Judul buku: Horeluya
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: April 2008
Tebal: 236 hlm.
Rasanya sudah lama sekali saya tak membaca karya-karya Arswendo, penulis yang saya kenal sejak dekade 80-an ini. Boleh dibilang saya adalah penggemar mantan pemimpin redaksi tabloid Monitor ini. Saya mengikuti karya-karyanya, terutama fiksi, sejak cerita serial Imung dan Keluarga Cemara yang rutin terbit di majalah remaja Hai, cerita-cerita bersambungnya di Kompas yang kemudian dinovelkan (Opera Jakarta dan Opera Bulutangkis dengan memakai nama samaran Titi Nginung) sampai novel-novelnya yang lain (terakhir yang saya baca berjudul Canting).
Saya menyukainya sebab kisah-kisah yang digarapnya hampir selalu bertema realis, ihwal kehidupan “orang-orang kecil” yang berjuang keras menyiasati hidup. Dituturkan dengan bahasa sehari-hari yang sederhana; humor-humor yang miris, serta akhir yang kerap menyentuh. Tokoh-tokoh ceritanya dipungut dari orang-orang biasa dengan persoalan-persoalan yang biasa yang dapat dengan mudah kita jumpai sehari-hari di sekitar kita. Tokoh-tokohnya tak pernah berpretensi sebagai pahlawan tangguh atau manusia sempurna yang tak pernah berbuat salah. Mereka adalah manusia biasa yang sering putus asa dan tak luput dari dosa. Itulah yang membuat karya-karya Arswendo terasa begitu akrab dan membumi.
Demikian pula halnya Horeluya, novel terbaru karya penulis kelahiran Solo, 26 November 1948 ini. Dalam buku setebal hanya 200-an halaman ini, Arswendo sekali lagi kembali menyuguhkan sebuah realita masyarakat bawah yang kudu bertarung mengatasi musibah.
Adalah Lilin, bocah perempuan berumur 5 tahun yang menjadi sentral novel Horeluya. Pasalnya Lilin mengidap penyakit langka berupa kelainan darah yang hanya bisa disembuhkan melalui transfusi dari donor dengan golongan darah yang sejenis. Dari hasil tes laboratorium diduga ada kelainan pada sel darah merahnya. Lilin memiliki golongan darah rhesus negative dan tak mampu memproduksi sel-sel darah putih. Gangguan kesehatan yang paling remehpun akan sangat memperburuk kondisi Lilin, sebab ia tak memiliki kekebalan tubuh. Satu-satunya upaya penyembuhan medis adalah dengan cara transfui dari golongan darah yang sama. Malangnya, jenis darah Lilin tergolong jenis yang langka.
Dokter telah memvonis hidup Lilin tak akan lebih dari 3 bulan jika tidak segera mendapatkan donor. Segala upaya telah dilakukan oleh Eca dan Kokro, orang tua Lilin, demi kesembuhan anak mereka semata wayang.
Saat semua usaha medis menemui kebuntuan, sebagai keluarga Katholik yang taat, Eca dan Kokro, memanjatkan doa-doa, berharap terjadi sebuah keajaiban yang akan mengembalikan Lilin sehat seperti sedia kala. Setiap hari Eca berdoa di sebuah gereja tua di kampung mereka, di depan goa Maria, memohon kesembuhan bagi putrinya tercinta.
Diam-diam ternyata ada wartawan koran daerah yang iseng mengamati kebiasaan Eca berdoa di gereja itu. Adam, demikian nama wartawan tersebut, kemudian memasang foto Eca yang sedang berdoa disertai komentar : “Apakah di zaman yang sudah sangat modern ini masih perlu menyembah patung atau berhala? Apakah patung akan memberikan jawaban, ataukah ikut menangis darah tanda prihatin?”
Penderitaan Eca dan Kokro semakin berat sebab kemudian Kokro diberhentikan dari pekerjaannya di pabrik biskuit karena ulah sentimen pribadi seseorang yang dengki kepadanya. Untungnya usaha bikin spanduk yang pernah dirintisnya bersama Nayarana, adik lelakinya, masih bertahan. Naya yang urakan itu menjadi semacam penyeimbang sekaligus penghibur dalam kisah yang sedih ini. Gaya cuek Naya serta gurauan-gurauannya membuat Horeluya menjadi lebih berjiwa, wajar, dan manusiawi.
Meskipun akhirnya saya harus bilang, bahwa Horeluya bukan cerita yang terlalu istimewa, namun dengan segala “kesederhanaan” yang ditampilkannya, buku ini telah berhasil menyentuh saya, beberapa kali bahkan sempat membuat mata saya berkaca-kaca.
Seperti yang hampir selalu kita temukan dalam karya-karya Arswendo, Horeluya juga berangkat dari kehidupan sebuah keluarga Indonesia, Jawa khususnya, yang guyub, akrab, dan saling mencintai dengan caranya tersendiri. Satu keluarga bukan hanya terdiri dari keluarga batih (ayah, ibu, anak) tetapi juga kadang-kadang ada anggota tambahan seperti adik, kakak, atau paman dan bibi yang mesti kita tampung karena alasan-alasan kekeluargaan. Sistem kekerabatan kita tidak membenarkan kita mengusir atau menutup mata menyaksikan keluarga kita sengsara.
Kecuali itu, Wendo juga memotret realita masyarakat kota kecil yang masih tebal relijiusitasnya; yang ketika berhadap-hadapan dengan musibah senantiasa berpaling kepada Tuhan, pemilik segala kekuatan. Kita masih sangat yakin, bahwa segala bencana dan penderitaan adalah ujian bagi keimanan kita sehingga sudah selayaknya kita menerimanya dengan sabar dan ikhlas. Kita masih percaya doa-doa akan menyelamatkan kita dari marabahaya. Kita mengimani, bahwa saat kita tak sanggup mengatasi persoalan–apa saja, mulai dari rezeki, penyakit, sampai urusan jodoh–sebaiknya kita serahkan saja kepada Tuhan. Sebab, semua berasal dari dan akan kembali kepada Tuhan. Duh, sungguh tidak enak jadi Tuhan kalau begitu karena harus mengurusi banyak masalah manusia.
Begitulah. Dalam buku ini Wendo menunjukkan bagaimana keajaiban bekerja. Bukan dengan sim salabim atau tongkat ajaib peri, tetapi oleh sebuah upaya nyata dan beberapa kebetulan yang logis yang barangkali memang sudah diatur Tuhan (Lah..kok Tuhan lagi akhirnya?).
Saya jadi ingat “teori” mestakung (semesta mendukung) yang pernah dinyatakan oleh Yohannes Surya, ketua Tim Olimpiade Fisika yang telah mengantarkan tim Indonesia menjadi juara dunia oliampiade fisika internasional di Singapura (2006). Mestakung diambil dari konsep sederhana fisika, bahwa ketika sesuatu berada dalam kondisi kritis maka setiap partikel di sekelilingnya akan bekerja serentak dan mencapai titik ideal. Mestakung menempatkan masalah dan rintangan menjadi kondisi kritis yang mendorong kekuatan-kekuatan alam mendukung upaya mewujudkan mimpi. Dalam setiap keadaan kritis, Yohannes yakin, mestakung pasti terjadi, di mana pun dan dalam bidang apapun. Bakan dalam kehidupan pribadi kita.
Dalam kasus Lilin di buku ini, kiranya demikianlah yang terjadi. Masalah percaya atau tidak, terserah Anda.***
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: April 2008
Tebal: 236 hlm.
Rasanya sudah lama sekali saya tak membaca karya-karya Arswendo, penulis yang saya kenal sejak dekade 80-an ini. Boleh dibilang saya adalah penggemar mantan pemimpin redaksi tabloid Monitor ini. Saya mengikuti karya-karyanya, terutama fiksi, sejak cerita serial Imung dan Keluarga Cemara yang rutin terbit di majalah remaja Hai, cerita-cerita bersambungnya di Kompas yang kemudian dinovelkan (Opera Jakarta dan Opera Bulutangkis dengan memakai nama samaran Titi Nginung) sampai novel-novelnya yang lain (terakhir yang saya baca berjudul Canting).
Saya menyukainya sebab kisah-kisah yang digarapnya hampir selalu bertema realis, ihwal kehidupan “orang-orang kecil” yang berjuang keras menyiasati hidup. Dituturkan dengan bahasa sehari-hari yang sederhana; humor-humor yang miris, serta akhir yang kerap menyentuh. Tokoh-tokoh ceritanya dipungut dari orang-orang biasa dengan persoalan-persoalan yang biasa yang dapat dengan mudah kita jumpai sehari-hari di sekitar kita. Tokoh-tokohnya tak pernah berpretensi sebagai pahlawan tangguh atau manusia sempurna yang tak pernah berbuat salah. Mereka adalah manusia biasa yang sering putus asa dan tak luput dari dosa. Itulah yang membuat karya-karya Arswendo terasa begitu akrab dan membumi.
Demikian pula halnya Horeluya, novel terbaru karya penulis kelahiran Solo, 26 November 1948 ini. Dalam buku setebal hanya 200-an halaman ini, Arswendo sekali lagi kembali menyuguhkan sebuah realita masyarakat bawah yang kudu bertarung mengatasi musibah.
Adalah Lilin, bocah perempuan berumur 5 tahun yang menjadi sentral novel Horeluya. Pasalnya Lilin mengidap penyakit langka berupa kelainan darah yang hanya bisa disembuhkan melalui transfusi dari donor dengan golongan darah yang sejenis. Dari hasil tes laboratorium diduga ada kelainan pada sel darah merahnya. Lilin memiliki golongan darah rhesus negative dan tak mampu memproduksi sel-sel darah putih. Gangguan kesehatan yang paling remehpun akan sangat memperburuk kondisi Lilin, sebab ia tak memiliki kekebalan tubuh. Satu-satunya upaya penyembuhan medis adalah dengan cara transfui dari golongan darah yang sama. Malangnya, jenis darah Lilin tergolong jenis yang langka.
Dokter telah memvonis hidup Lilin tak akan lebih dari 3 bulan jika tidak segera mendapatkan donor. Segala upaya telah dilakukan oleh Eca dan Kokro, orang tua Lilin, demi kesembuhan anak mereka semata wayang.
Saat semua usaha medis menemui kebuntuan, sebagai keluarga Katholik yang taat, Eca dan Kokro, memanjatkan doa-doa, berharap terjadi sebuah keajaiban yang akan mengembalikan Lilin sehat seperti sedia kala. Setiap hari Eca berdoa di sebuah gereja tua di kampung mereka, di depan goa Maria, memohon kesembuhan bagi putrinya tercinta.
Diam-diam ternyata ada wartawan koran daerah yang iseng mengamati kebiasaan Eca berdoa di gereja itu. Adam, demikian nama wartawan tersebut, kemudian memasang foto Eca yang sedang berdoa disertai komentar : “Apakah di zaman yang sudah sangat modern ini masih perlu menyembah patung atau berhala? Apakah patung akan memberikan jawaban, ataukah ikut menangis darah tanda prihatin?”
Penderitaan Eca dan Kokro semakin berat sebab kemudian Kokro diberhentikan dari pekerjaannya di pabrik biskuit karena ulah sentimen pribadi seseorang yang dengki kepadanya. Untungnya usaha bikin spanduk yang pernah dirintisnya bersama Nayarana, adik lelakinya, masih bertahan. Naya yang urakan itu menjadi semacam penyeimbang sekaligus penghibur dalam kisah yang sedih ini. Gaya cuek Naya serta gurauan-gurauannya membuat Horeluya menjadi lebih berjiwa, wajar, dan manusiawi.
Meskipun akhirnya saya harus bilang, bahwa Horeluya bukan cerita yang terlalu istimewa, namun dengan segala “kesederhanaan” yang ditampilkannya, buku ini telah berhasil menyentuh saya, beberapa kali bahkan sempat membuat mata saya berkaca-kaca.
Seperti yang hampir selalu kita temukan dalam karya-karya Arswendo, Horeluya juga berangkat dari kehidupan sebuah keluarga Indonesia, Jawa khususnya, yang guyub, akrab, dan saling mencintai dengan caranya tersendiri. Satu keluarga bukan hanya terdiri dari keluarga batih (ayah, ibu, anak) tetapi juga kadang-kadang ada anggota tambahan seperti adik, kakak, atau paman dan bibi yang mesti kita tampung karena alasan-alasan kekeluargaan. Sistem kekerabatan kita tidak membenarkan kita mengusir atau menutup mata menyaksikan keluarga kita sengsara.
Kecuali itu, Wendo juga memotret realita masyarakat kota kecil yang masih tebal relijiusitasnya; yang ketika berhadap-hadapan dengan musibah senantiasa berpaling kepada Tuhan, pemilik segala kekuatan. Kita masih sangat yakin, bahwa segala bencana dan penderitaan adalah ujian bagi keimanan kita sehingga sudah selayaknya kita menerimanya dengan sabar dan ikhlas. Kita masih percaya doa-doa akan menyelamatkan kita dari marabahaya. Kita mengimani, bahwa saat kita tak sanggup mengatasi persoalan–apa saja, mulai dari rezeki, penyakit, sampai urusan jodoh–sebaiknya kita serahkan saja kepada Tuhan. Sebab, semua berasal dari dan akan kembali kepada Tuhan. Duh, sungguh tidak enak jadi Tuhan kalau begitu karena harus mengurusi banyak masalah manusia.
Begitulah. Dalam buku ini Wendo menunjukkan bagaimana keajaiban bekerja. Bukan dengan sim salabim atau tongkat ajaib peri, tetapi oleh sebuah upaya nyata dan beberapa kebetulan yang logis yang barangkali memang sudah diatur Tuhan (Lah..kok Tuhan lagi akhirnya?).
Saya jadi ingat “teori” mestakung (semesta mendukung) yang pernah dinyatakan oleh Yohannes Surya, ketua Tim Olimpiade Fisika yang telah mengantarkan tim Indonesia menjadi juara dunia oliampiade fisika internasional di Singapura (2006). Mestakung diambil dari konsep sederhana fisika, bahwa ketika sesuatu berada dalam kondisi kritis maka setiap partikel di sekelilingnya akan bekerja serentak dan mencapai titik ideal. Mestakung menempatkan masalah dan rintangan menjadi kondisi kritis yang mendorong kekuatan-kekuatan alam mendukung upaya mewujudkan mimpi. Dalam setiap keadaan kritis, Yohannes yakin, mestakung pasti terjadi, di mana pun dan dalam bidang apapun. Bakan dalam kehidupan pribadi kita.
Dalam kasus Lilin di buku ini, kiranya demikianlah yang terjadi. Masalah percaya atau tidak, terserah Anda.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar