Judul buku: Nirzona
Penulis: Abidah El Khalieqy
Penerbit: LKiS
Cetakan: I, 2008
Tebal: 332 hlm.
Nanggroe Aceh Darussalam pasca-tsunami menyimpan sejuta cerita. Bencana akbar yang menghentak dunia itu telah merenggut ribuan nyawa penduduk Serambi Mekah, merenggut kecantikan provinsi di ujung utara Pulau Perca itu; memorak-porandakan alam dan kehidupan di sana seolah-olah masih belum cukup derita yang telah ditanggungnya selama ini. Seakan-akan sang bala bencana belum puas menyedot isi perut dan membuat kurus kering bumi kelahiran para Cut yang gagah berani ini.
Adalah Abidah El Khaleiqy, perempuan penulis asal Jombang, seorang yang gelisah resah menyaksikan semua kesengsaraan di Aceh. Ia lalu menumpahkan segala kegeramannya ke dalam novel paling anyar bertajuk Nirzona. Tema berat ihwal kondisi sosial politik di Aceh itu dikemasnya dalam kisah roman anak muda, sarjana kinyis-kinyis barusan lulus, Firdaus dan Sidan.
Berlatar belakang suasana Serambi Mekah pasca-tsunami, kisah cinta Firda-Sidan digelar. Bak panggung pertunjukan teater, kisahnya mengalir lewat dialog-dialog kedua pemeran utamanya ini. Dialog SLJJ Aceh-Yogya melalui sandek (pesan pendek/sms) dan pembicaraan telepon khas anak muda yang sedang kasmaran antara Firda dan Sidan mengisi sebagian besar halaman-halaman novel ini. Melalui dialog-dialog ini Abidah melontarkan kritik-kritiknya terhadap pemerintah pusat Jakarta, LSM, dan oknum-oknum yang mengaku relawan padahal hanya ingin ikut arisan nasional di Aceh; berebut rezeki yang seharusnya menjadi hak para korban tsunami.
Aceh memang tak putus dirundung malang, sejak zaman Kumpeni hingga kemerdekaan, selalu saja dirongrong; kekayaan alamnya diperas, dikuras, demi kepentingan Pusat. Sementara pemilik sahnya hanya kebagian remah-remah. Masih pula ditambah dengan “pendudukan” wilayah oleh militer Orba lewat DOM (Daerah Operasi Militer)-nya. Aceh dibuat menangis dan berdarah-darah sepanjang sejarahnya. Puncaknya adalah malapetaka besar tsunami.
Jika hendak menengok karya Abidah terdahulu yang memenangi sayembara penulisan novel DKJ, Geni Jora, Nirzona jadi tampak cair, kendati persoalan yang dikedepankan jauh lebih besar. Namun karena Abidah membungkusnya dalam kisah roman Firda-Sidan, tema “berat” itu berhasil disuguhkan dengan ringan dan liris. Ya, liris, salah satu hal yang juga cukup menonjol dalam novel ini. Yuk kita tengok contohnya :
Jikapun hanya mimpi jadi rumah berteduh, tak mengapa. Setidaknya ada tabir rahasia di wajah berdua. Tempat menata rindu mengasah senjata, dari keping mahaduka. Firdaus beranjak sofa menatap jam berdentang di ubun-ubun sunyi, 12 kali. Malam telah pergi dan pagi menyapa semilir di kisi-kisi jendela, meruap subuh dalam bayangan fajar baru (hlm.143)
Kita akan banyak menjumpai deretan kalimat liris puitis seperti itu. Hal serupa yang juga terdapat dalam Geni Jora meski dalam kadar yang lebih sedikit. Sekilas, gaya penulisan Abidah ini sempat mengingatkan saya pada mendiang Romo Mangun.
Firda dan Sidan yang menjadi nafas Nirzona adalah sepasang kekasih yang lantaran tsunami mesti terpisah jarak. Sidan harus kembali ke kampung halamannya di Aceh setelah gempa raksasa mengguncang dan menewaskan ayah ibunya. Sidan yang pada dasarnya berjiwa pemberontak harus meninggalkan Yogyakarta, tanah kelahiran keduanya, tempat ia menimba ilmu dan menemukan cinta pada seorang gadis cerdas teman kuliahnya, Firdaus.
Hubungan asmara “Laila dan Majnun” itu pun dilanjutkan via sms, telepon, dan email. Tak ada hari tanpa kirim-kiriman pesan dari keduanya. Pesan-pesan unik antara dua insan muda aktivis pemberontak yang sedang dimabuk cinta. Sidan yang asli Aceh serta Firda gadis berkerudung menggambarkan dari mana keduanya berasal (Islam), sehingga tak heranlah jika dalam taburan sms-sms itu mereka sering menggunakan kata-kata dan idiom dalam bahasa Arab, salah satu bahasa asing yang sangat akrab dengan penulisnya sebagai jebolan pesantren.
Firdaus dan Sidan kudu tahan menghadapi cobaan, terutama gelombang rindu yang menerpa-nerpa keduanya yang meminta untuk segera dituntaskan. Halangan perjumpaan itu bukan semata-mata jarak geografis Aceh-Yogya yang tak mampu diterabas, tetapi lebih karena Sidan merasa berkewajiban untuk tetap berada di tanah kelahirannya. Ia yang menjadi korban sekaligus juga harus berperan sebagai relawan bagi orang-orang di sana. Sidan tak akan sampai hati dan pasti malu hati jika hanya berdiam diri atau meninggalkan negeri hanya demi kepentingan pribadi, demi Firda sang putri.
Untuk itulah dia memohon agar sang kekasih bersabar diri hingga tiba hari ia akan meminang sang putri. Firdaus sangat mengerti, maka ia pun rela menanti. Baginya, tak ada lagi lelaki kecuali Sidan si romantikus sejati. Firda percaya Sidan akan selalu setia dan tak akan ingkar janji.
Maka, jadilah Nirzona novel kritik sosial berbalut kisah cinta atau (bisa juga) novel cinta berlatar belakang kritik sosial. Terserah Anda saja untuk memaknainya. ***
Penulis: Abidah El Khalieqy
Penerbit: LKiS
Cetakan: I, 2008
Tebal: 332 hlm.
Nanggroe Aceh Darussalam pasca-tsunami menyimpan sejuta cerita. Bencana akbar yang menghentak dunia itu telah merenggut ribuan nyawa penduduk Serambi Mekah, merenggut kecantikan provinsi di ujung utara Pulau Perca itu; memorak-porandakan alam dan kehidupan di sana seolah-olah masih belum cukup derita yang telah ditanggungnya selama ini. Seakan-akan sang bala bencana belum puas menyedot isi perut dan membuat kurus kering bumi kelahiran para Cut yang gagah berani ini.
Adalah Abidah El Khaleiqy, perempuan penulis asal Jombang, seorang yang gelisah resah menyaksikan semua kesengsaraan di Aceh. Ia lalu menumpahkan segala kegeramannya ke dalam novel paling anyar bertajuk Nirzona. Tema berat ihwal kondisi sosial politik di Aceh itu dikemasnya dalam kisah roman anak muda, sarjana kinyis-kinyis barusan lulus, Firdaus dan Sidan.
Berlatar belakang suasana Serambi Mekah pasca-tsunami, kisah cinta Firda-Sidan digelar. Bak panggung pertunjukan teater, kisahnya mengalir lewat dialog-dialog kedua pemeran utamanya ini. Dialog SLJJ Aceh-Yogya melalui sandek (pesan pendek/sms) dan pembicaraan telepon khas anak muda yang sedang kasmaran antara Firda dan Sidan mengisi sebagian besar halaman-halaman novel ini. Melalui dialog-dialog ini Abidah melontarkan kritik-kritiknya terhadap pemerintah pusat Jakarta, LSM, dan oknum-oknum yang mengaku relawan padahal hanya ingin ikut arisan nasional di Aceh; berebut rezeki yang seharusnya menjadi hak para korban tsunami.
Aceh memang tak putus dirundung malang, sejak zaman Kumpeni hingga kemerdekaan, selalu saja dirongrong; kekayaan alamnya diperas, dikuras, demi kepentingan Pusat. Sementara pemilik sahnya hanya kebagian remah-remah. Masih pula ditambah dengan “pendudukan” wilayah oleh militer Orba lewat DOM (Daerah Operasi Militer)-nya. Aceh dibuat menangis dan berdarah-darah sepanjang sejarahnya. Puncaknya adalah malapetaka besar tsunami.
Jika hendak menengok karya Abidah terdahulu yang memenangi sayembara penulisan novel DKJ, Geni Jora, Nirzona jadi tampak cair, kendati persoalan yang dikedepankan jauh lebih besar. Namun karena Abidah membungkusnya dalam kisah roman Firda-Sidan, tema “berat” itu berhasil disuguhkan dengan ringan dan liris. Ya, liris, salah satu hal yang juga cukup menonjol dalam novel ini. Yuk kita tengok contohnya :
Jikapun hanya mimpi jadi rumah berteduh, tak mengapa. Setidaknya ada tabir rahasia di wajah berdua. Tempat menata rindu mengasah senjata, dari keping mahaduka. Firdaus beranjak sofa menatap jam berdentang di ubun-ubun sunyi, 12 kali. Malam telah pergi dan pagi menyapa semilir di kisi-kisi jendela, meruap subuh dalam bayangan fajar baru (hlm.143)
Kita akan banyak menjumpai deretan kalimat liris puitis seperti itu. Hal serupa yang juga terdapat dalam Geni Jora meski dalam kadar yang lebih sedikit. Sekilas, gaya penulisan Abidah ini sempat mengingatkan saya pada mendiang Romo Mangun.
Firda dan Sidan yang menjadi nafas Nirzona adalah sepasang kekasih yang lantaran tsunami mesti terpisah jarak. Sidan harus kembali ke kampung halamannya di Aceh setelah gempa raksasa mengguncang dan menewaskan ayah ibunya. Sidan yang pada dasarnya berjiwa pemberontak harus meninggalkan Yogyakarta, tanah kelahiran keduanya, tempat ia menimba ilmu dan menemukan cinta pada seorang gadis cerdas teman kuliahnya, Firdaus.
Hubungan asmara “Laila dan Majnun” itu pun dilanjutkan via sms, telepon, dan email. Tak ada hari tanpa kirim-kiriman pesan dari keduanya. Pesan-pesan unik antara dua insan muda aktivis pemberontak yang sedang dimabuk cinta. Sidan yang asli Aceh serta Firda gadis berkerudung menggambarkan dari mana keduanya berasal (Islam), sehingga tak heranlah jika dalam taburan sms-sms itu mereka sering menggunakan kata-kata dan idiom dalam bahasa Arab, salah satu bahasa asing yang sangat akrab dengan penulisnya sebagai jebolan pesantren.
Firdaus dan Sidan kudu tahan menghadapi cobaan, terutama gelombang rindu yang menerpa-nerpa keduanya yang meminta untuk segera dituntaskan. Halangan perjumpaan itu bukan semata-mata jarak geografis Aceh-Yogya yang tak mampu diterabas, tetapi lebih karena Sidan merasa berkewajiban untuk tetap berada di tanah kelahirannya. Ia yang menjadi korban sekaligus juga harus berperan sebagai relawan bagi orang-orang di sana. Sidan tak akan sampai hati dan pasti malu hati jika hanya berdiam diri atau meninggalkan negeri hanya demi kepentingan pribadi, demi Firda sang putri.
Untuk itulah dia memohon agar sang kekasih bersabar diri hingga tiba hari ia akan meminang sang putri. Firdaus sangat mengerti, maka ia pun rela menanti. Baginya, tak ada lagi lelaki kecuali Sidan si romantikus sejati. Firda percaya Sidan akan selalu setia dan tak akan ingkar janji.
Maka, jadilah Nirzona novel kritik sosial berbalut kisah cinta atau (bisa juga) novel cinta berlatar belakang kritik sosial. Terserah Anda saja untuk memaknainya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar