Judul buku: The Last Concubine
Penulis: Lesley Downer
Penerjemah: Yusliani Zendrato
Penyunting: Nadya Andwiani
Penerbit: Matahati
Cetakan: I, 2008
Tebal: 657 hlm.
Selir adalah sebuah kata yang lekat dengan kekuasaan sekaligus, mungkin, penderitaan. Kekuasaan karena praktik ini pada zaman dahulu sampai dengan hari ini berlangsung di balik istana raja-raja atau para lelaki penguasa. Penderitaan karena saya hampir yakin seratus persen tak ada selir yang benar-benar merasa bahagia dengan statusnya. Ia akan selalu jadi yang nomor dua atau dua ratus. Hak-haknya sebagai “istri” tidak sama dengan permaisuri (istri pertama). Jika mereka punya anak, hak anak-anaknya pun tidak sama dengan anak-anak dari istri pertama (putra mahkota). Walaupun secara materi segala keperluan mereka dipenuhi namun tempatnya tetap di wilayah “belakang”. Dengan kata lain sesungguhnyalah selir-selir ini berfungsi hanya untuk memenuhi kebutuhan seks “tuannya” dengan imbalan harta.
Praktik perseliran memiliki usia yang cukup purba; berlangsung di seantero dunia, dari Asia hingga Eropa, Amerika, dan Afrika. Umumnya, seperti telah saya sebut di atas, terjadi di kalangan istana (bangsawan). Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh sebab sejarah kerajaan Nusantara telah banyak menuliskannya. Ingat saja misalnya riwayat Kartini atau Rara Mendut.
Kalau mau menyeberang agak jauh, praktik pergundikan itu bisa kita dapati di Cina dan Jepang yang terkenal dengan kekaisarannya. Di dalam kastilnya, konon, para kaisar itu memiliki selir hingga seribuan orang. Terbayang nggak sih bagaimana kaisar menggilir para perempuan peliharaan itu? Bukan mustahil ada selir yang seumur hidupnya mungkin cuma pernah digilir sekali saja. Dan sebaliknya, pasti ada juga satu dua orang yang menjadi selir kesayangan.
Kehidupan para selir ini telah banyak menginspirasi penulis untuk mengguratkannya dalam cerpen, novel, atau film. Salah satunya yang tengah beredar adalah The Last Concubine, novel karya Lesley Downer yang mengambil setting Jepang pada pertengahan 1800-an.
Waktu itu para shogun masih diakui kekuasaannya. Layaknya seorang penguasa yang nyaris menyamai kaisar, para shogun ini di dalam istananya memelihara banyak gundik atau dalam bahasa lebih halus disebut selir yang jumlahnya mencapai ratusan atau bahkan seribuan. Gundik-gundik ini diambil dari berbagai kalangan. Mulai dari putri keluarga sesama bangsawan tinggi, menengah, hingga dari kalangan rakyat jelata. Syaratnya: muda, bertubuh indah serta berparas rupawan.
Maka bukanlah hal yang mengherankan bila usia para selir itu ada yang masih belasan tahun. Menjadi selir seorang shogun adalah impian setiap perempuan pada masa tersebut. Tepatnya, idaman para orang tua yang memiliki anak gadis. Sebab, itu berarti hidup mereka sekeluarga akan terjamin selamanya. Bukan cuma kesejahteraan tetapi juga keselamatan. Dan sudah pasti status sosial mereka pun otomatis meningkat.
Melalui riset yang panjang, Lesley Downer mempersembahkan sebuah kisah seorang perempuan bernama Sachi yang ‘beruntung’ terpilih sebagai selir terakhir shogun penguasa Kastil Edo.
Sachi dipungut oleh Putri Kazu, istri Yang Mulia Shogun, dari sebuah desa kecil yang disinggahi sang putri dalam perlananannya menuju Edo. Saat itu si gadis kampung berumur 11 tahun. Raut wajahnya yang lebih menyerupai wanita ningrat daripada seorang gadis dusun telah memikat hati sang putri hingga beliau berkenan membawanya ke kastil sebagai dayang-dayang dan tinggal di sana bersama 3000 perempuan lainnya.
Di balik dinding kastil itu kehidupan Sachi berubah drastis. Dari seorang gadis desa bermetamorfosa menjadi wanita istana yang segala gerak-gerik, cara bicara, dan tingkah lakunya harus diatur sesuai tata cara istana. Apalagi setelah kemudian dia mendapat anugerah dipilih sang putri sebagai “hadiah” bagi sang shogun sebelum melakukan perjalanan jauh. Tak dinyana, Sachi ternyata menjadi selir terakhir karena sang shogun tewas terserang penyakit di perjalanan.
Menyusul wafatnya sang shogun, terjadi perubahan politik di Jepang. Pemberontakan kaum selatan mengharuskan para penghuni kastil Edo pergi mengungsi menyelamatkan diri. Termasuk Yang Mulia Putri Kazu. Demi menyelamatkan sang putri dari kejaran para pemberontak, Sachi ditugaskan menyamar sebagai Putri Kazu yang melarikan diri. Dalam pelariannya inilah Sachi menemui banyak peristiwa yang kelak membuka tabir rahasia yang selama ini menyelimuti kehidupannya.
Yang menarik dari buku ini adalah kenyataan bahwa kisah para gundik itu merupakan fakta sejarah yang terjadi ratusan tahun lalu. Siapa saja perempuan yang telah masuk ke dalam Kastil Edo, ia terikat seumur hidup mengabdi kepada sang shogun. Baik sebagai istri, selir, atau sekadar pelayan. Bagi mereka dunia hanyalah seluas kastil dan halamannya. Sehari-hari mereka mengerjakan hal rutin seperti berdandan, bermain musik, menulis syair, menghibur sang shogun, berlatih pedang, dan bergosip.
Tak jarang pecah juga konflik terbuka atau terselubung di antara para wanita itu yang timbul sebagai akibat persaingan menjadi yang terbaik, tercantik, terpandai, terpopuler, tersayang. Bukan tak mungkin berkembang pula hubungan cinta sejenis di antara mereka. Bayangkan saja, bagi mereka haram hukumnya menjalin hubungan dengan lelaki. Mereka milik sang shogun sampai akhir hayat.
Novel ini juga menyuguhkan roman cinta agar tak semata-mata memaparkan epik sejarah era Jepang kuno yang bisa jadi akan menjemukan pembacanya. Merupakan tantangan tersendiri menulis sebuah kisah cinta dari suatu masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang cinta yang romantis, yang dalam kamusnya tidak terdapat kosa kata “cinta”, begitu pengakuan Lesley Downer.
Kini Jepang telah menjelma sebuah negeri besar yang modern yang tetap dikepalai seorang kaisar, pemimpin yang dipercaya sebagai keturunan Dewa Matahari. Mungkin tak ada lagi praktik perseliran di sana. Mungkin……***
Penulis: Lesley Downer
Penerjemah: Yusliani Zendrato
Penyunting: Nadya Andwiani
Penerbit: Matahati
Cetakan: I, 2008
Tebal: 657 hlm.
Selir adalah sebuah kata yang lekat dengan kekuasaan sekaligus, mungkin, penderitaan. Kekuasaan karena praktik ini pada zaman dahulu sampai dengan hari ini berlangsung di balik istana raja-raja atau para lelaki penguasa. Penderitaan karena saya hampir yakin seratus persen tak ada selir yang benar-benar merasa bahagia dengan statusnya. Ia akan selalu jadi yang nomor dua atau dua ratus. Hak-haknya sebagai “istri” tidak sama dengan permaisuri (istri pertama). Jika mereka punya anak, hak anak-anaknya pun tidak sama dengan anak-anak dari istri pertama (putra mahkota). Walaupun secara materi segala keperluan mereka dipenuhi namun tempatnya tetap di wilayah “belakang”. Dengan kata lain sesungguhnyalah selir-selir ini berfungsi hanya untuk memenuhi kebutuhan seks “tuannya” dengan imbalan harta.
Praktik perseliran memiliki usia yang cukup purba; berlangsung di seantero dunia, dari Asia hingga Eropa, Amerika, dan Afrika. Umumnya, seperti telah saya sebut di atas, terjadi di kalangan istana (bangsawan). Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh sebab sejarah kerajaan Nusantara telah banyak menuliskannya. Ingat saja misalnya riwayat Kartini atau Rara Mendut.
Kalau mau menyeberang agak jauh, praktik pergundikan itu bisa kita dapati di Cina dan Jepang yang terkenal dengan kekaisarannya. Di dalam kastilnya, konon, para kaisar itu memiliki selir hingga seribuan orang. Terbayang nggak sih bagaimana kaisar menggilir para perempuan peliharaan itu? Bukan mustahil ada selir yang seumur hidupnya mungkin cuma pernah digilir sekali saja. Dan sebaliknya, pasti ada juga satu dua orang yang menjadi selir kesayangan.
Kehidupan para selir ini telah banyak menginspirasi penulis untuk mengguratkannya dalam cerpen, novel, atau film. Salah satunya yang tengah beredar adalah The Last Concubine, novel karya Lesley Downer yang mengambil setting Jepang pada pertengahan 1800-an.
Waktu itu para shogun masih diakui kekuasaannya. Layaknya seorang penguasa yang nyaris menyamai kaisar, para shogun ini di dalam istananya memelihara banyak gundik atau dalam bahasa lebih halus disebut selir yang jumlahnya mencapai ratusan atau bahkan seribuan. Gundik-gundik ini diambil dari berbagai kalangan. Mulai dari putri keluarga sesama bangsawan tinggi, menengah, hingga dari kalangan rakyat jelata. Syaratnya: muda, bertubuh indah serta berparas rupawan.
Maka bukanlah hal yang mengherankan bila usia para selir itu ada yang masih belasan tahun. Menjadi selir seorang shogun adalah impian setiap perempuan pada masa tersebut. Tepatnya, idaman para orang tua yang memiliki anak gadis. Sebab, itu berarti hidup mereka sekeluarga akan terjamin selamanya. Bukan cuma kesejahteraan tetapi juga keselamatan. Dan sudah pasti status sosial mereka pun otomatis meningkat.
Melalui riset yang panjang, Lesley Downer mempersembahkan sebuah kisah seorang perempuan bernama Sachi yang ‘beruntung’ terpilih sebagai selir terakhir shogun penguasa Kastil Edo.
Sachi dipungut oleh Putri Kazu, istri Yang Mulia Shogun, dari sebuah desa kecil yang disinggahi sang putri dalam perlananannya menuju Edo. Saat itu si gadis kampung berumur 11 tahun. Raut wajahnya yang lebih menyerupai wanita ningrat daripada seorang gadis dusun telah memikat hati sang putri hingga beliau berkenan membawanya ke kastil sebagai dayang-dayang dan tinggal di sana bersama 3000 perempuan lainnya.
Di balik dinding kastil itu kehidupan Sachi berubah drastis. Dari seorang gadis desa bermetamorfosa menjadi wanita istana yang segala gerak-gerik, cara bicara, dan tingkah lakunya harus diatur sesuai tata cara istana. Apalagi setelah kemudian dia mendapat anugerah dipilih sang putri sebagai “hadiah” bagi sang shogun sebelum melakukan perjalanan jauh. Tak dinyana, Sachi ternyata menjadi selir terakhir karena sang shogun tewas terserang penyakit di perjalanan.
Menyusul wafatnya sang shogun, terjadi perubahan politik di Jepang. Pemberontakan kaum selatan mengharuskan para penghuni kastil Edo pergi mengungsi menyelamatkan diri. Termasuk Yang Mulia Putri Kazu. Demi menyelamatkan sang putri dari kejaran para pemberontak, Sachi ditugaskan menyamar sebagai Putri Kazu yang melarikan diri. Dalam pelariannya inilah Sachi menemui banyak peristiwa yang kelak membuka tabir rahasia yang selama ini menyelimuti kehidupannya.
Yang menarik dari buku ini adalah kenyataan bahwa kisah para gundik itu merupakan fakta sejarah yang terjadi ratusan tahun lalu. Siapa saja perempuan yang telah masuk ke dalam Kastil Edo, ia terikat seumur hidup mengabdi kepada sang shogun. Baik sebagai istri, selir, atau sekadar pelayan. Bagi mereka dunia hanyalah seluas kastil dan halamannya. Sehari-hari mereka mengerjakan hal rutin seperti berdandan, bermain musik, menulis syair, menghibur sang shogun, berlatih pedang, dan bergosip.
Tak jarang pecah juga konflik terbuka atau terselubung di antara para wanita itu yang timbul sebagai akibat persaingan menjadi yang terbaik, tercantik, terpandai, terpopuler, tersayang. Bukan tak mungkin berkembang pula hubungan cinta sejenis di antara mereka. Bayangkan saja, bagi mereka haram hukumnya menjalin hubungan dengan lelaki. Mereka milik sang shogun sampai akhir hayat.
Novel ini juga menyuguhkan roman cinta agar tak semata-mata memaparkan epik sejarah era Jepang kuno yang bisa jadi akan menjemukan pembacanya. Merupakan tantangan tersendiri menulis sebuah kisah cinta dari suatu masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang cinta yang romantis, yang dalam kamusnya tidak terdapat kosa kata “cinta”, begitu pengakuan Lesley Downer.
Kini Jepang telah menjelma sebuah negeri besar yang modern yang tetap dikepalai seorang kaisar, pemimpin yang dipercaya sebagai keturunan Dewa Matahari. Mungkin tak ada lagi praktik perseliran di sana. Mungkin……***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar