Senin, 29 Desember 2008

Jack si Pelompat


Judul buku: Jack si Pelompat
Judul asli: Spring-Heeled Jack
Penulis: Philip Pullman
Penerjemah: Yashinta Melati F
Penerbit: PT Gramedia Pustka Utama
Cetakan: I, 2008
Tebal: 128 hlm

Tentu saja pertimbangan pertama saya membaca buku ini karena pengarangnya, Philip Pullman. Saya “jatuh cinta” pada penulis dongeng asal Inggris ini. Tiga bukunya telah saya baca: Putri si Pembuat Kembang Api, Dulu Aku Tikus, dan Si Pembuat Jam. Jack si Pelompat ini menjadi buku keempatnya yang saya baca. Semuanya tipis, hanya berkisar di 100-an halaman saja.

Yang menarik dari keempat buku Pullman itu selain ceritanya yang sederhana sekaligus fantastis adalah juga gambar-gambar ilustrasi yang tertera di setiap halamannya. Gambar-gambar tersebut menjadi bagian yang kocak dari dongengnya yang memukau. Ilustrasi itu berupa gambar hitam putih dan seperti komik memuat juga dialog tokoh-tokohnya.

Jack si Pelompat adalah seorang pahlawan pembela kebenaran dan pembasmi kejahatan yang hidup pada zaman Victoria, zaman sebelum ada Superman dan Batman. Menurut situs Wikipedia, si Jack yang suka melompat ini merupakan salah satu tokoh cerita rakyat Inggris yang sangat terkenal. Pertama kali namanya muncul pada 1837. Rupanya si Jack ini bukan sekadar tokoh dongeng rekaan Pullman. Ia telah lama hidup dalam legenda rakyat Inggris.

Dalam setiap aksinya, Jack memakai kostum seperti setan dan dia melompati atap-atap rumah dengan bantuan per yang dipasang di tumit sepatunya. Ia dikisahkan mampu melompat sangat tinggi.

Jika ada jagoan tentu harus ada penjahat dan harus ada korban yang diselamatkan. Maka, cerita pun bergulir dari sebuah panti asuhan di London. Panti Asuhan Alderman Cawn-Plaster Memorial namanya. Di panti asuhan itu tinggallah tiga bocah bersaudara, Rose, Lily, dan Ned Summers. Mereka menjadi yatim piatu sejak kepergian ayah mereka ke Australia dan ibu mereka meninggal tak lama setelah itu.

Panti asuhan itu dikelola oleh dua orang dewasa yang jahat, Mr Killjoy dan Miss Gasket. Tempat tersebut mungkin tempat paling buruk di dunia di mana selimut, penjaga, dan rasa buburnya sama dingin dan tidak enaknya.

Lantaran tidak tahan lagi, ketiga kakak beradik tersebut pada suatu malam memutuskan minggat dari tempat yang menyeramkan itu. Mereka berniat kabur ke pelabuhan untuk kemudian menumpang kapal yang akan membawa mereka ke Amerika. Oh, tentu saja upaya kabur mereka tidaklah mulus. Mereka harus berhadap-hadapan dulu dengan berbagai kendala, termasuk di antaranya ancaman dari Mack si Pelempar Pisau.

Nah, nah, sudah bisa diduga di sinilah sang jagoan, Jack si Pelompat berperan membela ketiga bersaudara itu. Ia membantu mereka meloloskan diri dari kekejaman Miss Gasket dan temannya, Mr Killjoy. Berhasilkah? Sudah pastilah….:)

Spoiler? Tidak juga, karena umumnya cerita anak-anak adalah tentang kebenaran melawan kebatilan. Pesan moralnya hampir selalu bisa dipastikan: berbuat baiklah selalu agar dirimu selamat. Hitam putih.

Yang keren lagi di samping ilustrasinya adalah juga judul-judul setiap babnya. Pullman mengutip kalimat dari buku-buku yang dibacanya. Misalnya, Bab Satu : “Malam yang gelap dan berangin….” Alexander Dumas, Three Musketeers. Atau Bab Tujuh: “Aku tak berani berhenti untuk beristirahat sejenak…” Tove Johnson, The Expolit of Moominpapa. Yang paling kocak adalah di bab sebelas, ketika Pullman mengutip kata-katanya sendiri: “Sementara itu di panti asuhan…” Philip Pullman, Spring-Heeled Jack.

Pullman sangat mengerti bagaimana memanjakan anak-anak selaku pembaca utamanya. Ia menggunakan bahasa yang mudah dicerna serta plot yang lurus. Tokoh jagoan Jack si Pelompat dihadirkan tidak sebagai superhero yang sakti mandraguna. Ia hanya seorang lelaki baik hati yang suka menolong. Ia tidak bisa terbang bagai Superman atau memiliki mobil keren yang canggih seperti Batman. Ia hanya mengandalkan keberanian dan sepasang per di kedua tumit sepatunya untuk melompat dari atap ke atap. Namun demikian, setiap bandit yang berhadapan dengannya pasti akan berakhir mengenaskan.

Selain Jack, ada lagi tokoh protagonis yang menolong Rose dan adik-adiknya. Mereka berasal dari orang-orang biasa. Jim si kelasi serta kekasihnya, Polly, pelayan di hotel Saveloy. Kedua sejoli ini dengan ringan hati memberikan bantuan untuk menyelamatkan anak-anak malang itu. Satu lagi pesan moral: tak perlu jadi superhero dulu untuk menlong orang lain. Yang dibutuhkan hanya dua hal: keberanian dan kebaikan hati.

Bukan begitu, adik-adik?***

Kamis, 18 Desember 2008

Bookends


Judul buku: Bookends
Penulis: Jane Green
Penerjemah: Utti Setiawati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Oktober 2008
Tebal: 504 halaman

Sepanjang yang bisa aku ingat, aku cinta buku. Bukan Cuma cinta, tapi tergila-gila. Biasanya aku menghabiskan berjam-jam berkelana ke toko-toko buku, lupa waktu, menenggelamkan diri ke dunia lain.

Sejak dulu aku bermimpi memiliki toko buku. Sebenarnya, sejak dulu aku bermimpi memiliki toko buku yang juga merangkap sebagai kafe. Aku membayangkannya sebagai tempat yang akan memikat pengunjung rutin, orang-orang eksentrik yang menarik, yang mau membuatkan cappuccino jika aku butuh bantuan.

Untuk sampai pada dua paragraf di atas, saya harus membaca 84 halaman dulu dari novel chiklit Bookends karya Jane Green ini. Mengapa saya kutip? Sebab, kalimat di paragraf tersebut kok rasanya “gue banget”. Kalimat itu diucapkan oleh Catherine atau Cath, cewek lajang berusia 31 tahun, tokoh utama di buku ini. Cath tak suka berdandan, tak suka pakai rok, doyan makan, dan berhenti memikirkan perkawinan sejak umur 29. Nah..nah…rasanya kok semakin mirip dengan diri saya? Bedanya sedikit saja, dengan rambut Afro-nya yang kriwil-kriwil berantakan, Cath pasti lebih cantik dari saya. Oya, dan saya sedikit lebih tua disbanding gadis Inggris ini.

Seperti Cath, saya pun memiliki impian suatu hari nanti bisa punya toko buku sendiri yang menyatu dengan sebuah kafe. Dalam hal ini Cath lebih beruntung karena ia bisa segera mewujudkan mimpinya dalam usia ke-31, sedangkan saya mungkin masih harus bersabar lebih lama lagi. Masalah saya cuma satu : tidak ada dana. Kalian tentu tahu, membuka sebuah toko buku yang juga merangkap kafe tentu butuh modal tidak sedikit. Kalau saja ada jutawan yang bermurah hati memodali saya, saat itu juga saya akan berhenti dari pekerjaan saya yang sekarang dan sepenuhnya mengurusi toko buku impian saya itu.

Lagi-lagi untuk urusan modal ini, saya harus iri pada Cath yang tidak perlu berpayah-payah mencari modal sebab warisan dari neneknya sudah sangat cukup untuk menjalankan bisnis idamannya tersebut. Adapun untuk masalah kafe, sudah ada sahabatnya yang bersedia berkongsi: Lucy. Lucy adalah istri Josh, sahabat Cath semasa kuliah dulu.

Selain Josh, Cath juga memiliki sahabat yang lain: Si dan Portia. Si seorang gay; sedangkan Portia adalah Miss Perfect yang sukses berkarier sebagai penulis skenario drama sitcom televisi. Lantaran sebuah sebab, Portia sempat dijauhi oleh para sahabatnya itu dan tak pernah berjumpa mereka selama 10 tahun. Mereka baru bertemu lagi saat pembukaan Bookends, nama yang diberikan untuk toko buku Cath itu.

Sudah lama sekali rasanya saya tidak membaca novel-novel chiklit. Bukan apa-apa, hanya malas saja dan lebih memilih novel yang agak serius (uuh, padahal baca chiklit itu asyik juga loh). Alasan utama saya membaca Bookends apalagi kalau bukan karena ceritanya yang sedikit banyak mirip dengan kehidupan saya itu? (ngaku-ngaku deh). Sayangnya, Bookends tak melulu berkicau soal Cath dan toko bukunya, namun justru lebih menekankan kisahnya pada tema persahabatan. Malah ihwal Cath yang disebut sebagai cewek penggila buku nyaris tak pernah diceritakan sedang membaca atau belanja buku. Rada janggal ya?

Tetapi, sebagaimana umumnya chiklit, Bookends cukup menghibur bagi saya. Setidaknya karena karakter Cath yang, seperti saya bilang tadi, agak-agak mirip dengan saya :D. Saya senang membayangkan diri saya adalah Cath yang berkencan dengan James, pria tampan yang bekerja sebagai agen penjualan properti sekaligus pelukis keren. Walaupun saya tak memiliki sahabat dekat seorang gay, namun saya tidak keberatan seandainya ada seorang lelaki homo yang ingin menjalin persahatan dengan saya seperti Si dengan Cath.

Sahabat dekat saya juga tidak seperti Portia yang senang menjadi pusat perhatian. Tapi mungkin saya juga akan berlaku seperti Cath seandainya memiliki sahabat macam Portia yang suka menyakiti orang lain. Apalagi bila orang lain itu adalah sahabat kami sendiri.

Tentu saja menamatkan Bookends tidak memerlukan waktu yang lama. Saya hanya perlu waktu dua hari saja. Sekali lagi, saudara-saudara, dua hari! Pasti karena ditulis dalam rangkaian bahasa yang ringan, ngepop, dan mudah dicerna. Humor-humor segar nan cerdas turut memperlancar saya dengan cepat menamatkannya. Memang menyenangkan membaca chiklit (yang bagus) itu. Tak ubahnya seperti menonton film atau serial komedi romantis ala Friends atau Sex and The City. Karen memang di situlah kekuatan dan daya tarik sebuah karya metropop.

Pada akhirnya, Bookends memang bukan novel yang memuat kisah tentang toko buku. Namun, jika kalian ingin sejenak mereguk kesegaran sebuah cerita cinta dan persahabatan tanpa harus berkerut kening, buku ini bolehlah dijadikan pilihan. Kriuuuuk…..***

Selasa, 16 Desember 2008

The Last Concubine


Judul buku: The Last Concubine
Penulis: Lesley Downer
Penerjemah: Yusliani Zendrato
Penyunting: Nadya Andwiani
Penerbit: Matahati
Cetakan: I, 2008
Tebal: 657 hlm.

Selir
adalah sebuah kata yang lekat dengan kekuasaan sekaligus, mungkin, penderitaan. Kekuasaan karena praktik ini pada zaman dahulu sampai dengan hari ini berlangsung di balik istana raja-raja atau para lelaki penguasa. Penderitaan karena saya hampir yakin seratus persen tak ada selir yang benar-benar merasa bahagia dengan statusnya. Ia akan selalu jadi yang nomor dua atau dua ratus. Hak-haknya sebagai “istri” tidak sama dengan permaisuri (istri pertama). Jika mereka punya anak, hak anak-anaknya pun tidak sama dengan anak-anak dari istri pertama (putra mahkota). Walaupun secara materi segala keperluan mereka dipenuhi namun tempatnya tetap di wilayah “belakang”. Dengan kata lain sesungguhnyalah selir-selir ini berfungsi hanya untuk memenuhi kebutuhan seks “tuannya” dengan imbalan harta.

Praktik perseliran memiliki usia yang cukup purba; berlangsung di seantero dunia, dari Asia hingga Eropa, Amerika, dan Afrika. Umumnya, seperti telah saya sebut di atas, terjadi di kalangan istana (bangsawan). Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh sebab sejarah kerajaan Nusantara telah banyak menuliskannya. Ingat saja misalnya riwayat Kartini atau Rara Mendut.

Kalau mau menyeberang agak jauh, praktik pergundikan itu bisa kita dapati di Cina dan Jepang yang terkenal dengan kekaisarannya. Di dalam kastilnya, konon, para kaisar itu memiliki selir hingga seribuan orang. Terbayang nggak sih bagaimana kaisar menggilir para perempuan peliharaan itu? Bukan mustahil ada selir yang seumur hidupnya mungkin cuma pernah digilir sekali saja. Dan sebaliknya, pasti ada juga satu dua orang yang menjadi selir kesayangan.

Kehidupan para selir ini telah banyak menginspirasi penulis untuk mengguratkannya dalam cerpen, novel, atau film. Salah satunya yang tengah beredar adalah The Last Concubine, novel karya Lesley Downer yang mengambil setting Jepang pada pertengahan 1800-an.

Waktu itu para shogun masih diakui kekuasaannya. Layaknya seorang penguasa yang nyaris menyamai kaisar, para shogun ini di dalam istananya memelihara banyak gundik atau dalam bahasa lebih halus disebut selir yang jumlahnya mencapai ratusan atau bahkan seribuan. Gundik-gundik ini diambil dari berbagai kalangan. Mulai dari putri keluarga sesama bangsawan tinggi, menengah, hingga dari kalangan rakyat jelata. Syaratnya: muda, bertubuh indah serta berparas rupawan.

Maka bukanlah hal yang mengherankan bila usia para selir itu ada yang masih belasan tahun. Menjadi selir seorang shogun adalah impian setiap perempuan pada masa tersebut. Tepatnya, idaman para orang tua yang memiliki anak gadis. Sebab, itu berarti hidup mereka sekeluarga akan terjamin selamanya. Bukan cuma kesejahteraan tetapi juga keselamatan. Dan sudah pasti status sosial mereka pun otomatis meningkat.

Melalui riset yang panjang, Lesley Downer mempersembahkan sebuah kisah seorang perempuan bernama Sachi yang ‘beruntung’ terpilih sebagai selir terakhir shogun penguasa Kastil Edo.

Sachi dipungut oleh Putri Kazu, istri Yang Mulia Shogun, dari sebuah desa kecil yang disinggahi sang putri dalam perlananannya menuju Edo. Saat itu si gadis kampung berumur 11 tahun. Raut wajahnya yang lebih menyerupai wanita ningrat daripada seorang gadis dusun telah memikat hati sang putri hingga beliau berkenan membawanya ke kastil sebagai dayang-dayang dan tinggal di sana bersama 3000 perempuan lainnya.

Di balik dinding kastil itu kehidupan Sachi berubah drastis. Dari seorang gadis desa bermetamorfosa menjadi wanita istana yang segala gerak-gerik, cara bicara, dan tingkah lakunya harus diatur sesuai tata cara istana. Apalagi setelah kemudian dia mendapat anugerah dipilih sang putri sebagai “hadiah” bagi sang shogun sebelum melakukan perjalanan jauh. Tak dinyana, Sachi ternyata menjadi selir terakhir karena sang shogun tewas terserang penyakit di perjalanan.

Menyusul wafatnya sang shogun, terjadi perubahan politik di Jepang. Pemberontakan kaum selatan mengharuskan para penghuni kastil Edo pergi mengungsi menyelamatkan diri. Termasuk Yang Mulia Putri Kazu. Demi menyelamatkan sang putri dari kejaran para pemberontak, Sachi ditugaskan menyamar sebagai Putri Kazu yang melarikan diri. Dalam pelariannya inilah Sachi menemui banyak peristiwa yang kelak membuka tabir rahasia yang selama ini menyelimuti kehidupannya.

Yang menarik dari buku ini adalah kenyataan bahwa kisah para gundik itu merupakan fakta sejarah yang terjadi ratusan tahun lalu. Siapa saja perempuan yang telah masuk ke dalam Kastil Edo, ia terikat seumur hidup mengabdi kepada sang shogun. Baik sebagai istri, selir, atau sekadar pelayan. Bagi mereka dunia hanyalah seluas kastil dan halamannya. Sehari-hari mereka mengerjakan hal rutin seperti berdandan, bermain musik, menulis syair, menghibur sang shogun, berlatih pedang, dan bergosip.

Tak jarang pecah juga konflik terbuka atau terselubung di antara para wanita itu yang timbul sebagai akibat persaingan menjadi yang terbaik, tercantik, terpandai, terpopuler, tersayang. Bukan tak mungkin berkembang pula hubungan cinta sejenis di antara mereka. Bayangkan saja, bagi mereka haram hukumnya menjalin hubungan dengan lelaki. Mereka milik sang shogun sampai akhir hayat.

Novel ini juga menyuguhkan roman cinta agar tak semata-mata memaparkan epik sejarah era Jepang kuno yang bisa jadi akan menjemukan pembacanya. Merupakan tantangan tersendiri menulis sebuah kisah cinta dari suatu masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang cinta yang romantis, yang dalam kamusnya tidak terdapat kosa kata “cinta”, begitu pengakuan Lesley Downer.

Kini Jepang telah menjelma sebuah negeri besar yang modern yang tetap dikepalai seorang kaisar, pemimpin yang dipercaya sebagai keturunan Dewa Matahari. Mungkin tak ada lagi praktik perseliran di sana. Mungkin……***