Judul buku: Nora
Penulis: Putu Wijaya
Editor: Kenedi Nurhan
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: November, 2007
Tebal: 304 hlm
Siapa tak kenal Putu Wijaya? Nama itu tak asing lagi di kalangan pencinta sastra dan teater. Kiprah seniman-sastrawan asal Tabanan, Bali ini sudah dimulai sejak ia masih duduk di kelas 3 SMP. Jadi kira-kira sudah lebih dari 50 tahun yang lalu, ya. Sebab, usia pria bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya kini 64 tahun. Tak heran jika dalam perjalanan yang panjang itu ia telah banyak memperoleh penghargaan dalam dunia yang digelutinya.
Seperti kebiasaan saya membeli buku dengan pertimbangan utama nama penulisnya, maka Nora saya comot dari rak di toko buku tentu karena penulisnya adalah Putu Wijaya. Beberapa karyanya sudah saya lahap sejak mungkin lebih dari sepuluh tahun lalu. Terutama cerpen-cerpennya yang kadang-kadang terasa absurd sebagaimana karya-karya drama yang ditulis dan disutradarainya. Banyak di antara ratusan cerpennya yang saya suka, tetapi tak sedikit juga yang bikin jidat saya berkerut tujuh lapis saking absurdnya. Celakanya, sudah begitupun saya ternyata lebih sering gagal menangkap maksudnya. Umpamanya sewaktu menonton pementasan dramanya yang berjudul “Zero”. Pemahaman saya terhadap apa yang tersaji di panggung benar-benar zero.
Maka, tatkala usai membaca Nora–yang merupakan buku pertama dari rangkaian “Tetralogi Dangdut” seperti tertulis di kover novel ini–dengan sejumlah “ganjalan”, saya berusaha menemukan “pembenarannya”. Maksud saya, ketika di dalam Nora saya mendapati hal-hal yang saya tidak sepakat karena kelewat dramatis, saya berusaha melihatnya dari kacamata yang lain (kacamata apa ya?) kendati tak selalu berhasil.
Novel ini dimulai dengan sebuah pembukaan yang menarik : Nora tanpa sengaja melihat kemaluan Mala, pria lajang tetangganya, saat Mala membuang hajat kecilnya di gerumbul semak kembang sepatu. Ketika itu Nora sedang mencuci piring di sebaliknya. Apa yang dilihatnya membuat Nora panas dingin dan berhari-hari meracau dalam ketidaksadarannya; menyebutkan kata-kata : “Takut…takut…takut. Hitam. Besar. Panjang..”
Igauan tersebut lalu disimpulkan oleh kedua orang tua Nora sebagai akibat dari perbuatan jahat seseorang terhadap putri mereka. Saat kemudian racauan Nora melafalkan nama Mala, tak pelak lagi tuduhan bagi si pelaku perbuatan jahat itu jatuh pada Mala, tetangga mereka, pemimpin redaksi sebuah majalah berita. Maka, lantas mereka mendatangi Mala untuk bersegera menikahi Nora.
Tanpa kuasa menolak, Mala pasrah saja pada todongan orang tua Nora. Ia yang dikenal sebagai seorang yang kritis, rasional, cerdas, berpendidikan tinggi, berpandangan luas, tiba-tiba menyerah begitu saja pada “nasib” yang disodorkan oleh ayah Nora. Menikahlah ia dengan Nora, gadis kampung lugu yang tidak pernah benar-benar dikenalnya. Agar tindakan Mala tampak masuk akal, Putu Wijaya memberi penjelasan sederhana: setiap orang punya sudut gendeng yang tidak dimengertinya sendiri. Tubuh sudah punya kemauan sendiri dan bertindak seenak udelnya tanpa konsultasi. Mala seperti dihipnotis, mengiyakan semuanya.
Setelah menikah, Mala ternyata hanya dijadikan sapi perahan oleh keluarga istrinya itu. Seluruh kebutuhan keluarga dia yang mencukupinya. Sementara itu, Nora sama sekali tidak pernah disetubuhinya sebab ia mengira istrinya itu sedang hamil akibat perbuatan lelaki lain sebelum menikah dengannya. Sampai berbulan-bulan ia tak menyadari bahwa Nora sebenarnya tidak pernah hamil.
Pada suatu hari tanpa persetujuan Mala, orang tua Nora menerima lamaran dan hendak menikahkan Nora dengan orang lain. Keberatan Mala tidak digubris. Mereka tetap menikahkan (lagi) Nora dengan laki-laki yang masih ada hubungan sanak famili dan meminta Mala membiayai pernikahan tersebut. Lagi-lagi Mala tidak berdaya.
Sementara itu, kehidupan Mala di luar hubungannya dengan Nora, juga sedang mengalami ujian. Pergaulannya yang luas tanpa disadarinya telah melibatkannya dengan Yayasan Nurani, perkumpulan politik yang berkedok yayasan yang agenda utamanya makar dan mengubah NKRI menjadi negara serikat. Tiba-tiba saja Mala telah terseret sebuah persoalan besar yang di dalamnya menyertakan pula kedua sahabatnya, Midori dan Adam. Termasuk pula dana sebesar 400 miliar rupiah. Persoalan semakin rumit sewaktu kemudian Midori ditemukan tewas terpotong-potong. Sebuah konspirasi tingkat tinggi yang tidak Mala mengerti telah menjeratnya sebagai tersangka pelaku pembunuhan tersebut.
Meski dengan geregetan, saya akhirnya bisa juga menamatkan novel ini. Bukan karena menarik, tetapi lantaran penasaran ingin tahu mau dibawa ke mana cerita ini sebenarnya. Jelas sekali, buku ini berpijak pada realisme, walaupun di beberapa bagian terlihat dilebih-lebihkan. Seperti gambar karikatur. Atau ibarat lagu dangdut yang syair dan ceritanya kerap sangat dramatis (untuk tidak menyebutnya norak) dalam mengungkapkan sesuatu. Apakah itu sebabnya Putu menamakan karyanya ini sebagai “Tetralogi Dangdut”?
Mulanya sih saya masih bisa ketawa-ketiwi lantaran menganggap lakon ini sebagai sebuah gaya lucu-lucuan ala Putu. Namun, lama-lama jadi sebal juga saat Putu makin “seenaknya”. Bagai menonton pertunjukan sandiwara panggung yang banyak adegan improvisasinya. Peristiwa dan para pemain sering ujug-ujug datang dan pergi seolah tanpa direncanakan. Misalnya saja, kita baru tahu bahwa Mala ternyata punya pinjaman 100 juta rupiah kepada kantornya untuk membangun rumah padahal sebelumnya hal tersebut tidak pernah disinggung-singgung. Fakta ihwal utang Mala itu muncul secara sekonyong-konyong di tengah adegan raibnya dana sebesar 400 miliar dari rekening Mala.
Demikian pun tentang karakter Mala yang kelewat baik sehingga malah jadi “bodoh” itu, rasanya kok berlebihan betul. Ada fakta yang saling bertentangan dalam karakter Mala. Ia yang cerdas, serbarasional, calon doktor, jadi terasa aneh ketika tak berdaya berhadapan dengan keluguan Nora dan kebebalan keluarganya. Atau barangkali saya harus ikhlas untuk sepakat dengan apa yang dikatakan Putu, bahwa setiap orang memiliki sudut gendeng yang tidak dimengertinya? Yang pasti sih, saya capek mengikuti alur logika buku ini yang terasa dibentur-benturkan. Saya tidak yakin, seandainya bukan Putu Wijaya yang menulis, apakah bakal ada penerbit yang mau menerbitkannya. Yang jelas, saya sudah memutuskan untuk tidak membaca buku lanjutannya. Atau mungkin Anda punya pendapat berbeda?***
Penulis: Putu Wijaya
Editor: Kenedi Nurhan
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: November, 2007
Tebal: 304 hlm
Siapa tak kenal Putu Wijaya? Nama itu tak asing lagi di kalangan pencinta sastra dan teater. Kiprah seniman-sastrawan asal Tabanan, Bali ini sudah dimulai sejak ia masih duduk di kelas 3 SMP. Jadi kira-kira sudah lebih dari 50 tahun yang lalu, ya. Sebab, usia pria bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya kini 64 tahun. Tak heran jika dalam perjalanan yang panjang itu ia telah banyak memperoleh penghargaan dalam dunia yang digelutinya.
Seperti kebiasaan saya membeli buku dengan pertimbangan utama nama penulisnya, maka Nora saya comot dari rak di toko buku tentu karena penulisnya adalah Putu Wijaya. Beberapa karyanya sudah saya lahap sejak mungkin lebih dari sepuluh tahun lalu. Terutama cerpen-cerpennya yang kadang-kadang terasa absurd sebagaimana karya-karya drama yang ditulis dan disutradarainya. Banyak di antara ratusan cerpennya yang saya suka, tetapi tak sedikit juga yang bikin jidat saya berkerut tujuh lapis saking absurdnya. Celakanya, sudah begitupun saya ternyata lebih sering gagal menangkap maksudnya. Umpamanya sewaktu menonton pementasan dramanya yang berjudul “Zero”. Pemahaman saya terhadap apa yang tersaji di panggung benar-benar zero.
Maka, tatkala usai membaca Nora–yang merupakan buku pertama dari rangkaian “Tetralogi Dangdut” seperti tertulis di kover novel ini–dengan sejumlah “ganjalan”, saya berusaha menemukan “pembenarannya”. Maksud saya, ketika di dalam Nora saya mendapati hal-hal yang saya tidak sepakat karena kelewat dramatis, saya berusaha melihatnya dari kacamata yang lain (kacamata apa ya?) kendati tak selalu berhasil.
Novel ini dimulai dengan sebuah pembukaan yang menarik : Nora tanpa sengaja melihat kemaluan Mala, pria lajang tetangganya, saat Mala membuang hajat kecilnya di gerumbul semak kembang sepatu. Ketika itu Nora sedang mencuci piring di sebaliknya. Apa yang dilihatnya membuat Nora panas dingin dan berhari-hari meracau dalam ketidaksadarannya; menyebutkan kata-kata : “Takut…takut…takut. Hitam. Besar. Panjang..”
Igauan tersebut lalu disimpulkan oleh kedua orang tua Nora sebagai akibat dari perbuatan jahat seseorang terhadap putri mereka. Saat kemudian racauan Nora melafalkan nama Mala, tak pelak lagi tuduhan bagi si pelaku perbuatan jahat itu jatuh pada Mala, tetangga mereka, pemimpin redaksi sebuah majalah berita. Maka, lantas mereka mendatangi Mala untuk bersegera menikahi Nora.
Tanpa kuasa menolak, Mala pasrah saja pada todongan orang tua Nora. Ia yang dikenal sebagai seorang yang kritis, rasional, cerdas, berpendidikan tinggi, berpandangan luas, tiba-tiba menyerah begitu saja pada “nasib” yang disodorkan oleh ayah Nora. Menikahlah ia dengan Nora, gadis kampung lugu yang tidak pernah benar-benar dikenalnya. Agar tindakan Mala tampak masuk akal, Putu Wijaya memberi penjelasan sederhana: setiap orang punya sudut gendeng yang tidak dimengertinya sendiri. Tubuh sudah punya kemauan sendiri dan bertindak seenak udelnya tanpa konsultasi. Mala seperti dihipnotis, mengiyakan semuanya.
Setelah menikah, Mala ternyata hanya dijadikan sapi perahan oleh keluarga istrinya itu. Seluruh kebutuhan keluarga dia yang mencukupinya. Sementara itu, Nora sama sekali tidak pernah disetubuhinya sebab ia mengira istrinya itu sedang hamil akibat perbuatan lelaki lain sebelum menikah dengannya. Sampai berbulan-bulan ia tak menyadari bahwa Nora sebenarnya tidak pernah hamil.
Pada suatu hari tanpa persetujuan Mala, orang tua Nora menerima lamaran dan hendak menikahkan Nora dengan orang lain. Keberatan Mala tidak digubris. Mereka tetap menikahkan (lagi) Nora dengan laki-laki yang masih ada hubungan sanak famili dan meminta Mala membiayai pernikahan tersebut. Lagi-lagi Mala tidak berdaya.
Sementara itu, kehidupan Mala di luar hubungannya dengan Nora, juga sedang mengalami ujian. Pergaulannya yang luas tanpa disadarinya telah melibatkannya dengan Yayasan Nurani, perkumpulan politik yang berkedok yayasan yang agenda utamanya makar dan mengubah NKRI menjadi negara serikat. Tiba-tiba saja Mala telah terseret sebuah persoalan besar yang di dalamnya menyertakan pula kedua sahabatnya, Midori dan Adam. Termasuk pula dana sebesar 400 miliar rupiah. Persoalan semakin rumit sewaktu kemudian Midori ditemukan tewas terpotong-potong. Sebuah konspirasi tingkat tinggi yang tidak Mala mengerti telah menjeratnya sebagai tersangka pelaku pembunuhan tersebut.
Meski dengan geregetan, saya akhirnya bisa juga menamatkan novel ini. Bukan karena menarik, tetapi lantaran penasaran ingin tahu mau dibawa ke mana cerita ini sebenarnya. Jelas sekali, buku ini berpijak pada realisme, walaupun di beberapa bagian terlihat dilebih-lebihkan. Seperti gambar karikatur. Atau ibarat lagu dangdut yang syair dan ceritanya kerap sangat dramatis (untuk tidak menyebutnya norak) dalam mengungkapkan sesuatu. Apakah itu sebabnya Putu menamakan karyanya ini sebagai “Tetralogi Dangdut”?
Mulanya sih saya masih bisa ketawa-ketiwi lantaran menganggap lakon ini sebagai sebuah gaya lucu-lucuan ala Putu. Namun, lama-lama jadi sebal juga saat Putu makin “seenaknya”. Bagai menonton pertunjukan sandiwara panggung yang banyak adegan improvisasinya. Peristiwa dan para pemain sering ujug-ujug datang dan pergi seolah tanpa direncanakan. Misalnya saja, kita baru tahu bahwa Mala ternyata punya pinjaman 100 juta rupiah kepada kantornya untuk membangun rumah padahal sebelumnya hal tersebut tidak pernah disinggung-singgung. Fakta ihwal utang Mala itu muncul secara sekonyong-konyong di tengah adegan raibnya dana sebesar 400 miliar dari rekening Mala.
Demikian pun tentang karakter Mala yang kelewat baik sehingga malah jadi “bodoh” itu, rasanya kok berlebihan betul. Ada fakta yang saling bertentangan dalam karakter Mala. Ia yang cerdas, serbarasional, calon doktor, jadi terasa aneh ketika tak berdaya berhadapan dengan keluguan Nora dan kebebalan keluarganya. Atau barangkali saya harus ikhlas untuk sepakat dengan apa yang dikatakan Putu, bahwa setiap orang memiliki sudut gendeng yang tidak dimengertinya? Yang pasti sih, saya capek mengikuti alur logika buku ini yang terasa dibentur-benturkan. Saya tidak yakin, seandainya bukan Putu Wijaya yang menulis, apakah bakal ada penerbit yang mau menerbitkannya. Yang jelas, saya sudah memutuskan untuk tidak membaca buku lanjutannya. Atau mungkin Anda punya pendapat berbeda?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar