Judul buku: Edensor
Penulis: Andrea Hirata
Penyunting: Imam Risdiyanto
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: xii + 290 hlm.
Buku ketiga dari rangkaian tetralogi Laskar Pelangi telah diluncurkan. Andrea Hirata, penulisnya, memberinya judul Edensor, adalah nama sebuah desa ‘khayalan’ dalam novel If Only They Could Talk (James Herriot) yang pernah dibaca Andrea. Penggambaran tentang desa tersebut rupanya sangat mengesankan lelaki asal Belitong ini sehingga terbawa terus ke dalam mimpi-mimpinya dan ia berharap satu hari nanti bisa menemukan desa seperti Edensor.
Oleh karena Edensor ini diniatkan sebagai sekuel dari Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, maka inti kisahnya masih mengenai ‘perjuangan’ penulisnya–yang di buku bernama Ikal–menuntut ilmu memenuhi dahaganya akan pendidikan tinggi.
Ikal dan Arai sebagaimana telah disinggung sedikit di Sang Pemimpi akhirnya berhasil lulus tes memperoleh beasiswa dari Uni Eropa dan berhak melanjutkan kuliah master mereka di Universite de Paris Sorbonne, Prancis. Pengalaman kedua pemuda Melayu selama ngendon di Prancis inilah yang dibeberkan dalam Edensor.
Bagi Ikal dan Arai, ini merupakan lawatan pertama mereka ke luar negeri. Dan Eropa, negeri empat musim dengan keindahan tersendiri–keping-keping salju serta ‘hujan’ dedaunan saat autumn yang tidak akan pernah dijumpai di Belitong–telah memukau keduanya sehingga mereka nekat mbambung (menggembel) sebagai backpacker untuk menelusuri setiap lekuk-likunya. Berbekal kostum ikan duyung hasil kreasi Nona Famke Somers–manusia pertama yang menyambut mereka di Belanda–mereka pun mengelana mengelilingi separuh bumi, dari Eropa menyeberang ke benua hitam, Afrika. Busana putri duyung ini adalah properti ngamen dalam rangka mendulang euro untuk mengongkosi perjalanan mereka.
Seperti lazimnya sebuah “catatan perjalanan”, Edensor menyuguhkan kisah-kisah unik mengesankan dari tempat-tempat yang sempat disinggahi kedua pemuda udik ini. Maka tak ayal lalu muncul berbagai peristiwa kocak yang mengundang senyum dikulum akibat ‘gegar budaya’ sebagai buntut dari perbedaan musim (cuaca), kultur, agama, dan kebiasaan-kebiasaan.
Ah ya, mengapa saya menyebutnya “catatan perjalanan”? Itu lantaran sebagian besar isi perut Edensor–terlepas apakah di dalamnya telah terjadi perkawinan antara fakta dan fiksi–merupakan uraian yang mirip catatan perjalanan. Memang ada juga bab-bab masa Ikal kuliah, tetapi tidak mendapat porsi banyak. Andrea justru lebih khusyuk dengan kisah petualangannya.
Pengembaraan dimulai dari Prancis menuju Negeri Kincir Angin. Dari sini mereka terus ke utara, ke Jerman, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Finlandia, lantas ke Rusia. Di kampung halaman para balerina ini, mereka ketiban sial, ditangkap polisi, kehabisan bekal, dan kelaparan sehingga harus mengunyah dedaunan pohon plum agar tetap panjang umur.Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa menarik lainnya. Umpamanya, saat tiba di Rumania, mereka berjumpa Pak Toha, orang Banyumas yang oleh sebab perbedaan pandangan politik dan ideologi, terpaksa kabur menyelamatkan diri ke negara sosialis itu. Di sana, ia bekerja sebagai pembasmi kecoa. Atau misalnya ketika sampai di Swiss, Ikal sempat “ditawar” 375 euro oleh seorang gay untuk satu kali kencan.
Sebagai sebuah “catatan perjalanan”, Edensor sungguh bacaan yang menghibur. Menjadi semakin lengkap (sebagai catatan perjalanan) dengan kemunculan beberapa foto obyek wisata, seperti: patung bocah yang sedang pipis (manneken pis) di Belgia dan patung perunggu Juliette di Verona, Italia.
Masih mengandalkan kekuatan metafora, bumbu humor, dan sentuhan emosional, Andrea Hirata memaku pembaca untuk ikut serta menikmati petualangan Ikal sampai khatam sembari ikut mencari sang kekasih hati, A Ling, untuk akhirnya menemukan arti cinta yang sesungguhnya: pada deretan botol obat kuat pria, di rumah bordil, atau pada sebuah papan nama binatu.
Jika hendak membandingkan dengan dua karya sebelumnya, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, Edensor sudah jauh lebih baik untuk urusan ‘logika’. Andrea kelihatan lebih matang mempersiapkan buku ini sehingga nyaris tak terdapat lagi “bolong-bolong” yang mengganggu pembacaan, meskipun bobot ceritanya justru terasa lebih ringan dan cair (Tadinya saya berharap seri ketiga ini akan lebih ‘dalam’ mengupas persoalan dan konflik tokoh-tokohnya, mengingat mereka semakin dewasa di buku ini). Beberapa ‘keajaiban’ yang ditampilkan terasa masuk akal oleh penjelasan-penjelasan yang telah disiasati sebelumnya, bukan sesuatu yang muncul secara ujug-ujug.
Pesan moral yang masih setia diusungnya adalah ihwal ketabahan dan keberanian meraih cita-cita. Jangan takut bermimpi, karena mimpi-mimpi itu akan memimpin kita menuju kenyataan. Percayalah, dengan mekanismenya sendiri semesta akan membantu mewujudkan segala cita-cita dan impian kita. Kata pepatah lama, di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Keberhasilan Ikal dan Arai merengkuh impian–sekolah tinggi di luar negeri, menjelajah bumi sampai Afrika dengan segala keterbatasan ekonomi–agaknya satu contoh yang patut diteladani. Tak berlebihan rasanya jika saya menyebutnya sebagai kisah yang sungguh inspiratif.
Endah Sulwesi 11/6
Penikmat sastra, pemilik blog: perca.blogdrive.com
Penulis: Andrea Hirata
Penyunting: Imam Risdiyanto
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: xii + 290 hlm.
Buku ketiga dari rangkaian tetralogi Laskar Pelangi telah diluncurkan. Andrea Hirata, penulisnya, memberinya judul Edensor, adalah nama sebuah desa ‘khayalan’ dalam novel If Only They Could Talk (James Herriot) yang pernah dibaca Andrea. Penggambaran tentang desa tersebut rupanya sangat mengesankan lelaki asal Belitong ini sehingga terbawa terus ke dalam mimpi-mimpinya dan ia berharap satu hari nanti bisa menemukan desa seperti Edensor.
Oleh karena Edensor ini diniatkan sebagai sekuel dari Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, maka inti kisahnya masih mengenai ‘perjuangan’ penulisnya–yang di buku bernama Ikal–menuntut ilmu memenuhi dahaganya akan pendidikan tinggi.
Ikal dan Arai sebagaimana telah disinggung sedikit di Sang Pemimpi akhirnya berhasil lulus tes memperoleh beasiswa dari Uni Eropa dan berhak melanjutkan kuliah master mereka di Universite de Paris Sorbonne, Prancis. Pengalaman kedua pemuda Melayu selama ngendon di Prancis inilah yang dibeberkan dalam Edensor.
Bagi Ikal dan Arai, ini merupakan lawatan pertama mereka ke luar negeri. Dan Eropa, negeri empat musim dengan keindahan tersendiri–keping-keping salju serta ‘hujan’ dedaunan saat autumn yang tidak akan pernah dijumpai di Belitong–telah memukau keduanya sehingga mereka nekat mbambung (menggembel) sebagai backpacker untuk menelusuri setiap lekuk-likunya. Berbekal kostum ikan duyung hasil kreasi Nona Famke Somers–manusia pertama yang menyambut mereka di Belanda–mereka pun mengelana mengelilingi separuh bumi, dari Eropa menyeberang ke benua hitam, Afrika. Busana putri duyung ini adalah properti ngamen dalam rangka mendulang euro untuk mengongkosi perjalanan mereka.
Seperti lazimnya sebuah “catatan perjalanan”, Edensor menyuguhkan kisah-kisah unik mengesankan dari tempat-tempat yang sempat disinggahi kedua pemuda udik ini. Maka tak ayal lalu muncul berbagai peristiwa kocak yang mengundang senyum dikulum akibat ‘gegar budaya’ sebagai buntut dari perbedaan musim (cuaca), kultur, agama, dan kebiasaan-kebiasaan.
Ah ya, mengapa saya menyebutnya “catatan perjalanan”? Itu lantaran sebagian besar isi perut Edensor–terlepas apakah di dalamnya telah terjadi perkawinan antara fakta dan fiksi–merupakan uraian yang mirip catatan perjalanan. Memang ada juga bab-bab masa Ikal kuliah, tetapi tidak mendapat porsi banyak. Andrea justru lebih khusyuk dengan kisah petualangannya.
Pengembaraan dimulai dari Prancis menuju Negeri Kincir Angin. Dari sini mereka terus ke utara, ke Jerman, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Finlandia, lantas ke Rusia. Di kampung halaman para balerina ini, mereka ketiban sial, ditangkap polisi, kehabisan bekal, dan kelaparan sehingga harus mengunyah dedaunan pohon plum agar tetap panjang umur.Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa menarik lainnya. Umpamanya, saat tiba di Rumania, mereka berjumpa Pak Toha, orang Banyumas yang oleh sebab perbedaan pandangan politik dan ideologi, terpaksa kabur menyelamatkan diri ke negara sosialis itu. Di sana, ia bekerja sebagai pembasmi kecoa. Atau misalnya ketika sampai di Swiss, Ikal sempat “ditawar” 375 euro oleh seorang gay untuk satu kali kencan.
Sebagai sebuah “catatan perjalanan”, Edensor sungguh bacaan yang menghibur. Menjadi semakin lengkap (sebagai catatan perjalanan) dengan kemunculan beberapa foto obyek wisata, seperti: patung bocah yang sedang pipis (manneken pis) di Belgia dan patung perunggu Juliette di Verona, Italia.
Masih mengandalkan kekuatan metafora, bumbu humor, dan sentuhan emosional, Andrea Hirata memaku pembaca untuk ikut serta menikmati petualangan Ikal sampai khatam sembari ikut mencari sang kekasih hati, A Ling, untuk akhirnya menemukan arti cinta yang sesungguhnya: pada deretan botol obat kuat pria, di rumah bordil, atau pada sebuah papan nama binatu.
Jika hendak membandingkan dengan dua karya sebelumnya, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, Edensor sudah jauh lebih baik untuk urusan ‘logika’. Andrea kelihatan lebih matang mempersiapkan buku ini sehingga nyaris tak terdapat lagi “bolong-bolong” yang mengganggu pembacaan, meskipun bobot ceritanya justru terasa lebih ringan dan cair (Tadinya saya berharap seri ketiga ini akan lebih ‘dalam’ mengupas persoalan dan konflik tokoh-tokohnya, mengingat mereka semakin dewasa di buku ini). Beberapa ‘keajaiban’ yang ditampilkan terasa masuk akal oleh penjelasan-penjelasan yang telah disiasati sebelumnya, bukan sesuatu yang muncul secara ujug-ujug.
Pesan moral yang masih setia diusungnya adalah ihwal ketabahan dan keberanian meraih cita-cita. Jangan takut bermimpi, karena mimpi-mimpi itu akan memimpin kita menuju kenyataan. Percayalah, dengan mekanismenya sendiri semesta akan membantu mewujudkan segala cita-cita dan impian kita. Kata pepatah lama, di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Keberhasilan Ikal dan Arai merengkuh impian–sekolah tinggi di luar negeri, menjelajah bumi sampai Afrika dengan segala keterbatasan ekonomi–agaknya satu contoh yang patut diteladani. Tak berlebihan rasanya jika saya menyebutnya sebagai kisah yang sungguh inspiratif.
Endah Sulwesi 11/6
Penikmat sastra, pemilik blog: perca.blogdrive.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar