Selasa, 20 Mei 2008

Snow


Judul buku : Snow
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, 2008
Tebal: 731 hlm

Orhan Pamuk, pemenang hadiah nobel sastra tahun 2006, menerbitkan novel ini pada 2002. Debutnya sebagai penulis fiksi dimulai dengan novel Karanlik ve Isik (Darkness and Light) yang meraih penghargaan Orhan Kemal Novel Prize (1982). Setelah itu karya-karyanya yang lain deras mengalir dan sebagian besar memperoleh berbagai penghargaan sastra.

Sebagaimana umumnya peraih nobel sastra, karya-karya Pamuk banyak mengangkat tema lokal seputar tradisi dan kehidupan sosial politik di negerinya, Turki. Ia yang terlahir dengan nama lengkap Ferit Orhan Pamuk pada 7 Juni 1952 ini, dikenal aktif memperjuangkan hak-hak kaum Kurdi yang mengalami diskriminasi dari pemerintah Turki. Karena sepak terjangnya ini Pamuk kerap mendapat kecaman dan tekanan politis dari pemerintah negerinya. Bahkan pada awal tahun 2005, ia menerima dakwaan kriminal dari pemerintah Turki atas pernyataannya di majalah Das Magazin (Swiss) tentang tiga puluh ribu orang Kurdi dan sejuta orang Armenia yang terbunuh di Turki.

Namanya sebagai sastrawan kian mendunia setelah ia mengeluarkan novel Benim Adim Kirmizi (My Name is Red) pada tahun 2000. Novel yang berbau-bau roman misteri ini konon telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa, termasuk Indonesia (Namaku Merah Kirmizi, Serambi, 2006). Pada 2003 novel ini meraih hadiah bergengsi IMPAC Dublin Award.

Adapun halnya Snow (2004) adalah novel terakhirnya. Ditulis dalam bahasa aslinya pada 2002 dengan judul Kar (Salju).

Snow–dalam edisi bahasa Indonesia terbitan Serambi mendapat tambahan subjudul "Di Balik Keheningan Salju"–mengusung kisah kudeta politik di sebuah kota kecil bernama Kars. Tokoh utamanya Ka, seorang penyair Turki yang diasingkan ke Jerman karena aktivitas politiknya. Ka yang bernama lengkap Kerim Alakuseglu adalah seorang pria pemalu dan penyendiri. Minat utama lajang berusia 42 tahun ini puisi.

Ia kembali ke tanah airnya, setelah selama dua belas tahun menjalani pengasingan, untuk menghadiri pemakaman ibunya. Seminggu setelah upacara pemakaman tersebut, Ka memutuskan untuk mendatangi Kars, kota kecil dekat Armenia. Alasan utama kunjungannya ke kota kecil itu, meski tak sepenuhnya diakui, adalah untuk bertemu kembali dengan Ipek, teman perempuannya semasa kuliah di Istanbul. Namun, resminya ia datang ke Kars sebagai jurnalis yang ingin meliput pilkada serta kasus bunuh diri para gadis berjilbab di kota itu untuk Republican, sebuah koran nasional yang terbit di Istanbul.

Ka akhirnya memang bertemu dengan Ipek, cinta lama di masa mudanya dahulu. Ipek kini berstatus janda setelah bercerai dari Mahmud, suaminya. Di Kars ini Ka juga bertemu dengan banyak tokoh lainnya, seperti Kadife, adik perempuan Ipek, pemimpin kelompok gadis berjilbab, Sunay, aktor teater, Lazuardi, pemimpin kelompok Islamis fundamentalis, jurnalis, dan tokoh-tokoh muda pengikut Lazuardi.

Pada novel ini Pamuk menjadikan Kars semacam panggung kecil bagi pementasan kisah pergolakan politik yang terjadi di Turki yang melibatkan dua kelompok besar : Islamis dan Sekuler yang disokong penuh oleh militer.

Turki yang pada kisah ini dikuasai oleh pemerintahan sekuler telah mengeluarkan larangan berjilbab bagi para wanita muslim. Di Kars, larangan tersebut mengakibatkan banyak gadis melakukan bunuh diri. Persoalan yang menarik, sebab terdapat kontradiksi di dalamnya : para gadis menentang aturan larangan berjilbab dengan melakukan bunuh diri yang secara hukum Islam tidak dibenarkan (haram).

Pamuk dalam beberapa kesempatan pernah menjelaskan sikapnya ihwal penggunaan jilbab ini dengan mengatakan, bahwa di Turki, perempuan menggunakan jilbab secara tradisional sebagaimana perempuan Italia menggunakannya di masa lalu. Ia menambahkan, bahwa jilbab sama sekali tidak berhubungan dengan fundamentalisme Islam. Karena itulah ia mendukung penggunaan jilbab di universitas-universitas Turki dan tidak perlu menjadikannya sebagai masalah kekuasaan.

Di Kars selama 3 hari Ka mengalami serentetan peristiwa seru yang tak pernah diduganya. Selain kisah asmaranya yang terpaut kembali dengan Ipek, ia juga terpaksa harus menjadi mediator bagi kedua pihak yang berseteru setelah terjadinya kudeta yang dipimpin Sunay, sang aktor teater dengan bantuan militer dalam sebuah gedung pertunjukan. Pamuk menyebutnya "kudeta teatrikal".

Kalau mau jujur, buat saya Snow, seperti lazimnya novel-novel karya peraih nobel, bukanlah jenis novel yang enak dibaca. Untuk menamatkannya saya butuh waktu hampir satu bulan–karena harus menyelinginya berkali-kali dengan bacaan yang lebih segar–serta ketabahan tersendiri. Ceritanya yang relatif datar dan sarat dengan detail–sehingga terkesan bertele-tele–betul-betul menguras kesabaran; dan setelah menyelesaikannya saya merasa sangat kenyang. Jika diibaratkan makanan, Snow adalah menu makan siang yang berat, yang membuat saya kekenyangan dan sendawa berkali-kali.

Pamuk menggarap novel ini dengan rapi. Setiap karakter dan peristiwa dipaparkan secara mendetail. Ia menggali hingga dalam sekali perasaan para tokohnya, khususnya Ka. Alhasil, tokoh-tokohnya hadir sangat kuat, hidup, dan meninggalkan kesan yang mendalam. Kritik-kritik kepada penguasa disampaikan dengan cerdas namun tetap menggigit. Empat bintang deh.***

Tidak ada komentar: