Minggu, 27 April 2008

The Four Fingered Pianist

Judul buku: The Four Fingered Pianist
Penulis: Kurnia Effendi
Penyunting: Hermawan Aksan
Penerbit: Hikmah
Cetakan: I, 2008
Tebal: 228 hlm

Untuk kedua kalinya Hee Ah Lee datang ke Indonesia. Yang pertama, tahun lalu, demi kepentingan konser tunggalnya di Jakarta, sedangkan yang berikutnya adalah untuk promosi buku memoar–ah..lebih tepat sebetulnya sketsa kehidupan–nya yang ditulis oleh cerpenis kita, Kurnia Effendi.

Kehidupan Hee Ah Lee memang sangat menarik untuk ditulis dan kemudian dibaca oleh banyak orang. Bagaimana tidak? Gadis kelahiran 22 tahun silam ini laksana sebuah keajaiban yang diturunkan Tuhan ke dunia. Gadis mungil yang terlahir cacat ini sukses menjadi seorang pianis handal hanya dengan menggunakan 4 biji jemarinya.

Ya, Hee Ah Lee dilahirkan dalam kondisi fisik yang tak sempurna : jari-jari tangannya masing-masing hanya ada dua serupa capit pada hewan kepiting. Oleh karena itu, kelainan yang disandangnya ini populer dengan istilah lobster claw syndrome (sindrom capit lobster (ectrodactyly), yakni kelainan bentuk yang langka dari tangan atau kaki, saat bagian tengahnya tidak ada, dan terdapat celah di tempat metakarpal jari seharusnya berada. Belahan ini menyebabkan tangan/kaki memiliki penampilan seperti capit pada kepiting/lobster/udang galah (hlm 23)

Kondisi seperti ini diwarisi sejak lahir, pada taraf tertentu dapat disembuhkan melalui metode bedah. Pernah tercatat bedah sukses yang dilakukan oleh Dr. Joseph Upton terhadap pasien Samantha dan Stephanie Wojciechowics. Bedah mikro itu dilakukan ketika kedua bersaudara ini berumur 2 tahun. Upton berhasil membuat sebuah ibu jari mungil untuk tangan mereka, diambil dari ibu jari kaki. Kasus Hee Ah Lee termasuk langka: 1 berbanding 10.000 kelahiran.

Hee Ah sangat beruntung sebab memiliki Woo Kap Sun sebagai ibu. Woo adalah ibu yang tabah dan kuat. Dahulu, ia bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Di rumah sakit ini ia berjumpa dan jatuh cinta pada seorang pria yang menjadi pasiennya. Pria itu, Wun Bong Lee, kelak menjadi ayah Hee Ah Lee.

Setelah lama menanti, akhirnya pada tahun kedelapan pernikahan mereka, Woo Kap Sun hamil. Selama menjalani kehamilannya ini, Woo banyak mengonsumsi obat-obatan untuk sakit kepala yang sering menyerang dan membuatnya tidak tahan. Barangkali hal ini turut juga menjadi penyebab kecacatan yang diderita Hee Ah lee.

Selanjutnya, buku ini menuturkan perjalanan karier Hee Ah Lee sebagai pianis berjari empat yang penuh suka dan duka. Dengan ketabahan yang mengagumkan, Hee Ah Lee beserta ibunya sanggup mengalahkan segala kekurangan fisik yang pada banyak orang mungkin adalah hambatan. Mereka berdua saling bahu membahu dalam cinta mewujudkan kehidupan yang lebih baik, terutama bagi Hee Ah Lee. Hanya berkat ketabahan, kemauan, dan latihan yang keras serta disiplin semua itu bisa dicapai. Harus diakui apa yang sudah dialami dan diperjuangkan oleh Hee Ah adalah sebuah kisah yang inspiratif dan hendaknya bisa memotivasi banyak orang di dunia, terutama kita yang dikarunia fisik dan mental normal.

Kisah yang dikemas dalam buku berukuran mungil ini disampaikan dengan bahasa yang ringan–sangat ringan malah sehingga rasanya kita seperti tengah membaca cerita anak-anak–ini cukup menarik diikuti dan bermanfaat, terutama bagi para ibu yang memiliki anak-anak dengan kelainan khusus. Menurut penulisnya, Kurnia Effendi, ia memang sengaja memakai gaya penulisan demikian agar buku tersebut bisa dinikmati segala lapisan usia, dari anak-anak hingga orang tua.

Namun, entah karena bahannya terbatas atau alasan lain, di beberapa bagian terdapat pengulangan-pengulangan. Keterbatasan bahan itu lebih kentara lagi dengan tampilnya halaman-halaman yang berisi kutipan dari bab yang bersangkutan. Siasat yang terbukti jitu–saya pernah menemukannya juga di buku Paranoid (Patrick Suskind) terbitan Dastan (2007)–untuk mendongkrak jumlah halaman buku selain pemuatan foto-foto dan ilustrasi. Mungkin lantaran itu, Kurnia Effendi lebih suka menyebut karyanya ini sebagai sebuah sketsa ketimbang memoar atau apalagi biografi.

Akan tetapi, terlepas dari itu, kisah yang termuat di dalamnya sungguh amat mengharukan dan menginspirasi; mengetuk kesadaran kita untuk tidak lupa bersyukur atas semua kesempurnaan yang telah diberikan Tuhan. Hee Ah Lee yang selalu tersenyum dalam menjalani hidupnya, seharusnya membuat kita merasa malu untuk bermalas-malasan atau mengeluhkan hal-hal sepele. Sebab, seperti kata Mary Dunbar yang tulisannya dipetik dalam buku ini, bahwa setiap manusia diberi anugerah dalam cara yang unik dan penting. Menemukan cahaya istimewa kita masing-masing adalah hak eksklusif dan petualangan yang harus kita jalani.

Untuk setiap pembelian buku ini, ada bonus sekeping VCD berisi film seputar keseharian Hee Ah Lee berdurasi 12 menit.***

Minggu, 13 April 2008

MAN AND WIFE


Judul buku: Lelaki Itu dan Istrinya
Judul asli: Man and Wife
Penulis: Tony Parsons
Penerjemah: Kathleen S.W.
Perancang sampul: Eduard Iwan Mangopang
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2007
Tebal: 504 hlm

Apa sesungguhnya arti pernikahan bagi masyarakat modern abad ini? Apakah nilai-nilai yang dianut sekarang tentang pernikahan masih sama dengan dua puluh atau tiga puluh tahun lalu tatkala lembaga agung ini benar-benar dihormati dan dipelihara keutuhannya hingga maut memisahkan? Benarkah pola hidup monogami tak lagi sesuai untuk hari ini? Bagi Anda yang sudah menikah pernahkah timbul pertanyaan dalam diri Anda apa alasan Anda menikahi pasangan Anda? Karena cintakah atau karena alasan lain? Jika alasannya cinta, masihkah cinta itu bertahan hingga kini, merekatkan tali perkawinan itu? Atau sudah menguap dan berganti dengan rasa lainnya? Kalau ya, waspadalah dengan perkawinan Anda.

Saya bukan sedang mengancam atau memberi peringatan. Saya tidak tahu apa-apa soal perkawinan kecuali bahwa menikah itu buat sebagian orang adalah kebahagiaan sementara buat yang lainnya mungkin penderitaan. Tentu pengetahuan itu bukan karena saya mengalaminya secara empiris; hanya mendengar dan menyaksikan kehidupan orang-orang di sekitar saya: ibu bapak saya, adik-adik saya, teman-teman, dan para selebritis di televisi. Plus karena saya baru saja selesai menamatkan Man and Wife, novel renyah karya Tony Parsons.

Man and Wife menceritakan ihwal problema sebuah keluarga terpadu yang coba dibangun oleh seorang pria, Harry Silver. Keluarga terpadu itu adalah istilah bagi orang-orang yang memiliki dua keluarga atau lebih akibat kawin cerai. Seperti dalam buku ini, Harry bercerai dari Gina dan kemudian menikah lagi dengan Cyd. Dari Gina Harry punya satu anak, Pat; sedangkan Cyd punya satu anak dari perkawinan terdahulunya dengan Jimmy, Peggy. Gina juga sudah menikah lagi dengan Richard. Mereka inilah yang disebut “keluarga terpadu” dengan anak-anak yang memiliki orang tua lebih dari satu. Ya seperti Brady Bunch deh.

Harry seorang pria tampan berprofesi sebagai produser sebuah acara serial komedi di televisi. Kehidupan normalnya mulai terasa berubah saat ia bercerai dari Gina (karena Harry selingkuh dengan teman sekantornya). Ia harus berpisah dengan anak kesayangannya, Pat. Ia hanya diberi hak mengunjungi anaknya setiap akhir pekan. Untuk hal ini ia menyebut dirinya–dan semua laki-laki yang senasib dengannya–sebagai “Ayah Hari Minggu”. Ia juga sudah menikah lagi dengan Cyd, wanita anggun pengusaha katering, memiliki satu orang putri dari perkawinan terdahulunya, Peggy.

Tadinya semua kelihatan mudah bagi Harry. Ia sangat mencintai Cyd dan Peggy dan mendambakan kehidupan baru layaknya sebuah keluarga normal. Permasalahan mulai timbul saat keduanya semakin kekurangan waktu untuk bersama-sama lantaran kesibukan masing-masing. Usaha katering Cyd yang kian maju sangat menyita waktu dan energinya. Harry sendiri juga sedang direpotkan oleh urusan pekerjaan yang terancam dihentikan lantaran aktor utamanya terlibat pemakaian obat-obatan terlarang. Pelan namun pasti hubungannya dengan Cyd mendingin. Perkawinan mereka laksana telur di ujung tanduk. Bertambah runyam dengan kehadiran Kazumi, fotografer cantik asal Jepang yang telah memikat hati Harry.

Kisah Harry Silver sangat mudah ditemukan di tengah-tengah kehidupan kita hari ini. Jika bukan kita, bisa jadi itu dialami oleh teman atau sanak saudara kita. Begitu dekat, begitu akrab. Berita kawin-cerai kita saksikan nyaris setiap hari di televisi. Fenomena yang umumnya terjadi di kalangan masyarakat perkotaan ini menyajikan fakta betapa kini lembaga perkawinan seolah-olah tak sakral lagi. Begitu mudah dibangun untuk kemudian mudah pula dihancurkan; bagai rumah yang didirikan di atas fondasi rapuh.

Untuk itu Harry berhak cemburu pada perkawinan orang tuanya yang hanya berakhir saat ayahnya meninggal. Harry adalah produk keluarga utuh dengan ayah ibu yang saling mencintai hingga akhir hayat. Ayah dan ibunya senantiasa hadir ketika ia membutuhkan mereka. Sebagai seorang anak, ia jelas lebih beruntung ketimbang Pat. Pat yang malang. Bocah lelaki 8 tahun ini menjadi korban perceraian orang tuanya dan terpaksa menjalani sebuah kehidupan berkeluarga yang “tidak normal”.

Lazimnya sebuah novel pop, Man and Wife dituturkan dengan bahasa yang renyah disertai kelakar-kelakar segar sebagai bumbu penyedap. Membaca novel-novel jenis ini kita akan merasa sangat terhibur, tetapi ya sampai di situ saja. Tidak lebih. Sama halnya seperti nonton film komedi romantis. Nggak perlu mikir, nikmati saja.***ENDAH SULWESI

Minggu, 06 April 2008

A LONG WAY GONE


Judul asli: A Long Way Gone, Memoirs of A Boy Soldier.
Penulis: Ishmael Beah
Penerjemah: Cahya Wiratama
Penyunting: Wendratama
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, 2008
Tebal: viii + 320 hlm

Mungkin saya seorang pembaca yang emosional. Artinya, perasaan saya mudah sekali terbawa larut ke dalam buku-buku/cerita yang saya baca. Perasaan itu kadang-kadang bisa bertahan berhari-hari setelah saya menamatkan sebuah buku; terutama buku-buku yang (memuat kisah-kisah) sedih. Buku A Long Way Gone ini termasuk buku seperti itu, yang membuat saya larut di dalamnya; terteror dengan perasaan tercabik-cabik.

A Long Way Gone merupakan memoar yang berangkat dari kisah nyata penulisnya, Ishmael Beah, semasa menjadi tentara anak-anak di negaranya, Sierra Leone.

Terletak di benua Afrika, Sierra Leone diapit oleh Guines dan Liberia. Merdeka pada 1961 setelah sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Inggris dengan Sir Milton Margai sebagai perdana menteri pertama. Perpecahan di tubuh pemerintahan dimulai pada awal 1967, tiga tahun setelah meninggalnya Milton Margai. Seperti umumnya negara yang baru terbentuk, pemerintahannya belum benar-benar stabil; kerap terjadi perebutan kekuasaan antara golongan sipil dan militer yang mengakibatkan pecahnya perang saudara.

Ishmael Beah lahir pada 1980 saat partai APC (All People’s Congress), satu-satunya partai politik di Sierra Leone, berkuasa. Pemerintahan APG adalah pemerintahan militer yang korup dan banyak melakukan penyimpangan yang memicu pemberontakan sporadis di wilayah-wilayah pedesaan. Gerombolan pemberontak sipil itu menamakan diri Revolutionary United Front (RUF).

Pada 1991, dengan dikomando oleh seorang mantan kopral, Foday Sankoh, para pemberontak ini mulai menyerang desa-desa di bagian timur yang berbatasan dengan Liberia. Setahun berikutnya, terjadi kudeta militer yang diprakarsai dan dipimpin oleh Kapten Valentine Strasser. Namun, pemerintahan baru ini kualitasnya tak jauh berbeda dengan sebelumnya sehingga semakin menyuburkan upaya-upaya makar kelompok RUF. Bentrokan antara tentara pemerintah dengan RUF pecah di mana-mana. Korban jiwa berjatuhan di kedua belah pihak, termasuk para penduduk desa yang tak berdosa.

Ishmael ketika itu berusia 12 tahun, duduk di bangku SMP. Ia lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki. Ayah ibunya bercerai saat ia masih sangat kecil. Ia dan abangnya, Junior, tinggal bersama ayah mereka di Mattru Jong.

Masa kecil Ishmael cukup bahagia dengan cinta dan kasih sayang berlimpah dari kedua orang tua dan juga kakek neneknya. Ia serta Junior, seperti juga anak-anak desa lainnya, tumbuh dibesarkan dalam tradisi mendongeng, menyanyi, dan menari lazimnya kultur masyarakat desa di sebagian besar Afrika. Mereka tergila-gila pada musik reggae dan rap yang kebanyakan memang dibawakan oleh para penyanyi kulit hitam, seperti: L.L Cool J, Run D.M.C, dan Heavy D & The Boyz. Setiap ada kesempatan mereka bahkan sering ikut serta dalam kompetisi nge-rap di desa-desa tetangga. Musik rap telah menjadi bagian keseharian anak-anak muda itu; berdampingan mesra dengan lagu dan tarian rakyat.

Rakyat Sierra Leone, seperti umumnya rakyat di negara-negara Afrika lainnya, senang menyanyi dan menari. Mereka menyanyi di berbagai kesempatan: pada saat menumbuk padi, panen raya, menebar benih di ladang, atau pada acara-acara adat lainnya. Mereka orang-orang yang gembira sebelum perang menghancurkan segalanya. Tak ada lagi nyanyian dan tarian. Tak ada alunan dongeng dan senandung ibu menidurkan anaknya. Semuanya lenyap digantikan oleh suara tembakan, desingan peluru, jerit pilu orang-orang yang sekarat, ratapan ibu yang kehilangan anaknya, serta tangis anak-anak yang secara mendadak menjadi yatim piatu seperti halnya Ishmael Beah.

Di daerah konflik, penduduk sipil adalah pihak paling rentan sebagai korban, terutama perempuan dan anak-anak. Ishmael Beah adalah salah seorang korban itu. Pada usia 12 tahun ia bersama ratusan anak lainnya direkrut paksa menjadi tentara oleh kelompok RUF yang kekurangan pasukan.

Masa selama 2 tahun Ishmael sebagai tentara menjadi bagian paling mengerikan sekaligus memilukan di buku ini. Bayangkan, anak-anak yang lucu itu berubah menjadi monster buas dan mesin pembunuh kejam hanya dalam hitungan hari. Mereka menembak, menusuk, menggorok musuh tanpa gentar berkat ganja, alkohol, serta obat-obat penenang. Otak mereka dicuci sehingga tak ada lagi tempat tersisa bagi cinta dan belas kasihan. Yang tertinggal hanya ruang untuk kebencian dan dendam. Membaca buku ini saya jadi percaya, bahwa benar adanya realita jauh lebih mengerikan melampaui imajinasi dalam fiksi.

Buku ini terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama mengisahkan saat-saat bahagia sebelum Ishmael jadi tentara. Ia bertutur ikhwal dongeng-dongeng indah yang dilantunkan sang nenek, pelukan hangat ibu, matahari, bulan, hutan, kicau burung-burung…Bagian kedua adalah bagian paling gelap, ketika Ishmael menjalani hidup sebagai tentara. Darah, mayat, peluru, pembunuhan, penyiksaan, penyerbuan, kesakitan, kematian mengisi bagian ini. Dan terakhir adalah kisah penyelamatan Ishmael; membawa kembali bocah malang ini ke kehidupan normal. Saya sepakat dengan komentar Jeannette Walls yang mengatakan, bahwa kisah Ishmael ini mencabik hati Anda hingga berkeping-keping kemudian menyatukannya kembali.

Usia Ishmael 28 tahun tatkala buku ini selesai ditulisnya. Atas campur tangan UNICEF, ia dan ratusan anak lainnya berhasil diselamatkan lewat program rehabilitasi yang makan waktu beberapa tahun. Ia sempat diundang untuk memberikan kesaksian dalam sebuah konferensi internasional di New York tentang anak-anak korban perang. Dia kini tinggal di New York; aktif sebagai anggota Human Rights Watch Children’s Rights Division Advisory Committee.***ENDAH SULWESI