Senin, 28 Juli 2008

Kacapiring


Penulis: Danarto
Penyunting: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana
Cetakan: I, 2008.
Tebal: 148 hlm.

Andai tidak membaca nama penulisnya, sekilas buku ini mungkin akan dikira buku desain interior karena kovernya yang bergambar satu set meja makan di sudut ruangan di bawah jendela kaca (ya, jendela kaca, bukan kaca jendela, nama jalan tempat penerbit Banana berdomisili. Hehehe.) Setelah kita cermati barulah akan terlihat tulisan “cerpen” di sudut kanan atas dan nama penulisnya, Danarto, persis di bawah judulnya.

Danarto, meski telah menulis novel, namun publik pembaca sastra negeri ini lebih mengenalnya sebagai cerpenis. Ia telah menggeluti dunia penulisan fiksi sejak masih remaja. Cerpen-cerpennya dikenal beraliran surealis atau ada juga yang menyebutnya sebagai realisme magis. Belakangan, karya-karyanya terasa lebih relijius, bicara tentang spiritual dan semangat keagamaan (Islam).

Tak terkecuali dalam buku yang berisi 18 cerita pendek ini. Cerpen-cerpen relijius mendominasi disusul kemudian tema-tema realitas sosial dengan tetap berada di jalur sureal.

Lihat saja, misalnya, cerpen berjudul “Lauk dari Langit” (hlm.58). Dari judulnya pun kita sudah bisa menduga “benda”-nya. Cerpen ini berkisah tentang satu keluarga petani miskin yang tiba-tiba mendapat karunia hujan ikan dari langit. Begitu banyaknya, sampai-sampai mereka kebingungan hendak diapakan ikan-ikan tersebut.

Lalu ada lagi yang tak kalah “magis”-nya, yakni “Jejak Tanah” (hlm.20) yang bertutur ihwal sesosok jenazah yang ditolak bumi lantaran semasa hidupnya orang yang kini telah jadi jenazah itu pernah berlaku sewenang-wenang membebaskan tanah rakyat untuk pembangunan sebuah real estate. Temanya memang agak mirip dengan sinetron hidayah di televisi yang marak beberapa waktu lalu, ya?

Lalu ada juga “Pohon Rambutan” (hlm.84). Sebatang pohon rambutan yang tumbuh begitu saja di tepi jalan, di tepi sawah. Tak bertuan, tak berteman. Ia sudah ada sejak jaman Jenderal Sudirman berperang melawan Belanda. Buahnya selalu lebat dari musim ke musim, dinikmati oleh siapa saja. Pohon ini menjalin persabahatan dengan seorang lelaki. Sebuah pertemanan yang abadi, sejak si lelaki masih belia hingga tua renta. Saya kok menafsirkannya sebagai “persahabatan” antara Golkar (partai berlambang pohon beringin itu) dengan penguasa Orde Baru yang barusan meninggal, Soeharto.

Ada satu cerpen terpanjang (aneh ya kalimat saya, cerpen kok panjang?) di buku tipis ini, yaitu “Alhamdulillah, Masih Ada Dangdut dan Mi Instan” (hlm.114). Dengan menarik dan jenaka, Danarto mendongeng tentang perjalanan panjang kehidupan seorang Slamet yang mengalami jatuh bangun sejak jaman sebelum kemerdekaan hingga era reformasi. Melalui tokoh jelata Slamet, Danarto menjadikan cerpen ini semacam catatan dan kritik kepada pemerintah–tak peduli rezim manapun yang berkuasa–kerap menindas rakyatnya dengan mengatasnamakan kepentingan negara. Cerpen ini juga menggambarkan karakter umum rakyat kecil yang bukan saja nrimo tetapi sekaligus juga ulet dan tahan banting meskipun berulangkali didzalimi. Rakyat kecil terbukti memiliki kekuatan sendiri untuk bertahan hidup di negeri yang carut-marut.

Musibah banjir yang sempat menenggelamkan Jawa Timur dan sekitarnya tak luput dari jamahan Danarto. Ia mengabadikannya dalam “Pantura” (hlm. 108). Atau soal riuh rendah UU Antipornografi, diresponsnya melalui “Telaga Angsa” (hlm. 70).

Tetapi dari 18 cerpen ini, favorit saya adalah “Nistagmus” (hlm. 45). Entah apa artinya kata ini, saya baru menemukannya di cerpen ini. Cerpen yang sebelumnya pernah juga saya baca di Kompas Minggu dan buku Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2006 ini secara cerdas dan menawan merekam peristiwa gempa besar tsunami yang meluluhlantakkan bumi Serambi Mekah, Nanggroe Aceh Darussalam. “Nistagmus” bercerita mengenai bencana tanpa meratap dan mengiba-iba. Malah cenderung jenaka. Danarto baru memunculkan peristiwa bencana itu pada akhir kisah. Jenius!

Oya, judul Kacapiring diambil dari salah satu cerpen di buku ini.

Karya seseorang sering dianggap sebagai cerminan pribadi orang tersebut. Apakah kehidupan pribadi Danarto juga relijius, saya tidak tahu persis. Saya tak cukup mengenal beliau. Kami hanya bertemu sesekali pada perhelatan dan acara-acara sastra di TIM. Ada satu peristiwa yang mengesankan saya bersama pria kelahiran Sragen, 1940, ini.

Sekali tempo beliau menraktir saya baso di warung paling pojok di TIM. Kami bertiga waktu itu dengan Ita Siregar. Tengah enak-enaknya mengunyah baso sembari ngobrol ngalor-ngidul, seorang bocah lelaki penyemir sepatu menawarkan jasanya. Tanpa ba bi bu, Pak Danarto langsung menyerahkan sepatu sandalnya untuk dipoles. Beliau kemudian menatap juga sepatu kami berdua. Dan kiranya hanya sepatu saya yang paling mungkin untuk disemir. Maka, Pak Danarto yang selalu berbusana putih-putih ini meminta saya untuk memasrahkannya juga kepada si bocah tukang semir. Wah, padahal saya paling malas meladeni para penyemir ini. Sama malasnya seperti kepada tukang asongan atau pengamen. Tetapi kali ini apa boleh buat.

Setelah selesai sepatu kami dibuat separuh mengilap, Pak Danarto pun membayar upahnya. Beliau bukan cuma membayar untuk sandalnya tetapi juga sekalian untuk sepatu saya. Walah, saya jadi malu sekali. Bukan lantaran ditraktir dua kali–baso dan semir–namun karena seperti disentil dan disadarkan betapa saya selama ini sudah jadi orang yang pelit.

Akan tetapi kalau saya katakan, bahwa buku ini layak dinikmati terutama bagi para penggemar cerpen, itu bukan lantaran saya pernah ditraktir beliau loh, ya. ***

Senin, 21 Juli 2008

Bilangan Fu


Judul buku: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: KPG
Cetakan: I, 2008
Tebal:

Setelah Saman terbit (1998) dengan segala kehebohannya, citra penulis vulgar seolah-olah melekat pada diri pengarangnya, Ayu Utami (40). Citra ini bahkan tersiar sampai ke luar Indonesia. Fakta ini baru saya ketahui kira-kira dua minggu silam dari percakapan saya dengan 6 orang teman dari Malaysia yang mengaku sebagai “ulat buku”, sebutan di negeri jiran itu untuk kutu buku. Saat mereka berkunjung ke Jakarta pada acara Pesta Buku Jakarta 2008 yang lalu, mereka emoh menuruti saran saya untuk juga membeli (dan membaca) novel-novel Ayu Utami selain tetraloginya Pram lantaran kabar yang mereka dengar buku-buku Ayu itu porno.

Citra porno yang telanjur menempel pada perempuan lajang bertubuh ramping ini juga sempat membuat teman-teman saya yang hendak membeli (dan membaca) buku ini mempertanyakan : masih sejenis nggak ya buku ini dengan Saman?

Setamat saya membaca novel setebal 500-an halaman ini, saya baru bisa mengatakan, bahwa buku ini berbeda dengan karya Ayu terdahulu, Saman dan Larung.

Bilangan Fu barangkali akan menjadi sebuah cerita yang “berat” seandainya Ayu tidak menuliskannya dengan bahasa yang gurih, sebab ia, novel ini, memuat gagasan dan kritik Ayu pada tiga hal yang dianggapnya sebagai ancaman kebebasan dan demokrasi, yakni 3 M: modernisme, monoteisme, dan militerisme. Tema yang serius, bukan? Namun, secara cerdik Ayu menyiasatinya melalui jalinan kisah dua pemuda pendaki tebing yang tampan dan cerdas: Yuda dan Parang Jati.

Kedua lelaki muda yang sehat itu menjadi simbol dan sekaligus para pahlawan di novel ini yang memerangi segala bentuk penzaliman dan penganiayaan kepada alam dan manusia. Yuda dan Parang Jati tidak berdiri berseberangan sebagai dua orang seteru, tetapi justru saling bahu-membahu menjadi protagonis melawani musuh bersama: 3 M itu.

M yang pertama, modernisme, menurut Ayu menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan akibat eksploitasi manusia modern yang kelewat batas dan lupa menghormati alam. Manusia modern tak percaya lagi pada segala bentuk keramat dan cerita-cerita takhayul ihwal roh-roh halus penunggu pohon besar, sungai, gunung, dan samudera. Padahal kepercayaan pada takhayul dan keberadaan roh-roh halus yang dahulu “diimani” oleh masyarakat adat telah mampu menyelamatkan alam dari kebinasaan. Kerena percaya bahwa setiap benda dan tempat ada yang punya, mereka tak berani berlaku sewenang-wenang. Tetapi kini seiring dengan semakin lunturnya kepercayaan tersebut, semakin parahlah perusakan yang terjadi.

Kritik dan kampanye anti-perusakan lingkungan ini disampaikan Ayu dengan memilih dunia panjat tebing sebagai latar kisahnya. Yuda dan Parang Jati mengenalkan agama baru mereka : pemanjatan bersih atau yang lebih ekstrem lagi sacred climbing, yaitu teknik memanjat dengan sesedikit mungkin atau sama sekali tidak melukai tebing-tebing dengan alat-alat panjat modern seperti bor dan paku.

M yang kedua adalah monoteisme. Ayu meyakini, bahwa agama-agama langit yang monoteis memiliki persoalan mendasar dalam menerima perbedaan. Ayu menggambarkannya melalui permusuhan antara Kupukupu dan Parang Jati. Kupukupu adalah lambang mereka yang merasa diri paling benar dengan agama yang mereka peluk dan lalu merasa berhak mengadili serta mengkafirkan orang lain yang menganut kepercayaan yang berbeda dengannya. Mereka tak menyisakan ruang bagi perbedaan. Fundamentalis, begitulah tepatnya. Pada bagian inilah Ayu memperkenalkan filosofi bilangan fu yang lebih bermakna metaforis ketimbang matematis. Ini menyangkut pengertian akan Tuhan yang satu yang sering diartikan secara matematis.

Dan M yang ketiga adalah militerisme. Pendapat Ayu bahwa militerisme merupakan musuh utama demokrasi berangkat dari masa Orde Baru, di mana peran militer sangat dominan. Dengan kekuatan dan caranya sendiri, militer menebar teror, ketakutan, dan kekerasan di masyarakat demi mempertahankan kekuasaan. Kebebasan pers dibungkam, acara-acara seni dan sastra dimata-matai, diskusi dan kumpul-kumpul dianggap makar, sebversi. Kita yang sempat mengecap hidup di masa gelap tersebut tentu tahu betul rasanya.

Novel dengan beban gagasan seberat itu tentu akan terasa membosankan jika tak pandai-pandai mengemas dan menyajikannya. Bilangan Fu nyaris terjerumus menjadi novel demikian seandainya Ayu hanya fokus pada ide besarnya itu dan melupakan unsur-unsur “hiburan” dalam bukunya ini. Unsur-unsur hiburan itu di antaranya bumbu seks, asmara, dialog-dialog yang bernas, plot yang tidak linear, dan humor. Kendati saya sempat terserang jenuh juga oleh banyaknya kutipan kliping surat kabar dan majalah, “artikel” serius Parang jati, serta dialog panjang lebar Yuda dan Parang Jati yang sangat ilmiah, namun secara keseluruhan novel ini enak dibaca.

Lantas, bagaimana dengan cinta segitiga seperti yang diiklankan dalam sinopsis di sampul belakang buku ini? Ah, rasanya saya tidak menemukan adanya asmara tiga sisi di novel ini. Ayu tidak pernah secara terang-terangan menampilkan percintaan segitiga antara Yuda, Marja, dan Parang Jati. Marja itu pacar Yuda yang dengan tersirat dan samar-samar–melalui dugaan-dugaan Yuda–diceritakan juga menaruh hasrat kepada Parang Jati. Jadi, jika Anda berharap akan bertemu kisah cinta segitiga yang menggelora dalam novel ini, siap-siaplah kecewa.***

Jumat, 04 Juli 2008

Children of The Lamp


Judul buku: The Children of The Lamp; The Akhenaten Adventure
Penulis: P.B. Kerr
Penerjemah: Utti Setiawati
Penyunting: Akmal N.B. & Fahmi
Penerbit: Matahati
Cetakan: I, 2008
Tebal: 416 hlm

Anda percaya jin? Percaya penuh atau separuh atau justru tidak percaya? Saya sih rada-rada tidak percaya, sebab belum pernah bertemu langsung dengan makhluk yang berasal dari alam gaib itu. Memang sih, dalam ajaran agama saya, Islam, keberadaan bangsa jin diakui. Malah ada yang menggolongkannya dalam 2 jenis: jin kafir dan jin Islam. Yang pertama itu adalah jin jahat yang tidak mau menuruti perintah Tuhan; sedangkan yang terakhir jin saleh yang selalu mematuhi penciptanya.

Jin yang saya ketahui hanyalah jin-jin dalam dongeng-dongeng yang berasal dari Kisah 1001 Malam. Tentu saja yang paling terkenal adalah jin yang keluar dari lampu ajaib milik Aladin. Atau kalau hendak mengembara ke masa kecil saya adalah jin cantik berambut pirang bermata biru dalam serial tivi era ’70-an : I Dream of Jeannie. Jin perempuan ini tinggal dalam botol dan pandai menyihir. Ia akan mengabulkan setiap permintaan majikannya yang tampan.

Baiklah. Rasanya cukuplah cuap-cuap tentang jin sebagai pengantar ulasan saya untuk buku fantasi Children of The Lamp. Mengapa jin? Ya sebab buku ini berisi dongeng khayalan ihwal jin hari ini yang hidup dan tinggal di tengah-tengah manusia (di sini disebut mundane; sedangkan di Harry Potter Rowling memakai istilah muggle).

John dan Philippa baru tahu kalau diri mereka ternyata berdarah campuran separuh jin dan separuh manusia. Ibu mereka yang jelita, Layla, berasal dari bangsa jin yang menikahi Edward Gaunt, pria Amerika.

Layla tidak mengira kedua anak kembarnya menjelma jin jauh lebih cepat dari yang diharapkan. Pada usia 12 tahun mereka kudu menerima takdir mereka sebagai jin muda yang ditandai oleh tumbuhnya gigi geraham bungsu. Dokter gigi mereka menganjurkan agar gigi-gigi tersebut dicabut melalui operasi.

Saat menjalani operasi itulah, dalam kondisi tidak sadar karena anestesi, kedua kembar berjumpa dengan Nimrod, paman mereka yang tinggal di London. Dalam pertemuan tersebut Nimrod meminta mereka untuk datang ke London dan berjanji akan melatih mereka menjadi jin yang keren.

Maka, lantas John dan Philippa terbang ke London. Di sana Nimrod menepati janjinya melatih mereka hidup sebagai jin : masuk ke dalam botol, berubah wujud, meniadakan dan mendatangkan benda-benda, dll. Nimrod tak semata-mata mengajarkan, tetapi juga mempersiapkan keduanya untuk menghadapi serangan dari jin jahat yang ingin mengembalikan kejayaan mereka seperti di masa lampau. Tanpa mampu dicegah, John dan Philippa tahu-tahu sudah terlibat dalam sebuah petualangan seru di Mesir, menyingkap misteri makam Akhenaten dan para firaun.

Saya sebetulnya tidak begitu suka kisah-kisah fantasi (kecuali Harry Potter yang menurut saya idenya sungguh luar biasa). Tapi sesekali sih boleh juga sebagai selingan. Apa lagi jika ternyata bukunya enak dibaca seperti Children of The Lamp ini.

Buku ini saya bilang enak dibaca lantaran banyak terdapat humor di dalamnya yang bikin tersenyum dan tertawa. Misalnya, pada bagian Groanin yang kepedasan menyantap “creemy special special”. Pelayan Nimrod yang setia dan suka menggerutu ini sampai tak sadar meminum air di vas bunga yang sudah melumut (iiiuuuuuuuh….) untuk menghilangkan rasa pedas yang membakar lidahnya. Saat itu saya kok teringat Squideward, tokoh cumi-cumi dalam film kartun SpongeBob SquarePants.

Dari segi cerita tidak ada yang baru. Artinya, seperti lazimnya buku cerita anak-anak, sangat hitam-putih. Yang baik mengalahkan yang jahat, ada pahlawan dan ada pecundang. Ada petualangan dan keajaiban. Dan yang paling penting ada kegembiraan, satu hal yang membuat saya menyukai buku anak-anak.

Mengenai tokoh-tokohnya yang berasal dari bangsa jin, tentu juga bukan barang asing. Sebagaimana telah saya singgung di atas, jin sudah cukup dikenal anak-anak melalui hikayat Seribu Satu Malam.

So, dapat apa kita dari buku karya P.B. Kerr ini? Tentu terutama sekali mendapatkan penghiburan. Selanjutnya adalah pengetahuan lebih dalam lagi ihwal firaun dan seluk-beluk per-jin-an. Itu pun kalau Anda rela memercayainya.***