Selasa, 24 Februari 2009

Eendaagsche Exprestreinen



Judul buku: Eendaagsche Exprestreinen
Gambar: Bondan Winarno, Dhian Prasetya, Gede Juliantara
Teks: Yusi A.Pareanom & Risdianto
Penerbit: Banana
Tebal: 60 hlm
Cetakan: I, 2009

Entah kenapa, novel grafis atau komik lokal ini diberi judul memakai bahasa Londo (Belanda) yang artinya kereta ekspres siang. Barangkali agar lebih terasa aroma jadulnya mengingat seting cerita komik ini Batavia 1930. Atau bisa jadi juga sebagai daya tarik pemasarannya. Eendaagsche Exprestreinen tentu terdengar lebih keren ketimbang kereta ekspres siang. Sah-sah saja.

Kereta api di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Diawali di Jawa dengan pembangunan rel pertama yang membentang dari Kemijen ke Tanggung (1864) oleh perusahaan swasta NV.NISM (Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) sepanjang 26 km. Jalur ini kemudian diteruskan hingga Solo dan Yogyakarta (1870-an).

Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda tertarik untuk membangun jalur yang lain. Melalui perusahaannya, SS, dibuatlah jalur dari arah timur (Surabaya-Pasuruan) dan lanjut ke barat sampai ke Solo. Hingga kemudian pada 1929 telah tersedia jalur langsung Batavia-Soerabaia yang dapat ditempuh dalam satu hari saja.

Selain di Jawa, pembuatan jalan sepur ini juga dilakukan di Sumatra dan Sulawesi.

Komik kereta ini merupakan komik kedua terbitan Banana dengan masih mengandalkan Bondan Winarno dan dua rekannya sebagai juru gambar serta jalinan cerita yang dipercayakan kepada Risdianto dan Yusi Pareanom.

Bicara gambar-gambar dalam komik ini, menurutku rada mirip komik Herge, Tintin. Gambar bola mata karakter-karakternya dibuat hanya berupa titik hitam saja, persis seperti komik Tintin. Demikian pula dengan pelukisan suasana, detail dan penuh warna. Menarik. Ini bisa dilihat pada gambar sampul depannya: suasana hiruk-pikuk di sebuah stasiun kereta yang didominasi oleh gambar-gambar orang dengan segala kesibukannya.

Pada latar depan, ada penjual sate dengan 4 orang pembelinya. Agak di tengah, tampak 2 orang bocah lelaki yang tengah berkejaran. Sementara itu, seorang gadis Tionghoa, tertawa gembira menyaksikan. Berikutnya, ada tukang buah, tukang cukur, dan orang-orang yang duduk sembari makan atau mengobrol. Di belakang sekali, ada lokomotif hitam antik yang sedang parkir. Sekali lagi, menarik.

Tak kalah menarik juga gambar-gambar yang tersaji di dalam halaman-halaman yang berjumlah 60 ini. Ditampilkan dalam panel-panel berukuran besar dan kecil, deretan gambar tersebut menyajikan pemandangan tempo doeloe, baik suasana maupun peristiwanya, termasuk interior gerbong kereta yang masih terbuat dari kayu.

Sayangnya, gambar-gambar keren itu tidak ditunjang cerita yang memikat. Ah, sebenarnya temanya sih bolehlah, tentang persahabatan tiga anak yang berlainan bangsa: Seta si bocah Jawa, Johan anak Belanda, serta A Xiu, gadis kecil asli Cina. Mereka bertiga bertemu di sebuah kereta api siang jurusan Batavia-Soerabaia. Bersama orang tua masing-masing, mereka menempati gerbong-gerbong kelas I.

Perjalanan Batavia-Soerabaia yang memakan waktu tempuh 9 jam menjadi arena petualangan ketiga bocah yang kemudian bersahabat itu. Dengan keberanian khas kanak-kanak, Seta, Johan, dan A Xiu berhasil meringkus komplotan pencuri yang sedang dicari-cari polisi.

Untuk pembaca dewasa, kisah di atas mungkin kurang “nendang” (meminjam istilah Yusi). Kurang nggreget. Humor-humornya garing, kurang “hidup”, dan terkesan dipaksakan kehadirannya. Lebih cocok sebagai bacaan anak-anak dan remaja. ***

Rabu, 11 Februari 2009

Cinta di Atas Perahu Cadik


Judul buku: Cinta di Atas Perahu Cadik
Penulis: Seno Gumira Ajidarma, dll.
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, 2008
Tebal: 166 hlm.


Beberapa waktu lalu, seorang teman cerpenis di Bandung, curhat. Katanya dengan nada masygul, ia baru saja mendapat penolakan dari salah satu penerbit untuk naskah calon buku kumpulan cerpennya. Alasan penerbit, buku kumpulan cerpen seret pemasarannya. Kurang diminati, tidak seperti novel. Teman saya bertanya kepada saya (karena katanya saya kan senang baca fiksi), apa benar demikian? Apa benar novel lebih disukai ketimbang kumpulan cerpen?


Setelah pura-pura mikir beberapa saat, saya menjawab, bisa jadi. Sebab, kalau diingat-ingat lagi, saya juga ternyata memang lebih banyak membaca novel daripada kumcer. Nah mengapa demikian, ya? Hmm, barangkali karena cerpen itu ceritanya singkat. Lagi seru-serunya, eh..malah sudah harus berhenti. Belum lagi, emosi kita harus terpotong-potong karena jenis ceritanya yang beragam. Tetapi, sebenarnya kalau cerpennya menarik seperti "Ripin" atau "Brokeback Mountain", kayaknya sih asyik-asyik saja ya? Dan sebaliknya, biar pun itu novel, kalau buruk, ya tetap saja ngeselin membacanya.


Sebenarnya bukan cuma teman saya yang cerpenis itu saja yang kecewa. Salah seorang teman dari sebuah penerbit juga pernah berkeluh-kesah untuk kasus yang sama. Buku kumpulan cerpen yang mereka terbitkan ternyata jeblok di pasaran. Padahal ditulis oleh seorang cerpenis kelas dunia yang memenangi beberapa penghargaan internasional. Dia gemas ketika mendapati realita justru buku-buku guyonan yang malah laku keras.


Katanya dengan pedih sembari gusar, "Maunya apa sih pembaca kita ini?"


Saya akhirnya cuma bisa garuk-garuk kepala (walaupun sebenarnya nggak gatal) :D

Tetapi yang jelas, sesekali saya masih suka membaca kumcer, termasuk buku kumcer Kompas pilihan yang terbit setiap tahun. Tahun lalu terbit dengan judul Cinta di Atas Perahu Cadik, diambil dari cerpen terbaik karya Seno Gumira Ajidarma yang ditetapkan oleh dua orang juri, yakni Sapardi Djoko Damono dan Ayu Utami. Seluruhnya ada 15 cerpen.

Tetapi, bukan itu cerpen favorit saya di buku ini. Saya lebih suka “Kisah Pilot Bejo” , cerpen karya Budi Darma. Cerpen yang bertutur dengan gaya komedi ini merupakan respons penulisnya terhadap musibah raibnya pesawat penumpang Adam Air yang nyungsep di perairan Majene, bagian barat Sulawesi dua tahun lalu. Budi Darma menyampaikan kritiknya terhadap kinerja maskapai penerbangan kita dengan gaya menyindir yang pedas dan nyelekit. Misalnya saja, penyebutan nama maskapai penerbangan dalam cerpennya dengan inisial AA (Amburadul Airline, tentu menyindir Adam Air) dan SA (Sontholoyo Airlines–apakah yang dimaksud Sriwijaya Air?) serta tentang prosedur standar penerbangan yang sering diabaikan sehingga mengakibatkan kecelakaan fatal.

Cerpen favorit kedua, “Sepatu Tuhan” (Ugoran Prasad). Sejak kepincut “Ripin”, saya hampir selalu membaca cerpen-cerpen karya Ugoran Prasad. Kisahnya juga ihwal dunia riil; tentang makna persahabatan dua orang bocah lelaki yang dipertemukan kembali ketika keduanya sama-sama dewasa di sebuah kantor polisi. Yang satu sebagai letnan polisi dan satunya lagi tersangka pelaku kejahatan. Kisah sederhana dengan akhir yang saya suka: menyentuh.

Selanjutnya, ada dua cerpen yang mengangkat tema “basi” PKI : “Hari Terakhir Meilan” (Soeprijadi Tomodihardjo) dan “Candik Kala” (GM Sudarta). Sementara itu, Adek Alwi, penulis senior sejak zaman Anita Cemerlang, menulis “Lampu Ibu”, sebuah cerita pendek seorang ibu yang putranya dituduh korupsi.

Cerpen berjudul romantis, “Gerimis yang Sederhana” (Eka Kurniawan) menjadi cerpen penutup. Mengambil seting Los Angeles, Amerika Serikat, Eka ingin mengenang tragedi kerusuhan 1998, khususnya kasus pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa. Eka sukses menghindari penceritaan yang penuh dendam dan dengan cerdik ia membelokkannya menjadi sebuah kisah romantis dengan akhir yang tidak terduga.

Tunggu, masih ada satu cerpen lagi yang nyaris saya suka : “Tukang Jahit” (Agus Noor). Kenapa nyaris? Cerpen ini keren, namun karena ujung-ujungnya ternyata surealis, jadi agak mengurangi kenikmatan membaca saya yang beraliran realis.

Dan sebagai cerpen juara “Cinta di Atas Perahu Cadik”, adalah sebuah cerpen cinta (terlarang) dengan tokoh lelaki kesayangan SGA: Sukab. Mengapa cerpen ini terpilih menjadi cerpen terbaik? Alasan dewan juri yang diwakili Ayu Utami, antara lain menyatakan, bahwa cerpen SGA ini memiliki keistimewaan karena sebagai cerpen, ia banyak kali melakukan perpindahan sudut pandang yang sesungguhnya sangat berbahaya. Tetapi pengarang berani mengambil risiko ini dan selamat.

Ayu juga mengatakan, bahwa cerpen tersebut menyajikan adegan dan dialog yang jalin-menjalin dalam simpul yang efektif dan efisien, tak ada yang sia-sia. Saya tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan Ayu ini. Bagi saya, “perahu cadik” Seno ini ya “hanya”sebuah cerpen tentang cinta dan perselingkuhan.

Tapi baiklah. Sayembara telah usai dilangsungkan. Pemenangnya sudah diputuskan. Jika ada pro dan kontra, itu biasa. Kalau kau suka, bacalah. Jika tak suka, tinggalkan saja.***

Minggu, 01 Februari 2009

Embroideries


Judul buku: Bordir
Judul asli: Embroideries
Penulis: Marjane Satrapi
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2006
Tebal: 136 hl
m

Sebelum aku menulis tentang buku ini, aku ingin berterima kasih kepada Susi alias Ibutio alias Tukang Kue, yang telah membarterkan buku ini. Kalau tidak terjadi pertukaran tersebut, mungkin saja aku tidak pernah mengenal Marjane Satrapi, penulis cewek asal Teheran yang juga menulis komik Persepolis itu. Aku sih belum baca komik tersebut, tetapi gara-gara Embroideries ini, aku akan membacanya (dan juga Chicken with Plums).

Baiklah, kini aku akan ngoceh sedikit ihwal Bordir.

Di Iran, seperti terdapat di banyak tempat di dunia ini, ada satu kebiasaan yang dilakukan para perempuan: bergosip. Perempuan memang terkenal doyan ngobrol. Entah, kegiatan itu mungkin sebagai katup pelepas dari segala persoalan rutin. Biasanya dengan diobrolkan, beban yang tengah ditanggung akan terasa berkurang separuhnya.lah-olah kita memindahkan sebagian masalah kepada teman yang kita ajak bicara. Semacam terapi kira-kira. Atau barangkali aktivitas bergosip ini juga merupakan sebuah upaya memerdekakan diri dari aturan tradisional yang melarang perempuan bicara di hadapan publik. Alhasil, mereka mencari cara sendiri agar tetap bisa “bicara”.

Perempuan-perempuan dalam Klan Satrapi tak terkecuali. Mereka memiliki kebiasaan ngobrol setelah usai santap siang, di saat ketika para lelaki justru berangkat istrirahat siang. Mereka juga mengundang beberapa teman dekat untuk saling bertukar cerita.

Apa saja yang dibincang? Mungkin tentang banyak hal, tetapi di buku ini Satrapi hanya menampilkan obrolan intim di antara perempuan seputar urusan seks. Eiits, jangan buru-buru berprasangka jorok, sebab ternyata tidak jorok sama sekali. Memang ada menyinggung-nyinggung soal penis dan ukurannya, tetapi tidak lalu terjerumus menjadi vulgar. Malah yang tercipta justru sindiran-sindiran tajam dalam kemasan humor yang kental kepada kaum pria. Atau lebih jauh lagi, menertawai diri sindiri. Entah karena kebodohan atau karena ketidaktahuan.

Misalnya saja, ada salah seorang dari mereka yang mengaku belum pernah satu kali pun selama hayatnya melihat bentuk testis, karena suaminya lebih suka bercinta dalam kondisi kamar gelap gulita. Celakanya lagi, keempat anak mereka perempuan semua! Bayangkan! Rasanya aku pun akan ngakak keras-keras mendengar kisah “memilukan” seperti itu :D Bolehkah kita menyimpulkan, bahwa Satrapi tengah menggugat kondisi di Iran yang membatasi kebebasan perempuan, baik dalam berekspresi mau pun dalam memperoleh informasi?

Satrapi dan orang tuanya yang terpaksa harus pindah ke luar Iran karena rezim pemerintahan yang tidak memberi ruang pada kebebasan individu, tentu mengerti betul artinya hidup dalam serba-keterbatasan. Apalagi bagi seorang perempuan seperti dirinya. Iran yang sangat patriarki tentu sangat tidak bersahabat dengan kaum perempuan. Mereka menciptakan aturan dan aneka mitos untuk membuat perempuan tunduk dan patuh. Termasuk untuk urusan jodoh dan seks.

Di sana masih banyak terjadi praktik perkawinan yang dijodohkan oleh orang tua. Biasanya bermotif ekonomi atau takut anak gadis mereka menjadi perawan tua. Maka, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika ada orang tua yang mengawinkan anak gadis mereka dengan pria tua bangka yang lebih pantas menjadi kakek si gadis.

Yang paling celaka, jika para gadis itu sendiri yang akhirnya termakan mitos “takut menjadi perawan tua”. Mereka lalu jadi pasrah saja ketika ada pria yang sedikit saja berpenampilan mentereng melamar mereka. Menjadi istri dari seorang suami ganteng dan kaya rupanya masih menjadi impian banyak gadis di Iran. Apalagi kalau lelaki tersebut bekerja atau mengaku berbisnis di luar negeri. Hal yang agaknya sangat dipahami oleh kaum pria, yang kemudian memakainya sebagai taktik untuk mendapatkan seorang gadis malang yang bisa ditipu dan membawa kabur seluruh perhiasan si gadis begitu malam pertama usai. Meninggalkan si gadis yang kehilangan dua miliknya : perhiasan dan keperawanannya.

Nah, soal keperawanan di sana juga masih dianggap penting. Seorang gadis baik-baik diharapkan atau malah diharuskan masih perawan suci pada malam pengantin mereka. Tidak peduli suami mereka sudah menduda delapan kali, misalnya. Maka, para perempuan itu harus pandai bersiasat. Mulai dari mengakalinya dengan darah perawan tipuan (dari anggota tubuh yang sengaja diiris) sampai metoda paling canggih: operasi selaput dara atau yang mereka sebut “bordir”. Kalau sudah begini, siapa yang salah sebenarnya?

Salah siapa juga jika para perempuan setengah baya yang merasa sudah kehilangan daya pikat fisik lantas ramai-ramai melakukan bedah kosmetik memperbesar atau memperkecil bagian-bagian vital tubuh mereka? Siapa yang bodoh akhirnya bila menginginkan seorang wanita 50 tahun masih harus kencang payudara dan bokongnya? Salahkah bila perempuan lalu memakai juga jurus tipu-tipu dengan memindahkan lemak di, maaf, pantat, untuk memperbesar dan mengencangkan payudara demi para suami pemuja payudara besar? Jadi, hati-hatilah hai para lelaki. Kalau Anda senang menciumi payudara besar, jangan bangga dulu. Siapa tahu yang Anda nafsui itu adalah payudara hasil tambal sulam lemak di pantat :)

Wow, apakah aku sudah berkata-kata vulgar dengan menyebut-nyebut tubuh bagian belakang itu? Kalau iya, bukan aku yang harus disalahkan. Aku kan cuma menceritakan kembali apa yang ditulis dan digambar oleh Satrapi. Ah, tetapi jangan berlebihanlah. Percayalah, komik hitam putih ini tidak menampilkan gambar-gambar seronok. Sama sekali tidak. Dialognya pun tentu lebih lucu dari yang sudah aku kisahkan. Secara gemilang, Satrapi telah berhasil menjadikan komik karyanya ini sebagai media menyampaikan pesan dan kritik. Jika diibaratkan makanan, Embroideries adalah snack yang ringan, renyah, gurih, namun bergizi tinggi.***