Judul buku: Jarak Di Antara Kita
Judul asli: The Space Between Us
Penulis: Thrity Umrigar
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penyunting: Dini Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Desember 2007
Tebal: 432 hlm.
India adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk paling padat di dunia. Negeri multietnis ini terus-menerus dirundung persoalan domestik menyangkut perselisihan antarras dan agama. Bahkan jika dirunut sejarahnya, India telah berkali-kali mengalami perpecahan akibat perang antaragama itu. Terutama antara Hindu dan Islam. Perang sipil itu melahirkan Pakistan dan Bangladesh. Namun demikian bukan berarti masalah lantas selesai. Meski sudah bercerai, tetap saja terjadi rusuh dengan persoalan yang sama.
Di India, khususnya di masyarakat pemeluk Hindu, hingga hari ini masih berlaku sistem pembagian kasta. Sistem ini membuat masyarakat terbagi-bagi dalam kelas-kelas sosial yang berbeda berdasarkan keturunan dan juga ekonomi. Mereka yang berkasta Brahmana dan Ksatria biasanya berada di level menengah ke atas secara sosial ekonomi. Tingkat pendidikan mereka umumnya tinggi, kerena itu mereka juga memiliki pekerjaan yang baik.
Adapun kasta yang berada pada level bawah adalah Sudra dan kaum Paria. Mereka inilah yang menempati daerah-daerah kumuh di kota-kota besar seperti Bombay dan New Delhi. Bombay, sebagaimana Jakarta, adalah sebuah kota pelabuhan yang berkembang pesat. Di sana tinggal bukan hanya orang-orang berduit tetapi juga para kaum papa yang mencoba mengais remah-remah kehidupan. Mereka hidup dari bekerja sebagai pelayan atau pembantu rumah tangga (Cerita tentang masyarakat Bombay pernah ditulis dengan bagus oleh Dominique Lapierre dalam bukunya The City of Joy).
Mengambil setting Bombay, Thrity Umrigar menuliskan sebuah kisah sedih dalam novelnya yang berjudul The Space Between Us. Umrigar yang lahir dan dibesarkan di Bombay sebelum kemudian pindah dan menetap di M’rika (sebutan orang India untuk Amerika Serikat), tentu memiliki modal yang cukup untuk membangun ceritanya. Ditambah lagi pengalamannya sebagai jurnalis semakin menghidupkan detail-detail yang dirajutnya dengan apik dalam novel keduanya yang terbit pada 2006 di Amerika.
Novel ini memusatkan ceritanya pada dua orang perempuan dari dua kasta yang berbeda: Sera Dubash , si majikan, dan Bhima sang hamba sahaya. Hubungan keduanya unik, saling menyayangi dan menghormati sambil tetap menjaga jarak yang seharusnya antara majikan dan pembantu. Sebagai seorang majikan perlakuan Sera kepada Bhima sering dianggap terlalu baik. Sera telah menganggap Bhima sebagai anggota keluarganya walaupun masih tidak mengizinkan Bhima duduk di kursi dan minum dari cangkir mereka.
Keduanya begitu berbeda dalam banyak hal. Sera adalah seorang perempuan terpelajar dari keluarga kaya.Menikah dengan Feroz dan punya seorang putri, Dinaz. Sementara Bhima buta huruf dan selamanya miskin. Menjadi pembantu rumah tangga telah dilakoninya sejak ia remaja. Bhima menikah dengan Gopal dan memiliki dua orang anak. Namun karena suaminya pergi meninggalkannya, Bhima kini hanya tinggal berdua dengan Maya, cucu dari anak pertamanya yang meninggal karena AIDs.
Bhima telah mengabdi pada keluarga Dubash selama bertahun-tahun. Selama itu ia telah membuktikan diri sebagai pekerja yang baik bagi majikannya. Ia jujur, rajin, dan setia seperti anjing. Dan Sera membalas semua kerja Bhima dengan kebaikan yang sepadan: membayar Bhima dengan upah yang tinggi, menyantuni setiap kali Bhima mendapat kesusahan, dan membiayai sekolah Maya hingga perguruan tinggi.
Relasi kedua karakter ini digarap dengan intens dan rapi sehingga kemudian terungkaplah masing-masing persoalan yang mengungkungi keduanya. Sera yang tampak bahagia dengan rumah tangganya sebenarnya menyimpan luka dan trauma akibat perlakuan kasar Feroz dan campur tangan ibu mertua yang kelewatan. Lewat tokoh Sera, Umrigar menunjukkan kehidupan masyarakat kelas atas; sedangkan melalui sosok Bhima, kita diajak menyelami dan melihat lebih banyak lagi penderitaan orang miskin. Dengan caranya masing-masing kedua perempuan tegar ini berusaha bertahan menjalani nasib dan takdir mereka. Barangkali, inilah wajah India hari ini.
Sepertiga novel ini mengupas secara bergantian riwayat Sera dan Bhima. Konflik baru terbuka di sepertiga bagian menjelang akhir kisah. Konflik yang dipicu oleh kehamilan Maya di luar nikah itu menjadi klimaks yang memilukan sekaligus mengesankan. Bhima, sosok yang bermartabat dan penuh harga diri ini, telah membuat saya–tanpa ragu– menobatkannya sebagai “pahlawan”.
Melalui The Space Between Us ini Umrigar dengan cemerlang telah menyuguhkan sebuah kisah kehidupan manusia yang sangat menyentuh perasaan. Karakter-karakternya begitu hidup; bergelut dengan persoalan-persoalan realis yang kerap kita jumpai dalam keseharian kita, terutama dalam kultur ketimuran yang khas. Mungkin karena kemiripan budaya dan tradisi antara India dan Indonesia, beberapa hal yang diungkap terasa akrab dan tidak asing lagi; sehingga lebih mudah bagi kita untuk memahami dan bersimpati kepada tokoh-tokohnya. Tetapi tentu, memikatnya novel ini, terutama berkat penggarapan yang nyaris tanpa cacat. ***ENDAH SULWESI
Judul asli: The Space Between Us
Penulis: Thrity Umrigar
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penyunting: Dini Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Desember 2007
Tebal: 432 hlm.
India adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk paling padat di dunia. Negeri multietnis ini terus-menerus dirundung persoalan domestik menyangkut perselisihan antarras dan agama. Bahkan jika dirunut sejarahnya, India telah berkali-kali mengalami perpecahan akibat perang antaragama itu. Terutama antara Hindu dan Islam. Perang sipil itu melahirkan Pakistan dan Bangladesh. Namun demikian bukan berarti masalah lantas selesai. Meski sudah bercerai, tetap saja terjadi rusuh dengan persoalan yang sama.
Di India, khususnya di masyarakat pemeluk Hindu, hingga hari ini masih berlaku sistem pembagian kasta. Sistem ini membuat masyarakat terbagi-bagi dalam kelas-kelas sosial yang berbeda berdasarkan keturunan dan juga ekonomi. Mereka yang berkasta Brahmana dan Ksatria biasanya berada di level menengah ke atas secara sosial ekonomi. Tingkat pendidikan mereka umumnya tinggi, kerena itu mereka juga memiliki pekerjaan yang baik.
Adapun kasta yang berada pada level bawah adalah Sudra dan kaum Paria. Mereka inilah yang menempati daerah-daerah kumuh di kota-kota besar seperti Bombay dan New Delhi. Bombay, sebagaimana Jakarta, adalah sebuah kota pelabuhan yang berkembang pesat. Di sana tinggal bukan hanya orang-orang berduit tetapi juga para kaum papa yang mencoba mengais remah-remah kehidupan. Mereka hidup dari bekerja sebagai pelayan atau pembantu rumah tangga (Cerita tentang masyarakat Bombay pernah ditulis dengan bagus oleh Dominique Lapierre dalam bukunya The City of Joy).
Mengambil setting Bombay, Thrity Umrigar menuliskan sebuah kisah sedih dalam novelnya yang berjudul The Space Between Us. Umrigar yang lahir dan dibesarkan di Bombay sebelum kemudian pindah dan menetap di M’rika (sebutan orang India untuk Amerika Serikat), tentu memiliki modal yang cukup untuk membangun ceritanya. Ditambah lagi pengalamannya sebagai jurnalis semakin menghidupkan detail-detail yang dirajutnya dengan apik dalam novel keduanya yang terbit pada 2006 di Amerika.
Novel ini memusatkan ceritanya pada dua orang perempuan dari dua kasta yang berbeda: Sera Dubash , si majikan, dan Bhima sang hamba sahaya. Hubungan keduanya unik, saling menyayangi dan menghormati sambil tetap menjaga jarak yang seharusnya antara majikan dan pembantu. Sebagai seorang majikan perlakuan Sera kepada Bhima sering dianggap terlalu baik. Sera telah menganggap Bhima sebagai anggota keluarganya walaupun masih tidak mengizinkan Bhima duduk di kursi dan minum dari cangkir mereka.
Keduanya begitu berbeda dalam banyak hal. Sera adalah seorang perempuan terpelajar dari keluarga kaya.Menikah dengan Feroz dan punya seorang putri, Dinaz. Sementara Bhima buta huruf dan selamanya miskin. Menjadi pembantu rumah tangga telah dilakoninya sejak ia remaja. Bhima menikah dengan Gopal dan memiliki dua orang anak. Namun karena suaminya pergi meninggalkannya, Bhima kini hanya tinggal berdua dengan Maya, cucu dari anak pertamanya yang meninggal karena AIDs.
Bhima telah mengabdi pada keluarga Dubash selama bertahun-tahun. Selama itu ia telah membuktikan diri sebagai pekerja yang baik bagi majikannya. Ia jujur, rajin, dan setia seperti anjing. Dan Sera membalas semua kerja Bhima dengan kebaikan yang sepadan: membayar Bhima dengan upah yang tinggi, menyantuni setiap kali Bhima mendapat kesusahan, dan membiayai sekolah Maya hingga perguruan tinggi.
Relasi kedua karakter ini digarap dengan intens dan rapi sehingga kemudian terungkaplah masing-masing persoalan yang mengungkungi keduanya. Sera yang tampak bahagia dengan rumah tangganya sebenarnya menyimpan luka dan trauma akibat perlakuan kasar Feroz dan campur tangan ibu mertua yang kelewatan. Lewat tokoh Sera, Umrigar menunjukkan kehidupan masyarakat kelas atas; sedangkan melalui sosok Bhima, kita diajak menyelami dan melihat lebih banyak lagi penderitaan orang miskin. Dengan caranya masing-masing kedua perempuan tegar ini berusaha bertahan menjalani nasib dan takdir mereka. Barangkali, inilah wajah India hari ini.
Sepertiga novel ini mengupas secara bergantian riwayat Sera dan Bhima. Konflik baru terbuka di sepertiga bagian menjelang akhir kisah. Konflik yang dipicu oleh kehamilan Maya di luar nikah itu menjadi klimaks yang memilukan sekaligus mengesankan. Bhima, sosok yang bermartabat dan penuh harga diri ini, telah membuat saya–tanpa ragu– menobatkannya sebagai “pahlawan”.
Melalui The Space Between Us ini Umrigar dengan cemerlang telah menyuguhkan sebuah kisah kehidupan manusia yang sangat menyentuh perasaan. Karakter-karakternya begitu hidup; bergelut dengan persoalan-persoalan realis yang kerap kita jumpai dalam keseharian kita, terutama dalam kultur ketimuran yang khas. Mungkin karena kemiripan budaya dan tradisi antara India dan Indonesia, beberapa hal yang diungkap terasa akrab dan tidak asing lagi; sehingga lebih mudah bagi kita untuk memahami dan bersimpati kepada tokoh-tokohnya. Tetapi tentu, memikatnya novel ini, terutama berkat penggarapan yang nyaris tanpa cacat. ***ENDAH SULWESI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar