Judul buku: Rahasia Meede
Penulis: E.S. ITO
Penyunting: Yulia Fitri
Penerbit: Hikmah
Catakan: I, Agustus 2007
Tebal: 671 hlm
“Dosa manusia yang terbesar adalah imajinasinya yang kadang-kadang berlebihan,” demikian Eddri Sumitra atau yang lebih dikenal dengan nama E.S. Ito itu menjawab pertanyaan saya pada satu kesempatan ngobrol dengannya. Pertanyaan saya waktu itu adalah tentang dari mana ia mendapat ide soal harta karun VOC yang menjadi tema novel keduanya, Rahasia Meede. Novel dengan subjudul Misteri Harta Karun VOC ini ditulisnya dalam kurun waktu dua tahun. Itu sudah termasuk riset dan wawancara dengan orang-orang yang dijadikan nara sumber. Selebihnya, Ito memanfaatkan kecenderungan masyarakat kita yang telah lama hidup dengan mitos-mitos di seputar harta terpendam, Imam Mahdi, dana revolusi, dan segala yang serbamistis.
Isu adanya harta karun VOC di perut bumi Jakarta ini dijadikan pintu masuk Ito ke dalam penulisan novel yang sarat data sejarah ini. Dari sini, Ito membawa pembaca menyusuri sejarah panjang VOC yang mau tidak mau terkait erat dengan sejarah jatuh bangunnya Republik kita ini.
Keliaran fantasi anak muda kelahiran Kamang, 26 tahun silam ini selanjutnya akan menyeret kita kepada peristiwa-peristiwa bersejarah di masa silam; mempertemukan kita dengan pemikiran-pemikiran Gandhi dan Muhammad Hatta, dua tokoh yang sangat dikaguminya.
Bermula dari ide perlawanan tanpa kekerasan yang diyakini oleh Hatta dan Gandhi yang dalam novel ini telah disalahartikan oleh sekelompok orang yang menyebut diri Anarki Nusantara untuk melegalkan perbuatan mereka memberontak kepada negara.
Awalnya, Anarki Nusantara ini adalah sebuah grup diskusi mahasiswa di Yogya yang kerap mengangkat topik sensitif seputar kondisi sosial politik dalam negeri yang menurut mereka carut-marut. Kelompok ini kemudian membesar karena mendapat banyak simpati dari masyarakat. Termasuk Guru Uban, seorang pengajar sejarah di sebuah SMA kumuh di Bojonggede yang kelak terlibat aktif dalam aksi-aksi yang dilakukan komplotan pemberontak ini.
Tanpa disadari oleh para pengikutnya, Anarki Nusantara telah lama menjadi target operasi kalangan militer, khususnya Kopassus. Mereka mengincar Attar Malaka, anak muda cerdas berbakat lulusan SMA Taruna Nusantara (almamater Ito) yang ditengarai sebagai otak Anarki Nusantara. Operasi intelijen itu melibatkan seorang letnan muda berjuluk Lalat Merah. Attar Malaka dijadikan target bukan semata-mata karena perbuatannya melawan negara tetapi karena ia juga dicurigai memiliki informasi perihal harta karun peninggalan VOC.
Maka kemudian terjadilah “perang” antara Attar Malaka dengan Lalat Merah. Perwira muda yang pandai menyamar ini ternyata sahabat lama Attar Malaka. Mereka bersekolah di SMA dan kelas yang sama. Kepada sahabatnya ini, Attar Malaka memercayakan seluruh rahasia hidupnya. Kedua sahabat karib ini sayangnya setelah dewasa terpaksa bersimpang jalan. Yang satu menjadi perwira pengabdi negara, sedangkan yang lainnya berdiri berseberangan sebagai pemberontak.
Lalu dengan caranya yang asyik, melalui kisah perseteruan kedua sahabat yang berbeda ideologi ini, Ito mengajak kita menerobos ke masa ratusan tahun lalu. Mengubek-ubek sejumlah berkas dan dokumen bersejarah; mulai dari berdirinya VOC hingga Konferensi Meja Bundar yang ternyata menyinggung soal harta karun VOC.
Kabar tentang harta terpendam yang diduga nilainya sanggup untuk membayar utang luar negeri Indonesia ini ternyata terendus juga baunya oleh segelintir peneliti di Belanda. Berkedok sebagai peneliti, mereka datang dengan bermacam kepentingan. Salah satunya adalah Cathleen Zwinckel, mahasiswi tingkat master yang tengah menulis tesis ikhwal sejarah ekonomi kolonial. Oleh Prof Huygens, dosen pembimbingnya, gadis cantik ini dititipkan di CSA (Center for Strategic Affair), sebuah lembaga peneliti yang dipimpin oleh Suryo Lelono, sahabat Prof Huygens.
Sungguh malang, baru beberapa hari menikmati udara pengap Jakarta, Cathleen harus mengalami nasib sial diculik oleh gerombolan pemberontak yang diotaki oleh seseorang yang dipanggil dengan nama Kalek. Kalek punya data bahwa Cathleen mengetahui sebuah rahasia dari masa lalu yang akan menggiring mereka menemukan lokasi harta karun VOC. Itulah rahasia Meede.
Pelan-pelan kita disadarkan, bahwa kita tengah bermuka-muka dengan sebuah kisah thriller ala Dan Brown. Teka-teki demi teka-teki dihadirkan di hadapan kita bagaikan potongan-potongan puzzle yang kelak berhubungan satu sama lain dan pada akhirnya menyingkap rahasia dari seluruh teka-teki.
Meski settingnya masa kini, tetapi novel ini sarat memuat data sejarah. Angka tahun dan nama-nama tempat yang berasal dari masa lampau bertaburan di sekujur cerita yang disajikan dalam bentuk dialog para tokohnya. Ini yang menurut saya agak sedikit berlebihan. Boleh dibilang nyaris semua tokohnya pandai dan sangat menguasai sejarah. Mereka mampu bercakap panjang lebar tentang sejarah lengkap dengan menyebut (tanpa keliru) angka-angka tanggal dan tahunnya. Tak peduli itu Kalek di pemberontak, Cathleen si mahasiswi, atau pun Lalat Merah sang perwira penjaga keutuhan NKRI. Mereka memiliki pengetahun yang sama dan seimbang dalam urusan sejarah. Hampir tak ada tokoh pandir dalam novel ini.
Hal ini, menurut hemat saya, karena penulisnya kurang mampu menahan diri untuk tidak pamer pengetahuan. Data yang ditampilkan jadi terasa berjejalan dan kadang terkesan dipaksakan. Semangat Ito sebagai orang muda yang kritis juga acap nyelonong di tengah-tengah dialog. Misalnya tentang sinetron televisi yang hanya mengandalkan tampang indo para artisnya yang tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah dialog sejarah. Ito juga sering terdengar sinis mengomentari para pejabat yang korup, tentara yang berbisnis ilegal, atau pun kurikulum sekolah yang hanya menghasilkan manusia-manusia penghapal.
Namun, secara keseluruhan novel ini merupakan bacaan yang menarik. Unsur thriller (dengan kejutan-kejutannya yang tak terduga) dan sejarah menjadi pemikat utamanya. Jika hendak dibandingkan dengan Dan Brown, kelebihan Rahasia Meede adalah karena ia mengambil latar sejarah lokal. Bagi pembaca Indonesia, kejadian-kejadian di masa lampau itu tentu lebih menarik dan terasa akrab.
Keberanian Ito mengawinkan fakta dan fiksi sehingga menghasilkan novel gurih ini perlu dipujikan. Mengingat belum banyak penulis kita yang memanfaatkan lahan subur sejarah tanah air sebagai tema atau latar belakang kisah-kisah fiksi. Dari yang sedikit itu nama besar Pramoedya Ananta Toer sebagai empu belum tergoyahkan.
Oya, ada catatan kecil saya untuk Ito atau editornya agar lain kali lebih teliti. Bukan perkara besar, hanya karena kurang cermat saja. Pada halaman 518, tertulis: Tangannya merogoh rokok dari kantong. Sepanjang pertemuan mereka, baru kali ini dia (Kalek) merokok di depan Cathleen. Padahal di halaman 455, Ito menulis : Pada pertemuan mereka di Banda, Kalek menahan diri untuk tidak merokok. Sekarang dia tidak tahan lagi. Secangkir kopi pahit dan sebatang rokok untuk sebuah perayaan pertemuan.
Dan juga di halaman 541 : Erick mungkin bersama Kalek. Mestinya bukan Erick, tetapi Robert, sebab Erick telah mati bersama Raphael.
Kalau harus memberi bintang, tiga bintang dari saya untuk buku ini.***
Penulis: E.S. ITO
Penyunting: Yulia Fitri
Penerbit: Hikmah
Catakan: I, Agustus 2007
Tebal: 671 hlm
“Dosa manusia yang terbesar adalah imajinasinya yang kadang-kadang berlebihan,” demikian Eddri Sumitra atau yang lebih dikenal dengan nama E.S. Ito itu menjawab pertanyaan saya pada satu kesempatan ngobrol dengannya. Pertanyaan saya waktu itu adalah tentang dari mana ia mendapat ide soal harta karun VOC yang menjadi tema novel keduanya, Rahasia Meede. Novel dengan subjudul Misteri Harta Karun VOC ini ditulisnya dalam kurun waktu dua tahun. Itu sudah termasuk riset dan wawancara dengan orang-orang yang dijadikan nara sumber. Selebihnya, Ito memanfaatkan kecenderungan masyarakat kita yang telah lama hidup dengan mitos-mitos di seputar harta terpendam, Imam Mahdi, dana revolusi, dan segala yang serbamistis.
Isu adanya harta karun VOC di perut bumi Jakarta ini dijadikan pintu masuk Ito ke dalam penulisan novel yang sarat data sejarah ini. Dari sini, Ito membawa pembaca menyusuri sejarah panjang VOC yang mau tidak mau terkait erat dengan sejarah jatuh bangunnya Republik kita ini.
Keliaran fantasi anak muda kelahiran Kamang, 26 tahun silam ini selanjutnya akan menyeret kita kepada peristiwa-peristiwa bersejarah di masa silam; mempertemukan kita dengan pemikiran-pemikiran Gandhi dan Muhammad Hatta, dua tokoh yang sangat dikaguminya.
Bermula dari ide perlawanan tanpa kekerasan yang diyakini oleh Hatta dan Gandhi yang dalam novel ini telah disalahartikan oleh sekelompok orang yang menyebut diri Anarki Nusantara untuk melegalkan perbuatan mereka memberontak kepada negara.
Awalnya, Anarki Nusantara ini adalah sebuah grup diskusi mahasiswa di Yogya yang kerap mengangkat topik sensitif seputar kondisi sosial politik dalam negeri yang menurut mereka carut-marut. Kelompok ini kemudian membesar karena mendapat banyak simpati dari masyarakat. Termasuk Guru Uban, seorang pengajar sejarah di sebuah SMA kumuh di Bojonggede yang kelak terlibat aktif dalam aksi-aksi yang dilakukan komplotan pemberontak ini.
Tanpa disadari oleh para pengikutnya, Anarki Nusantara telah lama menjadi target operasi kalangan militer, khususnya Kopassus. Mereka mengincar Attar Malaka, anak muda cerdas berbakat lulusan SMA Taruna Nusantara (almamater Ito) yang ditengarai sebagai otak Anarki Nusantara. Operasi intelijen itu melibatkan seorang letnan muda berjuluk Lalat Merah. Attar Malaka dijadikan target bukan semata-mata karena perbuatannya melawan negara tetapi karena ia juga dicurigai memiliki informasi perihal harta karun peninggalan VOC.
Maka kemudian terjadilah “perang” antara Attar Malaka dengan Lalat Merah. Perwira muda yang pandai menyamar ini ternyata sahabat lama Attar Malaka. Mereka bersekolah di SMA dan kelas yang sama. Kepada sahabatnya ini, Attar Malaka memercayakan seluruh rahasia hidupnya. Kedua sahabat karib ini sayangnya setelah dewasa terpaksa bersimpang jalan. Yang satu menjadi perwira pengabdi negara, sedangkan yang lainnya berdiri berseberangan sebagai pemberontak.
Lalu dengan caranya yang asyik, melalui kisah perseteruan kedua sahabat yang berbeda ideologi ini, Ito mengajak kita menerobos ke masa ratusan tahun lalu. Mengubek-ubek sejumlah berkas dan dokumen bersejarah; mulai dari berdirinya VOC hingga Konferensi Meja Bundar yang ternyata menyinggung soal harta karun VOC.
Kabar tentang harta terpendam yang diduga nilainya sanggup untuk membayar utang luar negeri Indonesia ini ternyata terendus juga baunya oleh segelintir peneliti di Belanda. Berkedok sebagai peneliti, mereka datang dengan bermacam kepentingan. Salah satunya adalah Cathleen Zwinckel, mahasiswi tingkat master yang tengah menulis tesis ikhwal sejarah ekonomi kolonial. Oleh Prof Huygens, dosen pembimbingnya, gadis cantik ini dititipkan di CSA (Center for Strategic Affair), sebuah lembaga peneliti yang dipimpin oleh Suryo Lelono, sahabat Prof Huygens.
Sungguh malang, baru beberapa hari menikmati udara pengap Jakarta, Cathleen harus mengalami nasib sial diculik oleh gerombolan pemberontak yang diotaki oleh seseorang yang dipanggil dengan nama Kalek. Kalek punya data bahwa Cathleen mengetahui sebuah rahasia dari masa lalu yang akan menggiring mereka menemukan lokasi harta karun VOC. Itulah rahasia Meede.
Pelan-pelan kita disadarkan, bahwa kita tengah bermuka-muka dengan sebuah kisah thriller ala Dan Brown. Teka-teki demi teka-teki dihadirkan di hadapan kita bagaikan potongan-potongan puzzle yang kelak berhubungan satu sama lain dan pada akhirnya menyingkap rahasia dari seluruh teka-teki.
Meski settingnya masa kini, tetapi novel ini sarat memuat data sejarah. Angka tahun dan nama-nama tempat yang berasal dari masa lampau bertaburan di sekujur cerita yang disajikan dalam bentuk dialog para tokohnya. Ini yang menurut saya agak sedikit berlebihan. Boleh dibilang nyaris semua tokohnya pandai dan sangat menguasai sejarah. Mereka mampu bercakap panjang lebar tentang sejarah lengkap dengan menyebut (tanpa keliru) angka-angka tanggal dan tahunnya. Tak peduli itu Kalek di pemberontak, Cathleen si mahasiswi, atau pun Lalat Merah sang perwira penjaga keutuhan NKRI. Mereka memiliki pengetahun yang sama dan seimbang dalam urusan sejarah. Hampir tak ada tokoh pandir dalam novel ini.
Hal ini, menurut hemat saya, karena penulisnya kurang mampu menahan diri untuk tidak pamer pengetahuan. Data yang ditampilkan jadi terasa berjejalan dan kadang terkesan dipaksakan. Semangat Ito sebagai orang muda yang kritis juga acap nyelonong di tengah-tengah dialog. Misalnya tentang sinetron televisi yang hanya mengandalkan tampang indo para artisnya yang tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah dialog sejarah. Ito juga sering terdengar sinis mengomentari para pejabat yang korup, tentara yang berbisnis ilegal, atau pun kurikulum sekolah yang hanya menghasilkan manusia-manusia penghapal.
Namun, secara keseluruhan novel ini merupakan bacaan yang menarik. Unsur thriller (dengan kejutan-kejutannya yang tak terduga) dan sejarah menjadi pemikat utamanya. Jika hendak dibandingkan dengan Dan Brown, kelebihan Rahasia Meede adalah karena ia mengambil latar sejarah lokal. Bagi pembaca Indonesia, kejadian-kejadian di masa lampau itu tentu lebih menarik dan terasa akrab.
Keberanian Ito mengawinkan fakta dan fiksi sehingga menghasilkan novel gurih ini perlu dipujikan. Mengingat belum banyak penulis kita yang memanfaatkan lahan subur sejarah tanah air sebagai tema atau latar belakang kisah-kisah fiksi. Dari yang sedikit itu nama besar Pramoedya Ananta Toer sebagai empu belum tergoyahkan.
Oya, ada catatan kecil saya untuk Ito atau editornya agar lain kali lebih teliti. Bukan perkara besar, hanya karena kurang cermat saja. Pada halaman 518, tertulis: Tangannya merogoh rokok dari kantong. Sepanjang pertemuan mereka, baru kali ini dia (Kalek) merokok di depan Cathleen. Padahal di halaman 455, Ito menulis : Pada pertemuan mereka di Banda, Kalek menahan diri untuk tidak merokok. Sekarang dia tidak tahan lagi. Secangkir kopi pahit dan sebatang rokok untuk sebuah perayaan pertemuan.
Dan juga di halaman 541 : Erick mungkin bersama Kalek. Mestinya bukan Erick, tetapi Robert, sebab Erick telah mati bersama Raphael.
Kalau harus memberi bintang, tiga bintang dari saya untuk buku ini.***
endah sulwesi