Judul buku: Bordir
Judul asli: Embroideries
Penulis: Marjane Satrapi
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2006
Tebal: 136 hlm
Sebelum aku menulis tentang buku ini, aku ingin berterima kasih kepada Susi alias Ibutio alias Tukang Kue, yang telah membarterkan buku ini. Kalau tidak terjadi pertukaran tersebut, mungkin saja aku tidak pernah mengenal Marjane Satrapi, penulis cewek asal Teheran yang juga menulis komik Persepolis itu. Aku sih belum baca komik tersebut, tetapi gara-gara Embroideries ini, aku akan membacanya (dan juga Chicken with Plums).
Baiklah, kini aku akan ngoceh sedikit ihwal Bordir.
Di Iran, seperti terdapat di banyak tempat di dunia ini, ada satu kebiasaan yang dilakukan para perempuan: bergosip. Perempuan memang terkenal doyan ngobrol. Entah, kegiatan itu mungkin sebagai katup pelepas dari segala persoalan rutin. Biasanya dengan diobrolkan, beban yang tengah ditanggung akan terasa berkurang separuhnya.lah-olah kita memindahkan sebagian masalah kepada teman yang kita ajak bicara. Semacam terapi kira-kira. Atau barangkali aktivitas bergosip ini juga merupakan sebuah upaya memerdekakan diri dari aturan tradisional yang melarang perempuan bicara di hadapan publik. Alhasil, mereka mencari cara sendiri agar tetap bisa “bicara”.
Perempuan-perempuan dalam Klan Satrapi tak terkecuali. Mereka memiliki kebiasaan ngobrol setelah usai santap siang, di saat ketika para lelaki justru berangkat istrirahat siang. Mereka juga mengundang beberapa teman dekat untuk saling bertukar cerita.
Apa saja yang dibincang? Mungkin tentang banyak hal, tetapi di buku ini Satrapi hanya menampilkan obrolan intim di antara perempuan seputar urusan seks. Eiits, jangan buru-buru berprasangka jorok, sebab ternyata tidak jorok sama sekali. Memang ada menyinggung-nyinggung soal penis dan ukurannya, tetapi tidak lalu terjerumus menjadi vulgar. Malah yang tercipta justru sindiran-sindiran tajam dalam kemasan humor yang kental kepada kaum pria. Atau lebih jauh lagi, menertawai diri sindiri. Entah karena kebodohan atau karena ketidaktahuan.
Misalnya saja, ada salah seorang dari mereka yang mengaku belum pernah satu kali pun selama hayatnya melihat bentuk testis, karena suaminya lebih suka bercinta dalam kondisi kamar gelap gulita. Celakanya lagi, keempat anak mereka perempuan semua! Bayangkan! Rasanya aku pun akan ngakak keras-keras mendengar kisah “memilukan” seperti itu :D Bolehkah kita menyimpulkan, bahwa Satrapi tengah menggugat kondisi di Iran yang membatasi kebebasan perempuan, baik dalam berekspresi mau pun dalam memperoleh informasi?
Satrapi dan orang tuanya yang terpaksa harus pindah ke luar Iran karena rezim pemerintahan yang tidak memberi ruang pada kebebasan individu, tentu mengerti betul artinya hidup dalam serba-keterbatasan. Apalagi bagi seorang perempuan seperti dirinya. Iran yang sangat patriarki tentu sangat tidak bersahabat dengan kaum perempuan. Mereka menciptakan aturan dan aneka mitos untuk membuat perempuan tunduk dan patuh. Termasuk untuk urusan jodoh dan seks.
Di sana masih banyak terjadi praktik perkawinan yang dijodohkan oleh orang tua. Biasanya bermotif ekonomi atau takut anak gadis mereka menjadi perawan tua. Maka, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika ada orang tua yang mengawinkan anak gadis mereka dengan pria tua bangka yang lebih pantas menjadi kakek si gadis.
Yang paling celaka, jika para gadis itu sendiri yang akhirnya termakan mitos “takut menjadi perawan tua”. Mereka lalu jadi pasrah saja ketika ada pria yang sedikit saja berpenampilan mentereng melamar mereka. Menjadi istri dari seorang suami ganteng dan kaya rupanya masih menjadi impian banyak gadis di Iran. Apalagi kalau lelaki tersebut bekerja atau mengaku berbisnis di luar negeri. Hal yang agaknya sangat dipahami oleh kaum pria, yang kemudian memakainya sebagai taktik untuk mendapatkan seorang gadis malang yang bisa ditipu dan membawa kabur seluruh perhiasan si gadis begitu malam pertama usai. Meninggalkan si gadis yang kehilangan dua miliknya : perhiasan dan keperawanannya.
Nah, soal keperawanan di sana juga masih dianggap penting. Seorang gadis baik-baik diharapkan atau malah diharuskan masih perawan suci pada malam pengantin mereka. Tidak peduli suami mereka sudah menduda delapan kali, misalnya. Maka, para perempuan itu harus pandai bersiasat. Mulai dari mengakalinya dengan darah perawan tipuan (dari anggota tubuh yang sengaja diiris) sampai metoda paling canggih: operasi selaput dara atau yang mereka sebut “bordir”. Kalau sudah begini, siapa yang salah sebenarnya?
Salah siapa juga jika para perempuan setengah baya yang merasa sudah kehilangan daya pikat fisik lantas ramai-ramai melakukan bedah kosmetik memperbesar atau memperkecil bagian-bagian vital tubuh mereka? Siapa yang bodoh akhirnya bila menginginkan seorang wanita 50 tahun masih harus kencang payudara dan bokongnya? Salahkah bila perempuan lalu memakai juga jurus tipu-tipu dengan memindahkan lemak di, maaf, pantat, untuk memperbesar dan mengencangkan payudara demi para suami pemuja payudara besar? Jadi, hati-hatilah hai para lelaki. Kalau Anda senang menciumi payudara besar, jangan bangga dulu. Siapa tahu yang Anda nafsui itu adalah payudara hasil tambal sulam lemak di pantat :)
Wow, apakah aku sudah berkata-kata vulgar dengan menyebut-nyebut tubuh bagian belakang itu? Kalau iya, bukan aku yang harus disalahkan. Aku kan cuma menceritakan kembali apa yang ditulis dan digambar oleh Satrapi. Ah, tetapi jangan berlebihanlah. Percayalah, komik hitam putih ini tidak menampilkan gambar-gambar seronok. Sama sekali tidak. Dialognya pun tentu lebih lucu dari yang sudah aku kisahkan. Secara gemilang, Satrapi telah berhasil menjadikan komik karyanya ini sebagai media menyampaikan pesan dan kritik. Jika diibaratkan makanan, Embroideries adalah snack yang ringan, renyah, gurih, namun bergizi tinggi.***
Judul asli: Embroideries
Penulis: Marjane Satrapi
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2006
Tebal: 136 hlm
Sebelum aku menulis tentang buku ini, aku ingin berterima kasih kepada Susi alias Ibutio alias Tukang Kue, yang telah membarterkan buku ini. Kalau tidak terjadi pertukaran tersebut, mungkin saja aku tidak pernah mengenal Marjane Satrapi, penulis cewek asal Teheran yang juga menulis komik Persepolis itu. Aku sih belum baca komik tersebut, tetapi gara-gara Embroideries ini, aku akan membacanya (dan juga Chicken with Plums).
Baiklah, kini aku akan ngoceh sedikit ihwal Bordir.
Di Iran, seperti terdapat di banyak tempat di dunia ini, ada satu kebiasaan yang dilakukan para perempuan: bergosip. Perempuan memang terkenal doyan ngobrol. Entah, kegiatan itu mungkin sebagai katup pelepas dari segala persoalan rutin. Biasanya dengan diobrolkan, beban yang tengah ditanggung akan terasa berkurang separuhnya.lah-olah kita memindahkan sebagian masalah kepada teman yang kita ajak bicara. Semacam terapi kira-kira. Atau barangkali aktivitas bergosip ini juga merupakan sebuah upaya memerdekakan diri dari aturan tradisional yang melarang perempuan bicara di hadapan publik. Alhasil, mereka mencari cara sendiri agar tetap bisa “bicara”.
Perempuan-perempuan dalam Klan Satrapi tak terkecuali. Mereka memiliki kebiasaan ngobrol setelah usai santap siang, di saat ketika para lelaki justru berangkat istrirahat siang. Mereka juga mengundang beberapa teman dekat untuk saling bertukar cerita.
Apa saja yang dibincang? Mungkin tentang banyak hal, tetapi di buku ini Satrapi hanya menampilkan obrolan intim di antara perempuan seputar urusan seks. Eiits, jangan buru-buru berprasangka jorok, sebab ternyata tidak jorok sama sekali. Memang ada menyinggung-nyinggung soal penis dan ukurannya, tetapi tidak lalu terjerumus menjadi vulgar. Malah yang tercipta justru sindiran-sindiran tajam dalam kemasan humor yang kental kepada kaum pria. Atau lebih jauh lagi, menertawai diri sindiri. Entah karena kebodohan atau karena ketidaktahuan.
Misalnya saja, ada salah seorang dari mereka yang mengaku belum pernah satu kali pun selama hayatnya melihat bentuk testis, karena suaminya lebih suka bercinta dalam kondisi kamar gelap gulita. Celakanya lagi, keempat anak mereka perempuan semua! Bayangkan! Rasanya aku pun akan ngakak keras-keras mendengar kisah “memilukan” seperti itu :D Bolehkah kita menyimpulkan, bahwa Satrapi tengah menggugat kondisi di Iran yang membatasi kebebasan perempuan, baik dalam berekspresi mau pun dalam memperoleh informasi?
Satrapi dan orang tuanya yang terpaksa harus pindah ke luar Iran karena rezim pemerintahan yang tidak memberi ruang pada kebebasan individu, tentu mengerti betul artinya hidup dalam serba-keterbatasan. Apalagi bagi seorang perempuan seperti dirinya. Iran yang sangat patriarki tentu sangat tidak bersahabat dengan kaum perempuan. Mereka menciptakan aturan dan aneka mitos untuk membuat perempuan tunduk dan patuh. Termasuk untuk urusan jodoh dan seks.
Di sana masih banyak terjadi praktik perkawinan yang dijodohkan oleh orang tua. Biasanya bermotif ekonomi atau takut anak gadis mereka menjadi perawan tua. Maka, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika ada orang tua yang mengawinkan anak gadis mereka dengan pria tua bangka yang lebih pantas menjadi kakek si gadis.
Yang paling celaka, jika para gadis itu sendiri yang akhirnya termakan mitos “takut menjadi perawan tua”. Mereka lalu jadi pasrah saja ketika ada pria yang sedikit saja berpenampilan mentereng melamar mereka. Menjadi istri dari seorang suami ganteng dan kaya rupanya masih menjadi impian banyak gadis di Iran. Apalagi kalau lelaki tersebut bekerja atau mengaku berbisnis di luar negeri. Hal yang agaknya sangat dipahami oleh kaum pria, yang kemudian memakainya sebagai taktik untuk mendapatkan seorang gadis malang yang bisa ditipu dan membawa kabur seluruh perhiasan si gadis begitu malam pertama usai. Meninggalkan si gadis yang kehilangan dua miliknya : perhiasan dan keperawanannya.
Nah, soal keperawanan di sana juga masih dianggap penting. Seorang gadis baik-baik diharapkan atau malah diharuskan masih perawan suci pada malam pengantin mereka. Tidak peduli suami mereka sudah menduda delapan kali, misalnya. Maka, para perempuan itu harus pandai bersiasat. Mulai dari mengakalinya dengan darah perawan tipuan (dari anggota tubuh yang sengaja diiris) sampai metoda paling canggih: operasi selaput dara atau yang mereka sebut “bordir”. Kalau sudah begini, siapa yang salah sebenarnya?
Salah siapa juga jika para perempuan setengah baya yang merasa sudah kehilangan daya pikat fisik lantas ramai-ramai melakukan bedah kosmetik memperbesar atau memperkecil bagian-bagian vital tubuh mereka? Siapa yang bodoh akhirnya bila menginginkan seorang wanita 50 tahun masih harus kencang payudara dan bokongnya? Salahkah bila perempuan lalu memakai juga jurus tipu-tipu dengan memindahkan lemak di, maaf, pantat, untuk memperbesar dan mengencangkan payudara demi para suami pemuja payudara besar? Jadi, hati-hatilah hai para lelaki. Kalau Anda senang menciumi payudara besar, jangan bangga dulu. Siapa tahu yang Anda nafsui itu adalah payudara hasil tambal sulam lemak di pantat :)
Wow, apakah aku sudah berkata-kata vulgar dengan menyebut-nyebut tubuh bagian belakang itu? Kalau iya, bukan aku yang harus disalahkan. Aku kan cuma menceritakan kembali apa yang ditulis dan digambar oleh Satrapi. Ah, tetapi jangan berlebihanlah. Percayalah, komik hitam putih ini tidak menampilkan gambar-gambar seronok. Sama sekali tidak. Dialognya pun tentu lebih lucu dari yang sudah aku kisahkan. Secara gemilang, Satrapi telah berhasil menjadikan komik karyanya ini sebagai media menyampaikan pesan dan kritik. Jika diibaratkan makanan, Embroideries adalah snack yang ringan, renyah, gurih, namun bergizi tinggi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar