ingat, aku cinta buku. Bukan Cuma cinta, tapi tergila-gila. Biasanya aku menghabiskan berjam-jam berkelana ke toko-toko buku, lupa waktu, menenggelamkan diri ke dunia lain.

Sejak dulu aku bermimpi memiliki toko buku. Sebenarnya, sejak dulu aku bermimpi memiliki toko buku yang juga merangkap sebagai kafe. Aku membayangkannya sebagai tempat yang akan memikat pengunjung rutin, orang-orang eksentrik yang menarik, yang mau membuatkan cappuccino jika aku butuh bantuan.

Untuk sampai pada dua paragraf di atas, saya harus membaca 84 halaman dulu dari novel chiklit Bookends karya Jane Green ini. Mengapa saya kutip? Sebab, kalimat di paragraf tersebut kok rasanya “gue banget”. Kalimat itu diucapkan oleh Catherine atau Cath, cewek lajang berusia 31 tahun, tokoh utama di buku ini. Cath tak suka berdandan, tak suka pakai rok, doyan makan, dan berhenti memikirkan perkawinan sejak umur 29. Nah..nah…rasanya kok semakin mirip dengan diri saya? Bedanya sedikit saja, dengan rambut Afro-nya yang kriwil-kriwil berantakan, Cath pasti lebih cantik dari saya. Oya, dan saya sedikit lebih tua disbanding gadis Inggris ini.

Seperti Cath, saya pun memiliki impian suatu hari nanti bisa punya toko buku sendiri yang menyatu dengan sebuah kafe. Dalam hal ini Cath lebih beruntung karena ia bisa segera mewujudkan mimpinya dalam usia ke-31, sedangkan saya mungkin masih harus bersabar lebih lama lagi. Masalah saya cuma satu : tidak ada dana. Kalian tentu tahu, membuka sebuah toko buku yang juga merangkap kafe tentu butuh modal tidak sedikit. Kalau saja ada jutawan yang bermurah hati memodali saya, saat itu juga saya akan berhenti dari pekerjaan saya yang sekarang dan sepenuhnya mengurusi toko buku impian saya itu.

Lagi-lagi untuk urusan modal ini, saya harus iri pada Cath yang tidak perlu berpayah-payah mencari modal sebab warisan dari neneknya sudah sangat cukup untuk menjalankan bisnis idamannya tersebut. Adapun untuk masalah kafe, sudah ada sahabatnya yang bersedia berkongsi: Lucy. Lucy adalah istri Josh, sahabat Cath semasa kuliah dulu.

Selain Josh, Cath juga memiliki sahabat yang lain: Si dan Portia. Si seorang gay; sedangkan Portia adalah Miss Perfect yang sukses berkarier sebagai penulis skenario drama sitcom televisi. Lantaran sebuah sebab, Portia sempat dijauhi oleh para sahabatnya itu dan tak pernah berjumpa mereka selama 10 tahun. Mereka baru bertemu lagi saat pembukaan Bookends, nama yang diberikan untuk toko buku Cath itu.

Sudah lama sekali rasanya saya tidak membaca novel-novel chiklit. Bukan apa-apa, hanya malas saja dan lebih memilih novel yang agak serius (uuh, padahal baca chiklit itu asyik juga loh). Alasan utama saya membaca Bookends apalagi kalau bukan karena ceritanya yang sedikit banyak mirip dengan kehidupan saya itu? (ngaku-ngaku deh). Sayangnya, Bookends tak melulu berkicau soal Cath dan toko bukunya, namun justru lebih menekankan kisahnya pada tema persahabatan. Malah ihwal Cath yang disebut sebagai cewek penggila buku nyaris tak pernah diceritakan sedang membaca atau belanja buku. Rada janggal ya?

Tetapi, sebagaimana umumnya chiklit, Bookends cukup menghibur bagi saya. Setidaknya karena karakter Cath yang, seperti saya bilang tadi, agak-agak mirip dengan saya :D. Saya senang membayangkan diri saya adalah Cath yang berkencan dengan James, pria tampan yang bekerja sebagai agen penjualan properti sekaligus pelukis keren. Walaupun saya tak memiliki sahabat dekat seorang gay, namun saya tidak keberatan seandainya ada seorang lelaki homo yang ingin menjalin persahatan dengan saya seperti Si dengan Cath.

Sahabat dekat saya juga tidak seperti Portia yang senang menjadi pusat perhatian. Tapi mungkin saya juga akan berlaku seperti Cath seandainya memiliki sahabat macam Portia yang suka menyakiti orang lain. Apalagi bila orang lain itu adalah sahabat kami sendiri.

Tentu saja menamatkan Bookends tidak memerlukan waktu yang lama. Saya hanya perlu waktu dua hari saja. Sekali lagi, saudara-saudara, dua hari! Pasti karena ditulis dalam rangkaian bahasa yang ringan, ngepop, dan mudah dicerna. Humor-humor segar nan cerdas turut memperlancar saya dengan cepat menamatkannya. Memang menyenangkan membaca chiklit (yang bagus) itu. Tak ubahnya seperti menonton film atau serial komedi romantis ala Friends atau Sex and The City. Karen memang di situlah kekuatan dan daya tarik sebuah karya metropop.

Pada akhirnya, Bookends memang bukan novel yang memuat kisah tentang toko buku. Namun, jika kalian ingin sejenak mereguk kesegaran sebuah cerita cinta dan persahabatan tanpa harus berkerut kening, buku ini bolehlah dijadikan pilihan. Kriuuuuk…..***

Selasa, 16 Desember 2008

The Last Concubine


Judul buku: The Last Concubine
Penulis: Lesley Downer
Penerjemah: Yusliani Zendrato
Penyunting: Nadya Andwiani
Penerbit: Matahati
Cetakan: I, 2008
Tebal: 657 hlm.

Selir
adalah sebuah kata yang lekat dengan kekuasaan sekaligus, mungkin, penderitaan. Kekuasaan karena praktik ini pada zaman dahulu sampai dengan hari ini berlangsung di balik istana raja-raja atau para lelaki penguasa. Penderitaan karena saya hampir yakin seratus persen tak ada selir yang benar-benar merasa bahagia dengan statusnya. Ia akan selalu jadi yang nomor dua atau dua ratus. Hak-haknya sebagai “istri” tidak sama dengan permaisuri (istri pertama). Jika mereka punya anak, hak anak-anaknya pun tidak sama dengan anak-anak dari istri pertama (putra mahkota). Walaupun secara materi segala keperluan mereka dipenuhi namun tempatnya tetap di wilayah “belakang”. Dengan kata lain sesungguhnyalah selir-selir ini berfungsi hanya untuk memenuhi kebutuhan seks “tuannya” dengan imbalan harta.

Praktik perseliran memiliki usia yang cukup purba; berlangsung di seantero dunia, dari Asia hingga Eropa, Amerika, dan Afrika. Umumnya, seperti telah saya sebut di atas, terjadi di kalangan istana (bangsawan). Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh sebab sejarah kerajaan Nusantara telah banyak menuliskannya. Ingat saja misalnya riwayat Kartini atau Rara Mendut.

Kalau mau menyeberang agak jauh, praktik pergundikan itu bisa kita dapati di Cina dan Jepang yang terkenal dengan kekaisarannya. Di dalam kastilnya, konon, para kaisar itu memiliki selir hingga seribuan orang. Terbayang nggak sih bagaimana kaisar menggilir para perempuan peliharaan itu? Bukan mustahil ada selir yang seumur hidupnya mungkin cuma pernah digilir sekali saja. Dan sebaliknya, pasti ada juga satu dua orang yang menjadi selir kesayangan.

Kehidupan para selir ini telah banyak menginspirasi penulis untuk mengguratkannya dalam cerpen, novel, atau film. Salah satunya yang tengah beredar adalah The Last Concubine, novel karya Lesley Downer yang mengambil setting Jepang pada pertengahan 1800-an.

Waktu itu para shogun masih diakui kekuasaannya. Layaknya seorang penguasa yang nyaris menyamai kaisar, para shogun ini di dalam istananya memelihara banyak gundik atau dalam bahasa lebih halus disebut selir yang jumlahnya mencapai ratusan atau bahkan seribuan. Gundik-gundik ini diambil dari berbagai kalangan. Mulai dari putri keluarga sesama bangsawan tinggi, menengah, hingga dari kalangan rakyat jelata. Syaratnya: muda, bertubuh indah serta berparas rupawan.

Maka bukanlah hal yang mengherankan bila usia para selir itu ada yang masih belasan tahun. Menjadi selir seorang shogun adalah impian setiap perempuan pada masa tersebut. Tepatnya, idaman para orang tua yang memiliki anak gadis. Sebab, itu berarti hidup mereka sekeluarga akan terjamin selamanya. Bukan cuma kesejahteraan tetapi juga keselamatan. Dan sudah pasti status sosial mereka pun otomatis meningkat.

Melalui riset yang panjang, Lesley Downer mempersembahkan sebuah kisah seorang perempuan bernama Sachi yang ‘beruntung’ terpilih sebagai selir terakhir shogun penguasa Kastil Edo.

Sachi dipungut oleh Putri Kazu, istri Yang Mulia Shogun, dari sebuah desa kecil yang disinggahi sang putri dalam perlananannya menuju Edo. Saat itu si gadis kampung berumur 11 tahun. Raut wajahnya yang lebih menyerupai wanita ningrat daripada seorang gadis dusun telah memikat hati sang putri hingga beliau berkenan membawanya ke kastil sebagai dayang-dayang dan tinggal di sana bersama 3000 perempuan lainnya.

Di balik dinding kastil itu kehidupan Sachi berubah drastis. Dari seorang gadis desa bermetamorfosa menjadi wanita istana yang segala gerak-gerik, cara bicara, dan tingkah lakunya harus diatur sesuai tata cara istana. Apalagi setelah kemudian dia mendapat anugerah dipilih sang putri sebagai “hadiah” bagi sang shogun sebelum melakukan perjalanan jauh. Tak dinyana, Sachi ternyata menjadi selir terakhir karena sang shogun tewas terserang penyakit di perjalanan.

Menyusul wafatnya sang shogun, terjadi perubahan politik di Jepang. Pemberontakan kaum selatan mengharuskan para penghuni kastil Edo pergi mengungsi menyelamatkan diri. Termasuk Yang Mulia Putri Kazu. Demi menyelamatkan sang putri dari kejaran para pemberontak, Sachi ditugaskan menyamar sebagai Putri Kazu yang melarikan diri. Dalam pelariannya inilah Sachi menemui banyak peristiwa yang kelak membuka tabir rahasia yang selama ini menyelimuti kehidupannya.

Yang menarik dari buku ini adalah kenyataan bahwa kisah para gundik itu merupakan fakta sejarah yang terjadi ratusan tahun lalu. Siapa saja perempuan yang telah masuk ke dalam Kastil Edo, ia terikat seumur hidup mengabdi kepada sang shogun. Baik sebagai istri, selir, atau sekadar pelayan. Bagi mereka dunia hanyalah seluas kastil dan halamannya. Sehari-hari mereka mengerjakan hal rutin seperti berdandan, bermain musik, menulis syair, menghibur sang shogun, berlatih pedang, dan bergosip.

Tak jarang pecah juga konflik terbuka atau terselubung di antara para wanita itu yang timbul sebagai akibat persaingan menjadi yang terbaik, tercantik, terpandai, terpopuler, tersayang. Bukan tak mungkin berkembang pula hubungan cinta sejenis di antara mereka. Bayangkan saja, bagi mereka haram hukumnya menjalin hubungan dengan lelaki. Mereka milik sang shogun sampai akhir hayat.

Novel ini juga menyuguhkan roman cinta agar tak semata-mata memaparkan epik sejarah era Jepang kuno yang bisa jadi akan menjemukan pembacanya. Merupakan tantangan tersendiri menulis sebuah kisah cinta dari suatu masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang cinta yang romantis, yang dalam kamusnya tidak terdapat kosa kata “cinta”, begitu pengakuan Lesley Downer.

Kini Jepang telah menjelma sebuah negeri besar yang modern yang tetap dikepalai seorang kaisar, pemimpin yang dipercaya sebagai keturunan Dewa Matahari. Mungkin tak ada lagi praktik perseliran di sana. Mungkin……***

Minggu, 16 November 2008

Half of A Yellow Sun


Judul buku: Half of A Yellow Sun
Judul asli: Half of A Yellow Sun
Penulis: Chimamanda Ngozi Adichie
Penerjemah: Rika Iffati
Penyunting: Nuraini Mastura
Penerbit: Hikmah
Tebal: 765 hlm.
Cetakan: I, 2008

Sumpah! Sebelum membaca novel ini, saya tidak tahu bahwa ada negara Biafra di peta dunia. Bahkan nama Biafra pun baru pertama kali ini saya dengar. Republik kecil ini terletak di sebelah tenggara Nigeria. Tetapi itu dahulu. Kalau Anda mencarinya di peta bumi sekarang, sampai lebaran monyet pun tak akan bakal Anda temukan tanah air orang-orang Igbo itu. Sebab, Republik Biafra hanya berumur 3 tahun saja (30 Mei 1967 – 15 Januari 1970). Kini, Biafra kembali ke sejarah asalnya, menjadi bagian dari Republik Nigeria.

Seperti Indonesia, Nigeria berdiri di atas banyak suku bangsa (lebih dari 250 kelompok etnik) yang berbeda bahasa, adat istiadat, dan tradisinya. Dari 250, ada tiga kelompok etnik terbesar, yaitu: Hausa di Nigeria Utara, Yaruba di barat daya, serta Igbo di belahan tenggara. Igbo merupakan kelompok mayoritas penduduk Nigeria. Tak heran jika mereka banyak tersebar di seluruh wilayah Nigeria.

Sebagai mayoritas, orang-orang Igbo banyak menempati posisi penting dalam masyarakat, bisnis, maupun pemerintahan. Hal tersebut dimungkinkan karena orang-orang Igbo sejak Nigeria dalam pendudukan Inggris banyak menerima pendidikan Barat yang membuat mereka berbeda dengan kelompok etnik lainnya. Orang-orang Igbo yang terpelajar ini dalam kehidupan sehari-hari bergaya layaknya orang Eropa.

Seiring hengkangnya Inggris pada 1960, Nigeria kemudian mengalami perpecahan etnis, khususnya di antara 3 kelompok besar itu. Nyaris setiap hari terjadi konflik bukan saja anatarsuku tetapi juga antaragama. Puncaknya adalah pada pertengahan 60-an ketika akhirnya pecah perang saudara sebagai akibat pernyataan berdirinya Republik Biafra di bawah pimpinan Kolonel Ojukwu (30 Mei 1967). Konon, perang saudara ini telah menewaskan 1 juta orang (sipil dan militer) serta jutaan lainnya menderita kelaparan di kamp-kamp pengungsian.

Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Yakubu Gowon melarang masuknya bantuan makanan dan obat-obatan dari dunia internasional ke wilayah konflik di Biafra. Alhasil, Biafra mengalami kekalahan total di bawah gempuran tentara Nigeria dan menyatakan takluk pada Januari 1970. Ojukwu minggat ke Pantai Gading meninggalkan jutaan rakyat Igbo dalam penderitaan.

Sejarah pahit perang sipil di Nigeria inilah yang direkam secara cermat dan detail oleh Chimamanda Ngozi Adichie, seorang penulis kelahiran Enugu, Nigeria (15 September 1977) dalam novel dramatik Half of A Yellow Sun. Judul ini diambil dari gambar separuh matahari kuning yang menjadi lambang Republik Biafra selain warna merah hitam hijau bendera mereka.

Kisah berlatar perang saudara yang penuh tragedi itu dituturkan dengan bahasa yang indah dalam kemasan drama menyentuh dengan tokoh utamanya seorang wanita Igbo, Olanna.

Berpusat pada tokoh Olanna, Adichie menguraikan kisahnya yang sarat pesan moral tentang kekejaman perang. Akibat nafsu serakah sekelompok orang yang ingin menjadi penguasa, jutaan rakyat sipil yang tak berdosa menjadi korban. Mereka harus kehilangan harta-benda dan anggota keluarga demi menyokong sebuah konflik perebutan kekuasaan yang konyol. Mereka harus menjadi pengungsi dan kelaparan di tanah airnya sendiri. Anak-anak kehilangan hak mendapat pendidikan dan kesehatan yang layak. Bahkan para remaja prianya harus ikut wajib militer, menjadi tentara anak-anak untuk memenangi perang. Para gadis pun tak luput menjadi korban, melayani nafsu seks para tentara.

Olanna seorang wanita Igbo berpendidikan Barat yang menikah dengan Odenigbo, dosen revolusioner yang sangat idealis; yang meyakini bahwa orang-orang Igbo bisa hidup lebih baik jika memisahkan diri dari Nigeria dan menjadi warga negara Biafra. Keyakinan Odenigbo ini yang kelak menjerumuskan dia dan Olanna ke dalam kubangan penderitaan perang. Mereka mesti rela meninggalkan kehidupan yang nyaman sebagai warga kelas satu di Nnsuka. Melupakan makanan-makanan lezat, brendi, dan anggur terpilih. Menggantinya dengan menu pengungsi yang sangat tidak manusiawi: garri, ikan kering, dan umbi-umbian. Bahkan manakala keadaan kian sulit, mereka terpaksa menyantap tikus, jangkrik, dan cecak panggang.

Olanna memiliki saudara kembar, Kainene, yang secara fisik dan karakter sangat bertolak belakang dengan dirinya. Kainene tidak cantik, cenderung keras sifatnya, lebih pragmatis, dan sangat rasional. Singkatnya, Kainene jauh lebih macho dibandingkan Olanna yang feminin. Oleh sebab itulah, ayah mereka lebih memercayakan bisnis keluarga kepada Kainene, kekasih Richard, seorang jurnalis Inggris yang ikut berjuang bersama rakyat Biafra. Sayangnya, hubungan kedua saudari kembar ini kurang mesra lantaran perbedaan sifat yang sangat mencolok itu. Mereka seperti terlibat dalam sebuah “perang dingin”.

Sementara itu, tokoh Richard selain berperan sebagai kekasih Kainene, ia juga hadir mewakili orang kulit putih yang bersimpati pada perjuangan rakyat Biafra. Ia yang semula hanya berniat melakukan riset tentang belanga bertali untuk bukunya, ternyata jatuh cinta pada rakyat Biafra. Maka, ia lalu menjadi saksi mata bagi beragam kekerasan yang terjadi di sana. Melalui tulisan-tulisannya ia menyiarkan warta dan fakta yang terjadi di daerah konflik. Ia merencanakan kelak bukunya akan terbit dengan judul “Dunia Bungkam Ketika Kami Mati”.



Half of A Yellow Sun tak pelak lagi adalah sebuah novel politik yang menyuarakan protes dan kritik seorang Adichie. Namun, kritik yang disampaikan oleh penulis penerima penghargaan O’Henry (2003) ini bukanlah kritik yang penuh amarah dan caci-maki. Ia cukup jernih dan proporsional dalam melihat persoalan yang ditampilkannya. Dengan bahasa yang lembut memikat, ia justru berhasil menyentuh kesadaran kemanusiaan kita dan menggetarkan nurani.

Di awal novel saya bahkan tidak mengira kalau ini sebuah novel perang yang berdarah-darah, sebab beberapa metafora yang digunakan Adichie lebih cocok untuk sebuah novel cinta romantis. Mari saya cuplikan dua di antaranya:

Bahasa Inggris Tuan seperti musik, tetapi yang didengar Ugwu sekarang dari perempuan ini adalah keajaiban. Inilah bahasa ulung, bahasa yang memukau, jenis bahasa Inggris yang didengar Ugwu dari radio Tuan, meluncur ke luar dengan ketepatan yang rapi. Mengingatkan Ugwu tentang mengiris ubi dengan sebilah pisau yang baru diasah, kesempurnaan yang nyaman dalam setiap irisan (hlm 38).

Ah ya, hampir lupa. Ada satu lagi tokoh yang tidak boleh dilewatkan : Ugwu. Bocah lelaki pelayan setia dan sangat disayang oleh Odenigbo dan Olanna. Ugwu nyaris selalu menjadi saksi setiap peristiwa yang berlangsung di antara para tokoh lainnya. Kadang-kadang, dalam novel ini, Ugwu meminjamkan mata dan telinganya dan berfungsi sebagai “narator”.

Kembali kepada kutipan di atas. Saya rasa rangkaian metafora yang terdapat pada kalimat tersebut menjadi menarik karena memakai perbandingan benda-benda yang akrab dengan pengucapnya, Ugwu, budak pelayan yang sehari-harinya bekerja di wilayah “bumbu dapur”. Akan jadi sangat aneh apabila ungkapan yang dipakai Ugwu barang-barang yang tidak pernah dilihat dalam keterbatasan pengetahuan dan pengalamannya. Satu contoh lagi :

Akan tetapi Olanna benar-benar ada di pintu itu. Dia berjalan mengenakan kain sarung yang diikatkan ke sekeliling dadanya, dan saat wanita itu berjalan, Ugwu membayangkan bahwa Olanna adalah sebutir kacang mete kuning, indah bentuknya dan ranum (hlm. 41).

Sebelum saya akhiri ulasan ini, saya ingin menyampaikan pujian bagi penerjemah buku ini, Rika Iffati. Terjemahan yang bagus, bahkan untuk bagian puisinya yang akan saya tampilkan sebagai penutup tulisan ini :

APAKAH KAU DIAM KETIKA KAMI MATI?

Apakah kau melihat foto-foto tahun enam puluh depalan
Menampilkan anak-anak dengan rambut berangsur memerah;
Bidang-bidang pucat hinggap pada kepala-kepala mungil itu,
Kemudian rontok, seperti dedaunan busuk jatuh ke atas tanah?

Bayangkan anak-anak dengan lengan seperti tusuk gigi,
Dengan bola sepak untu perut dan kulit terbentang tipis.
Itu adalah kwashiorkor – kata yang sulit,
Sebuah kata yang tak cukup jelek, sebuah dosa.

Kau tak perlu membayangkan. Ada foto-foto
Terpampang pada halaman-halaman majalah Life-mu yang mengilat itu
Apakah kau melihatnya? Apakah kau merasa iba sesaat?
Lantas berbalik untuk memeluk kekasih atau istrimu?

Kulit mereka telah berubah menjadi cokelat laksana the encer
Serta menampakkan jarring-jaring urat dan tulang nan rawan
Anak-anak telanjang tertawa, seolah-olah pria itu
Tak akan memotret lantas pergi, seorang diri.

***

Sabtu, 25 Oktober 2008

Kartunama Putih


Judul buku: Kartunama Putih
Penulis: Kurnia Effendi
Penerbit: Biduk, Bandung
Cetakan: I, 1997
Tebal: xiv + 95 hlm.

Kurnia Effendi sebagai cerpenis, itu sudah lama saya tahu. Sejak dua puluh tahun yang lalu di era generasi Anita Cemerlang. Tetapi bahwa ia juga seorang penyair, baru belakangan ini saya mengetahuinya. Dan diam-diam, oh…tepatnya sih saya yang kurang informasi, ia telah pernah menerbitkan puisi-puisinya itu dalam satu buku : Kartunama Putih. Buku tersebut lahir 11 tahun silam.

Kerena usianya yang sudah cukup “tua” untuk ukuran sebuah buku, tidaklah mengherankan jika kita sudah tidak akan menemukannya lagi di rak-rak toko buku. Namun, beruntunglah saya yang berkat persahabatan saya dengan penulisnya, masih bisa menikmati jejak kepenyairan Kurnia Effendi atau yang kerap disapa dengan nama akrabnya, Kef, ini. Sepekan lalu, pada sebuah siang yang menyengat, ia menghadiahi saya buku kumpulan puisinya itu.

Kartunama Putih memuat 86 biji sajak yang bertema atau berkisah ihwal nama-nama orang yang oleh saya akan saya bedakan menjadi dua bagian. Pertama adalah puisi-puisi yang melibatkan atau diperuntukkan bagi orang-orang terdekat Kef. Misalnya, istri, anak-anaknya, keluarga, keponakan, kakek, sahabat, atau bisa jadi sejumlah mantan kekasih di masa remaja. Bagian kedua merupakan puisi-puisi persembahan atau ungkapan kekaguman Kef kepada para tokoh. Baik nasional ataupun internasional. Di sana akan kita temukan nama-nama seperti Mega, Udin, Benyamin Netanyahu, Slobodan Milosevic, dan lain-lain.

Dari kedua pembagian ini, saya bisa merasakan perbedaannya. Maksud saya, saya merasakan kesan yang berbeda dari keduanya.

Pada bagian untuk orang-orang terdekatnya, puisi-puisi yang ditulisnya terasa lebih “bunyi”. Barangkali karena ia benar-benar menuliskannya dari hati. Dari jarak yang dekat dengan subjeknya. Benar-benar merupakan ungkapan perasaan yang personal; yang umumnya hanya bisa dipahami oleh yang bersangkutan. Tetapi tidak demikian halnya dengan sajak-sajak Kef di buku ini. Meskipun puisi tersebut sangat personal sifatnya dan bukan ditujukan untuk kita (baca : saya), tapi kita (baca: saya) dapat ikut merasakan getarannya. Dengan kata lain, sampai ke hati. Baik maknanya maupun keindahannya. Atau saya lebih suka menyebutnya sebagai puisi-pusi yang bikin cemburu; lantaran tatkala membacanya saya membayangkan tentu pribadi-pribadi kepada siapa Kef menujukan sajak-sajaknya ini merasa tersanjung dan senang sekali. Sebab hal yang sama pernah saya rasakan pula.

Untuk jelasnya, baiklah, saya petikkan satu contohnya :


R.A.

Tinggal wangi bajumu, menyapu udara, ketika
Kereta bertolak ke utara. Tanganmu lepas dari
Genggaman. Jarak pun berkali lipat menawarkan sunyi
Di bumi yang selalu basah ini kutunggu kabar:
Kapan engkau kembali? Hujan terus turun, mencuci
Jarak pertemuan yang sengaja kunamai kenangan
Dingin peron merayap ke lantai kamar. Tempat
Sepasang kakiku terhenti. Menopang kerinduan
Yang tiba-tiba sangat berat.

Ingin kularutkan dalam mimpi: seluruh percakapan
Tentang harapan dan kecemasan. Juga tahun-tahun
Yang kupertaruhkan. Menunggu bulan turun
Ke pangkuan, alangkah panjang pengembaraan
Di malam yang kelewat basah, terus kupagut
Wangi bajumu. Terus kupagut

Puisi yang berangka tahun 1989 ini, jelas sekali merupakan puisi persembahan cinta untuk kekasih yang kini menjadi istrinya : R.A. Kependekan dari Ratu Ade. Tentu waktu itu mereka masih berstatus pacaran.

Walaupun “R.A.” sajak yang sangat personal bagi penulisnya, namun kita bisa meminjamnya untuk merayu kekasih kita. Apa lagi bila peristiwa atau situasi yang kita hadapi memiliki kemiripan dengan sajak tersebut.

Atau sajak yang ini :

KANGEN
: Ageng-Erda

Benarkah hanya jarak memisahkan kita
(Bukan karena orang ketiga, atau matirasa?)
Waktu telah lancang menghimpun seluruh
Perasaan yang diam-diam kutabung untukmu

Bahwa suatu ketika kado ini kubuka
Persis di depan bolamatamu
Yang menyembunyikan sejumlah gemerlap,
adalah tentang kangen semata

Ini juga milikku
Satu kangen yang tak bergeser
dari alamatmu.

Saya tentu tak kenal Ageng dan Erda. Dan saya memang tak perlu mengenal mereka lebih dahulu untuk bisa menikmati sajak ini; untuk dapat ikut serta merasakan kerinduan seorang kekasih di dalamnya. Bahkan saya berniat, kapan-kapan jikalau saya sedang kangen pada kekasih saya (kalau pas lagi punya kekasih), saya akan ungkapkan rindu saya dengan sajak ini.

Nah, kini mari kita bandingkan dengan sajak-sajaknya di “bagian kedua”. Langsung saja saya ambil satu sampel :

MEGA

Ketika bibirmu tersenyum
Beribu-ribu hati bijak turut tersiram sejuk
Tanganmu yang mengepal: menanamkan tunas
semangat kepada kebun massa di sekelilingmu

Engkau duduk pada kursi yang mula-mula
disiapkan untuk memimpin komunitas luluh-lantak
Babak kondisional dalam peta sosial politik,
dielu-elu dengan saputangan basah
Lorong panjang masa silam kembali diteropong
Darah orator mengalir kuat di jantungmu

Ketika bibirmu tersenyum
Seharusnya untuk 1993 sampai 1998
Namun dramatisasi dalam sandiwara negeri ini diperlukan
Untuk mengecoh para penulis sejarah masa depan
Akankah tangan-tangan kita perlu berlumur darah lagi?

Engkau kini duduk di kursi goyah
Sedang mata dunia tengah bersama-sama menatap
dari segala penjuru. Mungkin berjuta lembar skenario
harus ditimbang-tinbang, sebelum diterbitkan
dengan tinta cetak kepalsuan
Akankah tangan-tangan kita perlu berlumur darah lagi?

Sajak ini ditulis tahun 1996. Sudah pasti bermaksud mengenang peristiwa bersejarah 27 Juli 1996 yang berupaya menumbangkan Megawati dari kursi ketua DPP PDI. Zaman itu, ketika pemerintahan masih dijalankan oleh rezim Orde Baru yang otoriter, sosok Megawati dan PDI-nya menjadi simbol perlawanan. Megawati yang didzalimi, telah menumbuhkan banyak simpati di hati banyak orang di negeri ini. Mungkin termasuk Kurnia Effendi, sehingga terciptalah puisi ini.

Perhatikan diksi yang dipilih Kef dalam sajak ini. Sangat berbeda dengan yang ia pakai dalam sajak-sajak cintanya yang lembut dan romantis. Pada sajak “Mega” ini, saya seperti sedang membaca pamflet. Ada aroma politik, kekerasan, bau amis darah, kemarahan, serta sarat gugatan di sana. Demikian pula pada sajak “Literatur Kematian Udin” (hlm.16), “Kepada Ny. Hillary Clinton” (hlm.38), dan “Slobodan Milosevic” (hlm.24)

Tetapi itu masih lumayan. Masih lumayan ngerti, maksud saya. Sosok Megawati, Udin, Ny. Clinton, dan Milosevic bukanlah sosok asing. Namun, ketika sampai pada Peter Brook, Eva Johnson, Narrowsky, Oodgeroo Noonuccal, atau Hikotaro Yazaki, lantaran dangkalnya ilmu yang saya punyai, terpaksa kudu tanya si Google dulu untuk mengulik pengetahuan ihwal nama-nama tersebut. Akibatnya, saya merasakan ada jarak antara saya dengan puisi-puisi tentang mereka. Tidak senikmat saat saya membaca puisi-puisi di “bagian pertama”. Ah, mudah-mudahan Kef menulis sajak-sajak di “bagian kedua” ini bukan sekadar sebagai sebuah upaya gagah-gagahan.

Lalu, mana sajak “Kartunama Putih” yang dipakai untuk judul buku ini? Ia terletak di halaman xi (pembuka) dan 95 (penutup) :

Kartunama itu putih saja
Tak ada huruf kecuali warna kain kafan
Kartunama itu : putih saja

Namun, agaknya kartunama itu tak putih lagi. Di dalamnya, Kef telah mengukir nama-nama, puisi-puisi…***

Selasa, 14 Oktober 2008

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels


Judul buku: Jalan Raya Pos, Jalan Daendles.
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Editor: Daniel Mahendra dan Astuti Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Cetakan: I, 2005
Tebal: 148 hlm.

Telah satu windu lebih setiap hari saya melakoni perjalanan pergi pulang Jakarta-Puncak setiap hari. Ya, setiap hari, karena kantor saya terletak nun di negeri awan dengan selendang kabut yang melayang-layang di pagi hari : Puncak. Anda tentu tahu perkebunan teh yang membentang di kiri kanan Jalan Raya Puncak mulai dari desa Tugu Selatan dan berakhir di sekitar restoran Rindu Alam? Nah, di situlah saya ngantor setiap harinya. Enam hari dalam sepekan. Nama perkebunan itu adalah Gunung Mas yang merupakan salah satu “warisan” peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

Oh, saya melantur. Sebaiknya saya segera kembali ke niat semula membincang ihwal riwayat Jalan Raya Pos atau yang lebih populer lagi dengan sebutan Jalan Daendels (atau beken juga dengan nama Anyer-Panarukan). Kiranya salah sepotong jalan yang memiliki panjang keseluruhan seribu kilometer itu adalah Jalan Raya Puncak yang selama delapan tahun mondar-mandir saya lalui setiap hari.

Sebetulnya saya sudah sedikit mengetahui fakta tersebut. Namun, selama ini saya tidak pernah memberikan perhatian khusus pada jalan raya yang dalam sejarah pembuatannya telah menelan ribuan korban jiwa (menurut data pemerintah Inggris, sekitar 12.000) rakyat Indonesia. Barulah setelah membaca buku nonfiksi karya sastrawan aktivis Lekra, Pramoedya Ananta Toer, perhatian saya tergugah sepenuhnya.

Kini, jika tidak tertidur di angkot, setiap kali melintasi jalur Puncak tersebut, saya membayangkan betapa sengsaranya para kuli pribumi saat menjalani kerja rodi membangun jalan ini. Membabat hutan, memangkas bukit. Membelahnya hingga menjadi sebatang jalan yang menembus memanjang hingga ke ujung timur Pulau Jawa. Dengan teknologi dan peralatan yang tentu masih sangat sederhana, tak mengherankan jika banyak jatuh korban dalam upaya pembikinan jalan ini. Terlebih lagi mereka bekerja secara paksa di bawah tekanan penjajahan yang dipimpin oleh Sang Tuan Besar Guntur, Mr. Herman Willem Daendels. Tanpa upah dan kerap tak diberi makan.

Pramoedya, sastrawan yang banyak melahirkan roman sejarah, kali inipun menuliskan riwayat Jalan Daendels ini dengan cara bertutur, mengawinkan fakta sejarah dengan pengalaman pribadinya dengan kota-kota yang dilewati jalan raya “maut” ini.

Ia memulai kisahnya dari Lasem, Jawa Tengah. Kota yang dekat dengan tanah kelahirannya : Blora. Kemudian meloncat ke ujung barat Jawa: Anyer, tempat “mandor” Daendels pertama kali menginjakkan kaki di bumi Jawa (5 Januari 1808).

Dari Anyer, ia lantas mengurutnya ke Cilegon, Banten, Serang Tangerang, dan Batavia. Semua daerah itu ada di garis pantai utara Jawa. Dari Batavia Jalan Raya Pos ini membelok ke Depok, berlanjut ke jalur mudik selatan: Bogor (waktu itu namanya masih Buitenzorg), Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, dan berakhir di Karang Sembung sebelum kembali menuju pantura (jalur mudik yang senantiasa macet dan rawan kecelakaan) yang berawal di Cirebon.

Dari Kota Udang ini, Meneer Daendels memerintahkan untuk melanjutkan pembuatan jalan terus ke timur, melewati sederetan kota sebagai berikut: Losari, Brebes, Tegal, Pekalongan, Batang, Waleri, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Juwana, dan stop di Rembang yang merupakan perbatasan Jawa Tengah dan Oosthoek (Jawa Timur).

Apakah jalan itu buntu di kota tepi pantai ini? Tentu tidak, sebab kita tahu dari sejarah, jalan “berdarah” ini berujung di Panarukan, Jawa Timur. Maka, dari Rembang jalan menyambung ke Tuban, Gresik, Surabaya, Wonokromo, Sidoarjo, Porong, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Besuki, dan tamat di Panarukan yang pada masanya pernah menjadi pelabuhan terpenting di bagian paling timur pantai utara Jawa.

Jika hanya menuliskan barisan kota-kota tadi, pastilah terbayang di benak Anda (dan saya sebelum membaca) alangkah membosankannya buku ini. Tetapi bukan Pram namanya jika ia tak pandai menyiasati “sejarah”.

Maka, Pram mengakali penulisan sejarah Jalan Raya Pos ini melalui penuturan yang sangat personal; mengaitkannya dengan pengalaman dan kenang-kenangannya terhadap barisan kota yang dilalui jalan raya itu plus sejarah kota-kota tersebut sembari sesekali melontarkan kritik dan kecaman terhadap penguasa. Bahkan kejadian-kejadian lucu yang sempat dialaminya tak luput diuraikan pula.

Misalnya, pengalaman harus mengantre selama dua harmal (dua hari dua malam) di Semarang untuk memperoleh karcis kereta api cepat jurusan Jakarta. Atau pengalaman “menjijikan” ketika ia menginap di markas Laskar Rakyat di Cirebon pada pertengahan 1946. Pada tengah malam, mendadak Pram muda terserang sakit perut ingin buang air besar. Karena tidak ada penerangan, di dalam kakus, ia tak dapat melihat apapun di sekitarnya.

“Kaki menggerayangi takhta kakus. Begitu mendapatkan ketinggian langsung nongkrong. Aneh, barang buangan itu jatuh memantulkan bunyi minor. Membersihkan diri pun tangan gerayangan mencari sumur. Dan waktu membasuh itu korek logam jatuh dari kantong celana. Curiga pada suara minor aku kembali ke kakus. Sinar api korek itu? Masya Allah, ternyata yang kuberaki bukan takhta kakus tapi tungku dapur. Dan kotoranku jatuh ke dalam periuk rendah yang masih ada sisa singkong rebus” (hlm. 79).

Sudah pasti, paparan demikian tak akan kita temukan dalam buku teks sejarah. Oleh karenanya, melalui buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini sejarah jadi terasa menarik dan nikmat untuk diikuti. Dengan ketekunan seorang sejarawan, Pram mencangkuli, menggali, setiap data dan detail sebuah peristiwa untuk kemudian dicatat dan dituliskan kembali sebagai sebuah upaya melawan lupa.

Tahun ini, tepat 200 tahun usia Jalan Raya Daendels. Pada masanya, jalan ini pernah menjadi jalan terpanjang di dunia. Sama dengan jalan raya yang menghubungkan Amsterdam-Paris. Jalan yang ternyata tidak sepenuhnya hasil karya Daendels (jalan aslinya sebagian sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya, ia hanya melebarkannya menjadi 7 meter) ini, menjadi saksi dan bukti pembantaian manusia-manusia pribumi. Kisah di balik pembuatannya hanya salah satu dari banyak tragedi kerja paksa yang pernah berlangsung di Hindia Belanda. Di bawah Jalan Daendels ini terhimpun ribuan mayat petani dan orang-orang kecil tak berdaya.

Dan, oops! “Kuburan” itulah yang selama sewindu setiap hari saya lintasi. Masya Allah….***

Minggu, 21 September 2008

Nora : Tetralogi Dangdut Jilid 1


Judul buku: Nora
Penulis: Putu Wijaya
Editor: Kenedi Nurhan
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: November, 2007
Tebal: 304 hlm

Siapa tak kenal Putu Wijaya? Nama itu tak asing lagi di kalangan pencinta sastra dan teater. Kiprah seniman-sastrawan asal Tabanan, Bali ini sudah dimulai sejak ia masih duduk di kelas 3 SMP. Jadi kira-kira sudah lebih dari 50 tahun yang lalu, ya. Sebab, usia pria bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya kini 64 tahun. Tak heran jika dalam perjalanan yang panjang itu ia telah banyak memperoleh penghargaan dalam dunia yang digelutinya.

Seperti kebiasaan saya membeli buku dengan pertimbangan utama nama penulisnya, maka Nora saya comot dari rak di toko buku tentu karena penulisnya adalah Putu Wijaya. Beberapa karyanya sudah saya lahap sejak mungkin lebih dari sepuluh tahun lalu. Terutama cerpen-cerpennya yang kadang-kadang terasa absurd sebagaimana karya-karya drama yang ditulis dan disutradarainya. Banyak di antara ratusan cerpennya yang saya suka, tetapi tak sedikit juga yang bikin jidat saya berkerut tujuh lapis saking absurdnya. Celakanya, sudah begitupun saya ternyata lebih sering gagal menangkap maksudnya. Umpamanya sewaktu menonton pementasan dramanya yang berjudul “Zero”. Pemahaman saya terhadap apa yang tersaji di panggung benar-benar zero.

Maka, tatkala usai membaca Nora–yang merupakan buku pertama dari rangkaian “Tetralogi Dangdut” seperti tertulis di kover novel ini–dengan sejumlah “ganjalan”, saya berusaha menemukan “pembenarannya”. Maksud saya, ketika di dalam Nora saya mendapati hal-hal yang saya tidak sepakat karena kelewat dramatis, saya berusaha melihatnya dari kacamata yang lain (kacamata apa ya?) kendati tak selalu berhasil.

Novel ini dimulai dengan sebuah pembukaan yang menarik : Nora tanpa sengaja melihat kemaluan Mala, pria lajang tetangganya, saat Mala membuang hajat kecilnya di gerumbul semak kembang sepatu. Ketika itu Nora sedang mencuci piring di sebaliknya. Apa yang dilihatnya membuat Nora panas dingin dan berhari-hari meracau dalam ketidaksadarannya; menyebutkan kata-kata : “Takut…takut…takut. Hitam. Besar. Panjang..”

Igauan tersebut lalu disimpulkan oleh kedua orang tua Nora sebagai akibat dari perbuatan jahat seseorang terhadap putri mereka. Saat kemudian racauan Nora melafalkan nama Mala, tak pelak lagi tuduhan bagi si pelaku perbuatan jahat itu jatuh pada Mala, tetangga mereka, pemimpin redaksi sebuah majalah berita. Maka, lantas mereka mendatangi Mala untuk bersegera menikahi Nora.

Tanpa kuasa menolak, Mala pasrah saja pada todongan orang tua Nora. Ia yang dikenal sebagai seorang yang kritis, rasional, cerdas, berpendidikan tinggi, berpandangan luas, tiba-tiba menyerah begitu saja pada “nasib” yang disodorkan oleh ayah Nora. Menikahlah ia dengan Nora, gadis kampung lugu yang tidak pernah benar-benar dikenalnya. Agar tindakan Mala tampak masuk akal, Putu Wijaya memberi penjelasan sederhana: setiap orang punya sudut gendeng yang tidak dimengertinya sendiri. Tubuh sudah punya kemauan sendiri dan bertindak seenak udelnya tanpa konsultasi. Mala seperti dihipnotis, mengiyakan semuanya.

Setelah menikah, Mala ternyata hanya dijadikan sapi perahan oleh keluarga istrinya itu. Seluruh kebutuhan keluarga dia yang mencukupinya. Sementara itu, Nora sama sekali tidak pernah disetubuhinya sebab ia mengira istrinya itu sedang hamil akibat perbuatan lelaki lain sebelum menikah dengannya. Sampai berbulan-bulan ia tak menyadari bahwa Nora sebenarnya tidak pernah hamil.

Pada suatu hari tanpa persetujuan Mala, orang tua Nora menerima lamaran dan hendak menikahkan Nora dengan orang lain. Keberatan Mala tidak digubris. Mereka tetap menikahkan (lagi) Nora dengan laki-laki yang masih ada hubungan sanak famili dan meminta Mala membiayai pernikahan tersebut. Lagi-lagi Mala tidak berdaya.

Sementara itu, kehidupan Mala di luar hubungannya dengan Nora, juga sedang mengalami ujian. Pergaulannya yang luas tanpa disadarinya telah melibatkannya dengan Yayasan Nurani, perkumpulan politik yang berkedok yayasan yang agenda utamanya makar dan mengubah NKRI menjadi negara serikat. Tiba-tiba saja Mala telah terseret sebuah persoalan besar yang di dalamnya menyertakan pula kedua sahabatnya, Midori dan Adam. Termasuk pula dana sebesar 400 miliar rupiah. Persoalan semakin rumit sewaktu kemudian Midori ditemukan tewas terpotong-potong. Sebuah konspirasi tingkat tinggi yang tidak Mala mengerti telah menjeratnya sebagai tersangka pelaku pembunuhan tersebut.

Meski dengan geregetan, saya akhirnya bisa juga menamatkan novel ini. Bukan karena menarik, tetapi lantaran penasaran ingin tahu mau dibawa ke mana cerita ini sebenarnya. Jelas sekali, buku ini berpijak pada realisme, walaupun di beberapa bagian terlihat dilebih-lebihkan. Seperti gambar karikatur. Atau ibarat lagu dangdut yang syair dan ceritanya kerap sangat dramatis (untuk tidak menyebutnya norak) dalam mengungkapkan sesuatu. Apakah itu sebabnya Putu menamakan karyanya ini sebagai “Tetralogi Dangdut”?

Mulanya sih saya masih bisa ketawa-ketiwi lantaran menganggap lakon ini sebagai sebuah gaya lucu-lucuan ala Putu. Namun, lama-lama jadi sebal juga saat Putu makin “seenaknya”. Bagai menonton pertunjukan sandiwara panggung yang banyak adegan improvisasinya. Peristiwa dan para pemain sering ujug-ujug datang dan pergi seolah tanpa direncanakan. Misalnya saja, kita baru tahu bahwa Mala ternyata punya pinjaman 100 juta rupiah kepada kantornya untuk membangun rumah padahal sebelumnya hal tersebut tidak pernah disinggung-singgung. Fakta ihwal utang Mala itu muncul secara sekonyong-konyong di tengah adegan raibnya dana sebesar 400 miliar dari rekening Mala.

Demikian pun tentang karakter Mala yang kelewat baik sehingga malah jadi “bodoh” itu, rasanya kok berlebihan betul. Ada fakta yang saling bertentangan dalam karakter Mala. Ia yang cerdas, serbarasional, calon doktor, jadi terasa aneh ketika tak berdaya berhadapan dengan keluguan Nora dan kebebalan keluarganya. Atau barangkali saya harus ikhlas untuk sepakat dengan apa yang dikatakan Putu, bahwa setiap orang memiliki sudut gendeng yang tidak dimengertinya? Yang pasti sih, saya capek mengikuti alur logika buku ini yang terasa dibentur-benturkan. Saya tidak yakin, seandainya bukan Putu Wijaya yang menulis, apakah bakal ada penerbit yang mau menerbitkannya. Yang jelas, saya sudah memutuskan untuk tidak membaca buku lanjutannya. Atau mungkin Anda punya pendapat berbeda?***

Selasa, 09 September 2008

Olenka


Judul buku: Olenka
Penulis: Budi Darma
Penerbit: Balai Pustaka
Cetakan: Keempat, 1992
Tebal: 232 hlm.



Budi Darma, sedikit dari begawan sastra yang kita miliki, mengaku menulis masterpiece-nya ini hanya dalam waktu tiga minggu saja. Diawali oleh perjumpaan beliau dengan seorang perempuan di sebuah lift gedung Tulip Tree di Bloomington, Amerika Serikat pada 1979. Saat itu musim dingin dengan suhu udara yang, seperti ditulisnya, sangat kurang ajar. Beliau hampir tertinggal lift, namun untungnya seorang wanita yang telah lebih dulu ada dalam kotak itu membukakan pintu dan mempersilakannya masuk. Wanita itu bersama tiga orang bocah lelaki dekil dan kumal. Oleh karena wajah ketiga bocah tersebut mirip dengan si wanita, Budi Darma sempat mengira mereka adalah ibu dan anak-anaknya. Tetapi ternyata sangkaannya keliru.


Sesampai di kamar apartemennya, Budi Darma segera mengambil mesin tulis hendak membuat cerpen berdasarkan pengalamannya berjumpa dengan wanita dan tiga bocah gelandangan itu. Tetapi, ia tak bisa berhenti menulis sehingga bukan lagi cerpen yang dibikinnya melainkan novel. Maka, sesudah tiga pekan lahirlah Olenka. Empat tahun kemudian (1983) novel tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka.


Seingat saya, pertama kali saya membaca novel yang memenangi Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta tahun 1983 ini, saat saya duduk di bangku SMP. Bukunya saya pinjam di perpustakaan sekolah. Tak ada yang tersisa dari pembacaan saya kecuali ingatan tentang Olenka yang gemar membaca buku di taman. Selebihnya, gelap.


Maka, ketika saya membaca kembali buku ini, saya seperti membaca sebuah buku yang belum pernah saya baca sama sekali.


Baiklah, baiklah. Saya harus kasih empat bintang untuk novel ini. Novel ini benar-benar membuat saya terpukau, tertawa, dan berkali-kali bergumam : “Sinting! Benar-benar sinting!”


Yang sinting itu bukan pengarangnya tentu. Kalau “makian” itu saya tujukan untuk pengarangnya, pasti akan saya beri tanda petik di antara kata sinting itu. Sebutan sinting itu saya tujukan kepada para tokoh dalam buku yang sudah beberapa kali mengalami cetak ulang ini.


Pertama, pastilah untuk Fanton Drummond, tokoh utama sekaligus narator dalam kisah yang berseting Bloomington ini, kota tempat Budi Darma pernah tinggal sebagai mahasiswa di Universitas Indiana. Fanton Drummond, bekerja sebagai sutradara pembuat film iklan, adalah seorang dengan masa lalu yang kelam. Ia yatim piatu sejak kecil yang diangkat anak oleh suami istri Drummond. Tetapi itu tidak lama, sebab kedua orang tua angkatnya itu tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas dan ia harus kembali dipelihara oleh negara. Setamat SMA, Drummond bekerja serabutan sebelum akhirnya memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke universitas. Ia tumbuh menjadi pribadi yang kesepian sehingga kerap bertingkah aneh, seperti menulis surat untuk dirinya sendiri dengan berpura-pura surat tersebut ditulis oleh gadis yang ditaksirnya.


Fanton Drummond jatuh cinta dan menjalin affair dengan Olenka, istri Wayne Danton, suami pecundang yang terobsesi menjadi penulis besar. Masa silam Olenka tak kalah gelap dibanding kekasihnya, Fanton. Ia memiliki bakat besar menjadi pelukis, tetapi kedua orang tuanya tak mendukung cita-citanya. Ia pernah terlibat cinta sejenis dengan seorang perempuan yang disebutnya Winifred, diambil dari nama tokoh dalam novel The Rainbow karya D.H. Lawrence. Agar ia tetap dianggap “normal”, maka kemudian ia menikahi Wayne Danton.


Suami Olenka ini juga tak kurang “sakit”-nya. Ia terobsesi menjadi seorang penulis besar sehingga tidak sudi melakukan pekerjaan lain kecuali menulis. Dari sekian banyak cerita yang ditulisnya, hanya beberapa biji saja yang berhasil dimuat koran. Sementara itu, Olenka dibiarkan bekerja menafkahi rumah tangga mereka dan ia sendiri lebih suka menganggur, menjadi parasit.


Begitulah. Dalam novel ini Budi Darma menyajikan sebuah pertunjukan drama manusia dengan karakter-karakter yang “sakit”, yang hidupnya senantiasa terbentur-bentur dan tidak malu mengakui sisi buruk dirinya. Sebab bagi Budi Darma, manusia adalah makhluk yang penuh luka, hina dina, dan sekaligus agung dan anggun. Manusia bukanlah makhluk yang enak (hlm.224). Tokoh-tokoh dalam Olenka bukanlah para pahlawan. Mereka hanya manusia biasa yang jujur dan berani berterus terang ihwal diri mereka yang sebenarnya.


Membaca buku ini, sekejap saya teringat novel karya satrawan Rusia Fyodor Dostoyesky, Crime and Punishment, yang juga meneropong jauh ke dalam pergumulan jiwa manusia. Menurut Budi Darma, begitu kita terjun ke dalam pikiran seseorang, kita akan mengetahui betapa kayanya pikiran orang itu dan kita dapat bercerita banyak mengenainya. Pada hakikatnya, masih mengutip sastrawan berusia 71 tahun ini, setiap orang adalah Immanuel Kant. Hidupnya terkungkung, akan tetapi pikirannya berloncatan ke sekian banyak dunia.


Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika kemudian ia banyak menciptakan karakter-karakter kuat yang gelap dan riuh bergelut menemukan jati diri. ***




Senin, 01 September 2008

Harry dan Geng Keriput


Judul buku: Harry and The Wrinklies
Judul asli: Harry dan Geng Keriput
Penulis: Alan Temperley
Penerjemah: Hidayat Saleh
Editor: Poppy Damayanti Chusfani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Mei 2008
Tebal: 336 hlm.

Harry yang ini bukan Harry Potter tapi Harry Barton, meskipun mereka sama-sama bocah lelaki yatim piatu pada usia yang masih sangat muda. Mereka sama-sama orang Inggris. Mereka kemudian juga sama-sama dititipkan di rumah bibi mereka. Bedanya, Harry Barton bukanlah penyihir seperti halnya Harry Potter.

Harry Barton mungkin sedikit lebih beruntung dari Harry Potter karena memiliki dua orang bibi yang sangat mengasihinya. Kendati kedua orang bibinya, Bridget dan Florrie, itu lebih pantas disebut nenek-nenek, namun mereka orang-orang tua yang “gaul”. Bersama para bibinya, Harry justru merasa lebih gembira ketimbang sebelumnya sewaktu masih tinggal sendiri di rumah orang tuanya yang besar, hanya ditemani oleh seorang pengasuh jahat bernama Gestapo Lil. Kelak, si nanny yang seharusnya menjaganya ini, malah menjadi musuh besar Harry dan gengnya.

Iya, di rumah bibinya, Lagg Hall, Harry mendapat teman-teman yang menyenangkan. Sebenarnya sih teman-teman kedua bibinya, tetapi kemudian akhirnya menjadi teman-temannya juga. Mereka rata-rata seusia dengan Bibi Bridget dan Bibi Florrie. Sudah pada tua dan keriput. Itulah sebabnya mengapa kemudian mereka menyebut gerombolan itu sebagai Geng Keriput.

Geng Keriput memiliki riwayat yang unik. Mereka di masa lalu adalah orang-orang “nyentrik” yang karena ulah kriminal mereka pernah menghuni sel-sel penjara. Termasuk kedua bibi Harry itu. Aksi “kejahatan” mereka sebenarnya lebih cocok disebut sebagai aksi Robinhood, sebab mereka melakukan pencurian, membobol bank, dan memalsu karya seni, semata-mata bertujuan untuk membantu orang-orang miskin; menyantuni yayasan yatim piatu atau disumbangkan kepada panti-panti sosial lainnya. Dalam aksi mereka, mereka hanya mencuri dan merampok para orang kaya yang kikir yang mendapatkan hartanya dari cara-cara tidak benar.

Geng Keriput ini sudah lama diawasi gerak-geriknya oleh seorang hakim culas, Kolonel Priestly. Dialah yang pernah menjebloskan sebagian anggota Geng Keriput ke penjara dalam sebuah persidangan yang tidak adil. Diam-diam Geng Keriput merencanakan balas dendam. Tentu dengan melibatkan Harry di dalamnya.

Kisah petualangan yang cukup seru dengan jagoan seorang bocah lelaki yang semula diremehkan dan tidak bahagia (hampir selalu begitu, ya?). Bocah malang ini akhirnya justru menjadi pahlawan di pengujung cerita. Harry dan Geng Keriput berhasil menggulung lawan mereka, Kolonel Priestly yang berkolaborasi dengan Gestapo Lil (spoiler yak? :D)

Sebagai sebuah kisah petualangan, Harry dan Geng Keriput cukup menghibur, meski tak luput juga dari kekurangcermatan. Saya menemukan di bab 25. Pada halaman 253 tertulis sebagai berikut: Suatu larut malam tanggal tiga belas Desember, Harry pergi ke tempat pengintaian bersama Bibi Florrie.

Sepenggal narasi di atas itu terasa ganjil jika kita hubungkan dengan bab sebelumnya (bab 24 yang berjudul “Natal di Lagg Hall). Aneh kan jadinya karena pada bab 24 itu diceritakan suasana perayaan natal yang berarti tanggal 25 Desember; sedangkan di bab 25 balik lagi ke tanggal 13 Desember padahal peristiwanya setelah Natal berlalu. Yah, saya jadi “gatal” aja menemukan kekurangcermatan ini. Selebihnya sih saya rasa oke walaupun juga tidak istimewa.

Penulis terkesan menggampangkan dalam mencari sebab Harry menjadi yatim piatu. Juga sulit diterima ihwal kebangkrutan total orang tuanya yang membuat Harry dari seorang anak miliuner dalam sekejap mata menjelma nyaris gelandangan dengan hanya memiliki satu stel pakaian usang yang ukurannya pun sudah kekecilan. Rasanya terlalu berlebihan. Atau mungkin karena saya melihatnya dari kaca mata orang dewasa yang segalanya harus masuk akal dan tidak menerima begitu saja setiap kemungkinan? Bisa jadi sih. Harusnya saya mengeset dulu pikiran saya menjadi kanak-kanak selama membaca buku ini, ya sehingga saya tidak mengeluhkan hal-hal yang terasa kurang pas.

Misalnya lagi soal Kolonel Priestly yang disebut sebagai warga terhormat, harta berlimpah, punya kekuasaan, dan dikenal suka beramal itu, jadi terasa tidak pas ketika diceritakan sibuk menangani dengan tangannya sendiri musuh-musuhnya. Padahal rasanya akan lebih sreg kalau dikisahkan ia memakai tukang pukul atau pembunuh bayaran. Jadinya, buku ini lebih mirip film komedi dengan para penjahatnya kalah secara memalukan dan menjadi bulan-bulanan. Saya membayangkan, kalau difilmkan pasti akan banyak adegan slapstick-nya. Hehehe.

Tetapi baiklah, akhirnya saya harus katakana buku ini asyik kok selama kita tidak terlalu mikir membacanya.

Selasa, 12 Agustus 2008

Namaku, Grace Aja!


Judul buku: Namaku, Grace Aja!
Judul Asli: Just Grace
Penulis: Charise Mericle Harper
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penerbit: Atria (Group Serambi)
Cetakan: 2007
Tebal: 107 hlm

Nama aslinya Grace Stewart. Namun, lantaran di kelasnya ada empat tiga anak lain lagi yang juga bernama Grace, maka masing-masing Grace mendapat sebutan sendiri untuk membedakannya. Dan meski tidak suka, Grace Stewart tak mampu menolak ketika akhirnya guru dan teman-temannya sepakat memanggilnya Grace Aja (dan bukan “Grace” aja).

Seperti lazimnya anak-anak, Grace senang melakukan dan ingin tahu tentang banyak hal. Beruntunglah Grace karena memiliki orang tua yang membebaskannya melakukan apa saja dan memberikannya bukan saja pendidikan yang baik tetapi juga terutama cinta dan kasih sayang. Dan sebagaimana anak-anak, Grace juga ingin jadi pahlawan layaknya tokoh-tokoh komik yang dibacanya. Tetapi, Grace juga tahu, untuk menjadi pahlawan seseorang tak perlu menjadi manusia super. Orang biasa seperti dirinya pun bisa jadi pahlawan, sebagaimana di acara tivi favoritnya.

Buku ini memikat selain karena dilengkapi ilutrasi keren juga teristimewa karena cara penyampaiannya yang membiarkan si Grace bertutur sebagai aku. Tak ada wejangan dan nasihat yang menggurui. Plotnya mengalir menurut sudut pandang seorang bocah perempuan yang senang menggambar komik dan selalu ingin menghibur orang lain. Bahasa yang dipergunakan juga sangat mudah dipahami oleh pembaca anak-anak sekaligus menyenangkan bagi orang dewasa.

Kejadian-kejadian yang dikisahkan Grace adalah hal sehari-hari yang kerap dialami oleh bocah seumurnya: teman yang menyebalkan, persahabatan, tetangga yang tampak aneh, hewan peliharaan, ibu guru di sekolah…..Yah, pokoknya hal-hal “remeh” semacam itulah. Bagi Anda yang punya anak atau keponakan seusia Grace tentu tidak asing lagi dengan hal-hal yang saya sebut di atas. Anda pasti pernah dibuat takjub oleh “mutiara-mutiara” kecil itu serta sering dibikin terkejut oleh cara berpikir dan cara mereka menyelesaikan masalah, bukan? Itulah kanak-kanak, makhluk paling indah yang sanggup membuat kita melakukan apapun demi mereka.

Oleh Harper, tema sederhana itu diolah sedemikian rupa melalui kaca mata Grace kecil menjadi bacaan ringan segar yang bikin kita ingin membacanya lagi. Bagi saya, membaca buku ini seperti sedang mendengarkan keponakan saya bercerita. Dengan cara khas kanak-kanak, Harper memunculkan persoalan untuk kemudian menyelesaikannya secara menarik, kocak, dan menggemaskan.

Meski agak berbeda (dan tanpa bermaksud membandingkan), saya jadi ingat serial Anastasia Krupnik. Penulisnya, Lois Lowrey juga tak pernah berpretensi menggurui khalayak pembacanya, dalam hal ini remaja, dengan petuah-petuah membosankan seperti halnya seorang ibu cerewet. Pesan-pesan moral disampaikan secara cerdas lewat dialog atau contoh kasus. Tokoh favorit saya dalam buku tersebut adalah suami istri Krupnik. Mereka adalah model orang tua keren : egliter, demokratis, dan penuh cinta. Sayang, edisi Indonesianya hanya diterbitkan sampai buku ketiga saja dari sembilan judul yang ada. Entah, apakah Serambi lewat lini Atria akan menerbitkan seluruh judul serial Just Grace ini, kita tunggu saja.

Baik Grace atau pun Anastasia bukanlah anak-anak dari orang tua yang kaya raya. Mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah yang tahu betul cara “modern” mendidik anak-anak sekarang. Bukan dengan limpahan harta tetapi dengan perhatian, kasih sayang, serta penghargaan sebagai manusia. Mereka sadar betul bahwa anak-anakpun memiliki hak yang sama sebagai manusia. Seandainya semua orang tua di dunia seperti mereka…

Buku Just Grace ini oleh Charise Harper dibuat berseri. Sudah ada 4 judul yang ditulisnya: Just Grace, Still Just Grace, Just Grace Walks the Dog, dan Just Grace Goes Green. Selain itu, ia juga telah menulis buku-buku lainnya, seperti Fashion Kitty yang juga berupa kisah serial. ***

Minggu, 03 Agustus 2008

Niskala


Judul buku: Niskala
Penulis: Hermawan Aksan
Penyunting: Imam Risdiyanto
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: 289 hlm

Tidak mudah memadukan fakta sejarah dengan fiksi dan tak banyak penulis yang mampu melakukannya dengan baik. Salah satu yang terbaik, siapa lagi kalau bukan, Pramoedya Ananta Toer. Lihat saja bagaiman ia dengan piawainya menghaturkan sejarah kerajaan Singasari lewat novel Arok-Dedes. Kisah kerajaan Mataram melalui tuturan memikat dalam buku gemuk Arus Balik. Dan tentu masterpiece-nya Bumi Manusia , episode awal tetraloginya itu, yang menyoal riwayat hidup Raden Mas Adi Suryo, tokoh pers pertama Indonesia.

Di belakang Pram, ada banyak lagi penulis fiksi sejarah yang cukup rajin dan konsisten dengan jalur yang dipilihnya, antara lain: Remy Sylado, Langit Kresna dengan serial Gajah Mada-nya serta Hermawan Aksan. Nama yang terakhir ini, sama halnya dengan Langit Kresna, menuliskan kembali riwayat Gajah Mada hanya dengan perspektif yang berbeda. Hermawan Aksan mengambil sudut pandang dari Kerajaan Sunda lewat kisah dramatis Dyah Pitaloka yang konon bunuh diri di padang Bubat saat rombongannya dicegat dan dibantai oleh pasukan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa tersebut kemudian kita kenal sebagai Perang Bubat; perang yang menimbulkan luka sejarah di antara orang Sunda dan Jawa. Bekasnya masih terus mengabadi hingga kini. Sampai-sampai di Bandung serta kota-kota Jawa Barat lainnya tidak terdapat jalan yang memakai nama Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Cerita Perang Bubat itu ada dalam novel Dyah Pitaloka yang ditulis Hermawan pada 2003. Rupanya penulis yang juga wartawan Tribun Jabar ini tidak puas hanya sampai di perang Bubat. Ia kemudian melanjutkannya dalam novel terbarunya, Niskala dengan tambahan subjudul Gajah Mada Musuhku (kenapa juga harus ada tambahan judul ini?)

Niskala adalah nama adik lelaki Dyah Pitaloka yang sewaktu ditinggal pergi kakaknya itu baru berusia 9 tahun. Kematian ayahanda dan kakaknya semata wayang di tegal Bubat akibat ulah Gajah Mada diam-diam telah menyemaikan benih dendam dalam hati bocah kecil itu yang tujuh tahun kemudian bertekad membalaskannya.

Maka, Niskala yang memiliki nama kecil Anggalarang itu pun berangkatlah menuju Majapahit guna menantang duel sang mahapatih perkasa Gajah Mada. Kisah selama perjalanannya inilah yang dituturkan bagai cerita silat oleh Hermawan yang sangat terkesan pada kisah Panji Tengkorak (Hans Jaladara) serta Nagasasra dan Sabuk Inten (S.H. Mintardja). Sebenarnya menarik andai saja Hermawan bisa menghindar dari pengulangan-pengulangan adegan perkelahian yang terasa monoton.

Jika mesti membandingkan dengan novel pertamanya, saya lebih suka yang pertama. Pada Dyah Pitaloka selain unsur sejarahnya lebih pekat, juga gagasan yang disampaikannya lebih dalam : mendekonstruksi citra Gajah Mada yang selama ini kondang sebagai figur pahlawan dalam novel tersebut berbalik menjadi si biang keladi yang culas. Sementara itu, Niskala hanya bertumpu pada upaya pembalasan dendam.

Jelas novel Niskala ini lebih banyak kandungan fiksinya ketimbang fakta sejarahnya. Maka, kelirulah kalau kita menjadikannya sebagai acuan sejarah, karena meskipun di dalamnya terdapat nama dan peristiwa yang bersangkutan erat dengan riwayat Majapahit serta Kerajaan Sunda yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi itu, akhirnya hanya sebagai “tempelan” saja demi memperkuat lakon. Namun, itu toh sah-sah saja dalam sebuah karya fiksi, bukan?***

Senin, 28 Juli 2008

Kacapiring


Penulis: Danarto
Penyunting: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana
Cetakan: I, 2008.
Tebal: 148 hlm.

Andai tidak membaca nama penulisnya, sekilas buku ini mungkin akan dikira buku desain interior karena kovernya yang bergambar satu set meja makan di sudut ruangan di bawah jendela kaca (ya, jendela kaca, bukan kaca jendela, nama jalan tempat penerbit Banana berdomisili. Hehehe.) Setelah kita cermati barulah akan terlihat tulisan “cerpen” di sudut kanan atas dan nama penulisnya, Danarto, persis di bawah judulnya.

Danarto, meski telah menulis novel, namun publik pembaca sastra negeri ini lebih mengenalnya sebagai cerpenis. Ia telah menggeluti dunia penulisan fiksi sejak masih remaja. Cerpen-cerpennya dikenal beraliran surealis atau ada juga yang menyebutnya sebagai realisme magis. Belakangan, karya-karyanya terasa lebih relijius, bicara tentang spiritual dan semangat keagamaan (Islam).

Tak terkecuali dalam buku yang berisi 18 cerita pendek ini. Cerpen-cerpen relijius mendominasi disusul kemudian tema-tema realitas sosial dengan tetap berada di jalur sureal.

Lihat saja, misalnya, cerpen berjudul “Lauk dari Langit” (hlm.58). Dari judulnya pun kita sudah bisa menduga “benda”-nya. Cerpen ini berkisah tentang satu keluarga petani miskin yang tiba-tiba mendapat karunia hujan ikan dari langit. Begitu banyaknya, sampai-sampai mereka kebingungan hendak diapakan ikan-ikan tersebut.

Lalu ada lagi yang tak kalah “magis”-nya, yakni “Jejak Tanah” (hlm.20) yang bertutur ihwal sesosok jenazah yang ditolak bumi lantaran semasa hidupnya orang yang kini telah jadi jenazah itu pernah berlaku sewenang-wenang membebaskan tanah rakyat untuk pembangunan sebuah real estate. Temanya memang agak mirip dengan sinetron hidayah di televisi yang marak beberapa waktu lalu, ya?

Lalu ada juga “Pohon Rambutan” (hlm.84). Sebatang pohon rambutan yang tumbuh begitu saja di tepi jalan, di tepi sawah. Tak bertuan, tak berteman. Ia sudah ada sejak jaman Jenderal Sudirman berperang melawan Belanda. Buahnya selalu lebat dari musim ke musim, dinikmati oleh siapa saja. Pohon ini menjalin persabahatan dengan seorang lelaki. Sebuah pertemanan yang abadi, sejak si lelaki masih belia hingga tua renta. Saya kok menafsirkannya sebagai “persahabatan” antara Golkar (partai berlambang pohon beringin itu) dengan penguasa Orde Baru yang barusan meninggal, Soeharto.

Ada satu cerpen terpanjang (aneh ya kalimat saya, cerpen kok panjang?) di buku tipis ini, yaitu “Alhamdulillah, Masih Ada Dangdut dan Mi Instan” (hlm.114). Dengan menarik dan jenaka, Danarto mendongeng tentang perjalanan panjang kehidupan seorang Slamet yang mengalami jatuh bangun sejak jaman sebelum kemerdekaan hingga era reformasi. Melalui tokoh jelata Slamet, Danarto menjadikan cerpen ini semacam catatan dan kritik kepada pemerintah–tak peduli rezim manapun yang berkuasa–kerap menindas rakyatnya dengan mengatasnamakan kepentingan negara. Cerpen ini juga menggambarkan karakter umum rakyat kecil yang bukan saja nrimo tetapi sekaligus juga ulet dan tahan banting meskipun berulangkali didzalimi. Rakyat kecil terbukti memiliki kekuatan sendiri untuk bertahan hidup di negeri yang carut-marut.

Musibah banjir yang sempat menenggelamkan Jawa Timur dan sekitarnya tak luput dari jamahan Danarto. Ia mengabadikannya dalam “Pantura” (hlm. 108). Atau soal riuh rendah UU Antipornografi, diresponsnya melalui “Telaga Angsa” (hlm. 70).

Tetapi dari 18 cerpen ini, favorit saya adalah “Nistagmus” (hlm. 45). Entah apa artinya kata ini, saya baru menemukannya di cerpen ini. Cerpen yang sebelumnya pernah juga saya baca di Kompas Minggu dan buku Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2006 ini secara cerdas dan menawan merekam peristiwa gempa besar tsunami yang meluluhlantakkan bumi Serambi Mekah, Nanggroe Aceh Darussalam. “Nistagmus” bercerita mengenai bencana tanpa meratap dan mengiba-iba. Malah cenderung jenaka. Danarto baru memunculkan peristiwa bencana itu pada akhir kisah. Jenius!

Oya, judul Kacapiring diambil dari salah satu cerpen di buku ini.

Karya seseorang sering dianggap sebagai cerminan pribadi orang tersebut. Apakah kehidupan pribadi Danarto juga relijius, saya tidak tahu persis. Saya tak cukup mengenal beliau. Kami hanya bertemu sesekali pada perhelatan dan acara-acara sastra di TIM. Ada satu peristiwa yang mengesankan saya bersama pria kelahiran Sragen, 1940, ini.

Sekali tempo beliau menraktir saya baso di warung paling pojok di TIM. Kami bertiga waktu itu dengan Ita Siregar. Tengah enak-enaknya mengunyah baso sembari ngobrol ngalor-ngidul, seorang bocah lelaki penyemir sepatu menawarkan jasanya. Tanpa ba bi bu, Pak Danarto langsung menyerahkan sepatu sandalnya untuk dipoles. Beliau kemudian menatap juga sepatu kami berdua. Dan kiranya hanya sepatu saya yang paling mungkin untuk disemir. Maka, Pak Danarto yang selalu berbusana putih-putih ini meminta saya untuk memasrahkannya juga kepada si bocah tukang semir. Wah, padahal saya paling malas meladeni para penyemir ini. Sama malasnya seperti kepada tukang asongan atau pengamen. Tetapi kali ini apa boleh buat.

Setelah selesai sepatu kami dibuat separuh mengilap, Pak Danarto pun membayar upahnya. Beliau bukan cuma membayar untuk sandalnya tetapi juga sekalian untuk sepatu saya. Walah, saya jadi malu sekali. Bukan lantaran ditraktir dua kali–baso dan semir–namun karena seperti disentil dan disadarkan betapa saya selama ini sudah jadi orang yang pelit.

Akan tetapi kalau saya katakan, bahwa buku ini layak dinikmati terutama bagi para penggemar cerpen, itu bukan lantaran saya pernah ditraktir beliau loh, ya. ***

Senin, 21 Juli 2008

Bilangan Fu


Judul buku: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: KPG
Cetakan: I, 2008
Tebal:

Setelah Saman terbit (1998) dengan segala kehebohannya, citra penulis vulgar seolah-olah melekat pada diri pengarangnya, Ayu Utami (40). Citra ini bahkan tersiar sampai ke luar Indonesia. Fakta ini baru saya ketahui kira-kira dua minggu silam dari percakapan saya dengan 6 orang teman dari Malaysia yang mengaku sebagai “ulat buku”, sebutan di negeri jiran itu untuk kutu buku. Saat mereka berkunjung ke Jakarta pada acara Pesta Buku Jakarta 2008 yang lalu, mereka emoh menuruti saran saya untuk juga membeli (dan membaca) novel-novel Ayu Utami selain tetraloginya Pram lantaran kabar yang mereka dengar buku-buku Ayu itu porno.

Citra porno yang telanjur menempel pada perempuan lajang bertubuh ramping ini juga sempat membuat teman-teman saya yang hendak membeli (dan membaca) buku ini mempertanyakan : masih sejenis nggak ya buku ini dengan Saman?

Setamat saya membaca novel setebal 500-an halaman ini, saya baru bisa mengatakan, bahwa buku ini berbeda dengan karya Ayu terdahulu, Saman dan Larung.

Bilangan Fu barangkali akan menjadi sebuah cerita yang “berat” seandainya Ayu tidak menuliskannya dengan bahasa yang gurih, sebab ia, novel ini, memuat gagasan dan kritik Ayu pada tiga hal yang dianggapnya sebagai ancaman kebebasan dan demokrasi, yakni 3 M: modernisme, monoteisme, dan militerisme. Tema yang serius, bukan? Namun, secara cerdik Ayu menyiasatinya melalui jalinan kisah dua pemuda pendaki tebing yang tampan dan cerdas: Yuda dan Parang Jati.

Kedua lelaki muda yang sehat itu menjadi simbol dan sekaligus para pahlawan di novel ini yang memerangi segala bentuk penzaliman dan penganiayaan kepada alam dan manusia. Yuda dan Parang Jati tidak berdiri berseberangan sebagai dua orang seteru, tetapi justru saling bahu-membahu menjadi protagonis melawani musuh bersama: 3 M itu.

M yang pertama, modernisme, menurut Ayu menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan akibat eksploitasi manusia modern yang kelewat batas dan lupa menghormati alam. Manusia modern tak percaya lagi pada segala bentuk keramat dan cerita-cerita takhayul ihwal roh-roh halus penunggu pohon besar, sungai, gunung, dan samudera. Padahal kepercayaan pada takhayul dan keberadaan roh-roh halus yang dahulu “diimani” oleh masyarakat adat telah mampu menyelamatkan alam dari kebinasaan. Kerena percaya bahwa setiap benda dan tempat ada yang punya, mereka tak berani berlaku sewenang-wenang. Tetapi kini seiring dengan semakin lunturnya kepercayaan tersebut, semakin parahlah perusakan yang terjadi.

Kritik dan kampanye anti-perusakan lingkungan ini disampaikan Ayu dengan memilih dunia panjat tebing sebagai latar kisahnya. Yuda dan Parang Jati mengenalkan agama baru mereka : pemanjatan bersih atau yang lebih ekstrem lagi sacred climbing, yaitu teknik memanjat dengan sesedikit mungkin atau sama sekali tidak melukai tebing-tebing dengan alat-alat panjat modern seperti bor dan paku.

M yang kedua adalah monoteisme. Ayu meyakini, bahwa agama-agama langit yang monoteis memiliki persoalan mendasar dalam menerima perbedaan. Ayu menggambarkannya melalui permusuhan antara Kupukupu dan Parang Jati. Kupukupu adalah lambang mereka yang merasa diri paling benar dengan agama yang mereka peluk dan lalu merasa berhak mengadili serta mengkafirkan orang lain yang menganut kepercayaan yang berbeda dengannya. Mereka tak menyisakan ruang bagi perbedaan. Fundamentalis, begitulah tepatnya. Pada bagian inilah Ayu memperkenalkan filosofi bilangan fu yang lebih bermakna metaforis ketimbang matematis. Ini menyangkut pengertian akan Tuhan yang satu yang sering diartikan secara matematis.

Dan M yang ketiga adalah militerisme. Pendapat Ayu bahwa militerisme merupakan musuh utama demokrasi berangkat dari masa Orde Baru, di mana peran militer sangat dominan. Dengan kekuatan dan caranya sendiri, militer menebar teror, ketakutan, dan kekerasan di masyarakat demi mempertahankan kekuasaan. Kebebasan pers dibungkam, acara-acara seni dan sastra dimata-matai, diskusi dan kumpul-kumpul dianggap makar, sebversi. Kita yang sempat mengecap hidup di masa gelap tersebut tentu tahu betul rasanya.

Novel dengan beban gagasan seberat itu tentu akan terasa membosankan jika tak pandai-pandai mengemas dan menyajikannya. Bilangan Fu nyaris terjerumus menjadi novel demikian seandainya Ayu hanya fokus pada ide besarnya itu dan melupakan unsur-unsur “hiburan” dalam bukunya ini. Unsur-unsur hiburan itu di antaranya bumbu seks, asmara, dialog-dialog yang bernas, plot yang tidak linear, dan humor. Kendati saya sempat terserang jenuh juga oleh banyaknya kutipan kliping surat kabar dan majalah, “artikel” serius Parang jati, serta dialog panjang lebar Yuda dan Parang Jati yang sangat ilmiah, namun secara keseluruhan novel ini enak dibaca.

Lantas, bagaimana dengan cinta segitiga seperti yang diiklankan dalam sinopsis di sampul belakang buku ini? Ah, rasanya saya tidak menemukan adanya asmara tiga sisi di novel ini. Ayu tidak pernah secara terang-terangan menampilkan percintaan segitiga antara Yuda, Marja, dan Parang Jati. Marja itu pacar Yuda yang dengan tersirat dan samar-samar–melalui dugaan-dugaan Yuda–diceritakan juga menaruh hasrat kepada Parang Jati. Jadi, jika Anda berharap akan bertemu kisah cinta segitiga yang menggelora dalam novel ini, siap-siaplah kecewa.***

Jumat, 04 Juli 2008

Children of The Lamp


Judul buku: The Children of The Lamp; The Akhenaten Adventure
Penulis: P.B. Kerr
Penerjemah: Utti Setiawati
Penyunting: Akmal N.B. & Fahmi
Penerbit: Matahati
Cetakan: I, 2008
Tebal: 416 hlm

Anda percaya jin? Percaya penuh atau separuh atau justru tidak percaya? Saya sih rada-rada tidak percaya, sebab belum pernah bertemu langsung dengan makhluk yang berasal dari alam gaib itu. Memang sih, dalam ajaran agama saya, Islam, keberadaan bangsa jin diakui. Malah ada yang menggolongkannya dalam 2 jenis: jin kafir dan jin Islam. Yang pertama itu adalah jin jahat yang tidak mau menuruti perintah Tuhan; sedangkan yang terakhir jin saleh yang selalu mematuhi penciptanya.

Jin yang saya ketahui hanyalah jin-jin dalam dongeng-dongeng yang berasal dari Kisah 1001 Malam. Tentu saja yang paling terkenal adalah jin yang keluar dari lampu ajaib milik Aladin. Atau kalau hendak mengembara ke masa kecil saya adalah jin cantik berambut pirang bermata biru dalam serial tivi era ’70-an : I Dream of Jeannie. Jin perempuan ini tinggal dalam botol dan pandai menyihir. Ia akan mengabulkan setiap permintaan majikannya yang tampan.

Baiklah. Rasanya cukuplah cuap-cuap tentang jin sebagai pengantar ulasan saya untuk buku fantasi Children of The Lamp. Mengapa jin? Ya sebab buku ini berisi dongeng khayalan ihwal jin hari ini yang hidup dan tinggal di tengah-tengah manusia (di sini disebut mundane; sedangkan di Harry Potter Rowling memakai istilah muggle).

John dan Philippa baru tahu kalau diri mereka ternyata berdarah campuran separuh jin dan separuh manusia. Ibu mereka yang jelita, Layla, berasal dari bangsa jin yang menikahi Edward Gaunt, pria Amerika.

Layla tidak mengira kedua anak kembarnya menjelma jin jauh lebih cepat dari yang diharapkan. Pada usia 12 tahun mereka kudu menerima takdir mereka sebagai jin muda yang ditandai oleh tumbuhnya gigi geraham bungsu. Dokter gigi mereka menganjurkan agar gigi-gigi tersebut dicabut melalui operasi.

Saat menjalani operasi itulah, dalam kondisi tidak sadar karena anestesi, kedua kembar berjumpa dengan Nimrod, paman mereka yang tinggal di London. Dalam pertemuan tersebut Nimrod meminta mereka untuk datang ke London dan berjanji akan melatih mereka menjadi jin yang keren.

Maka, lantas John dan Philippa terbang ke London. Di sana Nimrod menepati janjinya melatih mereka hidup sebagai jin : masuk ke dalam botol, berubah wujud, meniadakan dan mendatangkan benda-benda, dll. Nimrod tak semata-mata mengajarkan, tetapi juga mempersiapkan keduanya untuk menghadapi serangan dari jin jahat yang ingin mengembalikan kejayaan mereka seperti di masa lampau. Tanpa mampu dicegah, John dan Philippa tahu-tahu sudah terlibat dalam sebuah petualangan seru di Mesir, menyingkap misteri makam Akhenaten dan para firaun.

Saya sebetulnya tidak begitu suka kisah-kisah fantasi (kecuali Harry Potter yang menurut saya idenya sungguh luar biasa). Tapi sesekali sih boleh juga sebagai selingan. Apa lagi jika ternyata bukunya enak dibaca seperti Children of The Lamp ini.

Buku ini saya bilang enak dibaca lantaran banyak terdapat humor di dalamnya yang bikin tersenyum dan tertawa. Misalnya, pada bagian Groanin yang kepedasan menyantap “creemy special special”. Pelayan Nimrod yang setia dan suka menggerutu ini sampai tak sadar meminum air di vas bunga yang sudah melumut (iiiuuuuuuuh….) untuk menghilangkan rasa pedas yang membakar lidahnya. Saat itu saya kok teringat Squideward, tokoh cumi-cumi dalam film kartun SpongeBob SquarePants.

Dari segi cerita tidak ada yang baru. Artinya, seperti lazimnya buku cerita anak-anak, sangat hitam-putih. Yang baik mengalahkan yang jahat, ada pahlawan dan ada pecundang. Ada petualangan dan keajaiban. Dan yang paling penting ada kegembiraan, satu hal yang membuat saya menyukai buku anak-anak.

Mengenai tokoh-tokohnya yang berasal dari bangsa jin, tentu juga bukan barang asing. Sebagaimana telah saya singgung di atas, jin sudah cukup dikenal anak-anak melalui hikayat Seribu Satu Malam.

So, dapat apa kita dari buku karya P.B. Kerr ini? Tentu terutama sekali mendapatkan penghiburan. Selanjutnya adalah pengetahuan lebih dalam lagi ihwal firaun dan seluk-beluk per-jin-an. Itu pun kalau Anda rela memercayainya.***

Minggu, 15 Juni 2008

Adam Hawa


Judul: Adam Hawa
Penulis: Muhidin M.Dahlan
Penerbit: ScriPta Manent
Cetakan: I, 2005
Tebal: 166 hlm.

Adam dalam kitab-kitab suci agama langit, Islam, Nasrani, dan Yahudi, dipercaya sebagai manusia pertama ciptaan Tuhan. Makhluk berjenis kelamin lelaki ini, masih menurut kitab-kitab suci itu, dibuat dari tanah. Sebelum kemudian ia diusir dari Surga, Tuhan telah berbaik hari memberinya seorang kawan yang–sebagaimana tertulis dalam ayat-ayat Tuhan–diciptakan dari seruas tulang iga Adam sebelah kiri (barangkali dari sini berawal penempatan perempuan dalam saf salat berjamaah). Tersebab Adam melanggar larangan Tuhan untuk tidak menyentuh atau apa lagi sampai berani memakan buah khuldi–buah yang hanya tumbuh di Surga (ada juga versi yang menyebutnya apel)–ia pun dihukum Tuhan dengan dilemparkan ke bumi bersama “rusuk kirinya”. Itulah sejarah yang selama ini diimani sebagai asal mula adanya manusia di bumi.

Oleh penulis “gemblung” Muhidin M. Dahlan, “sejarah” suci itu ditulis kembali dengan gaya kelakar yang bisa jadi bikin pembaca yang relijius akan merah kuping dan “berasap” kepalanya. Pasalnya Adam Hawa dalam versi Gus Muh atawa Gus Pengasap ini tampil dalam sosok yang “berbeda”. Oh, bahkan Gus Sinting ini berani menuliskan bahwa Hawa bukanlah perempuan pertama, sebab yang pertama itu adalah Maia (ah..kenapa saya lalu jadi ingat Maia Ahmad, ya?)

Lantaran sebelumnya saya sudah sempat mencari kenal penulis muda yang banyak mendapat hujatan, terutama dari kelompok Islam karena keempat novelnya yang dianggap kelewat nyeleneh itu, maka saya sudah menyiapkan mental untuk bertemu dengan sebuah lakon yang “aneh”.

Muhidin menyajikan dua versi “unik” mengenai penciptaan Adam. Versi pertama, ia mengartikan secara harfiah Adam yang dibuat dari tanah. Tuhan telah memerintahkan malaikat-malaikatnya yang setia untuk menemui kaum kurcaci yang terkenal mahir membuat patung. Pada orang-orang mungil ini, malaikat memesan sebuah patung lempung makhluk terbaru yang kelak dikenal sebagai manusia. Gambar dan rancangan patung tersebut dibuat sendiri oleh Tuhan dengan detail yang sangat sempurna. Ketika saatnya tiba, Tuhan menghembuskan kehidupan ke dalam tubuh patung lempung tersebut dan memanggilnya dengan nama Adam.

Versi kedua, Tuhanlah yang “melahirkan Adam”. Cuma karena Muhidin menafsirkan Tuhan berkelamin cowok (Ugh, mengapa harus ditafsirkan sebagai lelaki?) yang tidak memiliki rahim dan vagina, maka Adam lalu dikisahkan lahir lewat ketiak Tuhan yang dipenuhi bulu. Sungguh imajinasi yang, hmm, nakal. Saya bisa paham jika ada pembaca yang tidak berkenan dan misuh-misuh. Saya tidak tahu deh bagaimana reaksi FPI kalau membaca novel tipis ini.

Adam ternyata lebih suka dan sepakat dengan versi kedua. Sebab menurut hematnya versi pertama sangat tidak keren. Tercipta dari lempung? Oh, sungguh hina dan memalukan. Sebutan “putra Tuhan” tentu jauh lebih terhormat.

Setelah sekian lama sendiri di Taman Eden, pada suatu pagi Adam terkejut lantaran mendapati seorang makhluk lain yang sangat mirip dengan dirinya nangkring di batang pohon khuldi. Ah, tetapi setelah ia dekati, makhluk itu ternyata sedikit berbeda dengan dirinya. Bagian dadanya menggelembung, tidak rata seperti miliknya. Dan sebaliknya, di antara selangkangannya tidak terdapat gumpalan daging yang mirip akar tunjang seperti di tubuhnya. Makhluk itu menyebut dirinya Maia.

Lalu, tinggallah Maia bersama Adam di Taman Eden, di sebuah rumah batu (entah belajar dari mana Adam cara membuat rumah itu). Setiap detik mereka lewati dengan bercinta sampai kelelahan. Rupanya, Tuhan yang pandai itu telah melengkapi Adam dan Maia dengan hasrat berahi yang membuat keduanya saling tertarik dan bergairah satu sama lain. Tiada hari tanpa bercinta. Hingga pada suatu masa Maia tiba pada titik jenuh karena pasangannya kelewat dominan dan suka memerintah. Maia tak diperkenankan memiliki inisatif, bahkan dalam soal bercinta sekalipun. Ia harus selalu mematuhi kehendak Adam, tanpa boleh membantah sedikitpun. Maka, kemudian ia memutuskan minggat dari lelaki itu.

Nah, barulah setelah kepergian Maia entah ke mana, Tuhan memberikan Hawa sebagai penggantinya. Hawa yang penurut serta tak pernah menuntut. Disuruh apapun akan ia laksanakan dengan kepatuhan seorang budak kepada majikannya. Sebab, ia telah diperintahkan Tuhan untuk hanya mematuhi Adam. Ow..ow…inikah hulu sejarah masyarakat patriarkhi (male domination)?:D

Yah, saya cuma bisa mengatakan, sebagai sebuah novel, cara penggarapannya masih harus diamplas lagi supaya lebih halus. Untuk tema cerita, saya sama sekali tidak mempersoalkan. Saya pikir, demi kebebasan berkreasi, tema apapun boleh ditulis. Perkara mutu penulisannya, itulah yang perlu diperhatikan.

Untuk penerbitnya, sangat saya sarankan agar lebih memerhatikan ejaan. Saya menemukan banyak kekeliruan yang terkesan kebablasan. Misalnya, “memperoleh” ditulis “memeroleh”, “memperlihatkan” ditulis “memerlihatkan”, dll. Ini kan kebablasan, jangan mentang-mentang “memperhatikan” harus ditulis “memerhatikan”. Sebab, kata dasar “memerhatikan” adalah “perhati”, sedangkan “memperlihatkan”, kata dasarnya adalah “lihat”.

Komentar untuk Gus Muh : “Kau memang edan tenan, Gus!”

Senin, 02 Juni 2008

Novel Pangeran Diponegoro


Judul buku: Novel Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil
Penulis: remy Sylado
Penerbit: Tiga Serangkai
Cetakan: I, 2007
Tebal: 339 hlm.

Remy Sylado sudah sering menulis novel sejarah. Sebut saja misalnya, Kembang Jepun, Parijs van Java, dan Ca Bau Kan. Ketiganya merupakan fiksi berlatar sejarah. Kembang Jepun ber-setting Surabaya, Parijs van Java menceritakan riwayat Bandung tempo doeloe, dan Ca Bau Kan adalah kisah ihwal sejarah orang-orang Cina di Betawi dan Semarang. Terakhir adalah Novel Pangeran Diponegoro yang menurut desas-desus akan terbit dalam tujuh jilid.

Diponegoro yang memiliki nama kecil Ontowiryo terlahir sebagai putra sulung raja Jawa, Hamengku Buwono III dengan salah seorang selirnya, Raden Ajeng Mangkarawati (putri bupati Pacitan), di Yogyakarta pada 11 November 1785. Sejak bayi ia diasuh dan dipelihara oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng, di sebuah puri di desa Tegalrejo. Di sini ia ditempa bermacam ilmu dan pengetahuan; mulai dari olah tubuh hingga olah batin. Ia dibesarkan dalam ajaran Islam dan tradisi Jawa yang berakar pada Hindu dan animisme.

Riwayat sang Pangeran yang ditulis sebagian berdasarkan Babad Diponegoro yang berjumlah empat jilid dengan keseluruhannya 1357 halaman ini, pada buku pertama dengan subjudul Menggagas Ratu Adil, mengisahkan masa kecil Ontowiryo hingga ia diangkat menjadi pangeran dengan nama Diponegoro; nama yang dipilihnya sendiri karena kekagumannya pada leluhur. Saat itu Kesultanan Yogyakarta diperintah oleh Hamengku Buwono II, kakek Diponegoro, yang kemudian dilucuti kekuasaannya oleh Gubernur Jendral Daendels. Daendels lalu mengangkat putra Hamengku Buwono II sebagai raja baru yang bergelar Hamengku Buwono III (ayahanda Diponegoro).

Diriwayatkan pula betapa Ontowiryo muda senang sekali membaca berbagai kitab, agama dan sastra, suluk, primbon, babad, tarikh, dll. Buku-buku itu diperolehnya dari pedagang kelontong keliling keturunan Thionghoa, Ong Kian Tiong (entahlah ia ini tokoh riil atau fiktif). Setiap hari, setelah beribadat di surau, Ontowiryo kerap menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku tersebut. Selain itu ia juga mempelajari dan menekuni laku batin dengan tapa dan semadi ditambah olah tubuh sebagai bekal membela diri kelak menghadapi musuh bangsa Jawa : Belanda Setan.

Tentu kita sepakat, bahwa materi buku yang sarat unsur sejarah ini merupakan materi yang bagus sekali. Di dalamnya ada banyak informasi seputar sejarah kerajaan di Jawa, khususnya KesultananYogyakarta yang diacak-acak bangsa kulit putih, dari masa pemerintahan Daendels (Belanda) hingga Sir Stamford Raffles (Inggris).

Buku ini seharusnya bisa lebih baik lagi jika terbebas dari kekeliruan-kekeliruan yang bisa jadi berasal dari penulisnya atau penerbit yang mengetik ulang naskah ini, sebab konon Remy menulisnya dengan menggunakan mesik ketik. Yang beberapa kali terjadi adalah kejanggalan soal umur tokoh-tokohnya.

Umpamanya, pada halaman 72 : “Tapi dalam setiap waktu ada waktu-waktunya masing-masing. Umurku baru akan menginjak setengah abad. Padahal aku rasa–begitu yang aku lihat dalam mata terpejam di setiap tapaku–usia paling tepat untuk menjadi amirulmukminin sekaligus penatagama yang kalifatullah di tanah Jawa ini adalah angka 40.”

Dialog di atas diucapkan oleh nenek buyut Ontowiryo kepada cucunya itu saat sang cucu berumur 23 tahun. Jika Anda tak malas berhitung, hitunglah berapa kira-kira umur orang tua Ontowiryo dengan berpatok pada kalimat yang saya kutip itu. Jika nenek buyutnya–berarti nenek dari orang tua Ontowiryo–baru berusia menjelang separuh abad, berapakah usia neneknya? Dan berapa usia ayah ibunya?

Anehnya, pada halaman 253, Remy menyebutkan, bahwa umur Hamengku Buwono II (putra Ratu Ageng) adalah 60 tahun. Saat itulah, saya dengan berat hati terpaksa berasumsi, demi menjaga kenikmatan membaca, bahwa telah terjadi salah ketik di halaman 72. Mungkin maksudnya, “menginjak seabad”. Barulah urusan umur ini terasa masuk akal.

Namun, rupanya perkara umur yang janggal belum selesai. Masih tersisa satu lagi di halaman 334: Sayang, Sultan Raja hanya sebentar saja menikmati kereta bagus itu. Dua tahun setelah menjadi Sultan Hamengku Buwono III, pada 1814 dia wafat di usia 43 tahun.

Mari kita cermati lagi. Sultan HB III adalah ayah Diponegoro. Diponegoro lahir pada 1785. Ketika ayahnya meninggal pada 1814, ia berumur 29 tahun. Kalau pada wafatnya HB III berumur 43 tahun, itu artinya ia lahir pada 1771 dan pada 1785, saat ia baru berusia 14 tahun, punya anak Ontowiryo. Ah…kok sulit buat nalar saya menerima paparan ini meskipun telah saya coba memahaminya dengan mengaitkannya pada konteks zaman dulu di mana menikah muda itu sesuatu yang lazim. Tetapi, 14 tahun punya anak?

Saya penasaran. Akhirnya saya cari sumber lain. Ketemulah di internet sumber lain itu yang menyatakan bahwa HB III lahir pada 1769 dan wafat pada 1814. Nah, ini lebih masuk akal, sebab berarti pada saat punya anak ia telah cukup dewasa: 16 tahun. Sekali lagi saya harus menoleransi data di novel ini sebagai sebuah kesalahan pengetikan (Duh..banyak banget ya salah ketiknya? Dan kok kebetulan menyangkut hal yang penting).

Walaupun saya sempat kehilangan minat, saya teruskan juga menyelesaikan novel ini. Harus saya akui di luar masalah umur tadi, Remy adalah seorang pendongeng yang cukup mengasyikkan. Seperti pada buku-bukunya yang lain, Remy yang sangat menyukai bahasa asing sering menggunakannya dalam percakapan tokoh-tokohnya. Tak lupa juga ia menyelipkan humor-humor yang lumayan menyegarkan. Contohnya:

Sambil memandang ke langit, dia berkata, “Siapkan pasukan tempur hari ini juga. Kita akan bikin dia kebakaran janggut.”
Wiese menyelang, katanya, “Dia tidak berjanggut, Tuan Gubernur Jendral.” (hlm.211).

Sayangnya, sebagai pendongeng, Remy kerap melupakan detail. Kebetulan, pada saat yang bersamaan saya juga tengah membaca Rara Mendut, novel trilogi karya mendiang Romo Mangun yang diterbitkan kembali. Kebetulan pula, setting Rara Mendut sangat mirip dengan novel Remy ini : Jawa tempo doeloe.

Jika harus membandingkannya dengan Rara Mendut, Novel Pangeran Diponegoro akan terlihat kurang untuk urusan detail. Dalam Rara Mendut, dipaparkan detail motif kain batik yang dikenakan para raja, permaisuri, dan selir-selirnya. Juga hiasan pada keris dan benda-benda pusaka lainnya. Pun yang menyangkut tata cara adat kerajaan. Hal tersebut luput dari pengamatan Remy, termasuk penggunaan istilah bahasa Jawa untuk menyebut kakak lelaki dengan “kangmas”. Alih-alih memakai sebutan “kangmas”, Remy malah menggunakan istilah “kakak” saja (bab 15). Mungkin sepele, tetapi cukup bikin gatal.

Barangkali saya jenis pembaca yang cerewet untuk hal-hal demikian. Ibarat menikmati sebuah taman bunga, hal-hal yang bikin gatal tadi adalah rumput-rumput liar yang luput disiangi oleh pemilik atau tukang kebunnya. Alhasil, taman bunga yang seharusnya indah dipandang, jadi sedikit terganggu keasriannya. Harapan saya, pada buku selanjutnya (masih aka nada enam lagi) kesalahan-kesalahan tadi jangan sampai terjadi lagi.***ENDAH SULWESI