Judul buku: Anne of Green Gables
Penulis: Lucy M. Montgomery
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2008
Tebal: 516 hlm
Bukankah menakjubkan jika ada sebuah buku yang diterbitkan seabad silam masih memesona dibaca hari ini? Bukankah itu berarti buku tersebut telah berhasil melampaui ujian waktu? Rasanya karya tersebut sangat pantas disebut karya yang abadi, terus hidup jauh melebihi usia penulisnya. Jika saya harus menyebut salah satu buku seperti itu, maka itu adalah Anne of Green Gables karya pengarang Kanada, Lucy Maud Montgomery yang diterbitkan pertama kali pada 1908.
Konon, sejak penerbitan pertamanya hingga hari ini, Anne of Green Gables telah terjual lebih dari 50 juta kopi di seluruh dunia. Saya sudah lama mendengar tentang kekerenan buku ini dan karena itu merasa sangat beruntung ketika akhirnya buku ini terbit juga dalam bahasa Indonesia.
Sejatinya, novel ini adalah bacaan untuk segala umur. Menyenangkan membaca sebuah buku yang karakter utamanya anak-anak. Sepertinya cerita yang hadir terasa lebih jujur. Atau mungkin juga lantaran diam-diam kita selalu rindu untuk kembali ke masa-masa manis itu, masa kecil kita, tatkala semua terasa mudah dan indah.
Tokoh utamanya adalah Anne, seorang anak perempuan berumur 11 tahun. Mulanya Anne hidup sebatang kara di dunia ini. Ayah dan ibunya meninggal ketika Anne masih sangat kecil. Ia lalu secara bergantian diasuh oleh beberapa orang kerabat ayah ibunya sebelum akhirnya dipelihara di sebuah panti asuhan. Anne juga pernah mengalami masa-masa sulit lainnya sebagai pelayan dan pengasuh anak.
Tetapi Anne adalah seorang anak periang yang selalu berpikir positif dan memiliki ambisi tinggi untuk hal-hal yang baik di samping sifatnya yang romantis yang menyebabkan ia senang berkhayal. Dia memperlakukan dunia dan orang-orang di sekitarnya dengan penuh kasih sayang. Ia juga seorang gadis kecil yang sangat impulsif, jujur, serta sahabat yang setia bagi Diana Barry. Meskipun kadang-kadang ia membuat kesalahan yang tidak perlu, namun ia tak pernah mengulangi kesalahan yang sama itu di lain waktu. Nyaris tak ada hal yang mampu membuatnya bersedih dan marah kecuali jika ada yang berani menghina rambut merahnya dan memanggilnya “wortel”.
Green Gables adalah nama pondok petani milik kakak beradik Cuthbert. Tatkala Marilla dan Matthew beranjak semakin tua, mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang anak lelaki agar bisa membantu kerja mereka di ladang. Akan tetapi, sebuah panti asuhan melakukan keliruan. Kekeliruan yang kelak justru sangat disyukuri oleh Marilla dan Matthew : mengirimkan Anne.
Hidup kedua Cuthbert yang tidak pernah menikah itu pun perlahan-lahan berubah berkat kehadiran gadis cilik yang suka memberi nama setiap pohon dan tempat di sekitarnya. Pohon ceri tua di muka pondok pun kini punya nama romantis, Ratu Salju. Begitu juga danau, jalan desa, bunga-bunga, dan hutan. Sesuai sifat Anne yang romantis, nama-nama yang diberikannya pun nama-nama yang indah : Danau Air Riak Berkilau, Kanopi Kekasih, Permadani Violet…..
Segera saja Anne membuat jatuh cinta hampir seluruh penghuni Avonlea, desa kecil di Pulau Prince Edward, Kanada. Oh, bukan cuma orang-orang di buku itu yang dibuatnya jatuh cinta, tetapi juga termasuk saya. Karakter rekaaan Lucy Montgomery ini begitu kuatnya, sehingga seolah-olah ia benar-benar hidup dan menjelma ke luar buku. Atau sebaliknya, saya yang merasa seakan-akan ikut menjadi bagian cerita dan tinggal di Avonlea.
Sebagai pendongeng, Lucy telah berhasil memikat hati pembacanya. Dengan cemerlang ia memindahkan dunia riil (kehidupan pedesaan) ke dalam buku lewat deskripsi dan imajinasinya sehingga Anne of Green Gables menjadi sebuah buku klasik yang indah dan abadi. Ia menciptakan konflik-konfliknya secara sangat wajar dan menyelesaikannya juga dengan elegan. Kadang-kadang berakhir lucu dan kali lain penuh keharuan. Tak ada yang dipaksakan. Semuanya mengalir jernih. Moral ceritanya terbungkus rapi sehingga hampir-hampir kita tak merasakan kehadirannya.
Penggambarannya tentang Avonlea membuat saya jadi merindukan desa. Bukan kampung halaman–karena saya sudah tidak punya kampung–tetapi desa seperti yang selama ini saya kenal lewat tulisan, lukisan, dan sajak-sajak: ada pohon-pohon, bunga, gemericik sungai, telaga, langit yang cerah, kicau burung, panen buah, daun yang gugur, tetangga yang ramah, gosip-gosip, harum kue dipanggang, ayam-ayam, itik, semak belukar……Tetapi bagian terpentingnya adalah semangat buku ini yang mengajarkan kasih sayang. Sekejap saya terkenang kisah Little House on the Prairie.
Seluruhnya kisah Anne ini terdiri dari 8 judul yang akan bercerita hingga Anne dewasa. Mudah-mudahan Qanita mau menerbitkan semuanya. Jangan seperti nasib serial Anastasia Krupnik (Lois Lowry) yang entah kenapa, mandek di buku ketiga.
Nah, Teman, setelah semua kenikmatan membaca buku ini berakhir, agaknya saya harus memasukkan Anne of Green Gables ke dalam daftar buku favorit saya sepanjang masa.***
Penulis: Lucy M. Montgomery
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2008
Tebal: 516 hlm
Bukankah menakjubkan jika ada sebuah buku yang diterbitkan seabad silam masih memesona dibaca hari ini? Bukankah itu berarti buku tersebut telah berhasil melampaui ujian waktu? Rasanya karya tersebut sangat pantas disebut karya yang abadi, terus hidup jauh melebihi usia penulisnya. Jika saya harus menyebut salah satu buku seperti itu, maka itu adalah Anne of Green Gables karya pengarang Kanada, Lucy Maud Montgomery yang diterbitkan pertama kali pada 1908.
Konon, sejak penerbitan pertamanya hingga hari ini, Anne of Green Gables telah terjual lebih dari 50 juta kopi di seluruh dunia. Saya sudah lama mendengar tentang kekerenan buku ini dan karena itu merasa sangat beruntung ketika akhirnya buku ini terbit juga dalam bahasa Indonesia.
Sejatinya, novel ini adalah bacaan untuk segala umur. Menyenangkan membaca sebuah buku yang karakter utamanya anak-anak. Sepertinya cerita yang hadir terasa lebih jujur. Atau mungkin juga lantaran diam-diam kita selalu rindu untuk kembali ke masa-masa manis itu, masa kecil kita, tatkala semua terasa mudah dan indah.
Tokoh utamanya adalah Anne, seorang anak perempuan berumur 11 tahun. Mulanya Anne hidup sebatang kara di dunia ini. Ayah dan ibunya meninggal ketika Anne masih sangat kecil. Ia lalu secara bergantian diasuh oleh beberapa orang kerabat ayah ibunya sebelum akhirnya dipelihara di sebuah panti asuhan. Anne juga pernah mengalami masa-masa sulit lainnya sebagai pelayan dan pengasuh anak.
Tetapi Anne adalah seorang anak periang yang selalu berpikir positif dan memiliki ambisi tinggi untuk hal-hal yang baik di samping sifatnya yang romantis yang menyebabkan ia senang berkhayal. Dia memperlakukan dunia dan orang-orang di sekitarnya dengan penuh kasih sayang. Ia juga seorang gadis kecil yang sangat impulsif, jujur, serta sahabat yang setia bagi Diana Barry. Meskipun kadang-kadang ia membuat kesalahan yang tidak perlu, namun ia tak pernah mengulangi kesalahan yang sama itu di lain waktu. Nyaris tak ada hal yang mampu membuatnya bersedih dan marah kecuali jika ada yang berani menghina rambut merahnya dan memanggilnya “wortel”.
Green Gables adalah nama pondok petani milik kakak beradik Cuthbert. Tatkala Marilla dan Matthew beranjak semakin tua, mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang anak lelaki agar bisa membantu kerja mereka di ladang. Akan tetapi, sebuah panti asuhan melakukan keliruan. Kekeliruan yang kelak justru sangat disyukuri oleh Marilla dan Matthew : mengirimkan Anne.
Hidup kedua Cuthbert yang tidak pernah menikah itu pun perlahan-lahan berubah berkat kehadiran gadis cilik yang suka memberi nama setiap pohon dan tempat di sekitarnya. Pohon ceri tua di muka pondok pun kini punya nama romantis, Ratu Salju. Begitu juga danau, jalan desa, bunga-bunga, dan hutan. Sesuai sifat Anne yang romantis, nama-nama yang diberikannya pun nama-nama yang indah : Danau Air Riak Berkilau, Kanopi Kekasih, Permadani Violet…..
Segera saja Anne membuat jatuh cinta hampir seluruh penghuni Avonlea, desa kecil di Pulau Prince Edward, Kanada. Oh, bukan cuma orang-orang di buku itu yang dibuatnya jatuh cinta, tetapi juga termasuk saya. Karakter rekaaan Lucy Montgomery ini begitu kuatnya, sehingga seolah-olah ia benar-benar hidup dan menjelma ke luar buku. Atau sebaliknya, saya yang merasa seakan-akan ikut menjadi bagian cerita dan tinggal di Avonlea.
Sebagai pendongeng, Lucy telah berhasil memikat hati pembacanya. Dengan cemerlang ia memindahkan dunia riil (kehidupan pedesaan) ke dalam buku lewat deskripsi dan imajinasinya sehingga Anne of Green Gables menjadi sebuah buku klasik yang indah dan abadi. Ia menciptakan konflik-konfliknya secara sangat wajar dan menyelesaikannya juga dengan elegan. Kadang-kadang berakhir lucu dan kali lain penuh keharuan. Tak ada yang dipaksakan. Semuanya mengalir jernih. Moral ceritanya terbungkus rapi sehingga hampir-hampir kita tak merasakan kehadirannya.
Penggambarannya tentang Avonlea membuat saya jadi merindukan desa. Bukan kampung halaman–karena saya sudah tidak punya kampung–tetapi desa seperti yang selama ini saya kenal lewat tulisan, lukisan, dan sajak-sajak: ada pohon-pohon, bunga, gemericik sungai, telaga, langit yang cerah, kicau burung, panen buah, daun yang gugur, tetangga yang ramah, gosip-gosip, harum kue dipanggang, ayam-ayam, itik, semak belukar……Tetapi bagian terpentingnya adalah semangat buku ini yang mengajarkan kasih sayang. Sekejap saya terkenang kisah Little House on the Prairie.
Seluruhnya kisah Anne ini terdiri dari 8 judul yang akan bercerita hingga Anne dewasa. Mudah-mudahan Qanita mau menerbitkan semuanya. Jangan seperti nasib serial Anastasia Krupnik (Lois Lowry) yang entah kenapa, mandek di buku ketiga.
Nah, Teman, setelah semua kenikmatan membaca buku ini berakhir, agaknya saya harus memasukkan Anne of Green Gables ke dalam daftar buku favorit saya sepanjang masa.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar