Judul buku: Janda dari Jirah
Penulis: Cok Sawitri
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I – Juni 2007
Tebal: 187 hlm
Sedikitnya telah beredar tiga buah buku kisah Calon Arang : Dongeng Calon Arang (Pramoedya Ananta Toer), Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (Toeti Heraty), dan Galau Putri Calon Arang (Femmy Syahrani). Masing-masing mengusung versi yang berbeda dari beberapa perspektif namun tetap memiliki kemiripan satu sama lain. Tentu saja, sebab sumber ceritanya kan tetap satu : Calon Arang, legenda Tanah Bali (meskipun ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya kisah ini berasal dari Jawa).
Juni lalu, diluncurkan satu lagi karya fiksi mengenai Calon Arang yang diberi titel Janda dari Jirah, ditulis oleh Cok Sawitri. Karya penulis kelahiran Sidemen, Karangasem, Bali ini sedikit banyak berbeda dibandingkan tiga karya yang disebut di atas.
Pada novelnya ini, Calon Arang–ah..tidak, satu kalipun ia tak pernah menuliskan kata “Calon Arang” di novelnya ini. Ia menyebutnya: Rangda Ing Jirah–bukanlah seorang perempuan kejam berparas dan berperangai buruk yang memiliki ilmu hitam, tetapi seorang perempuan paruh baya yang senantiasa tampil anggun, berwibawa, dan bijaksana. Peri lakunya sungguh-sungguh menggambarkan seorang yang taat menjalankan ajaran Budha. Tak ada kegarangan. Tak ada kebengisan. Di sini, Rangda Ing Jirah bukanlah sentral cerita sebagaimana pada buku-buku sebelumnya. Pada buku ini, tokoh sentralnya adalah Airlangga, Raja Kadiri (Kediri), nama baru bagi Kerajaan Medang yang kalah perang melawan kerajaan dari seberang: Sriwijaya.
Intinya adalah perebutan kekuasaan. Takhta Kadiri yang diduduki Airlangga kini tengah terancam lantaran Samarawijaya, cucu Raja Medang yang selama ini menghilang entah ke mana, tiba-tiba muncul di istana Airlangga. Airlangga yang cuma sekadar menantu raja, menjadi galau dengan kedatangan sang pewaris takhta yang sesungguhnya. Apa lagi ia telah menyiapkan putri kandungnya sebagai Raja Kadiri berikutnya.
Yang lebih mengejutkan lagi, Samarawijaya tiba dengan segenggam kekuasaan di tangannya atas seluruh wilayah Kabikuan, yakni daerah “suci” tempat para penganut Budha Tantra bertinggal. Salah satunya yang terbesar dan paling berpengaruh adalah Kabikuan Setra Gandamayu, di mana Rangda Ing Jirah berkuasa. Pada saat Airlangga mengira telah berhasil mengangkangi seluruh Kadiri, Rangda Ing Jirah bersama-sama segenap Kabikuan yang ada justru bertakluk dan berpihak pada Samarawijaya, pangeran muda belia pewaris sah takhta Medang. Akhirnya, sebagaimana tertulis dalam sejarah klasik yang sudah kita kenal, Airlangga harus membelah dua kerajaannya masing-masing menjadi Kadiri dan Jenggala demi mencegah perang saudara.
Janda dari Jirah ditulis dengan–dan ini merupakan hal yang terasa paling menonjol–bahasa puitis. Sejenak sempat melayangkan ingatan saya pada novel gubahan Linus Suryadi, Pengakuan Pariyem. Seperti halnya Linus, Cok Sawitri yang juga seorang penyair ini, menuangkan kisahnya dalam bentuk narasi yang liris (prosa liris). Lihat saja, misalnya pada kalimat pembuka buku ini: “Di luar sana, embun telah terbentuk; entah tangan-tangan angin, entah isak-isak daun dan rerumputan. Entah. Entahlah. Siapakah di antara itu yang membentuk embun? ….” (hlm 1)
Gaya repetisi terlihat di sini, berhasil memberikan efek liris pada alinea ini dan terbangun suasana indah romantik. Hal demikian akan kita dapati di sekujur tubuh karangan. Menyenangkan membacanya bagi yang senang berpuitis-puitis. Namun, sebaliknya, akan terasa berlarat-larat bagi para pembaca yang maunya serbacepat dan praktis.
Layaknya sebuah dongeng, Cok Sawitri dengan enaknya menerbangkan kita ke negeri-negeri khayalan tempat pohon-pohon, rerumputan, bunga-bunga, dan segala margasatwa mampu bercakap-cakap dengan manusia. Ia juga memepertemukan kita dengan sebuah dunia dari masa lampau penuh orang-orang sakti yang bisa terbang melayang laksana burung ataupun melintasi lautan hanya dengan menumpang di atas selembar daun kalancang.
Namun begitu, Cok Sawitri juga tak mengharamkan airmata bagi para lelaki perkasa ini. Berulangkali ia menghadirkan adegan para lelaki yang tanpa malu-malu meneteskan airmata tersebab rasa pilu, terharu, atau syukur yang mendalam. Seorang panglima perang paling tangguhpun boleh menangis sesenggukan berurai airmata. Di Kadiri, rupanya tak dikenal istilah “boys don’t cry”.
Sementara itu, di manakah gerangan Ratna Manggali, putri cantik yang senantiasa menyertai sang janda di setiap cerita? Oh, Cok Sawitri tak memberi rol penting bagi sang putri. Ia hanya hadir sesaat, sekilas-sekilas, untuk kemudian dikawinkan dengan Bahula, seorang utusan istana yang jatuh cinta padanya. Agaknya, andaipun Ratna tak mampir di buku ini, tak akan banyak mengubah kisah.
Maka,
Tanah terbelahlah.
aku pulang menyeru padamu, Ibu
Setra Gandamayu pun hening
membisulah semua pohon
bila ditanya ke mana mereka pergi
ke masa depan……
Endah Sulwesi 27/8
Penulis: Cok Sawitri
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I – Juni 2007
Tebal: 187 hlm
Sedikitnya telah beredar tiga buah buku kisah Calon Arang : Dongeng Calon Arang (Pramoedya Ananta Toer), Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (Toeti Heraty), dan Galau Putri Calon Arang (Femmy Syahrani). Masing-masing mengusung versi yang berbeda dari beberapa perspektif namun tetap memiliki kemiripan satu sama lain. Tentu saja, sebab sumber ceritanya kan tetap satu : Calon Arang, legenda Tanah Bali (meskipun ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya kisah ini berasal dari Jawa).
Juni lalu, diluncurkan satu lagi karya fiksi mengenai Calon Arang yang diberi titel Janda dari Jirah, ditulis oleh Cok Sawitri. Karya penulis kelahiran Sidemen, Karangasem, Bali ini sedikit banyak berbeda dibandingkan tiga karya yang disebut di atas.
Pada novelnya ini, Calon Arang–ah..tidak, satu kalipun ia tak pernah menuliskan kata “Calon Arang” di novelnya ini. Ia menyebutnya: Rangda Ing Jirah–bukanlah seorang perempuan kejam berparas dan berperangai buruk yang memiliki ilmu hitam, tetapi seorang perempuan paruh baya yang senantiasa tampil anggun, berwibawa, dan bijaksana. Peri lakunya sungguh-sungguh menggambarkan seorang yang taat menjalankan ajaran Budha. Tak ada kegarangan. Tak ada kebengisan. Di sini, Rangda Ing Jirah bukanlah sentral cerita sebagaimana pada buku-buku sebelumnya. Pada buku ini, tokoh sentralnya adalah Airlangga, Raja Kadiri (Kediri), nama baru bagi Kerajaan Medang yang kalah perang melawan kerajaan dari seberang: Sriwijaya.
Intinya adalah perebutan kekuasaan. Takhta Kadiri yang diduduki Airlangga kini tengah terancam lantaran Samarawijaya, cucu Raja Medang yang selama ini menghilang entah ke mana, tiba-tiba muncul di istana Airlangga. Airlangga yang cuma sekadar menantu raja, menjadi galau dengan kedatangan sang pewaris takhta yang sesungguhnya. Apa lagi ia telah menyiapkan putri kandungnya sebagai Raja Kadiri berikutnya.
Yang lebih mengejutkan lagi, Samarawijaya tiba dengan segenggam kekuasaan di tangannya atas seluruh wilayah Kabikuan, yakni daerah “suci” tempat para penganut Budha Tantra bertinggal. Salah satunya yang terbesar dan paling berpengaruh adalah Kabikuan Setra Gandamayu, di mana Rangda Ing Jirah berkuasa. Pada saat Airlangga mengira telah berhasil mengangkangi seluruh Kadiri, Rangda Ing Jirah bersama-sama segenap Kabikuan yang ada justru bertakluk dan berpihak pada Samarawijaya, pangeran muda belia pewaris sah takhta Medang. Akhirnya, sebagaimana tertulis dalam sejarah klasik yang sudah kita kenal, Airlangga harus membelah dua kerajaannya masing-masing menjadi Kadiri dan Jenggala demi mencegah perang saudara.
Janda dari Jirah ditulis dengan–dan ini merupakan hal yang terasa paling menonjol–bahasa puitis. Sejenak sempat melayangkan ingatan saya pada novel gubahan Linus Suryadi, Pengakuan Pariyem. Seperti halnya Linus, Cok Sawitri yang juga seorang penyair ini, menuangkan kisahnya dalam bentuk narasi yang liris (prosa liris). Lihat saja, misalnya pada kalimat pembuka buku ini: “Di luar sana, embun telah terbentuk; entah tangan-tangan angin, entah isak-isak daun dan rerumputan. Entah. Entahlah. Siapakah di antara itu yang membentuk embun? ….” (hlm 1)
Gaya repetisi terlihat di sini, berhasil memberikan efek liris pada alinea ini dan terbangun suasana indah romantik. Hal demikian akan kita dapati di sekujur tubuh karangan. Menyenangkan membacanya bagi yang senang berpuitis-puitis. Namun, sebaliknya, akan terasa berlarat-larat bagi para pembaca yang maunya serbacepat dan praktis.
Layaknya sebuah dongeng, Cok Sawitri dengan enaknya menerbangkan kita ke negeri-negeri khayalan tempat pohon-pohon, rerumputan, bunga-bunga, dan segala margasatwa mampu bercakap-cakap dengan manusia. Ia juga memepertemukan kita dengan sebuah dunia dari masa lampau penuh orang-orang sakti yang bisa terbang melayang laksana burung ataupun melintasi lautan hanya dengan menumpang di atas selembar daun kalancang.
Namun begitu, Cok Sawitri juga tak mengharamkan airmata bagi para lelaki perkasa ini. Berulangkali ia menghadirkan adegan para lelaki yang tanpa malu-malu meneteskan airmata tersebab rasa pilu, terharu, atau syukur yang mendalam. Seorang panglima perang paling tangguhpun boleh menangis sesenggukan berurai airmata. Di Kadiri, rupanya tak dikenal istilah “boys don’t cry”.
Sementara itu, di manakah gerangan Ratna Manggali, putri cantik yang senantiasa menyertai sang janda di setiap cerita? Oh, Cok Sawitri tak memberi rol penting bagi sang putri. Ia hanya hadir sesaat, sekilas-sekilas, untuk kemudian dikawinkan dengan Bahula, seorang utusan istana yang jatuh cinta padanya. Agaknya, andaipun Ratna tak mampir di buku ini, tak akan banyak mengubah kisah.
Maka,
Tanah terbelahlah.
aku pulang menyeru padamu, Ibu
Setra Gandamayu pun hening
membisulah semua pohon
bila ditanya ke mana mereka pergi
ke masa depan……
Endah Sulwesi 27/8
1 komentar:
Aku ingin cari informasi lanjut tentang "Calon Arang" Soalnya mau di pentaskan untuk acara "Pesta Bunga" di sekolah.. ^_^
Posting Komentar