Judul buku: Kitab tentang yang Telah Hilang
Judul asli: The Book of Lost Things.
Penulis: John Connely
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2008
Tebal: 472 hlm.
Pada dasarnya saya ini penggemar fiksi realis, tetapi juga tidak menolak bacaan-bacaan bergenre fantasi walaupun tentu saya lebih banyak membaca jenis buku yang pertama dibanding yang disebut terakhir. Entah kenapa dalam pikiran saya sudah terpatri bahwa buku fantasi identik dengan buku anak-anak/remaja. Dan saya sudah lama meninggalkan masa-masa indah tersebut. Diam-diam saya sering merindukan saat-saat itu kembali lagi. Barangkali itu salah satu alasan saya tetap menyukai kisah-kisah fantasi dan petualangan pada usia saya yang sekarang (Berapa sih? :D) Alasan yang tidak sepenuhnya saya sadari, karena seperti tertulis dalam lembar pertama buku The Book of Lost Things, dalam diri setiap orang dewasa masih tersimpan jiwa kanak-kanaknya.
Hal itu rupanya disadari betul oleh John Connolly (40) sehingga ia lalu membuat novel (dewasa) apik bergenre fantasi yang judulnya telah saya sebut di atas, The Book of Lost Things.
Tokohnya adalah David, seorang bocah lelaki 12 tahun yang–seperti sering terdapat dalam kisah-kisah petualangan–“malang” (Ingat saja Harry Potter). Ia harus menjadi piatu pada usianya yang kedua belas itu. Sejak itu David merasa sangat kesepian. Apalagi kemudian ayahnya menikah lagi dan dari perkawinan tersebut David mendapat adik tiri laki-laki, Georgie. David merasa kian diabaikan dan mulai mencari pelarian untuk menghibur dirinya yang tengah kecewa. Tak dinyana, suatu hari setelah pertengkaran mulut yang hebat dengan ibu tirinya, David terdampar ke negeri lain. Dan dimulailah petualangannya yang seru dan penuh fantastik.
Di negeri ini David bukan saja mengalami kejadian-kejadian menegangkan, tetapi juga bertemu dengan tokoh-tokoh dongeng favoritnya, seperti Snow White dan Tujuh Kurcaci serta Gadis Kecil Bermantel Merah. Lucunya, sosok atau kisah tentang mereka berbeda sama sekali dengan yang selama ini David baca dari buku-buku. Pada bagian ini saya benar-benar terhibur dan tak sanggup menahan tawa ngakak.
Gimana nggak ngakak jika Snow White yang selama ini kita kenal sebagai putri berparas jelita, berkulit seputih salju dengan bibir merah merekah, tiba-tiba berubah menjadi sosok perempuan gemuk yang rakus dan kejam. Ia selalu menghabiskan jatah makan ketujuh kurcaci. Saking rakus dan kejamnya, suatu malam pada sebuah musim dingin dan makanan sulit didapat, Snow White kedapatan sedang menggerumiti kaki salah seorang kurcaci. Gila nggak sih? J)
Tak kalah sintingnya adalah penggambaran tentang para kurcaci yang saling memanggil di antara mereka dengan sebutan kamerad. Mereka tak ubahnya buruh pertambangan yang miskin dan tertindas. Dalam obrolan mereka sering terucap kata-kata “kerja kolektif” atau “anjing-anjing kapitalis”. Huahaha. Jangan-jangan mereka baca Das Kapital juga ya? Yang tak kalah seru juga adalah twist dari dongeng Little Red Riding Hood serta Hans and Gretel.
Bagian itu memang kocak tetapi selebihnya kisah The Book of Lost Things ini cenderung kelam dengan seting Inggris pada masa Perang Dunia II. Mungkin itu sebabnya Gramedia selaku penerbit buku ini merasa perlu menyematkan label “novel dewasa” di sampul belakang. Sebab, kendati ini buku fantasi dengan tokoh utamanya anak-anak, di dalamnya banyak memuat adegan kekerasan (kepala yang dipenggal, darah berhamburan, usus terburai, dsb) yang mungkin menurut pertimbangan Gramedia tidak sesuai untuk konsumsi anak-anak. Tapi kalau saya punya anak, saya akan mengizinkan mereka membacanya. Sebab saya percaya, dalam diri setiap anak bersemayam jiwa yang kelak akan menjadi dewasa (kalimat terakhir ini hasil mengutip dari buku ini).
Selanjutnya, lazimnya kisah fantasi dan petualangan, akan kita jumpai banyak makhluk ajaib yang cuma ada dalam dongeng. Misalnya, troll dan harpy untuk menyebut salah duanya. Tentu juga harus ada petualangan, perkelahian, dan pahlawan. David dong pahlawannya. Selain karena ia mampu mengatasi lawan-lawannya yang jahat, juga lantaran dia berhasil mengalahkan rasa takut dan kebencian dalam hatinya. Bukankah perang terbesar adalah perang melawan diri sendiri?
Secara umum novel ini menarik dan cukup menghibur. Buat Anda penggemar kisah-kisah dongeng dan fantasi pasti akan menyukainya.***
Judul asli: The Book of Lost Things.
Penulis: John Connely
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2008
Tebal: 472 hlm.
Pada dasarnya saya ini penggemar fiksi realis, tetapi juga tidak menolak bacaan-bacaan bergenre fantasi walaupun tentu saya lebih banyak membaca jenis buku yang pertama dibanding yang disebut terakhir. Entah kenapa dalam pikiran saya sudah terpatri bahwa buku fantasi identik dengan buku anak-anak/remaja. Dan saya sudah lama meninggalkan masa-masa indah tersebut. Diam-diam saya sering merindukan saat-saat itu kembali lagi. Barangkali itu salah satu alasan saya tetap menyukai kisah-kisah fantasi dan petualangan pada usia saya yang sekarang (Berapa sih? :D) Alasan yang tidak sepenuhnya saya sadari, karena seperti tertulis dalam lembar pertama buku The Book of Lost Things, dalam diri setiap orang dewasa masih tersimpan jiwa kanak-kanaknya.
Hal itu rupanya disadari betul oleh John Connolly (40) sehingga ia lalu membuat novel (dewasa) apik bergenre fantasi yang judulnya telah saya sebut di atas, The Book of Lost Things.
Tokohnya adalah David, seorang bocah lelaki 12 tahun yang–seperti sering terdapat dalam kisah-kisah petualangan–“malang” (Ingat saja Harry Potter). Ia harus menjadi piatu pada usianya yang kedua belas itu. Sejak itu David merasa sangat kesepian. Apalagi kemudian ayahnya menikah lagi dan dari perkawinan tersebut David mendapat adik tiri laki-laki, Georgie. David merasa kian diabaikan dan mulai mencari pelarian untuk menghibur dirinya yang tengah kecewa. Tak dinyana, suatu hari setelah pertengkaran mulut yang hebat dengan ibu tirinya, David terdampar ke negeri lain. Dan dimulailah petualangannya yang seru dan penuh fantastik.
Di negeri ini David bukan saja mengalami kejadian-kejadian menegangkan, tetapi juga bertemu dengan tokoh-tokoh dongeng favoritnya, seperti Snow White dan Tujuh Kurcaci serta Gadis Kecil Bermantel Merah. Lucunya, sosok atau kisah tentang mereka berbeda sama sekali dengan yang selama ini David baca dari buku-buku. Pada bagian ini saya benar-benar terhibur dan tak sanggup menahan tawa ngakak.
Gimana nggak ngakak jika Snow White yang selama ini kita kenal sebagai putri berparas jelita, berkulit seputih salju dengan bibir merah merekah, tiba-tiba berubah menjadi sosok perempuan gemuk yang rakus dan kejam. Ia selalu menghabiskan jatah makan ketujuh kurcaci. Saking rakus dan kejamnya, suatu malam pada sebuah musim dingin dan makanan sulit didapat, Snow White kedapatan sedang menggerumiti kaki salah seorang kurcaci. Gila nggak sih? J)
Tak kalah sintingnya adalah penggambaran tentang para kurcaci yang saling memanggil di antara mereka dengan sebutan kamerad. Mereka tak ubahnya buruh pertambangan yang miskin dan tertindas. Dalam obrolan mereka sering terucap kata-kata “kerja kolektif” atau “anjing-anjing kapitalis”. Huahaha. Jangan-jangan mereka baca Das Kapital juga ya? Yang tak kalah seru juga adalah twist dari dongeng Little Red Riding Hood serta Hans and Gretel.
Bagian itu memang kocak tetapi selebihnya kisah The Book of Lost Things ini cenderung kelam dengan seting Inggris pada masa Perang Dunia II. Mungkin itu sebabnya Gramedia selaku penerbit buku ini merasa perlu menyematkan label “novel dewasa” di sampul belakang. Sebab, kendati ini buku fantasi dengan tokoh utamanya anak-anak, di dalamnya banyak memuat adegan kekerasan (kepala yang dipenggal, darah berhamburan, usus terburai, dsb) yang mungkin menurut pertimbangan Gramedia tidak sesuai untuk konsumsi anak-anak. Tapi kalau saya punya anak, saya akan mengizinkan mereka membacanya. Sebab saya percaya, dalam diri setiap anak bersemayam jiwa yang kelak akan menjadi dewasa (kalimat terakhir ini hasil mengutip dari buku ini).
Selanjutnya, lazimnya kisah fantasi dan petualangan, akan kita jumpai banyak makhluk ajaib yang cuma ada dalam dongeng. Misalnya, troll dan harpy untuk menyebut salah duanya. Tentu juga harus ada petualangan, perkelahian, dan pahlawan. David dong pahlawannya. Selain karena ia mampu mengatasi lawan-lawannya yang jahat, juga lantaran dia berhasil mengalahkan rasa takut dan kebencian dalam hatinya. Bukankah perang terbesar adalah perang melawan diri sendiri?
Secara umum novel ini menarik dan cukup menghibur. Buat Anda penggemar kisah-kisah dongeng dan fantasi pasti akan menyukainya.***
1 komentar:
ya....dunia anak nggak bakalan pergi begitu aja dari kehidupan kita non....umur boleh tua, tapi kita juga toh bakal punya anak? (kalo tuhan mengijinkan.
jadi menurut gw dunia anak, siapapun orngnya akan tetap abadi. kalo gw kasusnya lain lagi. terlambat menikmati dunia anak..hehehehe baru sekarang nyadar kalo Harry Potter, asik habis.....
Posting Komentar