Kamis, 18 Desember 2008

Bookends


Judul buku: Bookends
Penulis: Jane Green
Penerjemah: Utti Setiawati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Oktober 2008
Tebal: 504 halaman

Sepanjang yang bisa aku ingat, aku cinta buku. Bukan Cuma cinta, tapi tergila-gila. Biasanya aku menghabiskan berjam-jam berkelana ke toko-toko buku, lupa waktu, menenggelamkan diri ke dunia lain.

Sejak dulu aku bermimpi memiliki toko buku. Sebenarnya, sejak dulu aku bermimpi memiliki toko buku yang juga merangkap sebagai kafe. Aku membayangkannya sebagai tempat yang akan memikat pengunjung rutin, orang-orang eksentrik yang menarik, yang mau membuatkan cappuccino jika aku butuh bantuan.

Untuk sampai pada dua paragraf di atas, saya harus membaca 84 halaman dulu dari novel chiklit Bookends karya Jane Green ini. Mengapa saya kutip? Sebab, kalimat di paragraf tersebut kok rasanya “gue banget”. Kalimat itu diucapkan oleh Catherine atau Cath, cewek lajang berusia 31 tahun, tokoh utama di buku ini. Cath tak suka berdandan, tak suka pakai rok, doyan makan, dan berhenti memikirkan perkawinan sejak umur 29. Nah..nah…rasanya kok semakin mirip dengan diri saya? Bedanya sedikit saja, dengan rambut Afro-nya yang kriwil-kriwil berantakan, Cath pasti lebih cantik dari saya. Oya, dan saya sedikit lebih tua disbanding gadis Inggris ini.

Seperti Cath, saya pun memiliki impian suatu hari nanti bisa punya toko buku sendiri yang menyatu dengan sebuah kafe. Dalam hal ini Cath lebih beruntung karena ia bisa segera mewujudkan mimpinya dalam usia ke-31, sedangkan saya mungkin masih harus bersabar lebih lama lagi. Masalah saya cuma satu : tidak ada dana. Kalian tentu tahu, membuka sebuah toko buku yang juga merangkap kafe tentu butuh modal tidak sedikit. Kalau saja ada jutawan yang bermurah hati memodali saya, saat itu juga saya akan berhenti dari pekerjaan saya yang sekarang dan sepenuhnya mengurusi toko buku impian saya itu.

Lagi-lagi untuk urusan modal ini, saya harus iri pada Cath yang tidak perlu berpayah-payah mencari modal sebab warisan dari neneknya sudah sangat cukup untuk menjalankan bisnis idamannya tersebut. Adapun untuk masalah kafe, sudah ada sahabatnya yang bersedia berkongsi: Lucy. Lucy adalah istri Josh, sahabat Cath semasa kuliah dulu.

Selain Josh, Cath juga memiliki sahabat yang lain: Si dan Portia. Si seorang gay; sedangkan Portia adalah Miss Perfect yang sukses berkarier sebagai penulis skenario drama sitcom televisi. Lantaran sebuah sebab, Portia sempat dijauhi oleh para sahabatnya itu dan tak pernah berjumpa mereka selama 10 tahun. Mereka baru bertemu lagi saat pembukaan Bookends, nama yang diberikan untuk toko buku Cath itu.

Sudah lama sekali rasanya saya tidak membaca novel-novel chiklit. Bukan apa-apa, hanya malas saja dan lebih memilih novel yang agak serius (uuh, padahal baca chiklit itu asyik juga loh). Alasan utama saya membaca Bookends apalagi kalau bukan karena ceritanya yang sedikit banyak mirip dengan kehidupan saya itu? (ngaku-ngaku deh). Sayangnya, Bookends tak melulu berkicau soal Cath dan toko bukunya, namun justru lebih menekankan kisahnya pada tema persahabatan. Malah ihwal Cath yang disebut sebagai cewek penggila buku nyaris tak pernah diceritakan sedang membaca atau belanja buku. Rada janggal ya?

Tetapi, sebagaimana umumnya chiklit, Bookends cukup menghibur bagi saya. Setidaknya karena karakter Cath yang, seperti saya bilang tadi, agak-agak mirip dengan saya :D. Saya senang membayangkan diri saya adalah Cath yang berkencan dengan James, pria tampan yang bekerja sebagai agen penjualan properti sekaligus pelukis keren. Walaupun saya tak memiliki sahabat dekat seorang gay, namun saya tidak keberatan seandainya ada seorang lelaki homo yang ingin menjalin persahatan dengan saya seperti Si dengan Cath.

Sahabat dekat saya juga tidak seperti Portia yang senang menjadi pusat perhatian. Tapi mungkin saya juga akan berlaku seperti Cath seandainya memiliki sahabat macam Portia yang suka menyakiti orang lain. Apalagi bila orang lain itu adalah sahabat kami sendiri.

Tentu saja menamatkan Bookends tidak memerlukan waktu yang lama. Saya hanya perlu waktu dua hari saja. Sekali lagi, saudara-saudara, dua hari! Pasti karena ditulis dalam rangkaian bahasa yang ringan, ngepop, dan mudah dicerna. Humor-humor segar nan cerdas turut memperlancar saya dengan cepat menamatkannya. Memang menyenangkan membaca chiklit (yang bagus) itu. Tak ubahnya seperti menonton film atau serial komedi romantis ala Friends atau Sex and The City. Karen memang di situlah kekuatan dan daya tarik sebuah karya metropop.

Pada akhirnya, Bookends memang bukan novel yang memuat kisah tentang toko buku. Namun, jika kalian ingin sejenak mereguk kesegaran sebuah cerita cinta dan persahabatan tanpa harus berkerut kening, buku ini bolehlah dijadikan pilihan. Kriuuuuk…..***

Tidak ada komentar: