Selasa, 14 Oktober 2008

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels


Judul buku: Jalan Raya Pos, Jalan Daendles.
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Editor: Daniel Mahendra dan Astuti Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Cetakan: I, 2005
Tebal: 148 hlm.

Telah satu windu lebih setiap hari saya melakoni perjalanan pergi pulang Jakarta-Puncak setiap hari. Ya, setiap hari, karena kantor saya terletak nun di negeri awan dengan selendang kabut yang melayang-layang di pagi hari : Puncak. Anda tentu tahu perkebunan teh yang membentang di kiri kanan Jalan Raya Puncak mulai dari desa Tugu Selatan dan berakhir di sekitar restoran Rindu Alam? Nah, di situlah saya ngantor setiap harinya. Enam hari dalam sepekan. Nama perkebunan itu adalah Gunung Mas yang merupakan salah satu “warisan” peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

Oh, saya melantur. Sebaiknya saya segera kembali ke niat semula membincang ihwal riwayat Jalan Raya Pos atau yang lebih populer lagi dengan sebutan Jalan Daendels (atau beken juga dengan nama Anyer-Panarukan). Kiranya salah sepotong jalan yang memiliki panjang keseluruhan seribu kilometer itu adalah Jalan Raya Puncak yang selama delapan tahun mondar-mandir saya lalui setiap hari.

Sebetulnya saya sudah sedikit mengetahui fakta tersebut. Namun, selama ini saya tidak pernah memberikan perhatian khusus pada jalan raya yang dalam sejarah pembuatannya telah menelan ribuan korban jiwa (menurut data pemerintah Inggris, sekitar 12.000) rakyat Indonesia. Barulah setelah membaca buku nonfiksi karya sastrawan aktivis Lekra, Pramoedya Ananta Toer, perhatian saya tergugah sepenuhnya.

Kini, jika tidak tertidur di angkot, setiap kali melintasi jalur Puncak tersebut, saya membayangkan betapa sengsaranya para kuli pribumi saat menjalani kerja rodi membangun jalan ini. Membabat hutan, memangkas bukit. Membelahnya hingga menjadi sebatang jalan yang menembus memanjang hingga ke ujung timur Pulau Jawa. Dengan teknologi dan peralatan yang tentu masih sangat sederhana, tak mengherankan jika banyak jatuh korban dalam upaya pembikinan jalan ini. Terlebih lagi mereka bekerja secara paksa di bawah tekanan penjajahan yang dipimpin oleh Sang Tuan Besar Guntur, Mr. Herman Willem Daendels. Tanpa upah dan kerap tak diberi makan.

Pramoedya, sastrawan yang banyak melahirkan roman sejarah, kali inipun menuliskan riwayat Jalan Daendels ini dengan cara bertutur, mengawinkan fakta sejarah dengan pengalaman pribadinya dengan kota-kota yang dilewati jalan raya “maut” ini.

Ia memulai kisahnya dari Lasem, Jawa Tengah. Kota yang dekat dengan tanah kelahirannya : Blora. Kemudian meloncat ke ujung barat Jawa: Anyer, tempat “mandor” Daendels pertama kali menginjakkan kaki di bumi Jawa (5 Januari 1808).

Dari Anyer, ia lantas mengurutnya ke Cilegon, Banten, Serang Tangerang, dan Batavia. Semua daerah itu ada di garis pantai utara Jawa. Dari Batavia Jalan Raya Pos ini membelok ke Depok, berlanjut ke jalur mudik selatan: Bogor (waktu itu namanya masih Buitenzorg), Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, dan berakhir di Karang Sembung sebelum kembali menuju pantura (jalur mudik yang senantiasa macet dan rawan kecelakaan) yang berawal di Cirebon.

Dari Kota Udang ini, Meneer Daendels memerintahkan untuk melanjutkan pembuatan jalan terus ke timur, melewati sederetan kota sebagai berikut: Losari, Brebes, Tegal, Pekalongan, Batang, Waleri, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Juwana, dan stop di Rembang yang merupakan perbatasan Jawa Tengah dan Oosthoek (Jawa Timur).

Apakah jalan itu buntu di kota tepi pantai ini? Tentu tidak, sebab kita tahu dari sejarah, jalan “berdarah” ini berujung di Panarukan, Jawa Timur. Maka, dari Rembang jalan menyambung ke Tuban, Gresik, Surabaya, Wonokromo, Sidoarjo, Porong, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Besuki, dan tamat di Panarukan yang pada masanya pernah menjadi pelabuhan terpenting di bagian paling timur pantai utara Jawa.

Jika hanya menuliskan barisan kota-kota tadi, pastilah terbayang di benak Anda (dan saya sebelum membaca) alangkah membosankannya buku ini. Tetapi bukan Pram namanya jika ia tak pandai menyiasati “sejarah”.

Maka, Pram mengakali penulisan sejarah Jalan Raya Pos ini melalui penuturan yang sangat personal; mengaitkannya dengan pengalaman dan kenang-kenangannya terhadap barisan kota yang dilalui jalan raya itu plus sejarah kota-kota tersebut sembari sesekali melontarkan kritik dan kecaman terhadap penguasa. Bahkan kejadian-kejadian lucu yang sempat dialaminya tak luput diuraikan pula.

Misalnya, pengalaman harus mengantre selama dua harmal (dua hari dua malam) di Semarang untuk memperoleh karcis kereta api cepat jurusan Jakarta. Atau pengalaman “menjijikan” ketika ia menginap di markas Laskar Rakyat di Cirebon pada pertengahan 1946. Pada tengah malam, mendadak Pram muda terserang sakit perut ingin buang air besar. Karena tidak ada penerangan, di dalam kakus, ia tak dapat melihat apapun di sekitarnya.

“Kaki menggerayangi takhta kakus. Begitu mendapatkan ketinggian langsung nongkrong. Aneh, barang buangan itu jatuh memantulkan bunyi minor. Membersihkan diri pun tangan gerayangan mencari sumur. Dan waktu membasuh itu korek logam jatuh dari kantong celana. Curiga pada suara minor aku kembali ke kakus. Sinar api korek itu? Masya Allah, ternyata yang kuberaki bukan takhta kakus tapi tungku dapur. Dan kotoranku jatuh ke dalam periuk rendah yang masih ada sisa singkong rebus” (hlm. 79).

Sudah pasti, paparan demikian tak akan kita temukan dalam buku teks sejarah. Oleh karenanya, melalui buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini sejarah jadi terasa menarik dan nikmat untuk diikuti. Dengan ketekunan seorang sejarawan, Pram mencangkuli, menggali, setiap data dan detail sebuah peristiwa untuk kemudian dicatat dan dituliskan kembali sebagai sebuah upaya melawan lupa.

Tahun ini, tepat 200 tahun usia Jalan Raya Daendels. Pada masanya, jalan ini pernah menjadi jalan terpanjang di dunia. Sama dengan jalan raya yang menghubungkan Amsterdam-Paris. Jalan yang ternyata tidak sepenuhnya hasil karya Daendels (jalan aslinya sebagian sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya, ia hanya melebarkannya menjadi 7 meter) ini, menjadi saksi dan bukti pembantaian manusia-manusia pribumi. Kisah di balik pembuatannya hanya salah satu dari banyak tragedi kerja paksa yang pernah berlangsung di Hindia Belanda. Di bawah Jalan Daendels ini terhimpun ribuan mayat petani dan orang-orang kecil tak berdaya.

Dan, oops! “Kuburan” itulah yang selama sewindu setiap hari saya lintasi. Masya Allah….***

Tidak ada komentar: