Judul buku: Si Pembuat Jam
Judul asli: Clockwork or All Wound Up
Penulis: Philip Pullman
Penerjemah: Poppy Damayanti Chusfani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, November 2007
Tebal: 107 hlm
Ini adalah buku kedua karya Philip Pullman yang saya baca setelah Putri Si Pembuat Kembang Api. Ada yang terasa khas pada kedua dongeng Pullman ini: ia bercerita seperti tengah ngobrol dengan pembacanya. Contohnya begini : “Beberapa kisah berjalan seperti itu. Begitu kau memutarnya, takkan ada yang bisa menghentikan…..” (hlm.7)
Kata “kau” yang dipakainya untuk “berdialog” dengan pembacanya, menimbulkan rasa keakraban yang hangat; seolah-olah ia melibatkan kita dalam dongeng-dongengnya. Saya suka gaya berkisah seperti ini.
Kali ini, Pullman menerbangkan imajinasi kita ke Jerman pada suatu masa, ketika waktu digerakkan oleh jam mekanis; sebuah jam dengan teknologi “kuno” terdiri dari per, roda gigi, dan pendulum. Tidak seperti jam-jam zaman sekarang yang dijalankan oleh tenaga listrik atau kristal kwarsa.
Di sebuah kota kecil, di mana para warganya kerap menghabiskan malam-malam dingin bersalju di sebuah kafe yang juga kecil, terdapat sebuah bengkel khusus membuat jam yang setiap tahun meluluskan satu orang murid baru.
Tahun ini, Herr Ringelmann, ahli membuat jam di bengkel itu, memiliki seorang pemuda pemarah bernama Karl sebagai murid. Sudah menjadi tradisi selama bertahun-tahun di kota tersebut, setiap murid yang telah mengakhiri masa belajarnya wajib membuat sebuah patung baru untuk diletakkan pada jam raksasa di pusat kota.
Karl yang pemurung itu sedang gelisah berat, sebab ia belum mendapatkan sepotong ide pun padahal hari yang sangat menentukan itu tinggal besok. Malam itu ia duduk menyendiri di salah satu sudut kafe sembari berharap mendapat inspirasi untuk patungnya.
Orang-orang di kota itu memiliki kebiasaan unik berkumpul di kafe pada malam tertentu untuk mendengarkan sebuah kisah dari seorang novelis muda, Fritz. Kebetulan sekali, malam di saat Karl meresahkan soal patungnya adalah malam jadwal Fritz mendongeng.
Semua warga menantikan gerangan kisah apa yang akan dituturkan Fritz malam itu.
Dan malam itu Fritz menyuguhkan sebuah cerita yang tak terlupakan tentang Pangeran Otto dan putranya, Florian yang terbuat dari logam hasil karya seorang pembuat jam termasyhur, Dr. Kalmenius dari Schatzberg.
Pangeran Florian diciptakan sebagai pengganti bayi laki-laki Pangeran Otto yang terlahir wafat. Demikian sempurnanya karya Dr.Kalmenius, sehingga tak seorang pun yang menyadari bahwa Pangeran Florian hanyalah sebuah patung yang digerakkan oleh seperangkat mesin mekanik layaknya sebuah jam. Ia “hidup”. Jantungnya yang terbuat dari per berdetak sama persis seperti jantung manusia. Ia bicara dan tumbuh juga seperti anak-anak lainnya.Sungguh ajaib, bukan?
Namun, ada yang ternyata lebih ajaib lagi. Di tengah-tengah kisah, tiba-tiba Dr. Kalmenius, tokoh rekaan Fritz itu, muncul di kafe. Persis seperti yang digambarkan oleh Fritz : seorang lelaki tinggi kurus dengan hidung dan dagu lancip. Matanya menyala seperti bara dalam gua. Rambutnya panjang dan kelabu, dan mengenakan tudung longgar seperti jubah para biarawan. Suaranya serak dan kasar dengan ekspresi wajah penuh kegarangan.
Semua yang hadir terkesima sebelum akhirnya satu per satu berlalu, kecuali Karl yang memang ingin mati saja karena belum juga menemukan sepercik ide pun untuk patungnya. Dr. Kalmenius yang ahli membuat patung kemudian malah mengulurkan jasa membantu Karl. Ia menawarkan Sir Ironsoul, patung terbaru karyanya, untuk Karl.
Dan selanjutnya, dongeng Fritz yang menjelma nyata itu dibiarkan “menyelesaikan” sendiri kisahnya.
Sebagaimana lazimnya dongeng, kisah ini pun bertabur keajaiban dan petuah tentang baik-buruk; bahwa yang jahat pada akhirnya akan binasa, yang baik hati akan mendapat kebahagiaan. Pullman juga “menasihati” bahwa tak ada sukses yang dapat diraih tanpa kerja keras.
“Kau takkan memenangi pertandingan kalau cuma berharap. Kau bisa menang jika berlari lebih cepat dari orang lain. Dan agar bisa melakukannya, kau harus berlatih keras dan berusaha sekuat mungkin. Walau kadang-kadang itu pun belum cukup, karena pelari lain mungkin lebih berbakat daripada dirimu.” Demikian kata Pak Pullman.
Dan kau masih akan menemukan lebih banyak lagi “nasihat” bijak serta keajaiban yang akan menghiburmu dalam buku tipis ini. Nah, kalau yang ini bukan kata Pullman, tapi kata saya.***
(Tiga bintang buat buku ini).
endah sulwesi 7/01
Judul asli: Clockwork or All Wound Up
Penulis: Philip Pullman
Penerjemah: Poppy Damayanti Chusfani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, November 2007
Tebal: 107 hlm
Ini adalah buku kedua karya Philip Pullman yang saya baca setelah Putri Si Pembuat Kembang Api. Ada yang terasa khas pada kedua dongeng Pullman ini: ia bercerita seperti tengah ngobrol dengan pembacanya. Contohnya begini : “Beberapa kisah berjalan seperti itu. Begitu kau memutarnya, takkan ada yang bisa menghentikan…..” (hlm.7)
Kata “kau” yang dipakainya untuk “berdialog” dengan pembacanya, menimbulkan rasa keakraban yang hangat; seolah-olah ia melibatkan kita dalam dongeng-dongengnya. Saya suka gaya berkisah seperti ini.
Kali ini, Pullman menerbangkan imajinasi kita ke Jerman pada suatu masa, ketika waktu digerakkan oleh jam mekanis; sebuah jam dengan teknologi “kuno” terdiri dari per, roda gigi, dan pendulum. Tidak seperti jam-jam zaman sekarang yang dijalankan oleh tenaga listrik atau kristal kwarsa.
Di sebuah kota kecil, di mana para warganya kerap menghabiskan malam-malam dingin bersalju di sebuah kafe yang juga kecil, terdapat sebuah bengkel khusus membuat jam yang setiap tahun meluluskan satu orang murid baru.
Tahun ini, Herr Ringelmann, ahli membuat jam di bengkel itu, memiliki seorang pemuda pemarah bernama Karl sebagai murid. Sudah menjadi tradisi selama bertahun-tahun di kota tersebut, setiap murid yang telah mengakhiri masa belajarnya wajib membuat sebuah patung baru untuk diletakkan pada jam raksasa di pusat kota.
Karl yang pemurung itu sedang gelisah berat, sebab ia belum mendapatkan sepotong ide pun padahal hari yang sangat menentukan itu tinggal besok. Malam itu ia duduk menyendiri di salah satu sudut kafe sembari berharap mendapat inspirasi untuk patungnya.
Orang-orang di kota itu memiliki kebiasaan unik berkumpul di kafe pada malam tertentu untuk mendengarkan sebuah kisah dari seorang novelis muda, Fritz. Kebetulan sekali, malam di saat Karl meresahkan soal patungnya adalah malam jadwal Fritz mendongeng.
Semua warga menantikan gerangan kisah apa yang akan dituturkan Fritz malam itu.
Dan malam itu Fritz menyuguhkan sebuah cerita yang tak terlupakan tentang Pangeran Otto dan putranya, Florian yang terbuat dari logam hasil karya seorang pembuat jam termasyhur, Dr. Kalmenius dari Schatzberg.
Pangeran Florian diciptakan sebagai pengganti bayi laki-laki Pangeran Otto yang terlahir wafat. Demikian sempurnanya karya Dr.Kalmenius, sehingga tak seorang pun yang menyadari bahwa Pangeran Florian hanyalah sebuah patung yang digerakkan oleh seperangkat mesin mekanik layaknya sebuah jam. Ia “hidup”. Jantungnya yang terbuat dari per berdetak sama persis seperti jantung manusia. Ia bicara dan tumbuh juga seperti anak-anak lainnya.Sungguh ajaib, bukan?
Namun, ada yang ternyata lebih ajaib lagi. Di tengah-tengah kisah, tiba-tiba Dr. Kalmenius, tokoh rekaan Fritz itu, muncul di kafe. Persis seperti yang digambarkan oleh Fritz : seorang lelaki tinggi kurus dengan hidung dan dagu lancip. Matanya menyala seperti bara dalam gua. Rambutnya panjang dan kelabu, dan mengenakan tudung longgar seperti jubah para biarawan. Suaranya serak dan kasar dengan ekspresi wajah penuh kegarangan.
Semua yang hadir terkesima sebelum akhirnya satu per satu berlalu, kecuali Karl yang memang ingin mati saja karena belum juga menemukan sepercik ide pun untuk patungnya. Dr. Kalmenius yang ahli membuat patung kemudian malah mengulurkan jasa membantu Karl. Ia menawarkan Sir Ironsoul, patung terbaru karyanya, untuk Karl.
Dan selanjutnya, dongeng Fritz yang menjelma nyata itu dibiarkan “menyelesaikan” sendiri kisahnya.
Sebagaimana lazimnya dongeng, kisah ini pun bertabur keajaiban dan petuah tentang baik-buruk; bahwa yang jahat pada akhirnya akan binasa, yang baik hati akan mendapat kebahagiaan. Pullman juga “menasihati” bahwa tak ada sukses yang dapat diraih tanpa kerja keras.
“Kau takkan memenangi pertandingan kalau cuma berharap. Kau bisa menang jika berlari lebih cepat dari orang lain. Dan agar bisa melakukannya, kau harus berlatih keras dan berusaha sekuat mungkin. Walau kadang-kadang itu pun belum cukup, karena pelari lain mungkin lebih berbakat daripada dirimu.” Demikian kata Pak Pullman.
Dan kau masih akan menemukan lebih banyak lagi “nasihat” bijak serta keajaiban yang akan menghiburmu dalam buku tipis ini. Nah, kalau yang ini bukan kata Pullman, tapi kata saya.***
(Tiga bintang buat buku ini).
endah sulwesi 7/01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar