Judul buku: Half of A Yellow Sun
Judul asli: Half of A Yellow Sun
Penulis: Chimamanda Ngozi Adichie
Penerjemah: Rika Iffati
Penyunting: Nuraini Mastura
Penerbit: Hikmah
Tebal: 765 hlm.
Cetakan: I, 2008
Sumpah! Sebelum membaca novel ini, saya tidak tahu bahwa ada negara Biafra di peta dunia. Bahkan nama Biafra pun baru pertama kali ini saya dengar. Republik kecil ini terletak di sebelah tenggara Nigeria. Tetapi itu dahulu. Kalau Anda mencarinya di peta bumi sekarang, sampai lebaran monyet pun tak akan bakal Anda temukan tanah air orang-orang Igbo itu. Sebab, Republik Biafra hanya berumur 3 tahun saja (30 Mei 1967 – 15 Januari 1970). Kini, Biafra kembali ke sejarah asalnya, menjadi bagian dari Republik Nigeria.
Seperti Indonesia, Nigeria berdiri di atas banyak suku bangsa (lebih dari 250 kelompok etnik) yang berbeda bahasa, adat istiadat, dan tradisinya. Dari 250, ada tiga kelompok etnik terbesar, yaitu: Hausa di Nigeria Utara, Yaruba di barat daya, serta Igbo di belahan tenggara. Igbo merupakan kelompok mayoritas penduduk Nigeria. Tak heran jika mereka banyak tersebar di seluruh wilayah Nigeria.
Sebagai mayoritas, orang-orang Igbo banyak menempati posisi penting dalam masyarakat, bisnis, maupun pemerintahan. Hal tersebut dimungkinkan karena orang-orang Igbo sejak Nigeria dalam pendudukan Inggris banyak menerima pendidikan Barat yang membuat mereka berbeda dengan kelompok etnik lainnya. Orang-orang Igbo yang terpelajar ini dalam kehidupan sehari-hari bergaya layaknya orang Eropa.
Seiring hengkangnya Inggris pada 1960, Nigeria kemudian mengalami perpecahan etnis, khususnya di antara 3 kelompok besar itu. Nyaris setiap hari terjadi konflik bukan saja anatarsuku tetapi juga antaragama. Puncaknya adalah pada pertengahan 60-an ketika akhirnya pecah perang saudara sebagai akibat pernyataan berdirinya Republik Biafra di bawah pimpinan Kolonel Ojukwu (30 Mei 1967). Konon, perang saudara ini telah menewaskan 1 juta orang (sipil dan militer) serta jutaan lainnya menderita kelaparan di kamp-kamp pengungsian.
Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Yakubu Gowon melarang masuknya bantuan makanan dan obat-obatan dari dunia internasional ke wilayah konflik di Biafra. Alhasil, Biafra mengalami kekalahan total di bawah gempuran tentara Nigeria dan menyatakan takluk pada Januari 1970. Ojukwu minggat ke Pantai Gading meninggalkan jutaan rakyat Igbo dalam penderitaan.
Sejarah pahit perang sipil di Nigeria inilah yang direkam secara cermat dan detail oleh Chimamanda Ngozi Adichie, seorang penulis kelahiran Enugu, Nigeria (15 September 1977) dalam novel dramatik Half of A Yellow Sun. Judul ini diambil dari gambar separuh matahari kuning yang menjadi lambang Republik Biafra selain warna merah hitam hijau bendera mereka.
Kisah berlatar perang saudara yang penuh tragedi itu dituturkan dengan bahasa yang indah dalam kemasan drama menyentuh dengan tokoh utamanya seorang wanita Igbo, Olanna.
Berpusat pada tokoh Olanna, Adichie menguraikan kisahnya yang sarat pesan moral tentang kekejaman perang. Akibat nafsu serakah sekelompok orang yang ingin menjadi penguasa, jutaan rakyat sipil yang tak berdosa menjadi korban. Mereka harus kehilangan harta-benda dan anggota keluarga demi menyokong sebuah konflik perebutan kekuasaan yang konyol. Mereka harus menjadi pengungsi dan kelaparan di tanah airnya sendiri. Anak-anak kehilangan hak mendapat pendidikan dan kesehatan yang layak. Bahkan para remaja prianya harus ikut wajib militer, menjadi tentara anak-anak untuk memenangi perang. Para gadis pun tak luput menjadi korban, melayani nafsu seks para tentara.
Olanna seorang wanita Igbo berpendidikan Barat yang menikah dengan Odenigbo, dosen revolusioner yang sangat idealis; yang meyakini bahwa orang-orang Igbo bisa hidup lebih baik jika memisahkan diri dari Nigeria dan menjadi warga negara Biafra. Keyakinan Odenigbo ini yang kelak menjerumuskan dia dan Olanna ke dalam kubangan penderitaan perang. Mereka mesti rela meninggalkan kehidupan yang nyaman sebagai warga kelas satu di Nnsuka. Melupakan makanan-makanan lezat, brendi, dan anggur terpilih. Menggantinya dengan menu pengungsi yang sangat tidak manusiawi: garri, ikan kering, dan umbi-umbian. Bahkan manakala keadaan kian sulit, mereka terpaksa menyantap tikus, jangkrik, dan cecak panggang.
Olanna memiliki saudara kembar, Kainene, yang secara fisik dan karakter sangat bertolak belakang dengan dirinya. Kainene tidak cantik, cenderung keras sifatnya, lebih pragmatis, dan sangat rasional. Singkatnya, Kainene jauh lebih macho dibandingkan Olanna yang feminin. Oleh sebab itulah, ayah mereka lebih memercayakan bisnis keluarga kepada Kainene, kekasih Richard, seorang jurnalis Inggris yang ikut berjuang bersama rakyat Biafra. Sayangnya, hubungan kedua saudari kembar ini kurang mesra lantaran perbedaan sifat yang sangat mencolok itu. Mereka seperti terlibat dalam sebuah “perang dingin”.
Sementara itu, tokoh Richard selain berperan sebagai kekasih Kainene, ia juga hadir mewakili orang kulit putih yang bersimpati pada perjuangan rakyat Biafra. Ia yang semula hanya berniat melakukan riset tentang belanga bertali untuk bukunya, ternyata jatuh cinta pada rakyat Biafra. Maka, ia lalu menjadi saksi mata bagi beragam kekerasan yang terjadi di sana. Melalui tulisan-tulisannya ia menyiarkan warta dan fakta yang terjadi di daerah konflik. Ia merencanakan kelak bukunya akan terbit dengan judul “Dunia Bungkam Ketika Kami Mati”.
Half of A Yellow Sun tak pelak lagi adalah sebuah novel politik yang menyuarakan protes dan kritik seorang Adichie. Namun, kritik yang disampaikan oleh penulis penerima penghargaan O’Henry (2003) ini bukanlah kritik yang penuh amarah dan caci-maki. Ia cukup jernih dan proporsional dalam melihat persoalan yang ditampilkannya. Dengan bahasa yang lembut memikat, ia justru berhasil menyentuh kesadaran kemanusiaan kita dan menggetarkan nurani.
Di awal novel saya bahkan tidak mengira kalau ini sebuah novel perang yang berdarah-darah, sebab beberapa metafora yang digunakan Adichie lebih cocok untuk sebuah novel cinta romantis. Mari saya cuplikan dua di antaranya:
Bahasa Inggris Tuan seperti musik, tetapi yang didengar Ugwu sekarang dari perempuan ini adalah keajaiban. Inilah bahasa ulung, bahasa yang memukau, jenis bahasa Inggris yang didengar Ugwu dari radio Tuan, meluncur ke luar dengan ketepatan yang rapi. Mengingatkan Ugwu tentang mengiris ubi dengan sebilah pisau yang baru diasah, kesempurnaan yang nyaman dalam setiap irisan (hlm 38).
Ah ya, hampir lupa. Ada satu lagi tokoh yang tidak boleh dilewatkan : Ugwu. Bocah lelaki pelayan setia dan sangat disayang oleh Odenigbo dan Olanna. Ugwu nyaris selalu menjadi saksi setiap peristiwa yang berlangsung di antara para tokoh lainnya. Kadang-kadang, dalam novel ini, Ugwu meminjamkan mata dan telinganya dan berfungsi sebagai “narator”.
Kembali kepada kutipan di atas. Saya rasa rangkaian metafora yang terdapat pada kalimat tersebut menjadi menarik karena memakai perbandingan benda-benda yang akrab dengan pengucapnya, Ugwu, budak pelayan yang sehari-harinya bekerja di wilayah “bumbu dapur”. Akan jadi sangat aneh apabila ungkapan yang dipakai Ugwu barang-barang yang tidak pernah dilihat dalam keterbatasan pengetahuan dan pengalamannya. Satu contoh lagi :
Akan tetapi Olanna benar-benar ada di pintu itu. Dia berjalan mengenakan kain sarung yang diikatkan ke sekeliling dadanya, dan saat wanita itu berjalan, Ugwu membayangkan bahwa Olanna adalah sebutir kacang mete kuning, indah bentuknya dan ranum (hlm. 41).
Sebelum saya akhiri ulasan ini, saya ingin menyampaikan pujian bagi penerjemah buku ini, Rika Iffati. Terjemahan yang bagus, bahkan untuk bagian puisinya yang akan saya tampilkan sebagai penutup tulisan ini :
APAKAH KAU DIAM KETIKA KAMI MATI?
Apakah kau melihat foto-foto tahun enam puluh depalan
Menampilkan anak-anak dengan rambut berangsur memerah;
Bidang-bidang pucat hinggap pada kepala-kepala mungil itu,
Kemudian rontok, seperti dedaunan busuk jatuh ke atas tanah?
Bayangkan anak-anak dengan lengan seperti tusuk gigi,
Dengan bola sepak untu perut dan kulit terbentang tipis.
Itu adalah kwashiorkor – kata yang sulit,
Sebuah kata yang tak cukup jelek, sebuah dosa.
Kau tak perlu membayangkan. Ada foto-foto
Terpampang pada halaman-halaman majalah Life-mu yang mengilat itu
Apakah kau melihatnya? Apakah kau merasa iba sesaat?
Lantas berbalik untuk memeluk kekasih atau istrimu?
Kulit mereka telah berubah menjadi cokelat laksana the encer
Serta menampakkan jarring-jaring urat dan tulang nan rawan
Anak-anak telanjang tertawa, seolah-olah pria itu
Tak akan memotret lantas pergi, seorang diri.
***
Judul asli: Half of A Yellow Sun
Penulis: Chimamanda Ngozi Adichie
Penerjemah: Rika Iffati
Penyunting: Nuraini Mastura
Penerbit: Hikmah
Tebal: 765 hlm.
Cetakan: I, 2008
Sumpah! Sebelum membaca novel ini, saya tidak tahu bahwa ada negara Biafra di peta dunia. Bahkan nama Biafra pun baru pertama kali ini saya dengar. Republik kecil ini terletak di sebelah tenggara Nigeria. Tetapi itu dahulu. Kalau Anda mencarinya di peta bumi sekarang, sampai lebaran monyet pun tak akan bakal Anda temukan tanah air orang-orang Igbo itu. Sebab, Republik Biafra hanya berumur 3 tahun saja (30 Mei 1967 – 15 Januari 1970). Kini, Biafra kembali ke sejarah asalnya, menjadi bagian dari Republik Nigeria.
Seperti Indonesia, Nigeria berdiri di atas banyak suku bangsa (lebih dari 250 kelompok etnik) yang berbeda bahasa, adat istiadat, dan tradisinya. Dari 250, ada tiga kelompok etnik terbesar, yaitu: Hausa di Nigeria Utara, Yaruba di barat daya, serta Igbo di belahan tenggara. Igbo merupakan kelompok mayoritas penduduk Nigeria. Tak heran jika mereka banyak tersebar di seluruh wilayah Nigeria.
Sebagai mayoritas, orang-orang Igbo banyak menempati posisi penting dalam masyarakat, bisnis, maupun pemerintahan. Hal tersebut dimungkinkan karena orang-orang Igbo sejak Nigeria dalam pendudukan Inggris banyak menerima pendidikan Barat yang membuat mereka berbeda dengan kelompok etnik lainnya. Orang-orang Igbo yang terpelajar ini dalam kehidupan sehari-hari bergaya layaknya orang Eropa.
Seiring hengkangnya Inggris pada 1960, Nigeria kemudian mengalami perpecahan etnis, khususnya di antara 3 kelompok besar itu. Nyaris setiap hari terjadi konflik bukan saja anatarsuku tetapi juga antaragama. Puncaknya adalah pada pertengahan 60-an ketika akhirnya pecah perang saudara sebagai akibat pernyataan berdirinya Republik Biafra di bawah pimpinan Kolonel Ojukwu (30 Mei 1967). Konon, perang saudara ini telah menewaskan 1 juta orang (sipil dan militer) serta jutaan lainnya menderita kelaparan di kamp-kamp pengungsian.
Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Yakubu Gowon melarang masuknya bantuan makanan dan obat-obatan dari dunia internasional ke wilayah konflik di Biafra. Alhasil, Biafra mengalami kekalahan total di bawah gempuran tentara Nigeria dan menyatakan takluk pada Januari 1970. Ojukwu minggat ke Pantai Gading meninggalkan jutaan rakyat Igbo dalam penderitaan.
Sejarah pahit perang sipil di Nigeria inilah yang direkam secara cermat dan detail oleh Chimamanda Ngozi Adichie, seorang penulis kelahiran Enugu, Nigeria (15 September 1977) dalam novel dramatik Half of A Yellow Sun. Judul ini diambil dari gambar separuh matahari kuning yang menjadi lambang Republik Biafra selain warna merah hitam hijau bendera mereka.
Kisah berlatar perang saudara yang penuh tragedi itu dituturkan dengan bahasa yang indah dalam kemasan drama menyentuh dengan tokoh utamanya seorang wanita Igbo, Olanna.
Berpusat pada tokoh Olanna, Adichie menguraikan kisahnya yang sarat pesan moral tentang kekejaman perang. Akibat nafsu serakah sekelompok orang yang ingin menjadi penguasa, jutaan rakyat sipil yang tak berdosa menjadi korban. Mereka harus kehilangan harta-benda dan anggota keluarga demi menyokong sebuah konflik perebutan kekuasaan yang konyol. Mereka harus menjadi pengungsi dan kelaparan di tanah airnya sendiri. Anak-anak kehilangan hak mendapat pendidikan dan kesehatan yang layak. Bahkan para remaja prianya harus ikut wajib militer, menjadi tentara anak-anak untuk memenangi perang. Para gadis pun tak luput menjadi korban, melayani nafsu seks para tentara.
Olanna seorang wanita Igbo berpendidikan Barat yang menikah dengan Odenigbo, dosen revolusioner yang sangat idealis; yang meyakini bahwa orang-orang Igbo bisa hidup lebih baik jika memisahkan diri dari Nigeria dan menjadi warga negara Biafra. Keyakinan Odenigbo ini yang kelak menjerumuskan dia dan Olanna ke dalam kubangan penderitaan perang. Mereka mesti rela meninggalkan kehidupan yang nyaman sebagai warga kelas satu di Nnsuka. Melupakan makanan-makanan lezat, brendi, dan anggur terpilih. Menggantinya dengan menu pengungsi yang sangat tidak manusiawi: garri, ikan kering, dan umbi-umbian. Bahkan manakala keadaan kian sulit, mereka terpaksa menyantap tikus, jangkrik, dan cecak panggang.
Olanna memiliki saudara kembar, Kainene, yang secara fisik dan karakter sangat bertolak belakang dengan dirinya. Kainene tidak cantik, cenderung keras sifatnya, lebih pragmatis, dan sangat rasional. Singkatnya, Kainene jauh lebih macho dibandingkan Olanna yang feminin. Oleh sebab itulah, ayah mereka lebih memercayakan bisnis keluarga kepada Kainene, kekasih Richard, seorang jurnalis Inggris yang ikut berjuang bersama rakyat Biafra. Sayangnya, hubungan kedua saudari kembar ini kurang mesra lantaran perbedaan sifat yang sangat mencolok itu. Mereka seperti terlibat dalam sebuah “perang dingin”.
Sementara itu, tokoh Richard selain berperan sebagai kekasih Kainene, ia juga hadir mewakili orang kulit putih yang bersimpati pada perjuangan rakyat Biafra. Ia yang semula hanya berniat melakukan riset tentang belanga bertali untuk bukunya, ternyata jatuh cinta pada rakyat Biafra. Maka, ia lalu menjadi saksi mata bagi beragam kekerasan yang terjadi di sana. Melalui tulisan-tulisannya ia menyiarkan warta dan fakta yang terjadi di daerah konflik. Ia merencanakan kelak bukunya akan terbit dengan judul “Dunia Bungkam Ketika Kami Mati”.
Half of A Yellow Sun tak pelak lagi adalah sebuah novel politik yang menyuarakan protes dan kritik seorang Adichie. Namun, kritik yang disampaikan oleh penulis penerima penghargaan O’Henry (2003) ini bukanlah kritik yang penuh amarah dan caci-maki. Ia cukup jernih dan proporsional dalam melihat persoalan yang ditampilkannya. Dengan bahasa yang lembut memikat, ia justru berhasil menyentuh kesadaran kemanusiaan kita dan menggetarkan nurani.
Di awal novel saya bahkan tidak mengira kalau ini sebuah novel perang yang berdarah-darah, sebab beberapa metafora yang digunakan Adichie lebih cocok untuk sebuah novel cinta romantis. Mari saya cuplikan dua di antaranya:
Bahasa Inggris Tuan seperti musik, tetapi yang didengar Ugwu sekarang dari perempuan ini adalah keajaiban. Inilah bahasa ulung, bahasa yang memukau, jenis bahasa Inggris yang didengar Ugwu dari radio Tuan, meluncur ke luar dengan ketepatan yang rapi. Mengingatkan Ugwu tentang mengiris ubi dengan sebilah pisau yang baru diasah, kesempurnaan yang nyaman dalam setiap irisan (hlm 38).
Ah ya, hampir lupa. Ada satu lagi tokoh yang tidak boleh dilewatkan : Ugwu. Bocah lelaki pelayan setia dan sangat disayang oleh Odenigbo dan Olanna. Ugwu nyaris selalu menjadi saksi setiap peristiwa yang berlangsung di antara para tokoh lainnya. Kadang-kadang, dalam novel ini, Ugwu meminjamkan mata dan telinganya dan berfungsi sebagai “narator”.
Kembali kepada kutipan di atas. Saya rasa rangkaian metafora yang terdapat pada kalimat tersebut menjadi menarik karena memakai perbandingan benda-benda yang akrab dengan pengucapnya, Ugwu, budak pelayan yang sehari-harinya bekerja di wilayah “bumbu dapur”. Akan jadi sangat aneh apabila ungkapan yang dipakai Ugwu barang-barang yang tidak pernah dilihat dalam keterbatasan pengetahuan dan pengalamannya. Satu contoh lagi :
Akan tetapi Olanna benar-benar ada di pintu itu. Dia berjalan mengenakan kain sarung yang diikatkan ke sekeliling dadanya, dan saat wanita itu berjalan, Ugwu membayangkan bahwa Olanna adalah sebutir kacang mete kuning, indah bentuknya dan ranum (hlm. 41).
Sebelum saya akhiri ulasan ini, saya ingin menyampaikan pujian bagi penerjemah buku ini, Rika Iffati. Terjemahan yang bagus, bahkan untuk bagian puisinya yang akan saya tampilkan sebagai penutup tulisan ini :
APAKAH KAU DIAM KETIKA KAMI MATI?
Apakah kau melihat foto-foto tahun enam puluh depalan
Menampilkan anak-anak dengan rambut berangsur memerah;
Bidang-bidang pucat hinggap pada kepala-kepala mungil itu,
Kemudian rontok, seperti dedaunan busuk jatuh ke atas tanah?
Bayangkan anak-anak dengan lengan seperti tusuk gigi,
Dengan bola sepak untu perut dan kulit terbentang tipis.
Itu adalah kwashiorkor – kata yang sulit,
Sebuah kata yang tak cukup jelek, sebuah dosa.
Kau tak perlu membayangkan. Ada foto-foto
Terpampang pada halaman-halaman majalah Life-mu yang mengilat itu
Apakah kau melihatnya? Apakah kau merasa iba sesaat?
Lantas berbalik untuk memeluk kekasih atau istrimu?
Kulit mereka telah berubah menjadi cokelat laksana the encer
Serta menampakkan jarring-jaring urat dan tulang nan rawan
Anak-anak telanjang tertawa, seolah-olah pria itu
Tak akan memotret lantas pergi, seorang diri.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar