Judul: Adam Hawa
Penulis: Muhidin M.Dahlan
Penerbit: ScriPta Manent
Cetakan: I, 2005
Tebal: 166 hlm.
Adam dalam kitab-kitab suci agama langit, Islam, Nasrani, dan Yahudi, dipercaya sebagai manusia pertama ciptaan Tuhan. Makhluk berjenis kelamin lelaki ini, masih menurut kitab-kitab suci itu, dibuat dari tanah. Sebelum kemudian ia diusir dari Surga, Tuhan telah berbaik hari memberinya seorang kawan yang–sebagaimana tertulis dalam ayat-ayat Tuhan–diciptakan dari seruas tulang iga Adam sebelah kiri (barangkali dari sini berawal penempatan perempuan dalam saf salat berjamaah). Tersebab Adam melanggar larangan Tuhan untuk tidak menyentuh atau apa lagi sampai berani memakan buah khuldi–buah yang hanya tumbuh di Surga (ada juga versi yang menyebutnya apel)–ia pun dihukum Tuhan dengan dilemparkan ke bumi bersama “rusuk kirinya”. Itulah sejarah yang selama ini diimani sebagai asal mula adanya manusia di bumi.
Oleh penulis “gemblung” Muhidin M. Dahlan, “sejarah” suci itu ditulis kembali dengan gaya kelakar yang bisa jadi bikin pembaca yang relijius akan merah kuping dan “berasap” kepalanya. Pasalnya Adam Hawa dalam versi Gus Muh atawa Gus Pengasap ini tampil dalam sosok yang “berbeda”. Oh, bahkan Gus Sinting ini berani menuliskan bahwa Hawa bukanlah perempuan pertama, sebab yang pertama itu adalah Maia (ah..kenapa saya lalu jadi ingat Maia Ahmad, ya?)
Lantaran sebelumnya saya sudah sempat mencari kenal penulis muda yang banyak mendapat hujatan, terutama dari kelompok Islam karena keempat novelnya yang dianggap kelewat nyeleneh itu, maka saya sudah menyiapkan mental untuk bertemu dengan sebuah lakon yang “aneh”.
Muhidin menyajikan dua versi “unik” mengenai penciptaan Adam. Versi pertama, ia mengartikan secara harfiah Adam yang dibuat dari tanah. Tuhan telah memerintahkan malaikat-malaikatnya yang setia untuk menemui kaum kurcaci yang terkenal mahir membuat patung. Pada orang-orang mungil ini, malaikat memesan sebuah patung lempung makhluk terbaru yang kelak dikenal sebagai manusia. Gambar dan rancangan patung tersebut dibuat sendiri oleh Tuhan dengan detail yang sangat sempurna. Ketika saatnya tiba, Tuhan menghembuskan kehidupan ke dalam tubuh patung lempung tersebut dan memanggilnya dengan nama Adam.
Versi kedua, Tuhanlah yang “melahirkan Adam”. Cuma karena Muhidin menafsirkan Tuhan berkelamin cowok (Ugh, mengapa harus ditafsirkan sebagai lelaki?) yang tidak memiliki rahim dan vagina, maka Adam lalu dikisahkan lahir lewat ketiak Tuhan yang dipenuhi bulu. Sungguh imajinasi yang, hmm, nakal. Saya bisa paham jika ada pembaca yang tidak berkenan dan misuh-misuh. Saya tidak tahu deh bagaimana reaksi FPI kalau membaca novel tipis ini.
Adam ternyata lebih suka dan sepakat dengan versi kedua. Sebab menurut hematnya versi pertama sangat tidak keren. Tercipta dari lempung? Oh, sungguh hina dan memalukan. Sebutan “putra Tuhan” tentu jauh lebih terhormat.
Setelah sekian lama sendiri di Taman Eden, pada suatu pagi Adam terkejut lantaran mendapati seorang makhluk lain yang sangat mirip dengan dirinya nangkring di batang pohon khuldi. Ah, tetapi setelah ia dekati, makhluk itu ternyata sedikit berbeda dengan dirinya. Bagian dadanya menggelembung, tidak rata seperti miliknya. Dan sebaliknya, di antara selangkangannya tidak terdapat gumpalan daging yang mirip akar tunjang seperti di tubuhnya. Makhluk itu menyebut dirinya Maia.
Lalu, tinggallah Maia bersama Adam di Taman Eden, di sebuah rumah batu (entah belajar dari mana Adam cara membuat rumah itu). Setiap detik mereka lewati dengan bercinta sampai kelelahan. Rupanya, Tuhan yang pandai itu telah melengkapi Adam dan Maia dengan hasrat berahi yang membuat keduanya saling tertarik dan bergairah satu sama lain. Tiada hari tanpa bercinta. Hingga pada suatu masa Maia tiba pada titik jenuh karena pasangannya kelewat dominan dan suka memerintah. Maia tak diperkenankan memiliki inisatif, bahkan dalam soal bercinta sekalipun. Ia harus selalu mematuhi kehendak Adam, tanpa boleh membantah sedikitpun. Maka, kemudian ia memutuskan minggat dari lelaki itu.
Nah, barulah setelah kepergian Maia entah ke mana, Tuhan memberikan Hawa sebagai penggantinya. Hawa yang penurut serta tak pernah menuntut. Disuruh apapun akan ia laksanakan dengan kepatuhan seorang budak kepada majikannya. Sebab, ia telah diperintahkan Tuhan untuk hanya mematuhi Adam. Ow..ow…inikah hulu sejarah masyarakat patriarkhi (male domination)?:D
Yah, saya cuma bisa mengatakan, sebagai sebuah novel, cara penggarapannya masih harus diamplas lagi supaya lebih halus. Untuk tema cerita, saya sama sekali tidak mempersoalkan. Saya pikir, demi kebebasan berkreasi, tema apapun boleh ditulis. Perkara mutu penulisannya, itulah yang perlu diperhatikan.
Untuk penerbitnya, sangat saya sarankan agar lebih memerhatikan ejaan. Saya menemukan banyak kekeliruan yang terkesan kebablasan. Misalnya, “memperoleh” ditulis “memeroleh”, “memperlihatkan” ditulis “memerlihatkan”, dll. Ini kan kebablasan, jangan mentang-mentang “memperhatikan” harus ditulis “memerhatikan”. Sebab, kata dasar “memerhatikan” adalah “perhati”, sedangkan “memperlihatkan”, kata dasarnya adalah “lihat”.
Komentar untuk Gus Muh : “Kau memang edan tenan, Gus!”
Penulis: Muhidin M.Dahlan
Penerbit: ScriPta Manent
Cetakan: I, 2005
Tebal: 166 hlm.
Adam dalam kitab-kitab suci agama langit, Islam, Nasrani, dan Yahudi, dipercaya sebagai manusia pertama ciptaan Tuhan. Makhluk berjenis kelamin lelaki ini, masih menurut kitab-kitab suci itu, dibuat dari tanah. Sebelum kemudian ia diusir dari Surga, Tuhan telah berbaik hari memberinya seorang kawan yang–sebagaimana tertulis dalam ayat-ayat Tuhan–diciptakan dari seruas tulang iga Adam sebelah kiri (barangkali dari sini berawal penempatan perempuan dalam saf salat berjamaah). Tersebab Adam melanggar larangan Tuhan untuk tidak menyentuh atau apa lagi sampai berani memakan buah khuldi–buah yang hanya tumbuh di Surga (ada juga versi yang menyebutnya apel)–ia pun dihukum Tuhan dengan dilemparkan ke bumi bersama “rusuk kirinya”. Itulah sejarah yang selama ini diimani sebagai asal mula adanya manusia di bumi.
Oleh penulis “gemblung” Muhidin M. Dahlan, “sejarah” suci itu ditulis kembali dengan gaya kelakar yang bisa jadi bikin pembaca yang relijius akan merah kuping dan “berasap” kepalanya. Pasalnya Adam Hawa dalam versi Gus Muh atawa Gus Pengasap ini tampil dalam sosok yang “berbeda”. Oh, bahkan Gus Sinting ini berani menuliskan bahwa Hawa bukanlah perempuan pertama, sebab yang pertama itu adalah Maia (ah..kenapa saya lalu jadi ingat Maia Ahmad, ya?)
Lantaran sebelumnya saya sudah sempat mencari kenal penulis muda yang banyak mendapat hujatan, terutama dari kelompok Islam karena keempat novelnya yang dianggap kelewat nyeleneh itu, maka saya sudah menyiapkan mental untuk bertemu dengan sebuah lakon yang “aneh”.
Muhidin menyajikan dua versi “unik” mengenai penciptaan Adam. Versi pertama, ia mengartikan secara harfiah Adam yang dibuat dari tanah. Tuhan telah memerintahkan malaikat-malaikatnya yang setia untuk menemui kaum kurcaci yang terkenal mahir membuat patung. Pada orang-orang mungil ini, malaikat memesan sebuah patung lempung makhluk terbaru yang kelak dikenal sebagai manusia. Gambar dan rancangan patung tersebut dibuat sendiri oleh Tuhan dengan detail yang sangat sempurna. Ketika saatnya tiba, Tuhan menghembuskan kehidupan ke dalam tubuh patung lempung tersebut dan memanggilnya dengan nama Adam.
Versi kedua, Tuhanlah yang “melahirkan Adam”. Cuma karena Muhidin menafsirkan Tuhan berkelamin cowok (Ugh, mengapa harus ditafsirkan sebagai lelaki?) yang tidak memiliki rahim dan vagina, maka Adam lalu dikisahkan lahir lewat ketiak Tuhan yang dipenuhi bulu. Sungguh imajinasi yang, hmm, nakal. Saya bisa paham jika ada pembaca yang tidak berkenan dan misuh-misuh. Saya tidak tahu deh bagaimana reaksi FPI kalau membaca novel tipis ini.
Adam ternyata lebih suka dan sepakat dengan versi kedua. Sebab menurut hematnya versi pertama sangat tidak keren. Tercipta dari lempung? Oh, sungguh hina dan memalukan. Sebutan “putra Tuhan” tentu jauh lebih terhormat.
Setelah sekian lama sendiri di Taman Eden, pada suatu pagi Adam terkejut lantaran mendapati seorang makhluk lain yang sangat mirip dengan dirinya nangkring di batang pohon khuldi. Ah, tetapi setelah ia dekati, makhluk itu ternyata sedikit berbeda dengan dirinya. Bagian dadanya menggelembung, tidak rata seperti miliknya. Dan sebaliknya, di antara selangkangannya tidak terdapat gumpalan daging yang mirip akar tunjang seperti di tubuhnya. Makhluk itu menyebut dirinya Maia.
Lalu, tinggallah Maia bersama Adam di Taman Eden, di sebuah rumah batu (entah belajar dari mana Adam cara membuat rumah itu). Setiap detik mereka lewati dengan bercinta sampai kelelahan. Rupanya, Tuhan yang pandai itu telah melengkapi Adam dan Maia dengan hasrat berahi yang membuat keduanya saling tertarik dan bergairah satu sama lain. Tiada hari tanpa bercinta. Hingga pada suatu masa Maia tiba pada titik jenuh karena pasangannya kelewat dominan dan suka memerintah. Maia tak diperkenankan memiliki inisatif, bahkan dalam soal bercinta sekalipun. Ia harus selalu mematuhi kehendak Adam, tanpa boleh membantah sedikitpun. Maka, kemudian ia memutuskan minggat dari lelaki itu.
Nah, barulah setelah kepergian Maia entah ke mana, Tuhan memberikan Hawa sebagai penggantinya. Hawa yang penurut serta tak pernah menuntut. Disuruh apapun akan ia laksanakan dengan kepatuhan seorang budak kepada majikannya. Sebab, ia telah diperintahkan Tuhan untuk hanya mematuhi Adam. Ow..ow…inikah hulu sejarah masyarakat patriarkhi (male domination)?:D
Yah, saya cuma bisa mengatakan, sebagai sebuah novel, cara penggarapannya masih harus diamplas lagi supaya lebih halus. Untuk tema cerita, saya sama sekali tidak mempersoalkan. Saya pikir, demi kebebasan berkreasi, tema apapun boleh ditulis. Perkara mutu penulisannya, itulah yang perlu diperhatikan.
Untuk penerbitnya, sangat saya sarankan agar lebih memerhatikan ejaan. Saya menemukan banyak kekeliruan yang terkesan kebablasan. Misalnya, “memperoleh” ditulis “memeroleh”, “memperlihatkan” ditulis “memerlihatkan”, dll. Ini kan kebablasan, jangan mentang-mentang “memperhatikan” harus ditulis “memerhatikan”. Sebab, kata dasar “memerhatikan” adalah “perhati”, sedangkan “memperlihatkan”, kata dasarnya adalah “lihat”.
Komentar untuk Gus Muh : “Kau memang edan tenan, Gus!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar