Judul asli: A Long Way Gone, Memoirs of A Boy Soldier.
Penulis: Ishmael Beah
Penerjemah: Cahya Wiratama
Penyunting: Wendratama
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, 2008
Tebal: viii + 320 hlm
Mungkin saya seorang pembaca yang emosional. Artinya, perasaan saya mudah sekali terbawa larut ke dalam buku-buku/cerita yang saya baca. Perasaan itu kadang-kadang bisa bertahan berhari-hari setelah saya menamatkan sebuah buku; terutama buku-buku yang (memuat kisah-kisah) sedih. Buku A Long Way Gone ini termasuk buku seperti itu, yang membuat saya larut di dalamnya; terteror dengan perasaan tercabik-cabik.
A Long Way Gone merupakan memoar yang berangkat dari kisah nyata penulisnya, Ishmael Beah, semasa menjadi tentara anak-anak di negaranya, Sierra Leone.
Terletak di benua Afrika, Sierra Leone diapit oleh Guines dan Liberia. Merdeka pada 1961 setelah sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Inggris dengan Sir Milton Margai sebagai perdana menteri pertama. Perpecahan di tubuh pemerintahan dimulai pada awal 1967, tiga tahun setelah meninggalnya Milton Margai. Seperti umumnya negara yang baru terbentuk, pemerintahannya belum benar-benar stabil; kerap terjadi perebutan kekuasaan antara golongan sipil dan militer yang mengakibatkan pecahnya perang saudara.
Ishmael Beah lahir pada 1980 saat partai APC (All People’s Congress), satu-satunya partai politik di Sierra Leone, berkuasa. Pemerintahan APG adalah pemerintahan militer yang korup dan banyak melakukan penyimpangan yang memicu pemberontakan sporadis di wilayah-wilayah pedesaan. Gerombolan pemberontak sipil itu menamakan diri Revolutionary United Front (RUF).
Pada 1991, dengan dikomando oleh seorang mantan kopral, Foday Sankoh, para pemberontak ini mulai menyerang desa-desa di bagian timur yang berbatasan dengan Liberia. Setahun berikutnya, terjadi kudeta militer yang diprakarsai dan dipimpin oleh Kapten Valentine Strasser. Namun, pemerintahan baru ini kualitasnya tak jauh berbeda dengan sebelumnya sehingga semakin menyuburkan upaya-upaya makar kelompok RUF. Bentrokan antara tentara pemerintah dengan RUF pecah di mana-mana. Korban jiwa berjatuhan di kedua belah pihak, termasuk para penduduk desa yang tak berdosa.
Ishmael ketika itu berusia 12 tahun, duduk di bangku SMP. Ia lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki. Ayah ibunya bercerai saat ia masih sangat kecil. Ia dan abangnya, Junior, tinggal bersama ayah mereka di Mattru Jong.
Masa kecil Ishmael cukup bahagia dengan cinta dan kasih sayang berlimpah dari kedua orang tua dan juga kakek neneknya. Ia serta Junior, seperti juga anak-anak desa lainnya, tumbuh dibesarkan dalam tradisi mendongeng, menyanyi, dan menari lazimnya kultur masyarakat desa di sebagian besar Afrika. Mereka tergila-gila pada musik reggae dan rap yang kebanyakan memang dibawakan oleh para penyanyi kulit hitam, seperti: L.L Cool J, Run D.M.C, dan Heavy D & The Boyz. Setiap ada kesempatan mereka bahkan sering ikut serta dalam kompetisi nge-rap di desa-desa tetangga. Musik rap telah menjadi bagian keseharian anak-anak muda itu; berdampingan mesra dengan lagu dan tarian rakyat.
Rakyat Sierra Leone, seperti umumnya rakyat di negara-negara Afrika lainnya, senang menyanyi dan menari. Mereka menyanyi di berbagai kesempatan: pada saat menumbuk padi, panen raya, menebar benih di ladang, atau pada acara-acara adat lainnya. Mereka orang-orang yang gembira sebelum perang menghancurkan segalanya. Tak ada lagi nyanyian dan tarian. Tak ada alunan dongeng dan senandung ibu menidurkan anaknya. Semuanya lenyap digantikan oleh suara tembakan, desingan peluru, jerit pilu orang-orang yang sekarat, ratapan ibu yang kehilangan anaknya, serta tangis anak-anak yang secara mendadak menjadi yatim piatu seperti halnya Ishmael Beah.
Di daerah konflik, penduduk sipil adalah pihak paling rentan sebagai korban, terutama perempuan dan anak-anak. Ishmael Beah adalah salah seorang korban itu. Pada usia 12 tahun ia bersama ratusan anak lainnya direkrut paksa menjadi tentara oleh kelompok RUF yang kekurangan pasukan.
Masa selama 2 tahun Ishmael sebagai tentara menjadi bagian paling mengerikan sekaligus memilukan di buku ini. Bayangkan, anak-anak yang lucu itu berubah menjadi monster buas dan mesin pembunuh kejam hanya dalam hitungan hari. Mereka menembak, menusuk, menggorok musuh tanpa gentar berkat ganja, alkohol, serta obat-obat penenang. Otak mereka dicuci sehingga tak ada lagi tempat tersisa bagi cinta dan belas kasihan. Yang tertinggal hanya ruang untuk kebencian dan dendam. Membaca buku ini saya jadi percaya, bahwa benar adanya realita jauh lebih mengerikan melampaui imajinasi dalam fiksi.
Buku ini terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama mengisahkan saat-saat bahagia sebelum Ishmael jadi tentara. Ia bertutur ikhwal dongeng-dongeng indah yang dilantunkan sang nenek, pelukan hangat ibu, matahari, bulan, hutan, kicau burung-burung…Bagian kedua adalah bagian paling gelap, ketika Ishmael menjalani hidup sebagai tentara. Darah, mayat, peluru, pembunuhan, penyiksaan, penyerbuan, kesakitan, kematian mengisi bagian ini. Dan terakhir adalah kisah penyelamatan Ishmael; membawa kembali bocah malang ini ke kehidupan normal. Saya sepakat dengan komentar Jeannette Walls yang mengatakan, bahwa kisah Ishmael ini mencabik hati Anda hingga berkeping-keping kemudian menyatukannya kembali.
Usia Ishmael 28 tahun tatkala buku ini selesai ditulisnya. Atas campur tangan UNICEF, ia dan ratusan anak lainnya berhasil diselamatkan lewat program rehabilitasi yang makan waktu beberapa tahun. Ia sempat diundang untuk memberikan kesaksian dalam sebuah konferensi internasional di New York tentang anak-anak korban perang. Dia kini tinggal di New York; aktif sebagai anggota Human Rights Watch Children’s Rights Division Advisory Committee.***ENDAH SULWESI
Penulis: Ishmael Beah
Penerjemah: Cahya Wiratama
Penyunting: Wendratama
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, 2008
Tebal: viii + 320 hlm
Mungkin saya seorang pembaca yang emosional. Artinya, perasaan saya mudah sekali terbawa larut ke dalam buku-buku/cerita yang saya baca. Perasaan itu kadang-kadang bisa bertahan berhari-hari setelah saya menamatkan sebuah buku; terutama buku-buku yang (memuat kisah-kisah) sedih. Buku A Long Way Gone ini termasuk buku seperti itu, yang membuat saya larut di dalamnya; terteror dengan perasaan tercabik-cabik.
A Long Way Gone merupakan memoar yang berangkat dari kisah nyata penulisnya, Ishmael Beah, semasa menjadi tentara anak-anak di negaranya, Sierra Leone.
Terletak di benua Afrika, Sierra Leone diapit oleh Guines dan Liberia. Merdeka pada 1961 setelah sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Inggris dengan Sir Milton Margai sebagai perdana menteri pertama. Perpecahan di tubuh pemerintahan dimulai pada awal 1967, tiga tahun setelah meninggalnya Milton Margai. Seperti umumnya negara yang baru terbentuk, pemerintahannya belum benar-benar stabil; kerap terjadi perebutan kekuasaan antara golongan sipil dan militer yang mengakibatkan pecahnya perang saudara.
Ishmael Beah lahir pada 1980 saat partai APC (All People’s Congress), satu-satunya partai politik di Sierra Leone, berkuasa. Pemerintahan APG adalah pemerintahan militer yang korup dan banyak melakukan penyimpangan yang memicu pemberontakan sporadis di wilayah-wilayah pedesaan. Gerombolan pemberontak sipil itu menamakan diri Revolutionary United Front (RUF).
Pada 1991, dengan dikomando oleh seorang mantan kopral, Foday Sankoh, para pemberontak ini mulai menyerang desa-desa di bagian timur yang berbatasan dengan Liberia. Setahun berikutnya, terjadi kudeta militer yang diprakarsai dan dipimpin oleh Kapten Valentine Strasser. Namun, pemerintahan baru ini kualitasnya tak jauh berbeda dengan sebelumnya sehingga semakin menyuburkan upaya-upaya makar kelompok RUF. Bentrokan antara tentara pemerintah dengan RUF pecah di mana-mana. Korban jiwa berjatuhan di kedua belah pihak, termasuk para penduduk desa yang tak berdosa.
Ishmael ketika itu berusia 12 tahun, duduk di bangku SMP. Ia lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki. Ayah ibunya bercerai saat ia masih sangat kecil. Ia dan abangnya, Junior, tinggal bersama ayah mereka di Mattru Jong.
Masa kecil Ishmael cukup bahagia dengan cinta dan kasih sayang berlimpah dari kedua orang tua dan juga kakek neneknya. Ia serta Junior, seperti juga anak-anak desa lainnya, tumbuh dibesarkan dalam tradisi mendongeng, menyanyi, dan menari lazimnya kultur masyarakat desa di sebagian besar Afrika. Mereka tergila-gila pada musik reggae dan rap yang kebanyakan memang dibawakan oleh para penyanyi kulit hitam, seperti: L.L Cool J, Run D.M.C, dan Heavy D & The Boyz. Setiap ada kesempatan mereka bahkan sering ikut serta dalam kompetisi nge-rap di desa-desa tetangga. Musik rap telah menjadi bagian keseharian anak-anak muda itu; berdampingan mesra dengan lagu dan tarian rakyat.
Rakyat Sierra Leone, seperti umumnya rakyat di negara-negara Afrika lainnya, senang menyanyi dan menari. Mereka menyanyi di berbagai kesempatan: pada saat menumbuk padi, panen raya, menebar benih di ladang, atau pada acara-acara adat lainnya. Mereka orang-orang yang gembira sebelum perang menghancurkan segalanya. Tak ada lagi nyanyian dan tarian. Tak ada alunan dongeng dan senandung ibu menidurkan anaknya. Semuanya lenyap digantikan oleh suara tembakan, desingan peluru, jerit pilu orang-orang yang sekarat, ratapan ibu yang kehilangan anaknya, serta tangis anak-anak yang secara mendadak menjadi yatim piatu seperti halnya Ishmael Beah.
Di daerah konflik, penduduk sipil adalah pihak paling rentan sebagai korban, terutama perempuan dan anak-anak. Ishmael Beah adalah salah seorang korban itu. Pada usia 12 tahun ia bersama ratusan anak lainnya direkrut paksa menjadi tentara oleh kelompok RUF yang kekurangan pasukan.
Masa selama 2 tahun Ishmael sebagai tentara menjadi bagian paling mengerikan sekaligus memilukan di buku ini. Bayangkan, anak-anak yang lucu itu berubah menjadi monster buas dan mesin pembunuh kejam hanya dalam hitungan hari. Mereka menembak, menusuk, menggorok musuh tanpa gentar berkat ganja, alkohol, serta obat-obat penenang. Otak mereka dicuci sehingga tak ada lagi tempat tersisa bagi cinta dan belas kasihan. Yang tertinggal hanya ruang untuk kebencian dan dendam. Membaca buku ini saya jadi percaya, bahwa benar adanya realita jauh lebih mengerikan melampaui imajinasi dalam fiksi.
Buku ini terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama mengisahkan saat-saat bahagia sebelum Ishmael jadi tentara. Ia bertutur ikhwal dongeng-dongeng indah yang dilantunkan sang nenek, pelukan hangat ibu, matahari, bulan, hutan, kicau burung-burung…Bagian kedua adalah bagian paling gelap, ketika Ishmael menjalani hidup sebagai tentara. Darah, mayat, peluru, pembunuhan, penyiksaan, penyerbuan, kesakitan, kematian mengisi bagian ini. Dan terakhir adalah kisah penyelamatan Ishmael; membawa kembali bocah malang ini ke kehidupan normal. Saya sepakat dengan komentar Jeannette Walls yang mengatakan, bahwa kisah Ishmael ini mencabik hati Anda hingga berkeping-keping kemudian menyatukannya kembali.
Usia Ishmael 28 tahun tatkala buku ini selesai ditulisnya. Atas campur tangan UNICEF, ia dan ratusan anak lainnya berhasil diselamatkan lewat program rehabilitasi yang makan waktu beberapa tahun. Ia sempat diundang untuk memberikan kesaksian dalam sebuah konferensi internasional di New York tentang anak-anak korban perang. Dia kini tinggal di New York; aktif sebagai anggota Human Rights Watch Children’s Rights Division Advisory Committee.***ENDAH SULWESI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar