Judul buku: Bulan Jingga dalam Kepala
Penulis: M.Fadjroel Rachman
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2007
Tebal: 425 hlm
Nama Fadjroel Rachman sangat erat kaitannya dengan gerakan mahasiswa pada akhir dekade delapanpuluhan. Bersama rekan-rekan kuliahnya di ITB, Fadjroel pernah menggelar unjuk rasa menentang kedatangan Menteri Dalam Negeri (waktu itu dijabat oleh Jendral Rudini) ke kampus mereka. Fadjroel yang kuliah di jurusan Teknik Kimia kemudian menjadi salah seorang aktivis yang ditangkap aparat sebagai buntut peristiwa yang terjadi pada 1989 itu. Ia dibui di penjara Sukamiskin, Bandung, selama beberapa tahun.
Selain aktif berpolitik di kampus Ganesha itu, Fadjroel juga dikenal giat bersastra. Puisi dan prosa karya para penulis kelas dunia menjadi santapan wajibnya. Malah ia pernah menjabat sebagai presiden GAS (Grup Apresiasi Sastra) di ITB. Si ‘Binatang Jalang’, Chairil Anwar adalah penyair favoritnya. Dia hapal di luar kepala sajak-sajaknya.
Maka, tidaklah mengejutkan ketika akhirnya lekaki yang senang tampil rapi ini, lalu menerbitkan novel. Tidak jauh-jauh dari dunia yang akrab digelutinya hampir di separuh hidupnya, karya perdananya yang bertajuk Bulan Jingga dalam Kepala itu berkisah ikhwal gerakan mahasiswa.
Penggalan cerita hidupnya sebagai aktivis mahasiswa rupanya meninggalkan kesan yang amat mendalam dalam diri pria kelahiran 17 Januari 1964 ini. Kenang-kenangan semasa kuliah dulu nyaris digulirkan semuanya ke dalam novel setebal empat ratusan halaman ini dengan Surianata sebagai karakter utama. Segera saja, tokoh sentral dalam buku ini merujuk pada sosok penulisnya.
Betapa tidak, Surianata diceritakan sebagai seorang aktivis mahasiswa ITB jurusan Teknik Kimia yang radikal sekaligus amat menggandrungi sastra. Mengingatkan kepada siapa lagi sosok tersebut jika bukan kepada Fadjroel Rachman sendiri? Atau sedikit banyak, mungkin saja sebagian karakter ini merupakan alter ego Fadjroel.
Peristiwa yang dijadikan latar belakang novel ini adalah masa-masa menjelang kejatuhan Presiden Soeharto yang telah bertakhta selama 32 tahun dengan Orde Barunya. Fadjroel memang sedikit mengaburkannya dengan menyebut waktunya sebagai “tahun x” dan Soeharto disamarkan menjadi Jendral Soeprawiro. Antara Soeharto dan Soeprawiro memiliki banyak kemiripan. Keduanya sama-sama pemimpin sebuah rezim otoriter yang mendewakan kekuasaan dengan menyengsarakan rakyat. Surianata bersama teman-temannya yang tergabung dalam gerakan mahasiswa Indonesia, ramai-ramai menggelar unjuk rasa meminta agar Sang Presiden turun dari singgasananya.
Tentu, peristiwa ini melayangkan memori kita pada 1998, saat Soeharto terjungkal dari kursi kepresidenannya oleh sebuah aksi people power yang marak di seluruh negeri dan berpuncak di halaman gedung MPR/DPR Jakarta. Oleh Fadjroel, lokasinya dipindahkan ke depan Istana Merdeka yang berakhir klimaks dengan matinya Soeprawiro di tangan Surianata.
Surianata tak pernah menyesali apa yang telah dilakukannya. Idealisme anak muda yang meluap-luap dalam dirinya untuk memerangi ketidakadilan dan kezaliman seolah-olah menjadi pembenar bagi perbuatannya menembak tewas Soeprawiro. Satu-satunya hal yang sangat meresahkan batinnya adalah ikut tertembaknya Bulan Pratiwi, putri bungsu Soeprawiro berusia 5 tahun. Surianata tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri untuk kesalahannya yang satu itu meski telah ditebusnya dengan vonis hukuman mati sekalipun. Jenis hukuman yang sebenarnya sangat ditentangnya karena merupakan perbuatan melanggar HAM.
Seharusnya novel ini bisa jadi karya menarik seandainya Fadjroel tidak tergoda untuk mengumbar terlalu banyak hal. Alhasil, yang tampil adalah deretan panjang peristiwa sejarah mutakhir yang terasa bertumpuk-tumpuk;tumpang tindih tanpa identifikasi waktu yang jelas. Umpamanya saja, Surianata telah membincang persidangan kasus bom Bali (2003) pada tahun ketiga ia di penjara. Dengan asumsi ia masuk penjara pada 1998, tiga tahun kemudian berarti 2001. Tentu saat itu persidangan bom Bali belum digelar, bahkan peristiwa pengeboman yang menewaskan ratusan orang itu pun belum terjadi.
Lalu ada bab 29 yang menuturkan masa 6 tahun sebelum tahun X. Bab ini sepenuhnya memuat “laporan perjalanan” Surianata dan kawan-kawan ke Tokyo, Belanda, dan Jerman yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bangunan kisah secara keseluruhan. Bagian ini hanya dipakai untuk menampung uneg-uneg (dan kemarahan) Fadjroel kepada Hitler, diktator fasis yang telah membantai jutaan orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi. Hal seperti ini cukup banyak kita temukan. Seakan-akan Fadjroel ingin menumpahkan semua pengetahuan yang dimilikinya. Sebuah kecenderungan yang kerap dilakukan oleh para penulis “pemula”.
Tetapi, tentunya Fadjroel bukanlah seorang “pemula” dalam tulis-menulis. Sebelum novel ini, beberapa bukunya telah terbit. Di antaranya: Dongeng untuk Poppy (2007) dan Sejarah Lari Tergesa (2004). Keduanya berhasil masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk kategori puisi. Tak mengherankan jika dalam novelnya ini nuansa puitik terasa demikian pekat dan menonjol. Mengomentari hal tersebut, secara bergurau Sujiwo Tejo pernah meledeknya agar Fadjroel memilih salah satu saja, mau jadi novelis atau penyair.***ENDAH SULWESI
Satu bintang saja ya…J
Penulis: M.Fadjroel Rachman
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2007
Tebal: 425 hlm
Nama Fadjroel Rachman sangat erat kaitannya dengan gerakan mahasiswa pada akhir dekade delapanpuluhan. Bersama rekan-rekan kuliahnya di ITB, Fadjroel pernah menggelar unjuk rasa menentang kedatangan Menteri Dalam Negeri (waktu itu dijabat oleh Jendral Rudini) ke kampus mereka. Fadjroel yang kuliah di jurusan Teknik Kimia kemudian menjadi salah seorang aktivis yang ditangkap aparat sebagai buntut peristiwa yang terjadi pada 1989 itu. Ia dibui di penjara Sukamiskin, Bandung, selama beberapa tahun.
Selain aktif berpolitik di kampus Ganesha itu, Fadjroel juga dikenal giat bersastra. Puisi dan prosa karya para penulis kelas dunia menjadi santapan wajibnya. Malah ia pernah menjabat sebagai presiden GAS (Grup Apresiasi Sastra) di ITB. Si ‘Binatang Jalang’, Chairil Anwar adalah penyair favoritnya. Dia hapal di luar kepala sajak-sajaknya.
Maka, tidaklah mengejutkan ketika akhirnya lekaki yang senang tampil rapi ini, lalu menerbitkan novel. Tidak jauh-jauh dari dunia yang akrab digelutinya hampir di separuh hidupnya, karya perdananya yang bertajuk Bulan Jingga dalam Kepala itu berkisah ikhwal gerakan mahasiswa.
Penggalan cerita hidupnya sebagai aktivis mahasiswa rupanya meninggalkan kesan yang amat mendalam dalam diri pria kelahiran 17 Januari 1964 ini. Kenang-kenangan semasa kuliah dulu nyaris digulirkan semuanya ke dalam novel setebal empat ratusan halaman ini dengan Surianata sebagai karakter utama. Segera saja, tokoh sentral dalam buku ini merujuk pada sosok penulisnya.
Betapa tidak, Surianata diceritakan sebagai seorang aktivis mahasiswa ITB jurusan Teknik Kimia yang radikal sekaligus amat menggandrungi sastra. Mengingatkan kepada siapa lagi sosok tersebut jika bukan kepada Fadjroel Rachman sendiri? Atau sedikit banyak, mungkin saja sebagian karakter ini merupakan alter ego Fadjroel.
Peristiwa yang dijadikan latar belakang novel ini adalah masa-masa menjelang kejatuhan Presiden Soeharto yang telah bertakhta selama 32 tahun dengan Orde Barunya. Fadjroel memang sedikit mengaburkannya dengan menyebut waktunya sebagai “tahun x” dan Soeharto disamarkan menjadi Jendral Soeprawiro. Antara Soeharto dan Soeprawiro memiliki banyak kemiripan. Keduanya sama-sama pemimpin sebuah rezim otoriter yang mendewakan kekuasaan dengan menyengsarakan rakyat. Surianata bersama teman-temannya yang tergabung dalam gerakan mahasiswa Indonesia, ramai-ramai menggelar unjuk rasa meminta agar Sang Presiden turun dari singgasananya.
Tentu, peristiwa ini melayangkan memori kita pada 1998, saat Soeharto terjungkal dari kursi kepresidenannya oleh sebuah aksi people power yang marak di seluruh negeri dan berpuncak di halaman gedung MPR/DPR Jakarta. Oleh Fadjroel, lokasinya dipindahkan ke depan Istana Merdeka yang berakhir klimaks dengan matinya Soeprawiro di tangan Surianata.
Surianata tak pernah menyesali apa yang telah dilakukannya. Idealisme anak muda yang meluap-luap dalam dirinya untuk memerangi ketidakadilan dan kezaliman seolah-olah menjadi pembenar bagi perbuatannya menembak tewas Soeprawiro. Satu-satunya hal yang sangat meresahkan batinnya adalah ikut tertembaknya Bulan Pratiwi, putri bungsu Soeprawiro berusia 5 tahun. Surianata tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri untuk kesalahannya yang satu itu meski telah ditebusnya dengan vonis hukuman mati sekalipun. Jenis hukuman yang sebenarnya sangat ditentangnya karena merupakan perbuatan melanggar HAM.
Seharusnya novel ini bisa jadi karya menarik seandainya Fadjroel tidak tergoda untuk mengumbar terlalu banyak hal. Alhasil, yang tampil adalah deretan panjang peristiwa sejarah mutakhir yang terasa bertumpuk-tumpuk;tumpang tindih tanpa identifikasi waktu yang jelas. Umpamanya saja, Surianata telah membincang persidangan kasus bom Bali (2003) pada tahun ketiga ia di penjara. Dengan asumsi ia masuk penjara pada 1998, tiga tahun kemudian berarti 2001. Tentu saat itu persidangan bom Bali belum digelar, bahkan peristiwa pengeboman yang menewaskan ratusan orang itu pun belum terjadi.
Lalu ada bab 29 yang menuturkan masa 6 tahun sebelum tahun X. Bab ini sepenuhnya memuat “laporan perjalanan” Surianata dan kawan-kawan ke Tokyo, Belanda, dan Jerman yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bangunan kisah secara keseluruhan. Bagian ini hanya dipakai untuk menampung uneg-uneg (dan kemarahan) Fadjroel kepada Hitler, diktator fasis yang telah membantai jutaan orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi. Hal seperti ini cukup banyak kita temukan. Seakan-akan Fadjroel ingin menumpahkan semua pengetahuan yang dimilikinya. Sebuah kecenderungan yang kerap dilakukan oleh para penulis “pemula”.
Tetapi, tentunya Fadjroel bukanlah seorang “pemula” dalam tulis-menulis. Sebelum novel ini, beberapa bukunya telah terbit. Di antaranya: Dongeng untuk Poppy (2007) dan Sejarah Lari Tergesa (2004). Keduanya berhasil masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk kategori puisi. Tak mengherankan jika dalam novelnya ini nuansa puitik terasa demikian pekat dan menonjol. Mengomentari hal tersebut, secara bergurau Sujiwo Tejo pernah meledeknya agar Fadjroel memilih salah satu saja, mau jadi novelis atau penyair.***ENDAH SULWESI
Satu bintang saja ya…J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar