Senin, 24 Maret 2008

INDIA DI ANTARA BARAT DAN TIMUR


Judul buku: Senja di Himalaya
Judul asli: The Inheritance of Loss
Penulis: Kiran Desai
Penerjemah: Rika Iffati Farihah
Penerbit: Hikmah
Cetakan: I, Desember 2007
Tebal: 543 hlm.

Belakangan ini saya cermati ada banyak novel karya penulis India yang terbit di sini. Dalam sebulan ini saja saya sudah membaca 3 buah di antaranya, yakni : Taj (Timeri N.Murari), The Space Between Us (Thrity Umrigar), dan Senja di Himalaya (Kiran Desai). Apakah memang selera publik pembaca novel kita cenderung tengah ke sana? Ataukah karena semata-mata alasan kualitas novel itu sendiri yang memang patut untuk diterbitkan. Seperti Senja di Himalaya (diterjemahkan dari The Inheritance of Loss) ini, misalnya.

The Inheritance of Loss merupakan novel kedua Kiran Desai, penulis kelahiran India yang kini menetap di Amerika Serikat. Menurut pengakuan putri dari Anita Desai (novelis) ini novel tersebut ditulisnya selama tujuh tahun lantaran ia harus bolak-balik ke India, terutama mengunjungi tempat-tempat yang ada dalam novel tersebut. Tetapi semua kerja keras dan jerih payahnya tak sia-sia. Ia mendapatkan Man Booker Prize (2006) untuk karyanya ini. Sebuah penghargaan bergengsi di dunia perbukuan internasional. Barangkali hal inilah yang menjadi pertimbangan utama Hikmah untuk menerbitkannya.

Dalam novel ini Kiran Desai melakukan semacam oto-kritik bagi tanah airnya, India, khususnya pada era 80-an ketika Indira Gandhi berkuasa sebagai perdana menteri. Tokoh utamanya ada tiga orang : Jemubhai Patel atau yang lebih dikenal dengan sebutan sang hakim, Sai, cucu sang hakim, dan si juru masak. Mereka bertiga tinggal di Cho Oyu, sebuah rumah tua besar di Kalimpong, desa kecil di kaki Pegunungan Himalaya.

Sedikit banyak persoalan India mirip dengan negeri kita. India adalah negeri multi-etnis, multi-agama, dan multi-bahasa. Keberagaman ini kerap memicu perselisihan di antara para penduduknya. Itulah sebabnya kemudian terbentuk negara Pakistan dan Bangladesh. Bertahun-tahun kemudian Nepal (Gorkha) meminta hak yang sama untuk memerdekakan diri. Pada Juli 1986 pecahlah kerusuhan besar yang berpangkal pada aksi unjuk rasa orang-orang Gorkha, mengakhiri perjanjian Indo-Nepal 1950.

Kadang-kadang Kiran Desai menyeret kita juga ke masa lalu melalui kenang-kenangan sang hakim di masa pendidikannya di Cambridge, Inggris. Waktu itu, di bawah kolonialisme Inggris, India sering mengirim putra-putra terbaiknya kuliah di negara tersebut lewat program bea siswa dan pulang kembali untuk bekerja sebagai pegawai pemerintah. Mereka berbahasa Inggris; bergaul dengan sesama mereka di klub-klub. Mirip dengan Indonesia di masa penjajahan Belanda, mahasiswanya ramai-ramai menangguk ilmu di Nederland dan berbahasa Belanda di antara mereka.

Pengalaman belajar dan tinggal di Inggris telah mengubah sang hakim sepenuhnya. Ia yang semula pemuda udik, minder, dan lulus dengan nilai pas-pasan, sekembalinya ke kampung halaman merasa diri paling pintar. Ia memandang rendah sanak keluarga dan tetangga-tetangganya, termasuk Nimi, istrinya yang buta huruf. Tiba-tiba saja ia malu beristrikan Nimi yang bodoh dan lugu; malu punya keluarga yang tidak bisa makan dengan garpu dan pisau. Di masa pensiunnya ia memilih tinggal sendiri di Cho Oyu, ditemani Mutt, anjing yang sangat dicintainya lebih dari Sai, cucunya sendiri.

Sai adalah cucu perempuan yang tidak pernah diharapkan kehadirannya. Sai lahir dari sebuah perkawinan yang tidak direstui. Ibu Sai, anak semata wayang sang hakim, kawin lari dengan seorang pemuda yang tidak disetujui sang hakim. Pasangan tersebut mati di Rusia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Anak mereka, Sai, harus keluar dari asrama tempatnya bersekolah dan tinggal di rumah kakeknya.

Pendidikan Sai selanjutnya dilangsungkan di rumah. Sang hakim memanggil seorang guru, Noni, untuk memberikan kursus privat bagi cucunya itu. Ketika Sai semakin dewasa dan kebutuhan ilmunya semakin banyak, sang hakim membayar Gyan, seorang mahasiswa menggantikan Noni. Kedekatan guru dan murid ini berkembang menjadi asmara. Tetapi perjalanan cinta mereka tak mulus lantaran perbedaan kelas sosial dan pandangan politik.

Sementara itu, si juru masak adalah seorang ayah dengan seorang anak lelaki yang bekerja di Amerika. Setelah kemerdekaan India, Amerika menjadi tujuan generasi muda India untuk mengadu nasib. Dengan bekal pendidikan dan keahlian yang minim, Biju terpaksa ke Amerika menuruti kehendak ayahnya. Alih-alih hidup senang, di sana Biju harus bekerja siang malam membanting tulang sebagai pelayan dari satu restoran ke restoran lain. Di sana pula Biju menjumpai orang-orang senegerinya serta negeri-negeri Asia dan Afrika lainnya yang senasib; berusaha membeli mimpi, mewujudkan angan-angan menjadi bagian dari Amerika. Sang hakim, juru masak, dan Biju adalah contoh orang-orang India yang memandang Barat (Amerika dan Eropa) sebagai hal yang lebih baik dan lebih beradab dari bangsa mereka.

Kiran Desai meramu semua karakter dan persoalan-persoalan mereka dengan apik; humoris, dan sesekali sarkastis. Bagi Kiran Desai yang lahir dan tinggal di India (New Delhi) selama 14 tahun sebelum akhirnya menetap di Amerika, India tentulah bukan negeri yang asing. Sebagai imigran, ia tentu pernah mengalami sendiri benturan-benturan kebudayaan sebagaimana yang dikisahkan dalam bukunya ini. Secara jujur dan terbuka ia seperti tengah menertawakan diri dan bangsanya yang terperangkap dalam opini Barat itu terhormat. Seperti kita di Indonesia, bukan?

Barangkali bagi pembaca yang tidak suka dengan gaya bertutur penuh detail serta plot lambat, buku ini akan terasa kurang memuaskan. Tetapi buat saya, ini sebuah buku yang indah, yang setiap bagiannya sayang untuk dilewatkan.***

Tidak ada komentar: