Rabu, 11 Februari 2009

Cinta di Atas Perahu Cadik


Judul buku: Cinta di Atas Perahu Cadik
Penulis: Seno Gumira Ajidarma, dll.
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, 2008
Tebal: 166 hlm.


Beberapa waktu lalu, seorang teman cerpenis di Bandung, curhat. Katanya dengan nada masygul, ia baru saja mendapat penolakan dari salah satu penerbit untuk naskah calon buku kumpulan cerpennya. Alasan penerbit, buku kumpulan cerpen seret pemasarannya. Kurang diminati, tidak seperti novel. Teman saya bertanya kepada saya (karena katanya saya kan senang baca fiksi), apa benar demikian? Apa benar novel lebih disukai ketimbang kumpulan cerpen?


Setelah pura-pura mikir beberapa saat, saya menjawab, bisa jadi. Sebab, kalau diingat-ingat lagi, saya juga ternyata memang lebih banyak membaca novel daripada kumcer. Nah mengapa demikian, ya? Hmm, barangkali karena cerpen itu ceritanya singkat. Lagi seru-serunya, eh..malah sudah harus berhenti. Belum lagi, emosi kita harus terpotong-potong karena jenis ceritanya yang beragam. Tetapi, sebenarnya kalau cerpennya menarik seperti "Ripin" atau "Brokeback Mountain", kayaknya sih asyik-asyik saja ya? Dan sebaliknya, biar pun itu novel, kalau buruk, ya tetap saja ngeselin membacanya.


Sebenarnya bukan cuma teman saya yang cerpenis itu saja yang kecewa. Salah seorang teman dari sebuah penerbit juga pernah berkeluh-kesah untuk kasus yang sama. Buku kumpulan cerpen yang mereka terbitkan ternyata jeblok di pasaran. Padahal ditulis oleh seorang cerpenis kelas dunia yang memenangi beberapa penghargaan internasional. Dia gemas ketika mendapati realita justru buku-buku guyonan yang malah laku keras.


Katanya dengan pedih sembari gusar, "Maunya apa sih pembaca kita ini?"


Saya akhirnya cuma bisa garuk-garuk kepala (walaupun sebenarnya nggak gatal) :D

Tetapi yang jelas, sesekali saya masih suka membaca kumcer, termasuk buku kumcer Kompas pilihan yang terbit setiap tahun. Tahun lalu terbit dengan judul Cinta di Atas Perahu Cadik, diambil dari cerpen terbaik karya Seno Gumira Ajidarma yang ditetapkan oleh dua orang juri, yakni Sapardi Djoko Damono dan Ayu Utami. Seluruhnya ada 15 cerpen.

Tetapi, bukan itu cerpen favorit saya di buku ini. Saya lebih suka “Kisah Pilot Bejo” , cerpen karya Budi Darma. Cerpen yang bertutur dengan gaya komedi ini merupakan respons penulisnya terhadap musibah raibnya pesawat penumpang Adam Air yang nyungsep di perairan Majene, bagian barat Sulawesi dua tahun lalu. Budi Darma menyampaikan kritiknya terhadap kinerja maskapai penerbangan kita dengan gaya menyindir yang pedas dan nyelekit. Misalnya saja, penyebutan nama maskapai penerbangan dalam cerpennya dengan inisial AA (Amburadul Airline, tentu menyindir Adam Air) dan SA (Sontholoyo Airlines–apakah yang dimaksud Sriwijaya Air?) serta tentang prosedur standar penerbangan yang sering diabaikan sehingga mengakibatkan kecelakaan fatal.

Cerpen favorit kedua, “Sepatu Tuhan” (Ugoran Prasad). Sejak kepincut “Ripin”, saya hampir selalu membaca cerpen-cerpen karya Ugoran Prasad. Kisahnya juga ihwal dunia riil; tentang makna persahabatan dua orang bocah lelaki yang dipertemukan kembali ketika keduanya sama-sama dewasa di sebuah kantor polisi. Yang satu sebagai letnan polisi dan satunya lagi tersangka pelaku kejahatan. Kisah sederhana dengan akhir yang saya suka: menyentuh.

Selanjutnya, ada dua cerpen yang mengangkat tema “basi” PKI : “Hari Terakhir Meilan” (Soeprijadi Tomodihardjo) dan “Candik Kala” (GM Sudarta). Sementara itu, Adek Alwi, penulis senior sejak zaman Anita Cemerlang, menulis “Lampu Ibu”, sebuah cerita pendek seorang ibu yang putranya dituduh korupsi.

Cerpen berjudul romantis, “Gerimis yang Sederhana” (Eka Kurniawan) menjadi cerpen penutup. Mengambil seting Los Angeles, Amerika Serikat, Eka ingin mengenang tragedi kerusuhan 1998, khususnya kasus pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa. Eka sukses menghindari penceritaan yang penuh dendam dan dengan cerdik ia membelokkannya menjadi sebuah kisah romantis dengan akhir yang tidak terduga.

Tunggu, masih ada satu cerpen lagi yang nyaris saya suka : “Tukang Jahit” (Agus Noor). Kenapa nyaris? Cerpen ini keren, namun karena ujung-ujungnya ternyata surealis, jadi agak mengurangi kenikmatan membaca saya yang beraliran realis.

Dan sebagai cerpen juara “Cinta di Atas Perahu Cadik”, adalah sebuah cerpen cinta (terlarang) dengan tokoh lelaki kesayangan SGA: Sukab. Mengapa cerpen ini terpilih menjadi cerpen terbaik? Alasan dewan juri yang diwakili Ayu Utami, antara lain menyatakan, bahwa cerpen SGA ini memiliki keistimewaan karena sebagai cerpen, ia banyak kali melakukan perpindahan sudut pandang yang sesungguhnya sangat berbahaya. Tetapi pengarang berani mengambil risiko ini dan selamat.

Ayu juga mengatakan, bahwa cerpen tersebut menyajikan adegan dan dialog yang jalin-menjalin dalam simpul yang efektif dan efisien, tak ada yang sia-sia. Saya tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan Ayu ini. Bagi saya, “perahu cadik” Seno ini ya “hanya”sebuah cerpen tentang cinta dan perselingkuhan.

Tapi baiklah. Sayembara telah usai dilangsungkan. Pemenangnya sudah diputuskan. Jika ada pro dan kontra, itu biasa. Kalau kau suka, bacalah. Jika tak suka, tinggalkan saja.***

Tidak ada komentar: