Minggu, 02 Maret 2008

TAKHTYA ATAU TAKHTA?


Judul buku: TAJ: Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi
Judul asli: Taj: A Story of Mughal India
Penulis: Timeri N. Murari
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penyunting: Andhy Romdani
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, 2007
Tebal: 490 hlm.

Ini satu lagi novel tentang Taj Mahal, bangunan makam paling megah yang didirikan oleh Shah Jahan untuk mengenang permaisuri tercintanya, Mumtaz-i-Mahal. Permaisuri jelita yang memiliki nama kecil Arjumand ini mangkat sehabis melahirkan anak mereka yang keempat belas. Selama hidupnya, Arjumand telah menjadi satu-satunya wanita yang dicintai Mughal Agung, pemimpin Kesultanan India yang kekuasaannya membentang hingga Kandahar dan Kashmir.

Bangunan agung yang terbuat dari marmer pilihan ini terletak di Agra, India Utara. Tepatnya di tepi Sungai Yumna. Tinggi Taj Mahal adalah 55 meter. Kubahnya yang megah bergaris tengah 18 meter. Pembangunannya memakan waktu 22 tahun (1631-1653 M) di bawah perintah dan pengawasan Shah Jahan.

TAJ ini merupakan novel kedua tentang Taj Mahal yang diterbitkan Mizan. Sebelumnya telah beredar karya penulis asal Inggris, John Shors berjudul Taj Mahal: Kisah Cinta Abadi (2006). Meskipun keduanya berangkat dari sumber inspirasi yang sama–Taj Mahal itu sendiri–namun masing-masing mengupasnya dari sudut yang berbeda sehingga menghasilkan versi yang berbeda pula.

Dalam buku John Shors, ceritanya berpusat pada percintaan terlarang antara Jahanara, putri Shah Jahan dengan Isa, lelaki Turki, arsitek pembangunan Taj Mahal. Dari situ John Shors mengembangkan kisahnya ke masa silam, menggali kembali riwayat asmara Arjumand dan Shah Jahan dengan latar kehidupan istana yang serbagemerlap, bergelimang kesenangan, dan juga intrik-intrik di antara para penghuninya. Di buku ini, Arjumand adalah istri pertama dan satu-satunya Shah Jahan. John memaparkan pula perselisihan kedua putra Shah Jahan, Dara dan Aurangzeb, dalam memperebutkan takhta.

Sementara dalam buku Timeri N. Murari, penulis kelahiran India, cerita berpusat pada asmara Arjumand dan Shah Jahan berlatar konflik-konflik dalam istana. Menurut versi Timeri, Arjumand adalah istri kedua Shah Jahan. Sebelumnya, sebagai seorang Putra Mahkota, Shah Jahan telah dipilihkan jodoh seorang putri Persia. Namun, lantaran cintanya hanya terpaut pada Arjumand seorang, perkawinan yang bersifat politis itu hanya bertahan sebentar dan selanjutnya Shah Jahan menikahi kekasih sejatinya, Arjumand. Sampai meninggalnya, Shah Jahan tak pernah menikah lagi dengan wanita lain.

Timeri menuturkannya dalam pengaturan demikian: bab-bab bernomor ganjil mengisahkan kisah cinta Arjumand dan Shah Jahan; sedangkan bab-bab genap menceritakan masa pembangunan Taj Mahal dan saat-saat berakhirnya kejayaan Shah Jahan. Tokoh Isa hadir sebagai pelayan setia Arjumand; saksi hidup kisah cinta dan jatuh bangunnya Shah Jahan mempertahankan takhta.

Kemilau takhta dan kekuasaan senantiasa menjadi pangkal perselisihan para pewarisnya. Sejarah dan legenda telah banyak mengisahkan tentang perebutan kekuasaan yang selalu saja menumpahkan darah dan memakan korban jiwa. Takhta tak mengenal saudara. Bahkan tak peduli itu anak atau ayah kandung sendiri. Jika dianggap menghalangi, maka harus ditumpas sampai ke anak cucu. Bagi para pangeran yang berebut mahkota itu hanya ada dua pilihan: takhtya atau takhta. Makam atau takhta.

Tak terkecuali di istana Kesultanan Mughal ini. Sejak masa Jahangir berkuasa hingga berlanjut pada anak cucunya. Riwayat Istana Kesultanannya berlumuran darah. Darah keturunannya sendiri sebagai akibat sikap tak adil orang tua kepada anak-anak mereka. Satu anak ditimang-timang sebagai Putra Mahkota; sedangkan putra yang lain diabaikan seolah-olah anak tiri. Pembedaan perlakuan ini menumbuhkan benih-benih dendam dan kesumat yang membutakan hati nurani.

Jika dicermati, kedua versi di atas pada intinya mengutarakan satu hal, bahwa di balik kemegahan Taj Mahal tersimpan bukan saja kisah cinta abadi tetapi juga tragedi. Jika John Shors lebih tertarik berimajinasi tentang asmara terlarang antara seorang putri raja dengan orang biasa, Timeri memilih menggali dan mengekspos (tentu dengan tambahan imajinasi juga) tema perebutan kekuasaan, sehingga karyanya terasa lebih “keras” dan maskulin dibanding karya Shors. Perkara versi mana yang lebih mendekati kenyataan, saya tidak mau memusingkannya. Saya menikmati kedua novel tersebut semata-mata hanya sebagai sebuah karya fiksi.

Terlepas mana yang lebih menarik dari kedua versi tersebut, saya yakin keagungan Taj Mahal masih akan terus menginspirasi banyak orang untuk menuliskannya. Sampai ia tak ada lagi, musnah dimakan waktu.

Dan seperti Nawal El Saadawi, saya percaya bahwa setiap banguan megah berusia ratusan tahun (misalnya: piramida di Mesir atau Candi Borubudur di Magelang) adalah wujud tirani kekuasaan seorang raja terhadap rakyatnya. Entah berapa ribu jiwa melayang dalam pengerjaan bangunan-bangunan tersebut. Konon, Shah Jahan memotong tangan setiap pekerja dan memenggal kepala arsiteknya setelah Taj Mahal selesai dibangun. Tujuannya agar tidak ada Taj Mahal tiruan. ***


endah sulwesi 3/3

Tidak ada komentar: