Judul buku: Ketika Cinta Tak Mau Pergi
Penulis: Nadhira Khalid
Editor: Birulaut
Penerbit: PT Lingkar Pena Kreativa
Cetakan: I, 2007
Tebal: 312 hlm
Maafkan saya karena sempat mengira novel ini adalah chicklit lokal beraroma Islam seperti kebanyakan buku made in Forum Lingkar Pena (FLP) lainnya. “Kecurigaan” bahwa ini chicklit lebih diperkuat lagi oleh tampilan cover dan judulnya yang mellow (istilah anak sekarang untuk menyebut sesuatu yang rada-rada cengeng). Kedua hal tersebut patut disayangkan sebab sedikit banyak telah memberi informasi yang “menyesatkan” bagi para calon pembacanya. Bisa-bisa pembaca yang “anti-chicklit” urung membeli buku ini hanya karena keliru menafsirkan judul dan gambar sampulnya.
Kiranya kecurigaan saya meleset jauh. Ini sama sekali bukan novel chicklit. Memang sebuah kisah cinta juga tetapi bersamanya memuat juga unsure-unsur budaya lokal Tanah Lombok, khususnya masyarakat Sasak pada era tujuh puluhan.
Lombok, pulau yang dipisahkan oleh sebuah selat dari tetangganya yang makmur, Bali, merupakan satu daerah miskin dan terbelakang pada masa itu. Masyarakatnya yang mayoritas beragama Islam menggantungkan hidup mereka dari bertani. Orang Sasak adalah orang-orang yang setia pada tradisi leluhur di samping menjalankan ajaran agama Islam sekaligus masih meyakini klenik dan hal-hal mistik seperti dukun, teluh, dan mantra.
Lazimnya kebanyakan daerah lain di Indonesia, di Lombok juga tak lepas dari persoalan intern masyarakat lantaran perbedaan status sosial. Antara kaum bangsawan dengan rakyat biasa masih berlaku adat yang diskriminatif. Soal keturunan itu kerap menimbulkan masalah dalam urusan cinta. Keturunan bangsawan hanya boleh menikah dengan bangsawan lagi atau paling tidak orang yang kedudukan ekonomi sosialnya terpandang.
Nadhira Khalid, penulis kelahiran 1971 ini , mengusung tema cinta terlarang antara Sahnim, putri orang terkaya di Janapriya dengan Kertiaji, keturunan bangsawan yang sudah jatuh miskin. Hasrat asmara mereka terhalang oleh perbedaan kondisi sosial ekonomi kedua orang tua. Ayah Sahnim, Ismuhadi, melarang hubungan tali kasih itu diteruskan. Sahnim hanya boleh menikah dengan lelaki yang sederajat, bukan dengan pemuda miskin seperti Kertiaji, walaupun ia masih berdarah biru.
Lika-liku kasih tak sampai inilah yang digarap oleh Nadhira dengan latar belakang budaya Sasak yang selama ini belum banyak diungkap dan karenanya menjadi sesuatu yang istimewa dalam buku ini. Kultur lokal dengan setting sosial yang dipaparkan secara cukup detail ini menjadi semakin menarik ketika Nadhira mengawinkannya dengan persoalan transmigrasi yang menjadi salah satu kebijakan pemerintah Orde Baru kala itu. Konflik-konflik yang mengemuka membuka wawasan pembaca, khususnya bagi kita yang belum mengerti banyak ikhwal tradisi Lombok dan Sasak.
Kisah cinta Sahnim dan Kertiaji hanyalah sebagai gerbang masuk yang dibuat Nadhira untuk membawa pembaca menyelam lebih jauh lagi ke dalam persoalan-persoalan orang kecil di Lombok dan Sumbawa. Kemiskinan yang terjadi di sana seiring sejalan dengan minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat. Ketika dokter dan rumah sakit tak ada, satu-satunya tempat mereka menggantungkan nyawa dari segala macam penyakit adalah dukun yang menyembuhkan dengan jampi-jampi bertuahnya. Begitupun tatkala harus menghadapi masalah lainnya yang tak sanggup diselesaikan lewat usaha real, mereka datang kepada dukun untuk meminta ramuan pekasihan, guna-guna, ataupun santet.
Kentalnya unsur lokal dalam novel perdana Nadhira ini kian terasa pekat dengan tetap membiarkan istilah-istilah setempat dalam bahasa asalnya yang diberi keterangan pada catatan kaki. Sebuah siasat yang cerdik, sebab dengan demikian kisah yang tersaji jadi terasa lebih bernyawa dan membumi. Tokoh utamanya, Kertiaji, tampil cukup hidup sebagai lelaki yang lemah hati, sedikit pengecut, dan sering lari dari masalah. Saya sempat gemas dan geregetan pada tokoh ini.
Hanya sayang sekali, Nadhira sering alpa pada perhitungan waktu. Pada satu bagian ceritanya berlangsung dalam waktu lama, namun ketika menghubungkannya dengan bagian lain, seolah-olah kedua kejadian itu hanya berselang sebentar saja. Misalnya di bagian Sahnim terbaring sakit dalam keadaan hamil beberapa bulan. Sampai ia sembuh, lebih dari setahun, tak pernah dikisahkan tentang kelahiran bayinya. Hal seperti ini beberapa kali terjadi. Pun soal salah ketik dan salah eja, lumayan banyak juga ditemukan. Cukup mengganggu mata.
Selebihnya, keberanian Nadhira untuk mengangkat tema lokal dalam fiksi kita di tengah serbuan novel-novel impor patut diberi apresiasi. Sejatinya, tema apapun–lokal atau bukan lokal–akan menjadi kisah yang memikat selama digali dan digarap dengan baik. ***
Penulis: Nadhira Khalid
Editor: Birulaut
Penerbit: PT Lingkar Pena Kreativa
Cetakan: I, 2007
Tebal: 312 hlm
Maafkan saya karena sempat mengira novel ini adalah chicklit lokal beraroma Islam seperti kebanyakan buku made in Forum Lingkar Pena (FLP) lainnya. “Kecurigaan” bahwa ini chicklit lebih diperkuat lagi oleh tampilan cover dan judulnya yang mellow (istilah anak sekarang untuk menyebut sesuatu yang rada-rada cengeng). Kedua hal tersebut patut disayangkan sebab sedikit banyak telah memberi informasi yang “menyesatkan” bagi para calon pembacanya. Bisa-bisa pembaca yang “anti-chicklit” urung membeli buku ini hanya karena keliru menafsirkan judul dan gambar sampulnya.
Kiranya kecurigaan saya meleset jauh. Ini sama sekali bukan novel chicklit. Memang sebuah kisah cinta juga tetapi bersamanya memuat juga unsure-unsur budaya lokal Tanah Lombok, khususnya masyarakat Sasak pada era tujuh puluhan.
Lombok, pulau yang dipisahkan oleh sebuah selat dari tetangganya yang makmur, Bali, merupakan satu daerah miskin dan terbelakang pada masa itu. Masyarakatnya yang mayoritas beragama Islam menggantungkan hidup mereka dari bertani. Orang Sasak adalah orang-orang yang setia pada tradisi leluhur di samping menjalankan ajaran agama Islam sekaligus masih meyakini klenik dan hal-hal mistik seperti dukun, teluh, dan mantra.
Lazimnya kebanyakan daerah lain di Indonesia, di Lombok juga tak lepas dari persoalan intern masyarakat lantaran perbedaan status sosial. Antara kaum bangsawan dengan rakyat biasa masih berlaku adat yang diskriminatif. Soal keturunan itu kerap menimbulkan masalah dalam urusan cinta. Keturunan bangsawan hanya boleh menikah dengan bangsawan lagi atau paling tidak orang yang kedudukan ekonomi sosialnya terpandang.
Nadhira Khalid, penulis kelahiran 1971 ini , mengusung tema cinta terlarang antara Sahnim, putri orang terkaya di Janapriya dengan Kertiaji, keturunan bangsawan yang sudah jatuh miskin. Hasrat asmara mereka terhalang oleh perbedaan kondisi sosial ekonomi kedua orang tua. Ayah Sahnim, Ismuhadi, melarang hubungan tali kasih itu diteruskan. Sahnim hanya boleh menikah dengan lelaki yang sederajat, bukan dengan pemuda miskin seperti Kertiaji, walaupun ia masih berdarah biru.
Lika-liku kasih tak sampai inilah yang digarap oleh Nadhira dengan latar belakang budaya Sasak yang selama ini belum banyak diungkap dan karenanya menjadi sesuatu yang istimewa dalam buku ini. Kultur lokal dengan setting sosial yang dipaparkan secara cukup detail ini menjadi semakin menarik ketika Nadhira mengawinkannya dengan persoalan transmigrasi yang menjadi salah satu kebijakan pemerintah Orde Baru kala itu. Konflik-konflik yang mengemuka membuka wawasan pembaca, khususnya bagi kita yang belum mengerti banyak ikhwal tradisi Lombok dan Sasak.
Kisah cinta Sahnim dan Kertiaji hanyalah sebagai gerbang masuk yang dibuat Nadhira untuk membawa pembaca menyelam lebih jauh lagi ke dalam persoalan-persoalan orang kecil di Lombok dan Sumbawa. Kemiskinan yang terjadi di sana seiring sejalan dengan minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat. Ketika dokter dan rumah sakit tak ada, satu-satunya tempat mereka menggantungkan nyawa dari segala macam penyakit adalah dukun yang menyembuhkan dengan jampi-jampi bertuahnya. Begitupun tatkala harus menghadapi masalah lainnya yang tak sanggup diselesaikan lewat usaha real, mereka datang kepada dukun untuk meminta ramuan pekasihan, guna-guna, ataupun santet.
Kentalnya unsur lokal dalam novel perdana Nadhira ini kian terasa pekat dengan tetap membiarkan istilah-istilah setempat dalam bahasa asalnya yang diberi keterangan pada catatan kaki. Sebuah siasat yang cerdik, sebab dengan demikian kisah yang tersaji jadi terasa lebih bernyawa dan membumi. Tokoh utamanya, Kertiaji, tampil cukup hidup sebagai lelaki yang lemah hati, sedikit pengecut, dan sering lari dari masalah. Saya sempat gemas dan geregetan pada tokoh ini.
Hanya sayang sekali, Nadhira sering alpa pada perhitungan waktu. Pada satu bagian ceritanya berlangsung dalam waktu lama, namun ketika menghubungkannya dengan bagian lain, seolah-olah kedua kejadian itu hanya berselang sebentar saja. Misalnya di bagian Sahnim terbaring sakit dalam keadaan hamil beberapa bulan. Sampai ia sembuh, lebih dari setahun, tak pernah dikisahkan tentang kelahiran bayinya. Hal seperti ini beberapa kali terjadi. Pun soal salah ketik dan salah eja, lumayan banyak juga ditemukan. Cukup mengganggu mata.
Selebihnya, keberanian Nadhira untuk mengangkat tema lokal dalam fiksi kita di tengah serbuan novel-novel impor patut diberi apresiasi. Sejatinya, tema apapun–lokal atau bukan lokal–akan menjadi kisah yang memikat selama digali dan digarap dengan baik. ***
Dua bintang dari saya (artinya, cukup keren).
endah sulwesi 25/2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar